visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, December 15, 2011

ALQURAN DAN TUJUH RAGAM BACAAN



Salah satu karakteristik ajaran Islam yang paling menonjol adalah membawa kemudahan. Di antara bentuk kemudahan itu berupa diturunkannya Al-Quran dengan berbagai macam ragam bacaan atau dialek (ahruf).

Telah maklum bahwa dahulu bangsa Arab pra-Islam terdiri atas kabilah-kabilah yang sangat banyak. Masing-masing kabilah memiliki dialek yang berbeda satu sama lain. Bahkan perbedaan yang sangat jauh itu hampir menjadikan dialek itu bahasa tersendiri. Di saat seperti itulah Al-Quran diturunkan dengan menggunakan beberapa ragam bacaan yang sesuai dengan dialek masing-masing kabilah sehingga memudahkan mereka untuk membacanya.

Pada awalnya, keberagaman cara membaca Al-Quran ini menimbulkan sedikit masalah di kalangan para sahabat Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Beberapa di antara mereka yang belum mengetahui adanya keberadaan ragam bacaan ini mengadu kepada Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam.

Umar bin Khattab misalnya, dia pernah bercerita, “Aku mendengar Hisyam bin Hakim bin Hizam membaca surat Al-Furqan (dalam shalat) tidak seperti yang aku baca dan yang Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam ajarkan kepadaku. Hampir saja aku menyalahkannya ketika ia sedang membaca, tetapi aku biarkan saja sampai ia selesai. Setelah selesai, aku pegang dengan kuat sorban yang berada di lehernya. Aku berkata, ‘Siapa yang mengajarimu surat ini?’ Ia menjawab, ‘Rasulullah yang mengajariku.’ Aku berkata, ‘Bohong kamu. Demi Allah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam juga telah mengajariku surat yang kamu baca tadi’ lalu aku bawa ia menghadap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mendengar orang ini membaca surat Al-Furqan tidak seperti yang engkau ajarkan kepadaku.’ Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Suruh ia untuk membacanya.’ Ia (Hisyam) pun membaca bacaan yang aku dengar sebelumnya. Lalu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Seperti itulah surat itu diturunkan.’ Kemudian beliau menyuruhku, ‘Bacalah.’ Aku pun membacanya. Lalu beliau bersabda, ‘Demikianlah surat itu diturunkan. Sesungguhnya Al Quran itu diturunkan dengan tujuh ragam bacaan. Maka bacalah dengan bacaan yang mudah di antaranya.’” (HR. Bukhari dan Muslim)

Ubay bin Ka'ab juga mengalami hal serupa, ia bercerita, “Ketika aku sedang berada di dalam masjid, tiba-tiba datang seorang lelaki mengerjakan shalat, lalu ia membaca dengan bacaan yang asing bagiku. Kemudian datang lelaki lain dan membaca dengan bacaan yang berbeda dari bacaan orang sebelumnya. Seusai shalat, kami mendatangi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Aku berkata, ‘Orang ini membaca dengan bacaan yang asing bagiku kemudian masuk orang lain dan membaca dengan bacaan yang asing dari bacaan sebelumnya.’ Rasulullah menyuruh mereka berdua membaca, mereka pun membacanya dan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam memuji bacaan mereka berdua. Lalu timbullah keragu-raguan dalam dadaku melebihi keraguanku di masa Jahiliyah. Ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam melihatku demikian, beliau memukul dadaku sampai aku mengeluarkan air liur. Pada saat itu seolah-olah aku sedang melihat Allah. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Wahai Ubay, sesungguhnya aku diperintahkan untuk membaca Al Quran dengan satu ragam bacaan, kemudian aku meminta keringanan untuk ummatku. Kemudian datang jawaban agar aku membaca dengan dua ragam bacaan. Aku meminta lagi keringanan untuk ummatku. Hingga ketiga kalinya, aku diperintahkan untuk membaca dengan tujuh ragam bacaan. Lalu Allah berfirman: ‘Bagimu dari setiap apa yang kamu minta itu Aku kabulkan.’ Aku berkata, ‘Ya Allah, ampunilah ummatku. Ya Allah, ampunilah ummatku.’” (HR. Muslim)

Maksud perkataan Ubay, “Lalu timbullah keragu-raguan dalam dadaku” adalah syaitan menghembuskan rasa was-was dalam hatinya ketika melihat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam membenarkan dua bacaan yang berbeda-beda pada satu surat tersebut. Rasa was-was itu yang kemudian memunculkan keragu-raguan bahwa Al Quran itu benar-benar dari Allah Subhanahu wa Ta'ala karena seakan-akan dua hal itu saling bertentangan. Melihat hal itu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam segera mengusir rasa was-was yang tidak dibenarkan itu dengan cara memukul dada Ubay sehingga keluarlah bisikan syaitan itu bersama dengan keluarnya air liur Ubay.[1]

