visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, December 15, 2011

Pentingnya Tahsinut Tilawah


Istilah ‘tahsin’ sering kali dikaitkan dengan aktivitas membaca al-Quran. Istilah ini telah mendapatkan tempat di hati masyarakat, terutama mereka yang menyadari pentingnya melaksanakan rutinitas membaca al-Quran dengan segala kesempurnaannya. Istilah ini muncul sebagai sinonim dari kata yang sudah lebih dulu akrab di telinga kaum muslimin, yaitu‘tajwid’ yang seringkali dipahami sebagai ilmu yang membahas tata cara membaca al-Quran dengan baik dan benar serta segala tuntutan kesempurnaanya. Secara bahasa, istilah tajwid yang disamakan dengan tahsin ini memiliki arti yang sama, yaitu membaguskan. Para ulama memberikan batasan mengenai istilah ini, yaitu “mengeluarkan huruf-huruf al-Quran dari tempat-tempat keluarnya (makharij huruf) dengan memberikan hak dan mustahaknya. Yang dimaksud dengan hak adalah sifat asli yang senantiasa ada pada setiap huruf atau seperti sifat Al-jahr, Isti’la, dan lain sebagainya. Hak huruf meliputi sifat-sifat hurufdan tempat-tempat keluar huruf.

أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا (المزمل:4)

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (الفرقان:121)

"خيركم من تعلم القرآن وعلمه" (متفق عليه)

"الماهر في القرآن مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران" (متفق عليه)

Adapun yang dimaksud dengan mustahak adalah sifat yang sewaktu-waktu timbul oleh sebab-sebab tertentu ,seperti; izh-har, ikhfa, iqlab, idgham, qalqalah, ghunnah, tafkhim, tarqiq, mad, waqaf, dan lain-lain. ِAtau mengaplikasikan kesempurnaan konsistensi tanda panjang sesuai dengan tuntutannya. Untuk mencapai kesempurnaan penguasaan ilmu ini secara teori dan praktek, setiap muslim dituntut untuk mengoptimalkan usaha melalui latihan-latihan dan praktek membaca yang senantiasa didampingi oleh orang yang dianggap sudah baik bacaannya. Bagi sebagian orang ada yang mendapatkan kemudahan untuk menguasainya namun ada juga yang merasa kesulitan karena ia belum terbiasa mengucapkan kata-kata selain bahasa yang dikuasainya.

Al-Quran memiliki fungsi utama yaitu sebagai kitab petunjuk ‘huda’, petunjuk utama yang mengarahkan kehidupan setiap manusia yang siap berserah diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala (muslim) agar segala hakikat kemaslahatannya tercapai dengan gemilang baik dalam kehidupan dunia maupun akhirat, itulah fungsi yang ditegaskan sendiri oleh al-Quran. Atas dasar ini, kiranya logis kalau setiap muslim merasa dirinya wajib membaca dan menyelami kandungan maknanya agar mencapai pengamalan yang sempurna dan mendapatkan ridla Allah Subhanahu wa Ta’ala, apalagi al-Quran sendiri menegaskan maksud dari diturunkannya agar mampu ditadabburi dan diamalkan dengan sempurna, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, QS Shaad (38) : 29:

كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ مُبَارَكٌ لِيَدَّبَّرُوا آيَاتِهِ وَلِيَتَذَكَّرَ أُولُو الْأَلْبَاب (29)ِ

Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.

‘Kesulitan’ yang dirasakan sebagian orang dalam mempelajari tahsin al-Quran telah mengantarkan pada satu kesimpulan bahwa yang paling penting dalam membaca al-Quran adalah berusaha memahaminya agar mampu diamalkan, bahkan sebagian ada yang berpendapat bahwa kesempurnaan membaca al-Quran dengan menerapkan tajwid atau tahsinnya adalah pelengkap saja atau sekedar hiasan (aksesoris), maka mencapai kesempurnaan membacanya bukanlah suatu prioritas yang diutamakan, kembali pada pendapat di atas, tujuan utama membaca al-Quran adalah memahaminya untuk diamalkan, sebab kalau tidak demikian, maka fungsi ‘huda’ tidak tercapai, begitulah kira-kira pendapat sebagian orang tersebut. Terlebih lagi sebagian orang tua ada yang berkata, lisan kami sudah sangat sulit untuk mencapai pengucapan huruf yang sempurna, maka interaksi kami dengan al-Quran cukuplah hanya berusaha memahaminya agar bisa diamalkan.

