Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya. Dalam kesempatan yang mulia ini akan kami kemukakan Sejumlah Hujjah Larangan Ikut Perayaan Natal dan Tahun Baru. Semoga masalah ini dapat difahami dan bermanfaat bagi kita semua.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115]
"Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisaa’ [4] : 115)
Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan,
{ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ }
Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, (yang dimaksud) jalan orang Mukmin yaitu jalan kaum Mukmin dalam aqidah (keyakinan) dan amal-amalnya.
Dari penjelasan itu, setiap jalan yang tidak sesuai dengan aqidah dan amaliyah Mukiminin maka bukan jalan orang Mukmin, maka wajib dihindari. Karena kalau diikuti maka Allah telah mengancamnya dengan ungkapan: Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Termasuk bukan jalan orang Mukmin yang jelas-jelas nyata adalah perayaan natal dan tahun baru, yang disebut Misa Kristus atau Christmas atau natalan.
Perayaan kelahiran Yesus disebut Christmas atau Misa Kristus.
“Mass” atau misa berarti “misi”, jadi (menurut keyakinan Nasrani, red) mereka diutus untuk mewartakan kabar sukacita tentang kedatangan Sang Juru selamat. (http://luxveritatis7.wordpress.com)
Itu jelas bukan jalan orang-orang Mukmin. Oleh karena itu, Ummat Islam dilarang mengikutinya, mengucapi selamat kepada mereka dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan-kegiatan perayaan mereka.
Berikut ini sejumlah hujjah dilarangnya bagi Ummat Islam, kami kutip dari fatwa Syaikh Abdullah al-Faqih, mengenai Hukum Perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi–bagi Ummat Islam.
Syaikh Abdullah Al-Faqih menjelaskan sebagai berikut: “…Tidak boleh bagi seorang Muslim bergabung dengan Ahli Kitab (Yuhudi atau Nasrani) dalam perayaan hari besar Christmas (misa Kristus, natal, kelahiran Yesus) ataupun 'tahun baru Miladiyah', dan tidak boleh mengucapi selamat kepada mereka, karena hari raya itu termasuk jenis amal mereka yang itu adalah agama mereka yang khusus bagi mereka, atau syiar agama mereka yang batil. Sungguh kita telah dilarang menyepakati mereka dalam hari-hari besar mereka, yang hal itu telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan i’tibar (ungkapan yang dapat diambil sebagai pelajaran):
1. Adapun dari Al-Qur’an; maka firman Allah Ta’ala:
وَالَّذِيْنَ لاَ يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ وَإِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَاماً
"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-Furqan [25] : 72)
Mujahid berkata dalam menafsiri ayat itu: "Sesungguhnya ia adalah hari-hari besar orang-orang musyrik," demikian pula dikatakan seperti itu oleh Ar-Rabi’ bin Anas, Al-Qadhi Abu Ya’la, dan Ad-Dhohhak.
Ibnu Sirin berkata: "Az-Zuur (palsu) adalah Sya’anin, yaitu hari besar bagi Nasrani yang mereka adakan pada hari Ahad yang dulunya untuk hari raya paskah dan mereka berpesta di dalamnya dengan membawa perlengkapan, dan mereka menyangka bahwa itu adalah peringatan untuk masuknya Isa Al-Masih ke Baitul Maqdis," seperti dijelaskan dalam kitab Iqtidho’us shirothil mustaqiem 1/ 537 dan al-Mu’jam Al-Wasith 1/ 488. Arah penunjukan dalil itu adalah bahwa apabila Allah telah memuji perbuatan meninggalkan persaksian (terhadap hari-hari besar mereka) yang itu hanya sekadar hadir dengan melihat atau mendengar (saja harus ditinggalkan), maka bagaimana pula dengan menyetujui apa yang lebih dari itu berupa perbuatan yang justru perbuatan zuur (palsu, perayaan hari besar mereka), tidak sekadar menyaksikannya.
