visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Friday, April 30, 2010

ADAB DI HARI JUMAT

ADAB DI HARI JUMAT



Hari Jumat adalah hari yang mulia, dan kaum muslimin di seluruh penjuru dunia memuliakannya. Keutamaan yang besar tersebut menuntut umat Islam untuk mempelajari petunjuk Rasulullah dan sahabatnya, bagaimana seharusnya msenyambut hari tersebut agar amal kita tidak sia-sia dan mendapatkan pahala dari Allah ta’ala. Berikut ini beberapa adab yang harus diperhatikan bagi setiap muslim yang ingin menghidupkan syariat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari Jumat.

1. Memperbanyak Sholawat Nabi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Sesungguhnya hari yang paling utama bagi kalian adalah hari Jumat, maka perbanyaklah sholawat kepadaku di dalamnya, karena sholawat kalian akan ditunjukkan kepadaku, para sahabat berkata: ‘Bagaimana ditunjukkan kepadamu sedangkan engkau telah menjadi tanah?’ Nabi bersabda: ‘Sesungguhnya Allah mengharamkan bumi untuk memakan jasad para Nabi.” (Shohih. HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa’i)

2. Mandi Jumat

Mandi pada hari Jumat wajib hukumnya bagi setiap muslim yang balig berdasarkan hadits Abu Sa’id Al Khudri, di mana Rasulullah bersabda yang artinya, “Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang baligh.” (HR. Bukhori dan Muslim). Mandi Jumat ini diwajibkan bagi setiap muslim pria yang telah baligh, tetapi tidak wajib bagi anak-anak, wanita, orang sakit dan musafir. Sedangkan waktunya adalah sebelum berangkat sholat Jumat. Adapun tata cara mandi Jumat ini seperti halnya mandi janabah biasa. Rasulullah bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi Jumat seperti mandi janabah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

3. Menggunakan Minyak Wangi

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barang siapa mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu sholat sesuai yang ditentukan baginya dan ketika imam memulai khotbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jumat ini sampai Jumat berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Bersegera Untuk Berangkat ke Masjid

Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah sholat Jumat.” (HR. Bukhari). Al Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Makna hadits ini yaitu para sahabat memulai sholat Jumat pada awal waktu sebelum mereka tidur siang, berbeda dengan kebiasaan mereka pada sholat zuhur ketika panas, sesungguhnya para sahabat tidur terlebih dahulu, kemudian sholat ketika matahari telah rendah panasnya.” (Lihat Fathul Bari II/388)

5. Sholat Sunnah Ketika Menunggu Imam atau Khatib

Abu Huroiroh radhiallahu ‘anhu menuturkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barang siapa mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khotbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam maka akan diampuni dosanya mulai jum’at ini sampai jum’at berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)

6. Tidak Duduk dengan Memeluk Lutut Ketika Khatib Berkhotbah

“Sahl bin Mu’ad bin Anas mengatakan bahwa Rasulullah melarang Al Habwah (duduk sambil memegang lutut) pada saat sholat Jumat ketika imam sedang berkhotbah.” (Hasan. HR. Abu Dawud, Tirmidzi)

7. Sholat Sunnah Setelah Sholat Jumat

Rasulullah bersabda yang artinya, “Apabila kalian telah selesai mengerjakan sholat Jumat, maka sholatlah empat rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka sholatlah dua rakaat di masjid dan dua rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)

8. Membaca Surat Al Kahfi

Nabi bersabda yang artinya, “Barang siapa yang membaca surat Al Kahfi pada hari Jumat maka Allah akan meneranginya di antara dua Jumat.” (HR. Imam Hakim dalam Mustadrok, dan beliau menshahihkannya)

Demikianlah sekelumit etika yang seharusnya diperhatikan bagi setiap muslim yang hendak menghidupkan ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika di hari Jumat. Semoga kita menjadi hamba-Nya yang senantiasa di atas sunnah Nabi-Nya dan selalu istiqomah di atas jalan-Nya.

(Disarikan dari majalah Al Furqon edisi 8 tahun II oleh Abu Abdirrohman Bambang Wahono)

***

Penulis: Abu Abdirrohman Bambang Wahono

Artikel www.muslim.or. id

Generasi Terburuk

Generasi Terburuk


Oleh Drs. Ahmad Yani, Ketua LPPD Khairu Ummah

Salah satu dambaan kita dalam hidup ini adalah lahir dan terwujudnya generasi yang terbaik. Indikasi terwujudnya generasi yang terbaik memang sudah ada, misalnya dengan banyaknya kaum muslimin yang memiliki komitmen yang begitu kuat terhadap Islam sebagai agama yang harus diamalkan dalam kehidupan nyata dalam berbagai aspeknya.

