visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Wednesday, June 19, 2013

MERANCANG KEMATIAN YANG INDAH


Rutinitas kehidupan terkadang menyebabkan kita lupa pada kematian. Padahal, kematian itu adalah sebuah peristiwa besar yang pasti kita alami dan rasakan. Kematian adalah sunnatullah (sistem Allah) bagi setiap makhluk yang diberi-Nya kesempatan hidup di dunia ini, termasuk manusia, sebagaimana firman-Nya :
لُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Setiap yang bernyawa pasti merasakan kematian. Dan sesungguhnya pada hari kiamatlah akan disempurnakan balasan (amal) kalian. Maka, siapa yang (hari itu) dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah sukses besar. Dan tidak adalah kehidupan dunia ini kecuali (sedikit) kenikmatan yang menipu. (QS. Ali Imran : 185)

Jika kematian itu adalah sautu kebenaran yang pasti kita rasakan, maka mengapa kita seakan acuh-tak acuh saja padanya? Mengapa kita seakan melupakannya? Mengapa kesibukan menjalani kehidupan sementara di dunia ini menyebabkan kita seakan tidak maksimal dalam menghadapi kematian?
esibukan kita dalam menjalani kehidupan sementara ini, benar-benar telah memalingkan hati dan pikiran kita dari kematian; satu peristiwa besar yang pasti menimpa diri kita semua. Hal tersebut terbukti bahwa konsentrasi kita mengumpulkan harta, menambah jumlah tabungan bank, mencari berbagai sumber uang untuk merancang dan membangun rumah di dunia dan berbagai kebutuhan hidup lainnya melebihi konsentrasi kita merancang kematian itu sendiri. Padahal kematian adalah suatu kepastian. Hampir setiap hari kita melihat kematian. Sedangkan kematian adalah penentu keberhasilan atau kegagalan dalam perjalanan panjang kita menuju Allah Tuhan Pencipta alam.

Oleh sebab itu, mari kita fokuskan hidup kita untuk merancang kematian, dengan cara mendesain hidup ini semuanya hanya untuk Allah dan dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya. Berbahagialah orang-orang yang diberi Allah kemudahan untuk mendesain semua aktivitas hidupnya hanya untuk Allah dan dapat dijalankan sesuai aturan Allah dan Rasul Muhammad Saw. Sebaliknya, celakalah orang-orang yang memilih jalan hidupnya selain jalan Allah, semua aktivitas hidupnya bukan untuk Allah dan dijalankan di luar ketentuan Allah dan Rasul-Nya.

Kaum Muslimin rahimakumullah….

Sebelum kematian tiba, kita akan melewati suatu fase yang bernama sakratulmaut. Sakratulmaut adalah pintu gerbang kita menuju kematian. Sakratulmaut adalah peristiwa yang amat menakutkan, karena saat sakrtaulmaut tiba, tak seorangpun dapat membantu dan menolong kita, kendati saat kritis itu, istri, sanak saudara dan handai tolan sedang mengelilingi kita. Kita akan bergulat sendirian dengan sakratul maut itu di tengah keramain orang-orang yang kita cintai dan sayangi. Semua mereka hanya dapat menatap kita dengan pandangan mata yang hampa. Saat itulah kita akan merasakan langsung apakah kita termasuk orang yang telah merancang kematian atau bukan. Apakah kita termasuk orang yang siap menghadapi kematian atau bukan.

Sakratulmaut adalah bahasa Al-Qur’an yang terdiri dari dua kata “sakrotan”; pecahan dari kata : سكر – يسكر – سكرا (sakiro – yaskaru – sakran) yang berarti “mabuk atau teler”. Kata “maut”; pecahan dari kata : مات – يموت – موتا (maata – yamuutu – mautan) yang berarti “mati”. Maka Sakratulmaut berarti “kondisi mabuk menghadapi saat kematian’.

Sakratulmaut juga dapat diakatakan sebagai warming up (pemanasan) kematian. Karena kematian itu sulit, berat dan amat sakit maka diperlukan pemanasan. Di samping itu, sebagaimana kehidupan pertama manusia memerlukan proses dan tahapan, maka kematian juga memerlukan proses dan tahapan agar bisa memasuki alam lain bernama Barzakh; sebuah alam yang jauh lebih besar dan sangat berbeda situasi, kondisi dan lingkungannya dengan bumi saat kita hidup di dunia.

Sakratulmaut adalah sesuatu yang ditakuti manusia. Faktanya, berbagai riset dan upaya telah dilakukan manusia untuk menghindarinya seperti, menciptakan obat-obatan untuk memperpanjang umur. Hal tersebut digambarkan Allah dalam firman-Nya :
وَجَاءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ ذَلِكَ مَا كُنْتَ مِنْهُ تَحِيدُ
Saat datanglah Sakaratulmaut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya. (Q.S. Qaf: 19 )

Pertanyaan berikutnya ialah, apakah manusia mampu menghindari Sakratulmaut? Jawabannya tentu ‘mustahil’. Karena Sakratulmaut adalah voucher manusia untuk masuk ke Alam Barzakh, tempat penginapan mereka yang ketiga yang sudah disiapkan oleh Pencipta, Raja dan Pemilik alam semesta ini, yakni Allah Rabbul ‘Alamin, setelah kehidupan dalam rahim ibu mereka dan kehidupan di atas bumi. Mereka tidak akan dapat mengelak dan lari dari keharusan melewati sakratulmaut, sebagaimana mereka tidak bisa mengelak dan menghindar dari ketentuan dan kehendak-Nya ketika mereka diciptakan sebelumnya dari tidak ada menjadi ada.

Sebab itu, sebelum Sakratulmaut datang menghampiri kita, Allah sebagai Pemilik dan Pengendali jagad raya mengajak kita memikirkan dan menyaksikan kehendak, keputusan dan sistem-Nya tentang Sakratulmaut yang telah menjadi kenyataan sehari-hari yang kita saksikan seperti yang tercantum dalam surat Al-Waqi’ah berikut ini:
فَلَوْلا إِذَا بَلَغَتِ الْحُلْقُومَ (83) وَأَنْتُمْ حِينَئِذٍ تَنْظُرُونَ (84) وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْكُمْ وَلَكِنْ لا تُبْصِرُونَ (85) فَلَوْلا إِنْ كُنْتُمْ غَيْرَ مَدِينِينَ (86) تَرْجِعُونَهَا إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ (87)
“Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, (83) padahal kamu ketika itu menyaksikan (orang yang sedang sekarat itu) (84) dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihatnya (85) maka kalaulah kamu tidak tunduk (pada Kehendak Allah) (86) (pastilah) kamu (mampu) mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya semula) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” (Q.S. Al-Waqi’ah: 83 – 87)

Tentang kondisi Sakraulmaut tersebut, Sayyid Qutb menjelaskannya dengan begitu indah dan menarik dalam tafsirnya “Fii Zhilal Al-Qur’an”, sebagai berikut :

Apa gerangan yang akan Anda lakukan ketika nyawa telah berada di tenggorokan? Anda sedang berada di persimpangan jalan yang majhul (tidak diketahui). Kemudian, penggambaran Al-Qur’an yang inspiratif yang melukiskan semua dimensi sikap dalam sentuhan-sentuahan yang cepat, mengungkapkan semua kondisi yang sedang dihadapi, latar belakangnya dan semua yang akan menginspirasikannya… Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat (orang yang sedang sekarat itu) dan Kami (dengan malaikat-malaikat) lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihatnya…

Kita seakan mendengar suara tenggorokan orang yang sedang sekarat dan melihat tatapan wajahnya, merasakan bencana dan kesulitan (yang dihadapinya) lewat firman Allah, “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan”. Sebagimana kita juga bisa melihat tatapan wajah yang tak berdaya, putus asa yang dalam raut muka orang-orang yang hadir (di sekitar orang sedang sekarat itu) lewat firman-Nya “ padahal kamu ketika itu melihat (orang yang sedang sekarat itu)”.

Di sini, pada momen ini, sungguh ruh (nyawa) itu telah selesai dengan urusan dunia. Ia telah meninggalkan bumi dan seisinya. Ia akan menyambut dunia yang belum pernah ditempatinya…Ia tidak akan mampu lagi menguasai sesuatu selain dari apa yang pernah ia tabung sebelumnya… berupa kebaikan atau kejahatan yang dilakukannya…

Di sini, ia melihat, tapi ia tidak mampu membicarakan apa yang dilihatnya… Ia telah terpisah dari orang-orang yang ada di sekitarnya dan apa saja yang ada di sekelilingya…Hanya fisiknya yang bisa disaksikan oleh yang hadir di sekitarnya…Mereka hanya melihat begitu saja sedangkan mereka tidak bisa melihat apa yang sedang terjadi dan tidak punya kuasa terhadapnya barang sedikitpun….