2. Adapun dari As-Sunnah:maka di antaranya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;
عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ ». قَالُواكُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَافِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ ».رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari, mereka bermain-main pada kedua hari itu, maka Rasulullah bertanya, "Ini dua hari apa?"Mereka menjawab, "Kami dulu bermain pada kedua hari ini di masa jahiliyah."Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Sesungguhnya Allah sungguh telah mengganti yang lebih baik dari keduanya itu untuk kamu yaitu hari raya adha (qurban) dan hari raya fithri (berbuka)." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan An-Nasaai atas syarat Muslim).
Arah penunjukan dalil itu bahwa dua hari raya jahiliyah tidak diakui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak membiarkan mereka bermain pada dua hari raya itu berdasar kebiasaan, tetapi bahkan beliau berkata, "Sesungguhnya Allah sungguh telah mengganti yang lebih baik dari keduanya itu" penggantian dari sesuatu itu menuntut untuk meninggalkan apa yang telah diganti, karena tidak boleh berkumpul antara pengganti dan yang diganti. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:خَيْرًا مِنْهُمَا yang lebih baik dari keduanya itu menuntut penggantian apa yang pernah ada di masa jahiliyah dengan yang disyari’atkan kepada kita (yaitu dua hari raya, Idul Adha dan Idul Fithri).
3. Adapun dari Ijma’: Termasuk yang diketahui dari sejarah bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani senantiasa ada di kota-kota orang Muslimin, mereka mengadakan hari-hari besar mereka yang mereka miliki, namun demikian tidak ada di masa salaf di antara Muslimin yang mengikuti mereka dalam hal itu sedikitpun. Demikian pula apa yang dilakukan Umar dalam syarat-syaratnya beserta ahli dzimmah yang disepakati para sahabat dan seluruh fuqoha’ (ahli fiqih) sesudah mereka: bahwa ahli dzimmah yaitu Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak menampakkan hari-hari besar mereka di negeri Islam, ini dulu kesepakatan mereka sesungguhnya hanyalah untuk melarang mereka menampakkan hari-hari besar mereka, maka bagaimana membolehkan bagi Muslimin mengerjakannya? Bukankah perbuatan seorang Muslim untuk hari raya mereka itu lebih keras larangannya daripada penampakan orang kafir (sendiri) terhadap hari besarnya?
Umar radhiyallahu 'anhu sungguh telah berkata: "Jauhilah oleh kamu sakalian dari bicara dengan bahasa orang-orang asing, dan jangan masuk ke orang-orang musyrik di hari-hari raya mereka di gereja-gereja mereka, karena sesungguhnya kemurkaan sedang berturun-turun atas mereka." (Diriwayatkan Abu Al-Syaikh Al-Ashbahani dan Al-Baihaqi dengan sanad shahih). Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dari Umar juga, katanya: "Jauhilah oleh kamu sakalian musuh-musuh Allah pada hari-hari raya mereka."
Imam Ibnu Taimiyyah berkata, "Umar ini telah melarang untuk mempelajari bahasa mereka, dan melarang sekadar masuk gereja mereka di hari raya mereka, maka bagaimana dengan (mengerjakan) perbuatan sebagian perbuatan-perbuatan mereka? Atau (bagaimana pula) mengerjakan apa yang termasuk tuntutan agama mereka? Bukankah menyepakati perbuatan mereka itu lebih besar daripada menyepakati bahasanya? Bukankah (mengikuti) perbuatan sebagian perbuatan-perbuatan di hari raya mereka itu lebih besar (larangannya) daripada sekadar masuk ke kalangan mereka di hari raya mereka?"
"Dan ketika kemurkaan (Allah) turun atas mereka pada hari raya mereka disebabkan perbuatan mereka, maka orang yang bergabung dengan mereka dalam perbuatan atau sebagiannya, bukankah sungguh telah menyambut siksa yang demikian? Kemudian ucapan Umar: dan jauhilah oleh kamu sekalian musuh-musuh Allah di hari raya mereka; bukankah itu suatu larangan untuk menjumpai mereka dan berkumpul dengan mereka pada hari raya mereka. Maka bagaimana tentang (mengikuti) perbuatan hari raya mereka…" (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhous Shirothil Mustaqiem 1/ 515)
4. Adapun dari pengambilan pelajaran (i’tibar) maka dikatakan: Hari-hari raya adalah termasuk rangkaian syari’at, manhaj (jalan, system pemahaman) dan tatacara peribadahan (manasik) yang telah Allah firmankan di dalamnya:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً [المائدة:48].