Namun bila dibandingkan dengan generasi yang sebaliknya, rasanya terwujudnya generasi yang terbaik masih amat jauh, hal ini karena begitu banyak generasi manusia yang memiliki profil generasi yang terburuk. Dalam satu hadits, Rasulullah Saw menyebutkan tentang ciri-ciri generasi terburuk yang harus kita jauhi, hadits tersebut berbunyi:

Akan datang suatu masa atas manusia: cita-cita mereka hanya untuk kepentingan perut, kemuliaan mereka dilihat dari perhiasan mereka, kiblat mereka adalah wanita-wanita mereka dan agama mereka adalah uang dan harta benda. Mereka itulah sejahat-jahat makhluk dan tidak ada bagian untuk mereka di sisi Allah (HR. Dailami).

Dari hadits di atas, terdapat empat ciri dari generasi terburuk. Karena harus kita jauhi, maka memahami maksud hadits tersebut menjadi sesuatu yang amat penting. Keempat ciri generasi terburuk itu antara lain,

Pertama, mementingkan perut.

Salah satu keinginan manusia dalam hidupnya adalah memiliki perut yang kenyang dengan berbagai jenis makanan, kenyang pada dasarnya bukanlah sesuatu yang dilarang, tapi kalau segala sesuatu dilakukan untuk kepentingan perut merupakan sesuatu yang sangat berbahaya, itulah yang kini banyak terjadi pada masyarakat kita.

Mementingkan perut berarti seseorang ingin mendapatkan dan memiliki kekayaan meskipun dengan menghalalkan segala cara, bahkan meskipun seseorang sudah mendapatkan rizki secara halal, hal itu akan dimanfaatkan untuk kepentingan diri dan keluarganya saja sehingga tidak peduli dengan kekurangan yang dialami oleh orang lain.

Akibat lain yang sangat berbahaya dari mementingkan perut adalah seseorang menjadi takut lapar, takut tidak mendapatkan rizki yang membuatnya takut menanggung resiko dalam menjalani kehidupan secara benar.

Karena itu, orang yang mementingkan perut menjadi manusia yang mau melakukan sesuatu bila menguntungkan secara materi sehingga motivasi dari apa yang dilakukannya adalah hal-hal yang dapat menyenangkan kehidupan duniawinya dan tidak mau melakukan sesuatu yang baik sekalipun, manakala hal itu mengakibatkan kesulitan dalam hidupnya, apalagi kalau sampai mengakibatkan perutnya menjadi lapar.

Oleh karena itu, ibadah Ramadhan mendidik kita menjadi manusia yang mampu menghadapi kehidupan lapar atau sulit meskipun sebenarnya pendidikan ini hanya berlangsung hanya dalam beberapa jam saja dalam satu hari. Itu sebabnya, kesabaran merupakan faktor penting dalam menghadapi cobaan lapar, Allah berfirman:

Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (QS 2:155).

Ciri kedua dari generasi terburuk yang harus kita hindari adalah memuliakan perhiasan.

Dalam hidup ini, manusia menghiasi dirinya dengan berbagai perhiasan hidup seperti rumah yang besar dan bagus, kendaraan yang mewah, pakaian yang mahal, perhiasan emas yang berat dan seterusnya.

Semua itu dijadikan sebagai ukuran bagi kemuliaan seseorang, padahal kita tahu bahwa hal-hal itu hanya aksesoris dalam kehidupan manusia, karena itu sangat naif bila semua itu dijadikan sebagai simbol kemuliaan, karenanya generasi terburuk menjadikan perhiasan hidup sebagai ukuran kemuliaan seseorang, sementara generasi yang mulia menjadikan ketaqwaan yang mantap sebagai tolok ukur kemuliaan seseorang, karena Allah Swt akan memuliakan seseorang berdasarkan ketaqwaannya, Allah berfirman:

Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu (QS 49:13).