Di sini, kemampuan manusia terhenti… Ilmu pengetahuan manusia juga tidak berguna sebagaimana peran manusia juga tidak ada…Di sini, mereka mengerti, tapi tidak bisa membantahnya. Mereka lemah,…. lemah…..terbatas….terbatas…. Di sini layar diturunkan tanpa mereka lihat, tanpa sepengetahuan mereka dan tanpa kemampuan bergerak/berbuat.

Di sini, yang berperan hanya Qudrat Ilahiyah (Kekuasaan Allah)… Ilmu Ilahi…(Ilmu Allah)….Semua urusan murni milik Allah tanpa sedikitpun keraguan, tanpa bantahan dan tanpa ada kiat-kiat apapun. “dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu”.

Di sini, terjadi kebesaran sikap yang membesarkan Kebesaran Allah… Kewibawaan dan kehadiran-Nya –Subhanahu Wata’ala – sedangkan Dia hadir setiap waktu. Ungkapan itu membangunkan perasaan akan suatu hakikat (kenyataan) yang dilupakan manusia.. Maka tiba-tiba, majlis yang menghadiri kematian merasakan seramnya (suasana) karena didominasi oleh ketakutan, kehadiran dan kebesaran-Nya…Yang mendominasi ialah ketidakberdayaan, ketakutan, keterputusan dan perpisahan…

Dalam kondisi liputan perasaan yang gemetaran, berdebar, putus asa, dan duka lara, datanglah tantangan (Keputusan Allah) yang memotong semua perkataan dan mengakhiri semua perdebatan : “. Maka jika kamu tidak tunduk (pada Kehendak Allah), (pastilah) kamu (mampu) mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?” Jika sekiranya masalahnya seperti yang kamu katakan : “sesungguhnya tidak ada perhitungan dan tidak ada balasan”, berarti kamu orang-orang yang bebas tanpa ada pembalasan dan perhitungan? Jika demikian, kamu mampu mengembalikan nyawa – yang sudah sampai di tenggorokan itu – agar kamu hindarkan ia dari kondisnya yang sedang menuju perhitungan dan balasan itu…Padahal kamu berada di sekitarnya dan sedang menyaksikannya, sedangkan ia berlalu menuju dunia yang besar, dan kamu diam saja dan tidak berdaya…

Di sini, gugurlah semua alasan, habislah semua argumentasi, punahlah semua kiat dan habislah bantahan…Dan tekanan hakikat (kenyataan) ini membebani diri manusia. Sebab itu, mereka tidak akan mampu bertahan,(dengan kondisi pembangkangannnya kepada Tuhan Pencipta) kecuali jika mereka tetap menyombongkan diri tanpa bukti dan argumentasi”

Kaum Muslimin rahimakumullah….

Terkait dengan sakratulmaut, manusia terbagi kepada tiga golongan.

 Pertama, golongan “Muqarrabin”, yakni orang yang dekat dengan Tuhan Pencipta ketika berada di dunia.

Kedua, “Ash-habul Yamin” (Golongan Kanan) yang merupakan bagian dari ‘Muqorrobin”.

Ketiga, golongan “al-mukadzi-dzibin adh-dhallain”, yakni orang-orang yang menentang dan menantang kebenaran Tuhan Pencipta dan sistem hidup yang datang dari-Nya dan tersesat dari jalan yang benar.

Tentang ketiga golongan ini dijelaskan Allah dalam firman-Nya :
فَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِينَ (88) فَرَوْحٌ وَرَيْحَانٌ وَجَنَّةُ نَعِيمٍ (89) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (90) فَسَلَامٌ لَكَ مِنْ أَصْحَابِ الْيَمِينِ (91) وَأَمَّا إِنْ كَانَ مِنَ الْمُكَذِّبِينَ الضَّالِّينَ (92) فَنُزُلٌ مِنْ حَمِيمٍ (93) وَتَصْلِيَةُ جَحِيمٍ (94) إِنَّ هَذَا لَهُوَ حَقُّ الْيَقِينِ (95) فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ (96)
“Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), (88) maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta Syurga kenikmatan.(89) Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan, (90) maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan.(91) Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang menolak (kebenaran Tuhan Pencipta dan apa saja yang datang dari-Nya) lagi sesat, (92) maka dia mendapat hidangan air yang mendidih, (93) dan dibakar di dalam Neraka.(94) Sesungguhnya (yang disebutkan ini) adalah suatu keyakinan yang benar.(95) Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Maha Besar (96)” (Q.S. Al-Waqi’ah: 88 – 96)


Ibnu Katsir, seorang ahli tafsir terkemuka menjelaskan ayat-ayat tersebut di atas dengan penjelasan yang sangat indah dan menarik. Alangkah baiknya kita simak penjelasan Beliau berikut ini : “ Inilah tiga suasana yang dialami oleh manusia ketika sakratulmaut. Adakalanya ia termasuk kaum ‘muqorrobin’ atau termasuk golongan yang ada di bawah mereka, “Ash-habul Yamin” , yaitu yang termasuk golongan kanan, dan ada yang teremasuk orang-orang yang mendustakan kebenaran, yang sesat dari petunjuk dan tidak tahu menahu tentang perintah Allah (al-mukadzi-dzibin adh-dhallain).

Itulah sebabnya Allah SWT berfirman, “Adapun jika dia termasuk orang yang didekatkan kepada Allah.” Mereka adalah orang-orang yang setia mengerjakan hal-hal yang diwajibkan dan di sunnahkan. Dan, meninggalkan hal-hal yang diharamkan dan dimakruhkan serta sebagian dari yang diperbolehkan. ”Maka dia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta Syurga kenikmatan”. Dan, para Malaikat akan menyampaikan berita gembira itu ketika sakratulmaut tiba, sebagaimana yang diterangkan di dalam hadits Al-Barra’, Para Malaikat rahmat akan mengatakan, ‘hai ruh yang baik dalam jasad yang baik, kamu telah memakmurkannya, keluarlah menuju ketenteraman, rezeki, dan Tuhan yang tidak murka’.

Ruh dan Raihan dalam ayat ini berarti rahmat, rezeki, kegembiraan, dan kesenangan. “Dan Syurga kenikmatan”.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Imam Syafii’ dari Imam Malik dari Zuhri dari Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari Ka’ab bahwa Rasul saw, bersabda, “ Ruh seorang Mu’min itu berupa (bagaikan) burung yang bergelantungan pada pohon Syurga sebelum Allah mengembalikan ruh itu ke jasadnya ketika membangkitkannya kembali.” (pada hari kiamat nanti).

Abul Aliah mengatakan, “Tidak akan dipisahkan nyawa seorang muqarrabin sebelum dihadirkan kepadanya satu dahan dari kenikmatan Syurga, lalu ruhnya itu disimpan di sana.” Di dalam sebuah hadits shaheh dikemukakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Ruh-ruh para Syuhada (orang-orang yang mati sedang berjihad menegakkan agama Allah) itu dalam tembolok burung hijau yang berterbangan di taman-taman Syurga kemana saja mereka kehendaki, kemudian bermalam pada pelita-pelita yang bergelantungan pada Arasy.”

Allah SWT berfirman, “Dan adapun jika dia termasuk golongan kanan.”. Yaitu, jika orang yang sedang mengalami sakratulmaut itu termauk golongan kanan, “maka keselamatan bagimu, karena kamu termasuk golongan kanan.” Yaitu, para Malaikat akan menyampaikan kabar gembira itu kepada mereka. Hal ini sebagaimana firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, “Tuhan kami adalah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka, ’Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan Syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu.’ Kamilah pelindung-pelindungmu di dalam kehidupan dunia dan di Akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan di dalamnya kamu memperoleh pula apa yang kamu minta. Sebagai hidangan dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Fush-shilat : 30 – 32)

Imam Bukhari mengatakan, “Maka salam sejahtera bagimu,” yaitu disampaikan salam kepadamu bahwa kamu termasuk golongan kanan.
Allah SWT berfirman, “ Dan adapun jika dia termasuk golongan orang yang mendustakan lagi sesat, maka dia akan mendapatkan hidangan air yang mendidih, dan dibakar di dalam Neraka.” Yaitu, bila orang yang tengah mengalami sakratulmaut itu termasuk golongan yang mendustakan kebenaran dan sesat dari jalan petunjuk, “maka dia mendapatkan hidangan dari air yang mendidih,” Yaitu cairan yang akan melelehkan isi perut dan kulit-kulit mereka. ” Dan dibakar di dalam Neraka,” yaitu dia akan ditempatkan di dalam api Neraka yang akan menyelimutinya dari semua arah.