Pendapat di atas tidak ada salahnya, namun kiranya perlu dipahami secara seimbang dan komprehensif, jangan sampai alasan yang disampaikan bukan menguatkan pendapat di atas malah menegaskan kelemahan penyampai argumen yang alasannya cenderung diada-adakan. Bukankah membaca al-Quran dengan mempraktikkan kaidah-kaidah tahsin atau tajwidnya merupakan pengamalan yang harus dilaksanakan sebagai konsekwensi pemahaman ayat al-Quran yang memerintahkannya? Dan kalau diperhatikan, ada beberapa hal yang menyebabkan kita harus ‘tahsin’ dalam membaca al-Quran :

1. Perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala

Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan dalam QS. Al-muzzammil : (4) : (ورتل القرءان ترتيلا), dan bacalah Al-Quran dengan tartil, demikianlah lebih kurang terjemahan ayat di atas. Para ulama telah sepakat bahwa yang dimaksud dengan tartil adalah membaca dengan pelan-pelan, penuh ketenangan dan perhatian yang serius dengan memperjelas pengucapan huruf-hurufnya. Imam Al-baidhawi menambahkan bahwa kesempurnaan tersebut dengan cara melatih lisan atau pengulangan dan merutinkan bacaan sambil mempraktikkan kesempurnaan pembacaan huruf-huruf yang tipis (tarqiq) dan tebal (tafkhim), memendekkan huruf yang pendek dan memanjangkannya jika menuntut demikian serta mengaplikasikan kaidah lainnya yang terangkum dalam materi tahsin al-Quran (Nihayah Qaulil Mufid, 2003).

Pengertian ini juga yang ditegaskan oleh seorang pakar Tafsir, M. Ali As-Shabuni dalam tafsir ayat ahkamnya sewaktu menerangkan tentang QS al-muzammil: 4 ini, dan menambahkan agar pembacaan demikian dapat mengantarkan pada parasaan ta’zhim (keagungan) yang dikandung al-Quran dan berusaha merenungi (tadabbur) makna-maknanya. Inilah maksud definisi singkat tentang tartil yang disimpulkan oleh seorang sahabat terkenal, Ali Ibn Abi Thalib. Beliau menyimpulkan makna tartil dengan ungkapan yang cerdas“ tajwiidul huruf wa ma’rifatul wuquf”, men-tajwid-kan/membaguskan pengucapan huruf-hurufnya serta mengetahui tempat-tempat berhentinya.

Berkata Syeikh Abd Aziz bin Baz rahimahullahu ta’ala: Orang mu’min diperintahkan untuk bersungguh-sungguh dalam membaca al-Quran dan hendaklah dia membaca dengan orang yang lebih tahu darinya sehingga dia mendapat faedah dan dapat memperbetulkan kesalahannya.

Berkata Syeikh Ali al-Qari: Sepatutnya hendaklah seseorang itu memelihara seluruh kaedah-kaedah yang wajib yg mana jika tidak memeliharanya ia akan mengubah struktur ayat dan merusak makna, dan digalakkan untuk memperbaiki dan memperhatikan cara bacaan.

Bukankah seseorang yang membaca al-Quran dengan sempurna dan mengetahui kapan ia harus memulai dan memberhentikan bacaannya sesuai dengan ‘titik- komanya’ karena ia paham dari apa yang dibacanya? Perintah membaca al-Quran dengan tartil lebih ditegaskan lagi dalam pemahaman ayat di atas ketika kata perintah ‘rattil’ terulang kembali dalam bentuk mashdar ‘tartila(n)’, yang mengesankan makna adanya perhatian yang besar mengenai terealisasinya perintah Allah ini, pengagungan terhadap obyeknya yaitu Al-Quran, dan besarnya pahala yang Allah berikan kepada para pelaksana perintah ini.