"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , kami berikan aturan dan jalan yang terang." (QS. Al-Maaidah [5] : 48)
Maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat yang sebelumnya.
Ibnu Taimiyyah berkata: "Maka tidak ada bedanya antara bergabung dengan mereka dalam hari raya mereka dan antara bergabung dengan mereka dalam seluruh manhaj (jalan, system pemahaman), karena menyetujui seluruh hari raya itu adalah menyetujui kekafiran, dan menyetujui sebagian cabangnya itu adalah menyetujui sebagian cabang kekafiran. Bahkan hari-hari raya itu termasuk paling khas dari apa yang menandai syari’at, dan termasuk yang paling tampak di antara syiar-syiar, maka menyetujuinya adalah menyetujui syari’at kekafiran yang paling khusus dan syiar kekafiran yang paling nyata. Dan tidak diragukan lagi bahwa menyetujui hal ini sungguh telah sampai pada kekafiran dalam keseluruhan dengan syarat-syatanya." (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhous Shirothil Mustaqiem 1/ 528)
Dia berkata juga; "kemudian sesungguhnya hari raya mereka itu dari agama yang dilaknat baik agamanya itu sendiri maupun pemeluknya. Maka menyetujuinya adalah menyetujui penyebab murka dan siksa Allah yang mereka itu dikhususkan dengannya."
Termasuk segi pelajaran juga: "bahwasanya apabila diperbolehkan perbuatan yang sedikit dari yang demikian (yakni mengikuti hari raya mereka) maka mengakibatkan kepada perbuatan yang banyak, kemudian apabila telah popular maka orang-orang awam memasukinya dan mereka lupa asalnya (itu dari orang kafir) sehingga menjadi kebiasaan manusia bahkan hari besar bagi mereka, sehingga menirukan hari raya Allah, bahkan kadang lebih lagi sehingga hampir berlangsung matinya Islam dan hidupnya kekafiran…"
Inilah yang dimudahkan Allah menyebutkannya dari dalil-dalil. Dan siapa yang ingin mendapatkan tambahan lagi maka hendaknya mengkaji kitab Iqtidhoush shirotil mustaqiem mukholafati ash-habil jahiem oleh Ibnu Taimiyyah dan kitab Ahkamu ahlidz dzimmah oleh Ibnul Qayyim, dan kitab al-wala’ wal bara’ fil Islam oleh Muhammad Sa’id Al-Qahthani.
Berlandaskan atas hal yang telah lalu itu maka kami katakan; Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk bergabung dengan ahli kitab dalam hari-hari besar mereka, karena dalil-dalil yang lalu dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan I’tibar. Sebagaimana tidak boleh mengucapi selamat kepada mereka dengan hari-hari raya mereka karena ia termasuk karakteristik (ciri khas) agama mereka atau jalan-jalan mereka yang batil.
Imam Ibnul Qayyim berkata: "Adapun ucapan selamat dengan syiar-syiar kekafiran yang khusus dengannya maka haram dengan kesepakatan, seperti kalau mengucapi selamat kepada mereka dengan hari-hari raya mereka dan puasa mereka, dengan mengatakan; hari raya yang diberkahi atasmu, atau selamat dengan hari raya ini dan semacamnya, maka ini apabila selamat pengucapnya dari kekafiran, maka perbuatannya itu sendiri termasuk yang diharamkan, dan itu pada posisi ucapan selamat kepada sujudnya pada salib, bahkan hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah, dan lebih sangat dimurkai daripada ucapan selamat kepada yang minum khamr, membunuh jiwa, dan berbuat dosa pada farji yang haram (berzina) dan semacamnya."