Kemudian Allah berfirman, “Sesungguhnya ini adalah suatu keyakinan yang benar,” yang tidak diragukan lagi. Tidak ada seorang pun yang dapat menghindarinya. Dan dia adalah berita yang menjadi saksi. “Maka bertasbihlah dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar.” Diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa U’qbah bin Amir Al-Juhani berkata, “Maka bertasbihlan dengan nama Tuhanmu yang Maha Besar, (subhana Robiyal ‘Azhim)‘ Rasulullah mengatakan, ‘Jadikanlah ayat ini bacaan ruku’ kamu.’ Dan ketika turun wahyu kepada beliau, ‘Maka sucikanlah Tuhanmu yang Maha Tinggi,’(subhana Robbiyal A’la). Rasulullah mengatakan, jadikanlah ayat ini sebagai bacaan sujud kamu.”

Kaum Muslimin rahimakumullah….

Setelah kita melewati “Sakratulmaut” berarti kita sedang berada pada batas terakhir dari perjalanan kita di dunia dan di batas awal memasuki dunia baru yang bernama Barzakh. Untuk memasuki dunia baru tersebut terlebih dulu kita harus membuka pintu masuknya. Pintu masuknya itu bernama “Kematian”. Ya, Kematian… Itulah fase yang harus kita lewati setelah melewati fase Sakratulmaut. Dengan kematian itu kita berhak mendapatkan tempat di alam Barzakh.

Kematian adalah sesuatu yang ditakuti banyak orang. Kendati pada kenyataanya, tidak ada seorangpun yang dapat menghindari atau lari dari kematian itu. Siapapun dia, Presidenkah, Rajakah dia, Konglomerat kah dia, Jendral berbintang lima kah dia, di mana dan kapanpun mereka berada.

Mereka pasti mati. Selama mereka memiliki nyawa, pasti akan mengalami kematian. Hal ini telah menjadi ketentuan dan kehendak Tuhan Pencipta sebagaimana di jelaskan-Nya dalam surat Ali Imran ayat 185 dan Surat An-Nisa’ ayat 78 berikut ini :
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ…..(185)
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati…” (Q.S. Ali Imran: 185)
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِكُكُمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ (78)
Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendati pun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh…. (Q.S. An-Nisa’ : 78)
Kematian sudah ditentukan bagi setiap yang bernyawa. Kematian tidak perlu dicari, karena ia yang mencari setiap yang bernyawa. Kematian tidak bisa diwakilkan, dipindahkan atau take over oleh yang tidak berhak, karena petugas kematian, yakni Malakul Maut yang diberikan tugas khusus mengurusinya belum pernah menerima sogokan dan tidak akan pernah. Karena semua Malaikat melakukan semua apa yang diperintahkan Allah kepada mereka, tanpa sedikitpun disimpangkan apalagi dimanipulasi, seperti yang Allah jelaskan :
قُلْ يَتَوَفَّاكُمْ مَلَكُ الْمَوْتِ الَّذِي وُكِّلَ بِكُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ تُرْجَعُونَ (11)
“Katakanlah: “Malaikat maut yang diserahi untuk (mencabut nyawa) mu akan mematikan kamu; kemudian hanya kepada Tuhanmulah kamu akan dikembalikan.” (Q.S.As-Sajdah (32) :11)

Demikian juga, bahwa kematian akan datang pada saatnya atau ketika ajal (batas)nya habis. Kematian tidak bisa diundurkan kendati barang sedetik. Tidak sedikit orang yang mencoba untuk mengundurkan kematian, tapi usahanya gagal dan sia sia belaka. Karena kematian adalah pintu masuk tempat tinggal sementara ketiga kita, yakni alam Barzakh. Maka, kitapun harus memasukinya, karena jatah menginap di penginapan di dunia sudah habis serta tempat kita di dunia sudah dibooking Malaikat untuk penghuni lain selain kita. Allah telah mengingatkan kita tentang hal ini dan apa yang harus kita lakukan sebelum kematian (maut) itu menjemput kita, seperti tercantum dalam firman-Nya berikut ini :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلا أَوْلادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ (9) وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ فَيَقُولَ رَبِّ لَوْلا أَخَّرْتَنِي إِلَى أَجَلٍ قَرِيبٍ فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِينَ (10) وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا وَاللَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (11)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang rugi.(9) Dan belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Tuhan Penciptaku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian) ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang shaleh?” (10) Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (11)” (Q.S. Al-Munafiqun : 9 – 11)

Nah, sebelum kita dijemput Kematian (Maut) yang waktunya Allah rahasiakan… Ia bisa datang saat ini, satu detik setelah ini, satu menit setelah ini, satu jam setelah ini, satu hari setelah ini, satu pekan setelah ini, satu bulan setelah ini, atau satu tahun setelah ini dan seterusnya….Sebelum Kematian menjemput kita, cobalah gunakan kecerdasan Spiritual, Emotinal dan Intellectual yang Allah berikan kepada kita untuk menangkap rahasia di balik Kematian itu. Lalu, tanya diri kita dengan jujur seputar pertanyaan-pertanyaan berikut :
  1. Siapa yang menghadirkan saya ke dunia ini?
  2. Apakah saya sudah mengenal Tuhan Pencipta saya dengan baik?
  3. Apakah saya sudah mengenal Kitab Petunjuk Hidup (al-Qur’an) yang diturunkan-Nya untuk saya?
  4. Apakah saya sudah mengenal seorang manusia bernama Muhammad Bin Abdullah yang diutus-Nya untuk menjelaskan isi Kitab Petunjuk Hidup tersebut?
  5. Apakah saya akan hidup di dunia ini selama-lamanya?
  6. Tidak cukupkah kematian manusia yang saya lihat setiap hari di atas muka bumi ini dengan berbagai sebab, seperti gempa bumi, tsunami, angin topan, banjir bandang, perang, sakit jantung, darah tinggi dan bahkan ada yang tidak sakit sama sekali, menjadi pelajaran berharga bagi diri saya dan saya juga pasti akan mengalaminya, masalahnya hanya tinggal waktu?
  7. Bagaimana pandangan saya terhadap kehidupan dunia ini?
  8. Bekal apa yang sudah saya siapkan untuk menghadapi kehidupan setelah kematian?
  9. Apakah saya sudah mengevaluasi hidup saya sejak masa baligh (dewasa) sampai saat ini?
  10. Sudahkah saya memiliki 10 Katrakter Mulia yang menjadi syarat kesuksesan hidup saya di dunia dan di akhirat nanti, yakni aqidah bersih, ibadah benar, akhlak kokoh, wawasan luas, memiliki skil kehidupan, fisik sehat dan kuat, mampu mengendalikan syahwat, urusan teratur, manajemen waktu baik dan memiliki tanggung jawab sosial.

Saturday, June 15, 2013

Cinta Sejati: "Pacaran Dulu atau Nikah Dulu?"


Jumat, 01/04/2011 14:44 WIB | email | print

Meraih cinta sejati dalam keharmonisan suami isteri merupakan dambaan setiap pasangan. Seorang suami mendambakan isteri yang akan mencintainya dengan sepenuh hati, begitu pun sebaliknya. Keduanya menginginkan agar cintanya langgeng sampai akhir hayat.

Masalahnya, bisakah kita mendapatkan cinta seperti itu kalau masing-masing pasangan tidak mengenal lebih jauh siapa calon pasangannya. Menurut mereka, kenal nama, wajah, keluarga calon pasangan saja belum cukup. Tapi, harus kenal lebih jauh bagaimana karakter asli calon pasangannya, agar tidak ‘kecele’ di kemudian hari.

Pemikiran inilah yang akhirnya ‘menghalalkan’ begitu banyak orang untuk melakukan pendekatan.

Biasanya orang menyebut dengan pacaran. Ada yang merasa belum cukup sebulan, setahun, dua tahun, hingga sepuluh tahun. Lebih repot lagi ketika ujung hubungan ini berakhir pada PHC atau pemutusan hubungan cinta. Alih-alih mendapatkan rasa saling memahami, justru yang ada menjadi saling benci dan ancam.

Pemikiran yang terlihat positif ini, sebenarnya sangat mudah untuk didompleng berbagai kepentingan. Utamanya adalah setan untuk membejatkan nafsu manusia, baik pria maupun wanita. Sehingga, pacaran menjadi seperti ‘legitimasi sosial’ pemuasan nafsu syahwat pria dan wanita. Pada akhirnya, karena sudah sangat membudaya, pacaran menjadi kelaziman hingga keharusan untuk calon pasangan suami isteri.