2. Refleksi keimanan setiap hamba yang taat kepada Al Qur’an.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam QS. Al-baqarah : 121,

الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ أُولَئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ وَمَنْ يَكْفُرْ بِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (الفرقان: 121)

Orang-orang yang telah Kami berikan al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya. Dan barang siapa yang ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang merugi.

Ada beberapa hal yang perlu diresapi sebagai tadabbur dari ayat di atas; pertama, kata tilawah sebagaimana dalam ayat di atas, yang berarti membaca, sering dihubungkan dengan al-Quran dan tidak biasa dikaitkan dengan selainnya. Hal ini mengesankan keistimewaan al-Quran dibanding kitab lainnya yang mendorong kita untuk mengetahui rahasia membacanya. Kedua, menurut pendapat As-Shabuni dalam Shafwatutafasir, bahwa yang dimaksud dengan haqqa tilawatihi, ‘bacaan yang sebenarnya’, adalah bacaan sebagaimana Jibril membacakannya kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ini menunjukkan bahwa membaca al-Quran mempunyai aturan tertentu yang tidak dimiliki bacaan selainnya dan orang yang membaca dengan demikian adalah yang beriman kepadanya. Ketiga, ayat di atas menjelaskan dua golongan manusia, yang beriman dan kufur. Golongan pertama adalah yang membaca al-Kitab dengan bacaan yang sebenarnya yaitu sesuai dengan bacaan Rasulullah. Menurut konteks ayat di atas, maka dapat dipahami siapa yang termasuk golongan kedua.

Oleh karena itu mempelajari tahsin atau tajwid bukan masalah yang patut diremehkan, sebab ia sangat berhubungan dengan masalah keimanan. Dan bila sudah berusaha untuk mencapai kesempurnaan membacanya dengan mempelajari ilmu tahsin namun belum sampai pada kesempurnaan bacaan yang dicontohkan Rasulullah , mudah-mudahan Allah mengampuni kesalahan dan dosa hamba-Nya.

3. Mengikuti jejak Rasulullah, para sahabat dan pewarisnya yang telah mengajarkan Al Qur’an.

Banyak hadits serta atsar sahabat yang menjelaskan keutamaan orang-orang yang senantiasa berinteraksi dengan al-Quran mulai dari memelihara kesempurnaan bacaannya hingga menghafalnya, namun cukuplah satu hadis Rasul yang menegaskan para ahli al-Quran adalah orang-orang yang terbaik. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda :

"خيركم من تعلم القرآن وعلمه"

Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Quran dan mengajarkannya ( HR. Imam Bukhari)

Sebagaimana dalam hadis di atas, Rasulullah menegaskan bahwa kedudukan seseorang menjadi yang terbaik ditunjukkan di antaranya dengan dua aktivitas utama ketika berinteraksi dengan al-Quran, yaitu belajar dan mengajarkan. Memang, untuk mencapai manfaat maksimum dari Kitab Allah ini adalah dengan melaksanakan dua aktivitas tersebut, dengan demikian terbukalah pintu-pintu kebaikan lainnya. Belajar adalah syarat utama untuk mencapai puncak ilmu dengan segala persyaratannya yang harus dilakukan, mengajarkan adalah memberikan kemanfaatan terhadap orang lain dari apa yang dipelajarinya di samping sebagai kontrol terhadap dirinya agar melaksanakan setiap ilmu yang dipelajarinya jauh sebelum ia ajarkan kepada orang lain.

Imam Al-Jazari salah seorang pakar ilmu Qiraat dan imam di bidangnya mengatakan “ aku tidak mengetahui jalan paling efektif untuk mencapai puncak tajwid selain dari latihan lisan dan mengulang-ulang lafazh yang diterima dari mulut orang yang baik bacaannya.