Banyak di antara orang yang tidak menghargai agama di sisinya yang jatuh dalam hal yang demikian, dan dia tidak tahu buruknya apa yang dia perbuat, maka barangsiapa mengucapi selamat kepada seseorang pada kemasiatannya atau bid’ahnya atau kekafirannya maka sungguh dia menyambut murka Allah dan marahNya… dan seterusnya. Lihatlah kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/ 161 fasal mengenai ucapan selamat kepada ahlidz dzimmah oleh Ibnul Qayyim.
Apabila seorang berkata: "Orang ahli Kitab mengucapi selamat kepada kami pada hari-hari raya kami maka bagaimana kami tidak mengucapi kepada mereka pada hari-hari raya mereka sebagai pergaulan setara dan membalas penghormatan dan menampakkan toleransi Islam… dan seterusnya?"
Jawabannya: Hendaknya dikatakan: "Kalau toh mereka mengucapi selamat kepada kita pada hari-hari raya kita, maka tidak boleh kita mengucapi selamat pada hari-hari raya mereka, karena adanya perbedaan. Hari-hari raya kita itu adalah haq (benar) dari agama kita yang benar. Berbeda dengan hari-hari raya mereka yang batil itu yang dari agama mereka yang batil, maka walaupun mereka mengucapi selamat kepada kita atas kebenaran maka kita tidak mengucapi mereka atas kebatilan."
Kemudian sesungguhnya hari-hari besar mereka itu tidak terlepas dari maksiat dan kemunkaran, dan yang terbesar dari yang demikian itu adalah pengagungan mereka terhadap salib dan kemusyrikan mereka terhadap Allah Ta’ala. Apakah ada kemusyrikan yang lebih besar dibanding tuduhan mereka terhadap Isa 'alaihis salam bahwa ia adalah Tuhan atau anak Tuhan? Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan;
سُبْحَانَهُ وَتَعَالىَ عَمَّا يَقُوْلُوْنَ عُلُوًّا كَبِيْراً
"Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." (QS. Al-Israa’ [17] : 43)
Tambahan lagi apa yang terjadi dalam perayaan-perayaan mereka pada hari-hari besar mereka berupa pemerkosaan terhadap kehormatan, perbuatan keji, minum untuk mabuk-mabukan, hura-hura, dan perbuatan tanpa malu, yaitu apa yang mengakibatkan marahnya Allah dan murka-Nya. Maka apakah pantas bagi Muslim yang mengesakan Allah rabbil ‘alamiin untuk bergabung atau mengucapi selamat kepada mereka berkaitan dengan ini!
Ingatlah, maka bertaqwalah kepada Allah wahai mereka yang menganggap enteng dalam perkara-perkara seperti ini, dan hendaklah mereka kembali kepada agama mereka. Kami memohon kepada Allah agar Dia memperbaiki keadaan kami dan keadaan seluruh Muslimin.
Wallahu a’lam.
Demikian penjelasana Mufti Markaz fatwa dengan bimbingan Dr Abdullah Al-Faqih. (fatawa Ash-Shabakah al-Islamiyyah juz 46 halaman 104, nomor 26883, 10 Dzulqa’dah 1425H/ islamweb)
Jama’ah jum’ah rahimakumullah, setelah kita tahu hujah-hujjahnya, maka tidak ada alasan lagi untuk mengikuti jalan mereka. Apabila masih nekat, berarti tidak menggubris ancaman Allah Ta’ala seperti tersebut di atas, yaitu:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115]
"Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS An-Nisaa’ [4] : 115)
Semoga kita diberi kefahaman oleh Allah Ta’ala atas agama Islam yang diridhoiNya ini, dan dianugerahi kemampuan untuk mengamalkan sebaik-baiknya dengan ikhlas lillahi Ta’ala, tanpa mengikuti jalan-jalan selain jalan kaum Mukminin. Aamiin ya rabbal ‘alamiin.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْوَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ.
No comments:
Post a Comment