Demikianlah, Al Quran diturunkan dengan mengakomodir berbagai dialek yang berkembang pada masa itu. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, “Jibril telah mengajariku satu ragam bacaan. Kemudian aku mengulang-ulanginya dan aku selalu minta supaya ia mau menambahnya, maka ia menambahnya sampai ia berhenti pada tujuh ragam bacaan.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas RA)

Para ulama telah meneliti ketujuh ragam bacaan itu dan keseluruhannya berkisar hanya pada perubahan harakat (fathah-kasrah-dhammah), baik yang merubah maknanya maupun tidak, perbedaan letak kalimat antara di awal dan di akhir, beberapa tambahan atau pengurangan dan semisalnya, tapi tidak sampai merubah hukum halal dan haram.[2] Ibnu Syihab Az Zuhri berkata, “Telah sampai kepadaku bahwa tujuh ragam bacaan itu hanya terjadi pada satu perkara saja, tidak berbeda mengenai halal dan haram.” (HR. Muslim)

Contoh Ragam Bacaan

Kata “maliki” dalam surat Al Fatihah ayat 4, di antara para ulama Qiraat ada yang membacanya dengan memanjangkan mim dan adapula yang memendekkannya. Imam ‘Ashim, Al Kisa’i, Ya’qub dan Khalaf membacanya dengan mad (memanjangkan) huruf mim yaitu menambahkan huruf alif setelahnya (menjadi: maaliki), sedangkan ulama selain mereka membacanya tanpa mad, yaitu dengan memendekkan mim tanpa alif (menjadi: maliki).

Kata “alaihim” dalam ayat ketujuh, Imam Ibnu Katsir, Abu Ja’far dan Qalun membacanya dengan mendhammahkan huruf mim dan memanjangkannya satuharakat (menjadi: ‘alaihimuu) jika disambung dengan kata setelahnya. Sedangkan Imam Hamzah dan Ya’qub mendhammahkan ha’nya (menjadi: ‘alaihum) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal) dengan kata berikutnya. Selebihnya membacanya dengan mengkasrahkan ha’ dan mensukunkan mim (menjadi:‘alaihim) baik dalam keadaan berhenti (waqaf) maupun bersambung (washal).

Demikian pula ayat-ayat yang lain, perbedaan ragam bacaan itu hanya berkisar pada cara membacanya saja, tidak sampai bertentangan satu sama lain dalam kesimpulan hukum.

Hikmah Diturunkannya Al-Qur'an dengan Tujuh Ragam Bacaan

Banyak sekali hikmah diturunkannya Al-Qur'an dengan tujuh ragam bacaan. Berikut ini beberapa di antaranya:

1. Memudahkan umat Islam (khususnya bangsa Arab terdahulu) untuk membaca Al Quran sesuai dengan dialek masing-masing atau dialek yang dianggap paling mudah, terutama bagi kalangan wanita, orang tua dan anak-anak.

2. Menyatukan bahasa umat Islam masa kini dengan bahasa persatuan, yaitu bahasa Arab Quraisy. Telah maklum dalam sejarah bahwa dahulu kabilah-kabilah Arab sering berdatangan di Makkah pada musim haji. Kabilah-kabilah itu memiliki dialek yang berbeda-beda. Dari berbagai macam dialek itulah kaum Quraisy memilih kosakata yang mereka nilai paling cocok lalu memasukkannya ke dalam kosakata bahasa mereka sehingga bahasa mereka menjadi fleksibel. Jadi, bisa dikatakan bahwa dialek Quraisy merupakan percampuran antar dialek bangsa Arab pada masa itu. Ini pulalah yang dilakukan oleh Al-Qur'an ketika memilih beberapa kosakata dari kabilah-kabilah Arab yang paling cocok. Oleh karena itu, benar jika dikatakan bahwa Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Quraisy karena bahasa mereka telah terangkum dalam bahasa Quraisy.

3. Memperjelas maksud ayat dalam menerangkan suatu hukum. Misalnya ayat yang berbunyi, “Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta.” (QS. An-Nisaa’: 12). Saad bin Abi Waqqash membacanya begini, “tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja.” Dari situ tampak bahwa yang dimaksud saudara laki-laki dan saudara perempuan dalam ayat di atas adalah yang seibu saja, bukan yang seayah, atau seayah dan seibu. Hukum ini telah menjadi ijma’ (kesepakatan) di kalangan seluruh ulama. Contoh lain ayat yang berbunyi, “Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak.” (QS. Al Maidah: 89). Dalam bacaan lain terdapat tambahan “yang beriman” pada kata budak. Dari situ tampak bahwa yang dimaksud budak dalam ayat itu adalah budak yang beriman. Hal inilah yang memperkuat pendapat Imam Syafi'i yang mensyaratkan adanya keimanan dalam diri seorang budak yang ingin dimerdekakan.