Manakala kemuliaan seseorang diukur berdasarkan perhiasan yang digunakannya, itu menunjukkan bahwa kita adalah hamba-hamba harta dan perhiasan yang sangat tercela, Rasulullah Saw bersabda:

Binasalah hamba dinar, binasalah hamba dirham, binasalah hamba sutra/perhiasan (HR. Bukhari).

Ketiga yang merupakan ciri generasi terburuk adalah mengagungkan wanita.

Salah satu dari ciri generasi terburuk adalah mengagungkan wanita. Yang dimaksud dengan mengagungkan wanita adalah menuruti syahwat atau nafsu seksualnya terhadap wanita yang tidak halal baginya atau memenuhi ajakan wanita untuk melakukan perzinahan, ini merupakan sesuatu yang sangat hina, karenanya harus dijauhi, Allah berfirman:

Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk (QS 17:32).

Karena itu, apabila seorang muslim mampu menolak ajakan wanita untuk berzina dengan perasaan takut kepada Allah, maka dia termasuk orang yang akan mendapat perlindungan dari Allah yang pada hari itu tidak ada perlingungan kecuali hanya dari Allah Swt, hal ini disabdakan oleh Rasulullah Saw:

Tujuh golongan orang yang akan dinaungi oleh Allah yang pada hari itu tidak ada naungan selain naungan-Nya: ... seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang punya kedudukan dan kecantikan, lalu ia berkata: Sesungguhnya aku takut kepada Allah (HR. Bukhari dan Muslim).

Disamping itu, mengagungkan wanita juga bisa kita pahami sebagai memenuhi keinginan-keinginan yang tidak baik dari wanita, termasuk seorang suami yang takut kepada isterinya sehingga harus memenuhi keinginan isterinya yang tidak benar, ketakutan kepada isteri membuat suami tidak berani meluruskan atau memperbaiki kesalahan isterinya, padahal isteri merupakan tanggung jawab suami untuk diselamatkan dari api neraka, Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu (QS 66:6).

Ciri keempat dari generasi terburuk adalah gila harta.

Dalam Islam, uang dan harta merupakan sesuatu yang boleh dicari dan dimiliki bahkan Allah Swt memerintahkan manusia untuk mencari harta yang banyak, namun semua itu harus dalam kendali bukan malah manusia dikendalikan oleh harta, bila itu yang terjadi, maka harta telah dijadikan sebagai agama sehingga tujuan hidupnya adalah memperbanyak harta, termasuk dengan menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya sehingga dengan demikian manusia dilalaikan oleh hartanya, ini merupakan sesuatu yang amat buruk, Allah Swt sendiri telah mengingatkan soal itu di dalam firman-Nya:

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu) itu (QS 102:1-4).

Oleh karena itu, Allah Swt berfirman untuk mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak lupa kepada Allah hanya karena persoalan harta, Allah berfirman:

Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi (QS 63:9).

Dari gambaran di atas, amat terasa bahwa ciri-ciri generasi yang terburuk sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Saw ternyata dimiliki oleh generasi kita pada masa sekarang, itu sebabnya, diantara generasi kita yang hidup pada masa sekarang termasuk ke dalam kelompok generasi yang terburuk.

Karena itu, menjadi kewajiban kita bersama untuk memperbaiki generasi kita agar kehidupan masa depan dapat kita songsong dengan keyakinan dan optimisme sebagaimana mestinya.



PENYEBAB MUSIBAH ADALAH KEMAKSIATAN

PENYEBAB MUSIBAH ADALAH KEMAKSIATAN


Allah Ta’ala telah memperlihatkan kemahakuasaannya atas segala sesuatu. Tidak ada segala peristiwa yang terjadi di alam semesta yang terlepas dari iradah-Nya. Maka, berbagai peristiwa alam, yang begitu dahsyat, dan mempunyai dampak yang sangat luar biasa, khususnya bagi kehidupan manusia, tak lain hanya karena sudah berlangsungnya kemaksiatan di seluruh sisi kehidupan.

Saat ini, tak ada lagi tempat-tempat yang terbebas dan terlepas dari kemaksiatan dan kedurhakaan. Hidup ini hampir dipenuhi dengan sikap penyimpangan, pelanggaran, dan penolakan yang terang-terangan terhadap hakikat perintah dan larangan dari Allah Ta’ala. Segala kemaksiatan dan penyimpangan termasuk kekafiran terhadap nilai-nilai ajaran Allah, begitu sangat kuat, dan bahkan menjadi kebanggaan.