Terdengar menjadi sangat aneh ketika pria dan wanita memasuki gerbang pernikahan tanpa melalui pacaran sama sekali. “Kayak beli kucing dalam karung,” begitu kira-kira ungkapan sebagian orang Betawi.

Pertanyaannya, kalau pacaran memang dilarang Islam, apakah mungkin bisa terjalin cinta sejati antara suami isteri, padahal mereka tidak saling kenal lebih jauh jatidiri masing-masing. Apakah tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari. Kalau ketidakcocokan di saat pacaran kan bisa diputus, lalu gimana kalau ketidakcocokan ketika sudah menikah, apalagi ketika sudah punya anak?

Logika-logika awam seperti ini kerap muncul dan menjadi ganjalan seorang lajang muslim untuk menapaki gerbang pintu pernikahan. “Bisa gak sih nikah tanpa melalui pendekatan atau pacaran?”

Sepintas, logika awam seperti itu mengandung sebuah kebenaran: Hubungan pernikahan adalah hubungan yang sangat spesial antara pria dan wanita yang tidak punya batasan waktu, karena itu mesti dilakukan dengan hati-hati, dan melalui pendekatan yang dalam.

 Tapi lihatlah, bagaimana akhir dari sepak terjang kaum selebritis yang gonta-ganti pasangan karena ingin mendamba rumah tangga yang harmonis. Kebanyakan dari rumah tangga mereka hanya seumur jagung.


Perhatikanlah apa yang disampaikan Yang Maha Pencipta dan Maha Tahu terhadap ciptaan-Nya.

Dalam Alquran, Allah swt. memberikan sebuah rumusan tentang menggapai cinta yang baik dan benar antara pria dan wanita.

Dalam Surah Ar-Rum ayat 21, Allah swt. berfirman.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”

Perhatikanlah ayat itu. Allah swt memberikan isyarat kepada kita bahwa jodoh atau pernikahan merupakan sebuah pintu untuk bisa mendapatkan ketenangan, cinta, dan kasih sayang. Bukan sebaliknya, memburu ketenangan, cinta, dan kasih sayang terlebih dahulu, baru kemudian memasuki pintu pernikahan.

Hal yang sebaiknya kita pahami adalah bahwa cinta yang didasari pada faktor biologis seperti cantik atau ganteng, cocok dan menarik karena hal-hal yang terlihat dari fisik seseorang, begitu sangat relatif. Penilaian mudah berubah-ubah tergantung situasi dan kondisi.

Ketika seorang lelaki dan wanita terkondisikan dalam sebuah ruangan secara rutin, akan muncul rasa ketertarikan. Padahal boleh jadi, keduanya sudah punya calon masing-masing di tempat lain. Ketertarikan yang memunculkan cinta pria dan wanita bisa berubah tergantung keadaan yang membentuknya.

Karena itu, ketika seorang pria dan wanita yang sudah terikat dalam pernikahan, akan terkondisikan secara alamiah untuk saling memunculkan rasa ketertarikan dan cinta. Pada situasi dan kondisi ini, ketertarikan dan cinta mereka akan lebih kuat karena didorong oleh tanggung jawab atau amanah.

Bandingkan dengan pengkondisian yang dilakukan pada saat pacaran: tanpa beban, bahkan mungkin sekadar iseng, dan coba-coba.

Hal lain yang bisa dipahami dari ayat di atas adalah meraih cinta dengan cara pernikahan hanya bisa dilakukan oleh mereka yang punya ikatan keimanan yang bagus kepada Allah swt. Allah mengawali ayat ini dengan menyebut tanda-tanda kebesaran-Nya yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang punya kacamata iman. Tanpa kacamata ini, seorang pria atau wanita hanya akan saling memandang dan menilai dengan kacamata nafsu syahwat saja.

Ketika pintu pernikahan sudah di depan mata, ketika kemantapan untuk mengarungi bahtera rumah tangga sudah begitu mantap, selebihnya adalah tawakal kepada pemilik bahtera yang sebenarnya, Allah swt. Insya Allah, keraguan terhadap hal-hal yang akan mengurangi cinta dari calon pasangan kita, bisa berupa wajah, penampilan, status sosial, dan lain-lain, akan tergantikan dengan keberkahan lain.

Allah swt. menjanjikan itu dalam firman-Nya di Surah An-Nisa ayat 19.

فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَن تَكْرَهُواْ شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
 “…bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.”

Dari bahasan di atas, Insya Allah, tidak muncul lagi pertanyaan yang kerap menyesatkan proses pernikahan itu sendiri: “Pacaran dulu? Atau nikah dulu?”(muhammadnuh@eramuslim.com)

Bahaya Bicara Agama Tanpa Ilmu



Memahami ilmu agama merupakan kewajiban atas setiap muslim dan muslimah. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim. [HR. Ibnu Majah no:224, dan lainnya dari Anas bin Malik. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani]

Dan agama adalah apa yang telah difirmankan oleh Alloh di dalam kitabNya, Al-Qur’anul Karim, dan disabdakan oleh RosulNya di dalam Sunnahnya. Oleh karena itulah termasuk kesalahan yang sangat berbahaya adalah berbicara masalah agama tanpa ilmu dari Alloh dan RosulNya.

Sebagai nasehat sesama umat Islam, di sini kami sampaikan di antara bahaya berbicara masalah agama tanpa ilmu:

1.Hal itu merupakan perkara tertinggi yang diharamkan oleh Allah.

Alloh Ta’ala berfirman:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْىَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا بِاللهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Rabbku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa saja yang tidak kamu ketahui (berbicara tentang Allah tanpa ilmu)” (Al-A’raf:33)

Syeikh Abdul Aziz bin Abdulloh bin Baaz rohimahulloh berkata: “Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk perkara terbesar yang diharamkan oleh Allah, bahkan hal itu disebutkan lebih tinggi daripada kedudukan syirik. Karena di dalam ayat tersebut Alloh mengurutkan perkara-perkara yang diharamkan mulai yang paling rendah sampai yang paling tinggi.

Dan berbicara tentang Alloh tanpa ilmu meliputi: berbicara (tanpa ilmu) tentang hukum-hukumNya, syari’atNya, dan agamaNya. Termasuk berbicara tentang nama-namaNya dan sifat-sifatNya, yang hal ini lebih besar daripada berbicara (tanpa ilmu) tentang syari’atNya, dan agamaNya.” [Catatan kaki kitab At-Tanbihat Al-Lathifah ‘Ala Ma Ihtawat ‘alaihi Al-‘aqidah Al-Wasithiyah, hal: 34, tahqiq Syeikh Ali bin Hasan, penerbit:Dar Ibnil Qayyim]

2. Berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk dusta atas (nama) Allah.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلاَلٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُوا عَلَى اللهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadapa apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (QS. An-Nahl (16): 116)

3.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan kesesatan dan menyesatkan orang lain.

Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain. (HSR. Bukhari no:100, Muslim, dan lainnya)

Hadits ini menunjukkan bahwa “Barangsiapa tidak berilmu dan menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tanpa ilmu, dan mengqias (membandingkan) dengan akalnya, sehingga mengharamkan apa yang Alloh halalkan dengan kebodohan, dan menghalalkan apa yang Allah haramkan dengan tanpa dia ketahui, maka inilah orang yang mengqias dengan akalnya, sehingga dia sesat dan menyesatkan. (Shahih Jami’il Ilmi Wa Fadhlihi, hal: 415, karya Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr, diringkas oleh Syeikh Abul Asybal Az-Zuhairi)

4.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mengikuti hawa-nafsu.

Imam Ali bin Abil ‘Izzi Al-Hanafi rohimahulloh berkata: “Barangsiapa berbicara tanpa ilmu, maka sesungguhnya dia hanyalah mengikuti hawa-nafsunya, dan Allah telah berfirman:

وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنِ اتَّبَعَ هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِّنَ اللهِ

Dan siapakah yang lebih sesat dari pada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun (Al-Qashshash:50)” (Kitab Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393)

5.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu merupakan sikap mendahului Allah dan RasulNya.

Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَ تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ سَمِيعٌ عَلِيمُُ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Hujuraat: 1)

Syeikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rohimahulloh berkata: “Ayat ini memuat adab terhadap Alloh dan RosulNya, juga pengagungan, penghormatan, dan pemuliaan kepadanya. Alloh telah memerintahkan kepada para hambaNya yang beriman, dengan konsekwensi keimanan terhadap Alloh dan RosulNya, yaitu: menjalankan perintah-perintah Alloh dan menjauhi larangan-laranganNya. Dan agar mereka selalu berjalan mengikuti perintah Alloh dan Sunnah RosulNya di dalam seluruh perkara mereka. Dan agar mereka tidak mendahului Alloh dan RosulNya, sehingga janganlah mereka berkata, sampai Alloh berkata, dan janganlah mereka memerintah, sampai Alloh memerintah”. (Taisir Karimir Rahman, surat Al-Hujurat:1)

6.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu menanggung dosa-dosa orang-orang yang dia sesatkan.

Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu adalah orang sesat dan mengajak kepada kesesatan, oleh karena itu dia menanggung dosa-dosa orang-orang yang telah dia sesatkan. Rasulullah sholallohu ‘alaihi wassallam:

مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ اْلإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا

Barangsiapa menyeru kepada petunjuk, maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa mereka sedikitpun. (HSR. Muslim no:2674, dari Abu Hurairah)

7.Berbicara tentang Allah tanpa ilmu akan dimintai tanggung-jawab.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُوْلاَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولاً

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra’ : 36)

Setelah menyebutkan pendapat para Salaf tentang ayat ini, imam Ibnu Katsir rohimahulloh berkata: “Kesimpulan penjelasan yang mereka sebutkan adalah: bahwa Alloh Ta’ala melarang berbicara tanpa ilmu, yaitu (berbicara) hanya dengan persangkaan yang merupakan perkiraan dan khayalan.” (Tafsir Al-Qur’anul Azhim, surat Al-Isra’:36)

8.Orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu termasuk tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan.

Syeikh Hafizh bin Ahmad Al-Hakami menyatakan: “Fashal: Tentang Haramnya berbicara tentang Allah tanpa ilmu, dan haramnya berfatwa tentang agama Allah dengan apa yang menyelisihi nash-nash”. Kemudian beliau membawakan sejumlah ayat Al-Qur’an, di antaranya adalah firman Allah di bawah ini:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَآ أَنزَلَ اللهُ فَأُوْلاَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. 5:44)

9.Berbicara agama tanpa ilmu menyelisihi jalan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rohimahulloh menyatakan di dalam aqidah Thahawiyahnya yang masyhur: “Dan kami berkata: “Wallahu A’lam (Allah Yang Mengetahui)”, terhadap perkara-perkara yang ilmunya samar bagi kami”. [Minhah Ilahiyah Fii Tahdzib Syarh Ath-Thahawiyah, hal: 393]

10.Berbicara agama tanpa ilmu merupakan perintah syaithan.

Allah berfirman:

إِنَّمَا يَأْمُرُكُم بِالسُّوءِ وَالْفَحْشَآءِ وَأَن تَقُولُوا عَلَى اللهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ

Sesungguhnya syaithan itu hanya menyuruh kamu berbuat jahat dan keji, dan mengatakan kepada Allah apa yang tidak kamu ketahui. (QS. 2:169)

Keterangan ini kami akhiri dengan nasehat: barangsiapa yang ingin bebicara masalah agama hendaklah dia belajar lebih dahulu. Kemudian hendaklah dia hanya berbicara berdasarkan ilmu. Wallohu a’lam bish showwab. Al-hamdulillah Rabbil ‘alamin.

Penulis: Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari

Artikel www.muslim.or.id



Nasehat dan Bimbingan Dalam Mengingkari Kemungkaran


Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah ditanya oleh seseorang: “kami memperhatikan, banyak dari para pemuda yang semangat dalam mengingkari kemungkaran tetapi mereka tidak melakukan hal tersebut dengan cara yang baik. Apa nasehat dan bimbingan anda kepada mereka tentang perbuatan itu? Apa saja cara yang semisal dalam mengingkari kemungkaran?”

Lalu beliau menjawab:

Nasehatku untuk mereka, hendaknya mereka tastabbut (mengecek kevalidan, pent.) suatu perkara, dan mempelajarinya terlebih dahulu, sampai ia yakin apakah perkara tersebut suatu hal yang baik atau sebuah kemungkaran. Kemudian juga dilandasi dengan dalil syar’i, sehingga pengingkaran yang mereka lakukan itu di atas ilmu.

Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla berfirman
 قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, mengajak (engkau) ke jalan Allah dengan atas dasar ilmu. Dan Mahasuci Allah, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang berbuat syirik’”. (QS. Yusuf: 208)

Nasehatku juga untuk mereka agar mengingkari kemungkaran dengan lemah-lembut, perkataan yang baik, dan gaya bahasa yang halus, sehingga mereka mau menerima nasehat tersebut. Dan mashlahat (kebaikan) yang terjadi lebih besar daripada mafsadat-nya (kerusakan).

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman

 ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah (manusia) ke jalan Rabb mu dengan hikmah dan penuh nasehat yang baik, dan debatlah mereka dengan cara yang baik” (QS. An-Nahl: 125)

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ
Maka berkat Rahmat Allah, engkau (Muhammad) bersikap lemah lembut kepada mereka, sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentu mereka akan menjauh darimu” (QS. Ali ‘Imran: 159)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

من يحرم الرفق يحرم الخير كله
Barangsiapa yang mencegah dirinya dari sikap lemah lembut, maka akan tercegah seluruh kebaikan

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda

إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه، ولا ينزع من شيء إلا شانه
Sesungguhnya sikap lemah lembuh tidaklah ada pada sesuatu, kecuali membuat indah sesuatu tersebut. Dan tidaklah sikap lemah lembut tersebut dicabut pada sesuatu, kecuali akan membuat buruk sesuatu itu


Hadits-hadits yang berkaitan dengan hal ini sangatlah banyak. Dan sepatutnya bagi da’i (juru dakwah) yang mengajak kepada Allah, malakukan amar ma’ruf dan nahi munkar, menjadi orang yang paling pertama mengamalkan perintah di atas, dan menjadi orang pertama yang menjauhi apa yang dilarang. Sehingga ia tidak serupa dengan orang yang Allah cela, seperti dalam firman-Nya

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu menyuruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-kitab (Taurat)? Tidakkah kamu berpikir?” (QS. Al-Baqarah: 44)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لا تَفْعَلُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kalian mengatakan sesuatu yang tidak kalian kerjakan?” (QS. Ash-Shaf: 2)

Semoga hal ini bisa menjadi penolong, dan memberi manfaat kepada banyak orang dengan sebab ucapan dan perbuatan. Wallahu Waliyyut Taufiq.

Diterjemahkan dari: http://www.binbaz.org.sa/mat/1730

Penerjemah: Wiwit Hardi Priyanto
Artikel Muslim.Or.Id

Friday, June 14, 2013

ETIKA DEBAT dalam ISLAM

Etika Debat dlm Islam


“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119).

Demikian apa yang difirmankan Allah dalam al-Qur’an. Maka perbedaan jelas merupakan sebuah Sunnatullah. Akan tetapi di dalam ayat lain Allah mencela apabila dikarenakan perbedaan-perbedaan tersebut, timbul perselisihan di antara umat dan menghancurkan persatuan dan kesatuan umat Islam.

“Janganlah kalian termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)

Lantas bagaimana jika terjadi perselisihan? Langkah apakah yang semestinya dilakukan?

“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa’ : 59]

Di sinilah Islam mengatur dan memberikan petunjuk pada umatnya, yakni apabila kita berselisih maka segera kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah).

Imam as-Suyuthi berkata:
“Kemudian al-Baihaqi mengeluarkan suatu riwayat dengan sanadnya dari Maimun bin Marhan tentang firman Allah (diatas). Maksud “mengembalikan kepada Allah” dalam ayat ini adalah mengembalikan kepada kitab-Nya yaitu Al-Qur’an, sedangkan mengembalikan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau telah wafat “adalah kembali kepada Sunnah beliau” [Miftahul Jannah fii-Ihtijaj bi As-Sunnah (edisi Indonesia); hal. 36-46]

Kata “sesuatu” di ayat ini bentuk nakirah dalam konteks syarth (syarat), sehingga meliputi seluruh perselisihan kontradiktif baik dalam ushul (urusan pokok) ataupun furu’ (urusan cabang). Tafsir ini sebagaimana diungkapkan oleh Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy dalam Adhwa’ul Bayan (1/ 333).

Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah perintah dari Allah Azza wa Jalla, bahwa segala perkara yang diperselisihkan oleh manusia, yang berkaitan dengan ushul dan furu’ agama wajib dikembalikan kepada al-Qur`an dan sunnah. Sebagaimana firman Allah, “Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya terserah kepada Allah.” (Asy-Syura: 10).