4. Menggabungkan dua hukum yang berbeda dalam satu ayat sekaligus. Misalnya ayat yang berbunyi, “Haid itu adalah kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid; dan janganlah kamu mendekati mereka sampai mereka suci (yath-hur-na).” (QS. Al Baqarah: 222) Dalam bacaan lain, “sampai mereka bersuci (yath-thah-har-na).” Perbedaannya, dalam bacaan pertama tidak disyaratkan bersuci (mandi janabah), jadi cukup dengan terputusnya darah haid maka saat itu ia boleh digauli oleh suaminya karena ia telah menjadi suci (yath-hur-na). Sedangkan bacaan kedua mensyaratkan bersuci (mandi) terlebih dahulu, jadi sebelum mandi tidak boleh digauli, karena kata “yath-thah-har-na” artinya adalah bersuci. Sebagian ulama mengkompromikan kedua bacaan itu dengan cara menafsirkan bacaan pertama bagi wanita yang memiliki masa haid selama sepuluh hari, sedangkan bacaan kedua bagi wanita yang memiliki masa haid lebih dari sepuluh hari[3]. Jadi, wanita yang haidnya terputus setelah sepuluh hari dari masa haid, ia boleh digauli oleh suaminya meskipun belum bersuci, sedangkan wanita yang haidnya terputus sebelum sepuluh hari dari masa haid, ia disyaratkan untuk bersuci (mandi) terlebih dahulu.

5. Menunjukkan dua hukum yang berbeda dalam dua kondisi yang berbeda pula. Misalnya ayat yang berbunyi, “maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu (arjulakum, dengan lam maftuhah) sampai dengan kedua mata kaki” (QS. Al-Maidah: 6). Dalam bacaan lain, “dan (sapulah) kakimu (arjulikum, dengan lam maksurah).” Hal ini menunjukkan dua hukum yang berbeda yaitu membasuh (mencuci) kaki dan menyapu (mengusap) kaki. Dalam sunnah, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam telah menjelaskan bahwa jika seseorang tidak mengenakan khuf[4] ia diwajibkan mencuci kakinya, sedangkan jika ia memakai khuf, ia cukup mengusap khufnya saja.

6. Menerangkan maksud suatu ayat dan menghindari terjadinya kesalahpahaman. Misalnya ayat yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah (fas’au) kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli.” (QS. Al Jumuah: 9). Ayat ini seolah-olah memerintahkan kita agar berjalan dengan tergesa-gesa (sa’i) untuk mendatangi shalat Jumat, padahal dalam hadits disebutkan larangan mendatangi shalat dalam keadaan tergesa-gesa. Namun dalam bacaan lain disebutkan, “maka bergeraklah (famdhu) kamu kepada mengingat Allah.” Dari sini, dapat dipahami bahwa yang dimaksud “bersegera” dalam bacaan pertama adalah “bergerak”, yaitu tanpa ketergesa-gesaan. Hal ini sesuai dengan sunnah Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam yang melarang kita tergesa-gesa ketika mendatangi shalat[5].

7. Menyingkap akidah aliran sesat. Misalnya, ayat yang berbunyi, “Dan apabila kamu melihat di sana (surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar (mulkan ‘azhima).” (QS. Al Insaan: 20). Dalam bacaan lain, “dan raja yang besar (malikan ‘azhima).” Dari sini tampak bahwa pada hari kiamat, orang-orang beriman dapat melihat Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ayat ini membantah kesesatan akidah Muktazilah yang berkeyakinan bahwa Allah tidak dapat dilihat di akhirat. Padahal dalam ayat lain, Allah berfirman, “Kepunyaan siapakah kerajaan (al-mulk) pada hari ini? Kepunyaan Allah Yang Maha Esa lagi Maha Mengalahkan.” (QS. Ghafir: 16). Jadi, Allah-lah satu-satunya Raja Pemilik kerajaan pada hari itu[6].

Tujuh Ragam Bacaan (Ahruf) dan Tujuh Qiraat

Sebagian orang menyangka bahwa tujuh ragam bacaan yang dimaksud dalam hadis-hadis di atas adalah tujuh Qiraat yang populer saat ini yaitu: Naafi’, Ibnu Katsiir, Abu ‘Amr, Ibnu ‘Aamir, ‘Aashim, Hamzah dan Al Kisaa’i. Anggapan ini sama sekali tidak benar bahkan salah kaprah, karena ketika Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda tentang tujuh ragam bacaan dalam Al-Qur'an, para Qurra’ itu belum lahir. Kemungkinan besar kerancuan ini disebabkan oleh pemilihan nama-nama Qurra’ yang hanya dibatasi pada tujuh orang saja sebagaimana dilakukan oleh Imam Asy-Syathibi, sehingga orang awam mengira bahwa tujuh Qurra’ itulah yang dimaksud tujuh ragam bacaan dalam hadis Nabi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Wallahu a’lam bish showab.







No comments:

Post a Comment