Jika Allah Azza Wa Jalla, menurunkan azab dan bala’ berupa bencana, dan bentuk-bentuk azab lainnya, tak lain itu merupakan buah langsung dari tindakan manusia itu sendiri.

“Dan musibah apa saja yang menimpamu itu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)”. (Asy-Syura : 30)

Tetapi, manusia yang sudah melanggar dan menjauh dari perintah Allah itu, tak banyak diantara mereka yang menyadari atas segala kekeliruan itu, dan kemudian kembali ke jalan kebenaran. Tapi, kebanyakan manusia, justru tetap bermaksiat.

“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri”. (An-Nisa : 79).

Allah Ta’ala telah memberikan ganjara di dunia dengan berbagai pesan yang sangat jelas, baik itu berupa azab, kenikmatan, dan siksaan, semua telah berlaku pada umat terdahulu. Para pelaku keburukan dan kejahatan serta tindakan yang menyeleweng dan menyimpang seperti, kaumnya Nuh, ‘Ad, Tsamud, kaum Luth, penduduk Madyan, dan kaumnya Fir’aun, selama mereka berada di dunia, mereka sudah dihancur-leburkan oleh Allah Rabbul Aziz.

Apalagi, bila yang berbuat maksiat itu bukan hanya rakyat , tapi justru para pemimpin, yang menjadi tauladan dalam kedurhakaan kepada Allah. Seperti berbuat tidak adil, berdusta (berbohong), bersumpah palsu, bertindak sewenang-wenang, menjauhkan rakyat dan kaumnya dari agama Allah, membunuh dengan tanpa alasan yang sangat jelas, dan dibolehkan oleh Allah. Maka, semua itu akan menyebabkan lahirnya bencana dan azab dari Allah Ta’ala.

“Wahai kaumku, sesungguhnya aku khawatir kamu akan ditimpa (bencana) seperti peristiwa kehancuran golongan yang bersekutu. (Yakni) seperti keadaan kaum Nuh, ‘Ad, dan orang-orang yang datang sesudah mereka. Dan Allah tidak menghendaki berbuat kezaliman terhadapmu akan siksaan hari panggil-memanggil, (yaitu) hari (ketika) kamu (lari) berpaling ke belakang, tidak ada bagimu seseorang pun yang menyelamatkan kamu dari (azab) Allah, dan siapa yang disesatkan Allah, niscaya tidak ada baginya seseorang pun yang akan memberi petunjuk”. (al-Mukmin : 30-33).

Manusia boleh berbohong, berdusta, menipu, dan lalu mengganti kebohongan dengan kebenaran, sebaliknya menzalimi orang-orang yang ingin menunaikan dan menegakkan kebenaran. Maka, Allah akan memberikan azab di dunia, sebelum menimpakan azab yang sesungguhnya di akhirat nanti.

“Dan sesungguhnya Kami merasakan kepada mereka sebagian azab yang dekat (di dunia) sebelum azab yang lebih besar (di akhirat), mudah-mudahan mereka kembali ke jalan yang benar”. (As-Sajadah :21).

Maka, bagi mereka yang mendapatkan amanah, hendaknya berlaku jujur, tulus, dan tidak berbohong, dan membohongi terhadap yang sudah memberikan amanah. Kehidupan akan menjadi cenang-perenang, terus terjadi kekacauan, tidak adanya ketenteraman, manakala sebuah negeri dikusai dan dipimpin orang yang fasik dan fajir, dan bohong serta dusta menjadi 'manhaj' dalam hidupnya.

Dan, mereka pasti akan selalu berbuat kerusakan dan kedurhakaan kepada Allah, dan sesamanya. Inilah azab yang sesungguhnya. Wallahu’alam.



Thursday, April 29, 2010

BAHAYA KURANG MINUM

BAHAYA KURANG MINUM


Sehari-hari, berapa gelas air putih yang Anda konsumsi? Minum kelihatannya hal sepele dalam keseharian. Namun, sesungguhnya pasokan cairan ternyata penting bagi tubuh. Mengapa begitu? Sebab, air adalah zat gizi esensial bagi kehidupan. "Air merupakan ikatan kimia yang diperlukan tubuh untuk melakukan fungsinya," urai Ketua PP Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia, dr Rachmi Untoro MPH.