4. Terhindar dari kesalahan-kesalahan dalam membaca Al Qur’an.

Para ulama tajwid membagi 2 kesalahan dalam membaca al-Quran, kesalahan pertama adalah lahn Jaliyy, yaitu kesalahan yang mudah diketahui seperti pengucapan huruf ش yang dibaca dengan huruf س dalam lafazh شكر , tentunya kesalahan ini tanpa disadari telah merubah huruf al-Quran sehingga dihukumi sebagai kesalahan fatal yang menyebabkan keharaman apalagi kalau sampai merubah maknanya. Kesalahan kedua adalah yang disebut dengan lahn khofiy, kesalahan yang diketahui oleh orang-orang tertentu di antaranya oleh orang-orang yang memahami ilmu tajwid al-Quran. Kesalahan ini berkisar pada ketidakmampuan menerapkan kaidah hukum seperti idgham, ikhfa, iqlab dan lainnya. Kesalahan ini tergolong ringan sehingga sebagian menghukuminya makruh namun ada pula yang mengharamkannya sebab dengan demikian telah ikut merusak keindahan al-Quran.

Dengan mempelajari ‘tahsin’ maka dipandang adanya usaha dari kita untuk membebaskan diri dari perangkap kesalahan ini dan berharap agar Allah senantiasa mengampuni ketidakmampuan untuk mencapai kesempurnaannya setelah berusaha secara maksimum.

5. Menuju kesempurnaan dunia dan akhirat dengan Al Qur’an.

Pelaksanaan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan segenap perbuatan, ucapan, bahkan lintasan hati yang diorientasikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mengharapkan keridlaan-Nya. Agar sampai pada keridlaan-Nya, pelaksanaan ibadah yang dilandaskan pada perintah dan larangan-Nya. Keseriusan kita dalam mempelajari dan mengamalkan membaca al-Quran dengan segala kesempurnaannya karena dilandasi keyakinan akan jaminan Allah dan Rasul-Nya akan mengantarkan pada golongan para ahli al-Quran yang disanjung oleh Allah dan Rasul-Nya, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda;

الماهر في القرآن مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له أجران

“Orang yang membaca al-Quran dan ia pandai dalam membacanya, ia akan bersama para malaikat yang menjadi utusan yang mulia lagi suci, sedangkan orang yang membaca al-Quran namun terbata-bata, kesulitan serta kesukaran dalam membacanya, ia akan memperoleh dua pahala.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Maksud dari pada ( الماهر بالقرآن ) adalah:

الحاذق به الذي لا تشق عليه قراءته لجودة حفظه واتقانه ورعاية مخارجه (قيض القدير : 6/337)

Artinya: “Pelan-pelan yang tidak memberatkan bacaan atas dirinya untuk menambah kualitas hafalan dan kelancarannya”. (Qoidlul Qadir: 6/337)

جودة التلاوة مع حسن الحفظ قوله مع السفرة الكرام البرره (عمدة القاري بشرح صحيح البخاري: 36 ـ 244)

Artinya: “Kualitas bacaan serta bagusnya hafalan itu akan bersama para malaikat”. (‘Umdatul Qari bi syarhi shahihul bakhari: 36/244)

Dari ke dua syarh hadits di atas dapat diambil kesimpulan bahwa untuk mendapatkan kriteria MAHIR AL QUR’AN adalah mampu mempraktekkan kaidah-kaidah bacaan Al Qur’an sehingga menambah kepada kualitas hafalan Al Qur’an, sehingga dengan hal itu dia akan menjadi manusia paling beruntung karena di akhirat nanti ia akan bersama-sama dengan para malaikat (safaratil kiramil bararah).

Maka orang demikian akan berusaha meminimalisir kesalahan bahkan melepaskan diri dari setiap kesalahan walau yang makruh sekalipun, karena ia paham makruh berarti dibenci, ya.. dibenci oleh Allah Ta’ala, akankah keridlaan Allah datang pada setiap lafazh al-Quran yang dibacakan jika pembacanya senantiasa terjebak dalam kesalahan yang makruh sekalipun?

Akankah seseorang yang kita senangi menaruh simpati kepada kita setelah kita berikan hadiah dengan sesuatu yang dibencinya? logika manusia normal akan menjawab, tidak !!!





No comments:

Post a Comment