Maka apa yang ditetapkan oleh kitabullah dan sunnah rasulNya dan diakui keabsahannya oleh keduanya maka itulah kebenaran dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan.

Surat an-Nisa’: 59 tersebut menunjukkan bahwa siapa yang tidak berhakim dalam persoalan yang diperselisihkan kepada al-Qur`an dan sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya dalam hal itu maka dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk taat kepadaNya dan taat kepada RasulNya. Allah mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) sebagai pemberitahuan bahwa mentaati RasulNya wajib secara mutlak, dengan tanpa meninjau (mengukur) apa yang beliau perintahkan dengan al-Qur’an. Bahkan jika Beliau memerintahkan, maka wajib ditaati secara mutlak, baik yang beliau perintahkan itu terdapat dalam Al Qur’an ataupun tidak. Karena sesungguhnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi al-Qur’an dan yang semisalnya”. [I’lamul Muwaqqi’in (1 atau 2/46), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H]

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata:
“Kemudian Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mengembalikan permasalahan yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, jika mereka benar-benar orang-orang yang beriman. Dan Allah memberitahu mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya.

Ini mengandung beberapa perkara.

Pertama : Orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum-hukum.

Perselisihan pada sebagian hukum tidak mengakibatkan mereka keluar dari keimanan (tidak kufur), jika mereka mengembalikan masalah yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana yang Allah syaratkan. Dan tidak disanksikan lagi, bahwa satu ketetapan hukum yang diterikat dengan satu syarat, maka ketetapan itu akan hilang jika syaratnya tidak ada.

Kedua : Firman Allah “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu”, maksudnya mencakup seluruh masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman, berupa masalah agama, baik kecil atau yang besar, yang terang dan yang samar.

Ketiga : Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada Allah maksudnya mengembalikan kepada kitabNya. (Dan) mengembalikan kepada RasulNya adalah mengembalikan kepada diri Beliau di saat hidupnya dan kepada Sunnahnya setelah wafatnya.

Keempat : Allah menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allah dan RasulNya” termasuk tuntutan dan konsekwensi iman. Sehingga jika itu tidak ada, imanpun hilang. [Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in (2/47-48), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H]

Allah berfirman: “Maka demi Råbbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa: 65)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah dengan diriNya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim di dalam segala perkara. Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam putuskan adalah haq, wajib dipatuhi secara lahir dan batin.

Oleh karena itu Allah berfirman, “kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Yaitu jika mereka telah menjadikanmu sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, dan menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nisa’: 65.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian tidak akan sesat di belakang keduanya, (yaitu) kitabullah dan Sunnahku.” HR. Malik dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Misykah.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bersabda, “Sungguh barangsiapa yang hidup di antara kalian akan melihat perselisihan yang banyak. (Maka) berpeganglah dengan sunahku dan sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Hindarilah kalian hal-hal yang baru, sesungguhnya setiap hal yang baru adalah bid’ah dan setiap bid’ah ada sesat.” HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607) dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini.

Ibnu Rajab berkata:
Dalam hadits tersebut juga terdapat perintah ketika terjadi perselisihan agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin sepeninggal beliau. As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para al-khulafaur-rasyidin. Itulah sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi salaf dulu tidak menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail bin ‘Iya dalam Jami’ul-Ulum wal-Hikam, hal. 341-342; Daarul-Hadits, 1424 H.

Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menjelaskan bahwa Sunnah Rasul sangat ditaati oleh para Khulafa' al-Rasyidun. Empat Khalifah pertama dalam Islam sangat menjaga Sunnah beliau, karenanya umat Islam pun wajib mengikuti para khalifah tersebut atau apa yang diistilahkan sebagai Sunnah para sahabat.

Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabi-Nya shahabat-shahabat yang pilihan.

Seorang sahabat bernama Abdullah bin Mas’ud pernah menegaskan tentang hal ini:
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya, (dan) Allah memberikan kepadanya risalah. Kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek” [HR. Ahmad no. 3600 dan dinyatakan shahih oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir. Lihat Majma’uz-Zawaid no. 832 dimana Al-Haitsami berkata : Rijal (perawi)-nya adalah tsiqat atau terpercaya].

Allah Azza wa Jalla berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al Hujurat : 1]

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :
“Yaitu janganlah engkau berkata sebelum Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata. Janganlah engkau memerintah sebelum Nabi Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa sallam perintahkan. Janganlah engkau berfatwa sebelum dia berfatwa. Janganlah engkau memutuskan perkara sebelum dia yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya”. [I’lamul Muwaqqi’in (2/49), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H]

Setelah mengetahui dalil-dalil yang dipaparkan diatas, maka hendaknya kita benar-benar tunduk dan patuh pada seluruh apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya.
Allah berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [Al Ahzab : 36].

Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Råhimahullåh berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa yang telah mendapatkan kejelasan baginya tentang Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan sunnah itu karena pendapat seseorang”

al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr menafsirkan surat al-Ahzab ayat 36 di atas:
Ayat ini bersifat umum dalam seluruh perkara. Yaitu sesungguhnya Allåh dan RåsulNya menetapkan sesuatu, maka tidak boleh bagi seseorang melanggarnya, serta tidak boleh bagi seseorang memiliki pilihan lain, baik pemikiran maupun pendapat yang bersebrangan dengan apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya.”

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
Ayat ini umum dalam segala perkara. Yaitu, jika Allah dan RasulNya telah menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya, dan tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak juga ada pendapat dan perkataan”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Ahzaab : 36].

Ibnul Qayyim mengatakan: “Ayat ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh memberikan pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan) keimanan.” [Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25]

Maka hendaknya kita, dalam menyikapi segala perselishan mengembalikan perkara kepada Kitabullah dan as-Sunnah menurut pemahaman para shahabat ridwanullah ‘alayhim jamii’an; dengan mengesampingkan hawa nafsu kita dan seluruh pendapat yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya.

Jangan sampai kita termasuk orang-orang yang diancam Allah dengan firmanNya: “Dan barangsiapa menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam; dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)

Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata:
“Para ulama telah menjelaskan tentang makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, juga dengan Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” [al-Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Dan sungguh keduanya (menentang Rasul dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin) adalah saling terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” [Majmu’ Fatawa, 7/38].

Demikianlah adab berselisih dalam Islam, sepatutnya sebagai pemeluk agama Islam yang mulia ini, kita mematuhi apa yang telah dituntunkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Allahu A’lam