Sebagian besar tubuh manusia terdiri dari air. Pada orang dewasa, 70 persen. "Sementara pada bayi baru lahir hampir 80 persen dan pada lansia sekitar 50 persen," ungkap Rachmi. Agar tubuh dapat berfungsi normal, keseimbangan cairan yang masuk dan keluar, harus terjaga.

Air dalam tubuh paling banyak dikeluarkan melalui urine disusul pernapasan, keringat, dan feses. "Selain dari makanan dan metabolisme oksidatif, pasokan cairan dapat kita peroleh dengan minum," tutur Rachmi. Lantas, seberapa banyak sebetulnya kebutuhan cairan kita? Di masyarakat berkembang beragam jawaban. "Prinsipnya, orang memerlukan 30 ml per kilogram berat badannya," jelas Rachmi.

Dengan aktivitas ringan, tubuh harus disegarkan dengan 2 sampai 2,5 liter air. Itu setara dengan 8 sampai 10 gelas air. "Namun, ini standar untuk berat badan 55 kg," kata Rachmi. Terasa cukup banyak buat Anda? Sebaiknya, biasakanlah diri untuk mengikuti pola minum tersebut. "Sebab, kekurangan satu persen air tubuh saja dapat menimbulkan rasa haus dan gangguan mood," kata Prof Dr Ir Hardinsyah MS, ketua umun Pergizi Pangan Indonesia.

Selanjutnya, kekurangan dua sampai tiga persen bisa meningkatkan suhu tubuh serta stamina. Lalu, defisit empat persen dapat membuat merosot kemampuan fisik. "Anda bisa pingsan jika air tubuh menyusut sampai tujuh persen," Hardinsyah menyitir riset Grandjean & Ruud dalam Nutrition for Cyclist (1994).

Kekurangan asupan cairan, khususnya air berpotensi meningkatkan risiko timbulnya banyak penyakit. Batu ginjal, infeksi saluran kencing, kanker usus besar, serta gangguan kelenjar ludah adalah beberapa di antaranya. "Untuk menghindarinya, minum secukupnya pada kondisi biasa dan teguk lebih banyak di lingkungan dingin, saat berkeringat, demam, dan ibu menyusui," imbuh Hardinsyah yang menjadi international expert working group on Hydration for Health .

Minum memang penting. Tetapi, terlampau banyak juga tidak perlu. "Kelebihan air minum justru bia mengganggu keseimbangan elektrolit tubuh," tutur Hardinsyah.

Red: irf
Rep: rei

PERILAKU YANG MENGHAPUS PAHALA

PERILAKU YANG MENGHAPUS PAHALA


Oleh Juman Rofarif

Termasuk etika dalam bersahabat dan lebih luas lagi dalam bermasyarakat, adalah menjaga perasaan. Bahkan, Rasulullah SAW menjadikan itu sebagai salah satu prasyarat Muslim sejati. Rasul SAW mengatakan bahwa yang disebut Muslim adalah orang yang mulut dan tangannya membuat orang lain merasa damai. Kata-katanya tidak menyakiti, perilakunya tidak melukai. Dua-duanya menjadi satu-kesatuan utuh untuk membentuk karakter Muslim sejati.

Kata-kata bijak seseorang akan menjadi omong kosong jika perilakunya meresahkan. Dan, perilaku mulia seseorang akan menjadi percuma jika kata-katanya menyakitkan. Sebab itulah Allah mengingatkan, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.'' (QS Al-Baqarah [2]: 264).

Karena itu, Muslim sejati adalah orang yang membawa rasa aman dengan apa pun yang ada pada dirinya dan bagi siapa pun yang ada di sekelilingnya. Abu Qasim al-Qusyairi dalam kitabnya al-Risalah al-Qusyairiyah, menulis kisah menarik tentang etika.

Suatu ketika, seorang ulama terkemuka bernama Hatim didatangi seorang perempuan yang hendak berkonsultasi tentang suatu hal. Berbarengan dengan saat bertanya, perempuan itu kelepasan (maaf) kentut. Hatim lalu berkata, ''Maaf, Anda bertanya apa? Mohon, angkat sedikit suara Anda agar saya dapat mendengarnya dengan baik.''

Perempuan itu berpikir, Hatim ini sepertinya memiliki pendengaran yang kurang baik dan pasti tidak mendengar kentut barusan. Maka, ia pun menyampaikan maksudnya. Selesai urusan, perempuan itu pun pulang dengan perasaan lega dan barangkali tak perlu malu kepada dirinya sendiri dan kepada Hatim, sebab telah kelepasan kentut di hadapan seorang ulama.

Sejak peristiwa itu, tersebar kabar bahwa Hatim adalah orang yang pendengarannya kurang baik. Dan bukan hanya kabar angin, orang-orang pun mengetahui sendiri bahwa Hatim memang demikian. Lalu, orang-orang menjuluki Hatim dengan al-asham atau si tuli. Sampai kemudian perempuan itu meninggal dunia.

Hatim lalu menceritakan keadaan diri bahwa sesungguhnya ia tidak benar-benar tuli. Apa yang ia lakukan hanya kepura-puraan. Saat perempuan itu kentut di hadapannya, ia pura-pura tidak mendengar. Dan, ia berjanji, kepura-puraan itu akan ia jaga selama si perempuan masih hidup, semata-mata karena tidak ingin membuat perempuan itu malu. Hatim ingin menjaga harga diri dan perasaan perempuan itu.

Meski demikian, sebutan al-Asham telah telanjur melekat pada diri Hatim. Sehingga, sampai saat ini, nama Hatim dalam karya-karya klasik selalu ditulis Hatim al-Asham atau 'Hatim Si Tuli.' Wa Allahu a'lam.

KHASIAT BERAS MERAH

KHASIAT BERAS MERAH


JAKARTA--Kebiasaan mengkonsumsi beras putih rupanya berdampak pada minimnya ketertarikan jenis beras lain. Padahal, secara genetis beras terbagi menjadi beberapa jenis, seperti beras putih, beras merah, beras hitam dan beras ketan, dan setiap jenis beras mengandung manfaat yang tak terduga.

Hasil riset yang dipresentasikan pada Experimental Biology annual conference yang berlangsung 24-28 Apri di Anaheim, California, AS mengungkapkan dua jenis beras seperti beras merah dan setengah-giling bisa mengurangi risiko penyakit jantung dan tekanan darah tinggi. Peneliti juga melaporkan beras merah ternyata jauh lebih baik ketimbang beras putih saat melindungi tubuh dari tekanan darah tinggi dan arterosklerosis (pengerasan pembuluh darah).

"Penelitian kami menunjukkan adanya potensi dari beras yang mungkin menjadi titik awal yang baik untuk mencari obat preventif untuk penyakit kardiovaskuler," kata peneliti Satoru Eguci, profesor fisiologi di Temple University School of Medicine di Philadelphia, AS., Selasa (27/4). Sebelumnya, Eguci dan kolega mengatakan penelitian mereka mencatat kandungan beras merah mampu melawan protein yang dikenal sebagai angiotensin II yang memberikan kontribusi untuk tekanan darah tinggi dan penyumbatan arteri.

Kandungan tersebut berada pada lapisan beras terkelupas ketika beras merah diubah menjadi beras putih. Namun, lapisan itu bisa dipertahankan bila digiling menggunakan alat tradisional seperti yang dilakukan masyarakat Jepang.

Red: irf
rep: cr2

Sumber: healthday

Wednesday, April 28, 2010

Jadilah Kitab walau tanpa Judul

Jadilah Kitab walau tanpa Judul


KH Hilmi Aminuddin

Kun kitaaban mufiidan bila 'unwaanan, wa laa takun 'unwaanan bila kitaaban. Jadilah kitab yang bermanfaat walaupun tanpa judul. Namun, jangan menjadi judul tanpa kitab.

Pepatah dalam bahasa Arab itu menyiratkan makna yang dalam, terutama menyangkut kondisi bangsa saat ini yang sarat konflik perebutan kekuasaan dan pengabaian amanah oleh pemimpin-pemimpin yang tidak menebar manfaat dengan jabatan dan otoritas yang dimilikinya. Bangsa ini telah kehilangan ruuhul jundiyah, yakni jiwa ksatria. Jundiyah adalah karakter keprajuritan yang di dalamnya terkandung jiwa ksatria sebagaimana diwariskan pejuang dan ulama bangsa ini saat perjuangan kemerdekaan.