Monday, June 10, 2013

Menghadapi Pendengki

Menyeru manusia kepada jalan Allah ibarat perdagangan. Seorang yang berdagang pasti memiliki pesaing. Ada pesaing yang sehat dan ada pula yang hasud (dengki). Si pendengki akan melakukan upaya apa saja untuk menggembosi pedagang lain yang lebih laku.
Lalu bagaimana para da’i menyikapinya?
Berikut akan kami kutip nasihat Syaikh Dr. ’Aidh Abdullah al-Qarny hafizhahullah dari buku Silakan Terpesona, beliau menulis:
Bagaimanapun Anda berbuat baik kepada orang yang hasud, misalnya membawakan makanan dan minuman kepadanya, memakaikan pakaiannya, membawakan air wudhunya, menyikatkan permadaninya, membersihkan rumahnya, dan lain-lain, Anda akan tetap dianggapnya sebagai musuh. 
Mengapa demikian? Sebab, hal-hal yang menjadi pemicu permusuhan dengannya itu masih melekat pada diri Anda, yaitu keutamaan, ilmu pengetahuan, tata krama, harta, atau jabatan Anda. Bagaimana pun Anda tidak akan dapat berdamai dengannya selama Anda belum menanggalkan karunia-karunia tersbut dari diri Anda. Orang yang iri hati akan selalu menunggu-nunggu saat Anda terpeleset, menanti-nanti kapan Anda terjatuh, dan berangan-angan suatu saat Anda tergelincir.
Hari terbaik baginya adalah hari Anda jatuh sakit, malam terindah baginya adalah malam Anda jatuh miskin, dan saat-saat paling membahagiakan baginya adalah hari Anda tertimpa bencana, dan waktu yang paling disukainya adalah hari dia melihat Anda gelisah, resah, sedih, dan rapuh.
Momen yang paling menyiksanya adalah ketika ia melihat Anda menjadi kaya raya. Berita paling menyedihkannya adalah ketika Anda meraih keberuntungan dan menjadi orang terhormat. Dan bencana paling besar baginya adalah ketika Anda mendapat promosi.
Tawa Anda adalah tangisnya, pesta Anda adalah upacara kematiannya, dan keberhasilan Anda adalah kegagalannya.
Dia akan melupakan segala-galanya tentang diri Anda, kecuali kesalahan-kesalahan Anda. Dia tidak memandang apa pun kepada diri Anda, kecuali pada kekurangan-kekurangan Anda. Kesalahan Anda yang kecil, baginya lebih besar daripada gunung Uhud. Dosa Anda yang sepele, menurutnya lebih berat daripada gunung Tsahlan. Meskipun Anda lebih fasih daripada Sahban, baginya Anda lebih gagap daripada Baqil. Meskipun Anda lebih dermawan daripada Hatim, baginya Anda lebih kikir darpada Madir. Meskipun Anda lebih cerdas daripada Asy Syafi’i, dia memandang Anda lebih bodoh dari pada Habnaqah.
Orang yang memuji Anda di hadapannya dianggapnya pendusta. Orang yang menyanjung Anda di dekatnya dianggapnya orang munafik. Orang yang memuji Anda di majelisnya dianggapnya orang rendah yang tak tahu etika. Sebaliknya, dia mempercayai orang yang mencela Anda, menyukai orang yang membenci Anda, mendekati orang yang memusuhi Anda, menolong orang yang tidak menyukai dan tidak akrab dengan Anda.
Warna putih menurut pandangan mata Anda, terlihat hitam baginya. Siang dalam penglihatan Anda, malam dalam pandangannya.
Maka dari itu, janganlah Anda menjadikannya sebagai hakim dalam perkara Anda dengan orang lain, karena dia telah memvonis Anda bersalah sebelum mendengar tuntutan dan melihat bukti-bukti. Janganlah Anda membocorkan rahasia kepadanya, karena dia sangat bersemangat menyebarkan dan menyiarkannya. Ia menyimpan kekeliruan Anda sampai hari ia membutuhkannya dan mencatat kesalahan Anda sampai hari ia memerlukannya. 
Cara menghadapinya hanyalah menghindari dan meninggalkannya, menghilang dari pandangannya, menjauhi rumahnya, dan menyingkir dari tempatnya. Sebab, dia sebenarnya adalah sang penindas yang berpenampilan orang yang tertindas. Tak usah Anda membalasnya, sudah cukup baginya kepahitan di kerongkongannya, duka nestapa yang dialaminya, kesedihan yang merundungnya, dan kecelakaan yang dirasakannya.
Andalah yang membuatnya sakit dan menderita; andalah yang membuatnya tidak bisa tidur dan gundah gulana; andalah yang mendatangkan kegelisahan, kesedihan, kelelahan, dan keletihan padanya.
Aku berhasil, maka sujudlah orang yang dulu mencela diriku
Dia tidak kucela, itulah pemaafan dan penghinaanku baginya
Itu juga yang kualami di antara keluarga dan orang sebangsaku
Sebab, barang yang berharga memang aneh di mana saja berada
Orang yang iri pada kebaikanku, berdusta di belakangku
Berghibah sembunyi-sembunyi, memuji-muji di depan mata
Demikian nasihat dari Syaikh Dr. ’Aidh al Qarny hafizhahullah.
Sungguh, kedengkian adalah penyakit mematikan bagi pengidapnya. Hatinya sempit, jiwanya bergoncang, pikiran pun buram, karena semua telah diliputi rasa khawatir terhadap kemuliaan orang lain, sedih terhadap kebahagiann orang lain, dan marah terhadap pujian yang diterima orang lain.
Dengki tidaklah memandang usia dan tempat, ia bisa diidap siapa saja dan hidup di mana saja. Orang yang menjadi korban juga tidak memandang usia dan posisi, siapa saja pernah menjadi sasaran kedengkian. Baik itu jamaah, ulama, da’i, politisi, tokoh negara, guru, pedagang, dan sebagainya. Maka carilah ridha Allah ’Azza wa Jalla dalam berda’wah, jangan hiraukan ucapan yang melemahkan, tuduhan yang menggoncangkan, dan fitnah yang membingungkan, karena ketika Anda menjadikan Allah ’Azza wa Jalla sebagai satu-satunya tujuan dan tempat bersandar, maka musuh-musuhmu akan tidak bisa berbuat apa-apa kecuali celaka bagi dirinya sendiri.

Wallahu A’lam wa Lillahil ’Izzah

Friday, June 7, 2013

SIKAP DA’I DALAM MENGHADAPI FITNAH DAN UJIAN

SIKAP DA’I DALAM MENGHADAPI FITNAH DAN UJIAN
***
Kehidupan seorang da’i sarat dengan ujian dan fitnah karena aktifitasnya sarat dengan aksi –aksi menyeru, mengajak kepada kebaikan dan memperbaiki kemunkaran. Aktifitas dakwah tersebut akan menyebabkan pihak tertentu (ahlul bathil) terganggu dan merasa dirugikan. Kehidupan seorang da’i sarat dengan ujian dan fitnah karena itu sunnatu dakwah yang akan menjadi realitas berulang, sebagaimana firman Allah swt dalam beberapa ayat al-Qur’an:
    حَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آَمَنَّا وَهُمْ لَا يُفْتَنُونَ. وَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَ صَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ
Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", lalu kemudian mereka tidak diuji lagi? Dan Sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, sehingga Allah mengetahui orang-orang yang benar dan mengetahui orang-orang yang dusta.(QS AlAnkabut 2-3)
أَمْ حَسِبْتُمْ أَن تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ وَلَمَّا يَأْتِكُم مَّثَلُ الَّذِينَ خَلَوْا مِن قَبْلِكُم مَّسَّتْهُمُ الْبَأْسَاءُ وَالضَّرَّاءُ وَزُلْزِلُوا حَتَّى يَقُولَ الرَّسُولُ وَالَّذِينَ ءَامَنُوا مَعَهُ مَتَى نَصْرُ اللهِ أَلآَ إِنَّ نَصْرَ اللهِ قَرِيبُُ
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Kapankah datangnya pertolongan Allah?" Ingatlah, bahwa pertolongan Allah itu Amat dekat.(Qs Al-Baqarah : 214)
Fitnah dan ujian itu bisa menguatkan keimanan seseorang dan bisa juga menjerumuskan dan menyebabkannya futur dalam dakwah ini. Oleh karena itu, dibutuhkan bayan tentang sikap dan kiat–kiat da’i dalam mengahadapi fitnah, agar setiap kader bisa menyikapinya dengan tepat dan tegar, dan lulus dalam melewati setiap fitnah dan ujian.
9 SIKAP

Ada sembilan sikap seorang da’i ketika diuji Allah swt dengan fitnah, kesembilan penyikapan tersebut adalah:
Pertama, Muhasabah
Sikap pertama yang harus dilakukan adalah bermuhasabah, berintrospeksi diri atas apa yang telah dilakukan. Bermuhasabah adalah perintah Allah swt, sebagaimana firmanNya :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah Setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Karenanya bermuhasabah adalah tradisi para sahabat dan generasi setelahnya, karena dengan bermuhasabah, setiap kekhilafan bisa diketahui dan diperbaiki sejak dini.
Sebagaimana taujih Umar bin Khatthab r.a:
حاسبوا أنفسكم قبل أن تحاسبوا
"Evaluasi dirimu sebelum engkau dievaluasi.’
Kedua, Bertaubat
Langkah selanjutnya adalah bertaubat kepada Allah swt. dengan sebenar-benarnya taubat (taubatan nashuha), sebagaimana firman Allah swt.:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحًا
"Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya).‟ (QS At-Tahrim : 8)
Bertaubat itu memiliki rukun dan prasyaratnya agar taubatnya diterima oleh Allah swt. yaitu sebagai berikut :
A. Yang berkenaan dengan hak-hak Allah swt:
Bertaubat kepada Allah swt, berarti menunaikan hal-hal berikut:
1. Menyesali dosa yang telah dilakukannya. Seorang muslim harus merasa bersalah dengan dosa yang dilakukannya, oleh karena itu ia harus menyesali perbuatannya tersebut.
2. Berkomitmen untuk tidak mengulangi lagi kesalahannya.
3. Memperbaiki diri dengan memperbanyak amal-amal sholeh.
B. Hak-hak manusia:
Bertaubat juga harus menunaikan hak-hak manusia, yaitu:
1. Mengembalikan hak orang lain. Jika kesalahannya tersebut adalah merampas dan mengambil hak orang lain, maka ia harus mengembalikannya kepada si empunya.
2. Melakukan tabayyun (cek & recek) atas setiap informasi yang diterimanya, agar terhindar dari sikap bersu‟udzan kepada orang lain.
Ketiga, Bersabar
Langkah selanjutnya adalah bersabar atas fitnah yang menimpa da’i, dengan berkeyakinan bahwa semua ini adalah ujian dari Allah swt. untuk mengetahui hamba-hamba pilihan-Nya, sebagaimana firman Allah swt dalam ayat-ayat al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS Ali Imran: 200)
Keempat, Taqarrub kepada Allah SWT
Setiap da’i harus senantiasa bertaqarrub kepada Allah swt. agar senantiasa dekat dengan Allah swt., karena sesungguhnya maksiat dilakukan karena jauh dari Allah swt. Bertaqarrub yang dimaksud adalah dua hal :
1. Berkomitmen menunaikan kewajiban (fara‟id), seperti sholat lima waktu, puasa ramadhan, dan lain-lain.
2. Memperbanyak ibadah atau amalan sunnah seperti shalat sunnah rawatib, puasa senin dan kamis, sholat tahajjud, tilawah al-Qur’an dan amalan sunnah yang lain, sebagaimana dalam hadits qudsi:
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ
"Tidak ada ibadah yang dilakukan oleh hamba-Ku yang lebih Aku cintai selain ibadah yang Aku wajibkan. Dan hambaku senantiasa bertaqarrub kepadaku dengan ibadah sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku yang menjaga pendengarannya, Aku yang menjaga pandangannya, Aku yang menjaga tangannya, Aku yang menjaga kakinya. Jika ia meminta kepadaku, maka Aku akan kabulkan. Dan jika ia berlindung kepadaku, maka Aku melindunginya.‟ (Shahih bukhari, kitab Raqaiq, Bab Tawadhu‟, No. 6021)
Kelima, Menghindari tempat-tempat fitnah
Agar kita tidak terhindar dari fitnah, maka setiap da’i harus menghindari hal-hal atau tempat-tempat yang akan menjerumuskannya ke dalam fitnah.
Di antara hal-hal yang bisa mengakibatkan fitnah adalah sebagai berikut :
1. Harta, dengan segala bentuknya.
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memberikan warning agar setiap muslim waspada dengan harta karena karakter harta itu dominan menyebabkan pelakunya kepada maksiat.
2. Perempuan
Begitu pula dengan perempuan, seperti halnya harta, perempuan adalah fitnah / ujian bagi manusia, sebagaimana firman Allah swt. :
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِينَ وَالْقَنَاطِيرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَاللَّهُ عِنْدَهُ حُسْنُ الْمَآبِ
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Aliimran ; 14)
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ
Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar. (QS Al-anfal ; 28)
3. Hal-hal syubhat
Menjauhi hal-hal yang syubhat termasuk hal yang harus dilakukan da’i agar bisa terhindar atau berhasil melewati ujian, sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Dari Nu'man bin basyir r.a berkata : saya mendengar Rasulullah saw bersabda : "Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas, diantara keduanya ada hal-hal syubhat yang tidak diketahui banyak manusia. Barang siapa yang menghindari hal-hal syubhat, maka ia telah menjaga agama dan kehormatannya. Barang siapa yang melakukan yang syubhat, maka ia telah melakukan yang haram."
4. Teman yang tidak baik
Teman adalah cermin keperibadian sesorang, oleh karena itu jika ingin mengetahui ihwal seseorang, maka bisa diketahui dengan ihwal sahabatnya. Oleh karena itu harus dipastikan karib kita adalah orang-orang sholeh, sebagaimana hadits Rasulullah saw:
Dari Abi Hurairah r.a, ia berkata : Rasulullah saw bersabda : "Setiap orang tergantung pada agama temannya, maka kalian lihatlah siapa yang dia jadikan teman." (Musnad Ahmad, Kitab : Musnad al-muktsirin, Bab : Musnad Abi Hurairah, No. 7685)
5. Berambisi mendapatkan jabatan
Jabatan adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada Allah swt. Oleh karena itu Rasulullah saw. memerintahkan orang yang memegang amanah adalah orang memiliki kualifikasi dan kompetensi. Maka berambisi mendapatkan jabatan adalah perilaku tercela yang harus dihindarkan, sebagaimana sabda Rasulullah saw :
Rasulullah saw bersabda : "Dua serigala yang dilepas di tengah gerombolan kambing itu tidaklah lebih merusak dibanding merusaknya ambisi untuk mendapatkan harta dan jabatan terhadap agama seseorang." (Sunan Tirmidzi, Kitab : Zuhud, Bab : ma ja‟a fi akhdzil mal bihaqqihi, no. 2298)
Maksud hadits tersebut adalah bahwa ambisi meraih harta dan jabatan berdampak merusak agama seseorang lebih dahsyat dari pada dampak kerusakan yang dibuat oleh dua ekor serigala yang menyerang segerombolan domba.
Keenam, Saling memberikan nasihat
Setiap da’i harus terbiasa saling memberi nasihat (tanashuh), karena hanya dengan itulah setiap da’i terbantu untuk memperbaiki diri. Jika yang terjadi sebaliknya; tidak ada budaya tanashuh dan kontrol internal melemah sehingga memungkinkan setiap da’i terperangkap fitnah atau tidak sabar menghadapinya.
Tanashuh dan lapang dada menerima nasihat adalah dua sisi mata uang yang tidak bisa terpisahkan. Oleh karena budaya tanashuh tersebut tidak akan terwujud jika tidak diimbangi dengan sikap lapang dada; maksudnya setiap da’i jika mendapatkan nasihat, ia harus berlapang dada menerima masukan dan nasihat tersebut. Insya Allah swt nasihat itu memperbaiki kita. Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
Dari Tamim ad-Dari, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Agama adalah nasihat.” Kami bertanya, "Nasihat untuk siapa?" Rasulullah saw. Bersabda, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan masyarakat umum." (Shahih muslim, kitab : al-iman, Bab : ad din nashihah, no. 82)
Ketujuh, Terus bekerja melayani
Setiap ujian dan fitnah tidak boleh menyebabkan kita futur dan berhenti berdakwah, tetapi sebaliknya, ujian tersebut harus menjadi cambuk agar setiap da’i lebih bersemangat dalam beramal dan berdakwah.
Kerja-kerja dakwah itu sangatlah luas, di antara amal dakwah yang menyentuh hajat masyarakat adalah dakwah dalam bidang sosial, dakwah dalam bidang kesehatan agar masyarat hidup sehat, berdakwah dalam bidang keamanan agar masyarakat hidup aman dan nyaman, berdakwah dengan membangun infrastruktur agar fasilitas masyarakat terpenuhi sehingga mereka lancar dan leluasa melakukan hajat dan aktifitas hidupnya. Hal ini sebagaimana firman Allah swt:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) yang mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS At-Taubah: 105)
Delapan, Husnudzan terhadap ikhwah dan dakwah
Setiap da’i senantiasa berhusnudzan terhadap ikhwah dan dakwah. Setiap kali mendengar kabar tidak baik tentang seorang akh atau dakwah, maka harus mengedepankan husnudzan, hingga mendapatkan informasi / penjelasan dari dakwah.
Prinsip berhusnudzan ini yang diperintahkan Rasulullah saw. sebagaimana firman Allah swt:
لَوْلَا إِذْ سَمِعْتُمُوهُ ظَنَّ الْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بِأَنْفُسِهِمْ خَيْرًا وَقَالُوا هَٰذَا إِفْكٌ مُبِينٌ
"Tidakkah sebaiknya ketika kamu mendengar (berita bohong) itu orang-orang mukminin dan mukminat bersangka baik terhadap diri mereka sendiri." (QS An-Nur: 12)
Apalagi jika informasi bersumber dari orang fasiq, maka kita tidak boleh percaya sebelum tabayyun terhadap berita tersebut, sebagaimana firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.(QS al-Hujarat: 6)
Sembilan, Istiqomah dalam jama’ah
Ujian dan fitnah adalah fitrah dalam perjuangan dan dakwah, sebagaimana firman Allah swt:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اصْبِرُوا وَصَابِرُوا وَرَابِطُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung. (QS Ali Imron:200)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ارْكَعُوا وَاسْجُدُوا وَاعْبُدُوا رَبَّكُمْ وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS Al Hajj:77)
Oleh karena itu setiap ujian dan fitnah itu tidak boleh membuat kader futur, tetapi sebaliknya, harus membuat tetap istiqomah dalam dakwah ini.
***
Jakarta , 26 Rajab 1434 H
5 Juni 2013 M
DEWAN SYARI’AH PUSAT
PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
DR. KH. SURAHMAN HIDAYAT, MA.
KETUA