Semangat perjuangan (hamasah jundiyah) adalah semangat untuk berperan dan bukan semangat untuk mengejar jabatan, posisi, dan gelar-gelar duniawi lainnya (hamasah manshabiyah). Saat ini, jiwa ksatria itu makin menghilang. Sebaliknya, muncul jiwa-jiwa kerdil dan pengecut yang menginginkan otoritas, kekuasaan, dan jabatan, tetapi tidak mau bertanggung jawab, apalagi berkurban. Yang terjadi adalah perebutan jabatan, baik di partai politik, ormas, maupun pemerintahan. Orang berlomba-lomba mengikuti persaingan untuk mendapatkan jabatan, bahkan dengan menghalalkan segala cara. Akibatnya, di negeri ini banyak orang memiliki "judul", baik judul akademis, judul keagamaan, judul kemiliteran, maupun judul birokratis, yang tanpa makna. Ada judulnya, tetapi tanpa substansi, tanpa isi, dan tanpa roh.

Padahal, ada kisah-kisah indah dan heroik berbagai bangsa di dunia. Misalnya, dalam Sirah Shahabah, disebutkan bahwa Said bin Zaid pernah menolak amanah menjadi gubernur di Himsh (Syria). Hal ini membuat Umar bin Khattab RA mencengkeram leher gamisnya seraya menghardiknya, "Celaka kau, Said! Kau berikan beban yang berat di pundakku dan kau menolak membantuku." Baru kemudian, dengan berat hati, Said bin Zaid mau menjadi gubernur.

Ada lagi kisah lain, yaitu Umar bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid pada saat memimpin perang. Hal ini dilakukan untuk menghentikan pengultusan kepada sosok panglima yang selalu berhasil memenangkan pertempuran ini. Khalid menerimanya dengan ikhlas. Dengan singkat, ia berujar, "Aku berperang karena Allah dan bukan karena Umar atau jabatanku sebagai panglima." Ia pun tetap berperang sebagai seorang prajurit biasa. Khalid dicopot "judul"-nya sebagai panglima perang. Namun, ia tetap membuat "kitab" dan membantu menorehkan kemenangan.

Ibrah yang bisa dipetik dari kisah-kisah tersebut adalah janganlah menjadi judul tanpa kitab; memiliki pangkat, tetapi tidak menuai manfaat. Maka, ruuhul jundiyah atau jiwa ksatria yang penuh pengorbanan harus dihadirkan kembali di tengah bangsa ini sehingga tidak timbul hubbul manaashib, yaitu cinta kepada kepangkatan, jabatan-jabatan, bahkan munafasah 'alal manashib, berlomba-lomba untuk meraih jabatan-jabatan.

Semoga.

- Dikutip dari Republika



Makan Pisang, baik untuk Kolesterol

Makan Pisang, baik untuk Kolesterol


Mudah diperoleh, belum tentu minim manfaat. Kalimat itu mungkin sangat tepat ditujukan pada buah pisang yang menyimpan banyak sekali manfaat untuk kesehatan. Sayangnya, pisang seringkali kalah gengsi dibandingkan buah apel atau anggur.

Sejumlah riset menyebutkan kandungan gizi yang terdapat dalam setiap buah pisang matang adalah 99 kalori, protein 1,2 gram, lemak 0,2 gram, karbohidrat 25,8 mg, serat 0,7 gram, kalsium 8 mg, fosfor 28 mg, besi 0,5 mg, vitamin A 44 RE, vitamin B 0,08 mg, vitamin C 3 mg dan air 72 gram.

Riset terbaru yang dilaporkan Yanbian University China menyebutkan, mengonsumi pisang dapat mengurangi resiko terhambatnya aliran darah pada pembuluh darah arteri akibat pembentukan plak pada diding arteri. Ini artinya, risiko serangan jantung atau stroke dapat terhindarkan.

Sebelumnya, Univesitas tersebut melibatkan 20 laki-laki dan perempuan beragam usia. Setiap relawan diharuskan mengonsumsi pisang.

Dua jam sesudah relawan mengkonsumsi pisang, mereka diperiksa kadar kolesterol dalam darah. Pemeriksaan kolesterol dilakukan karena merupakan penyebab penyakit arteriklerosis dan penyakit jantung. Usai tes, peneliti menemukan serat pada pisang yang meminimalisir kolesterol.

Secara terpisah, sebuah riset yang digagas Murcia University, Spanyol menunjukan pisang mengandung komponen bernama fructooligosaccharides (FOS), sejenis prebiotik alami yang bebas kalori, kaya akan serat sehingga meminimalisir kadar kolesterol dalam darah. Peneliti juga menemukan, pisang bermanfaat pula melancarkan pencernaan.

Red: Ririn Sjafriani
Rep: cr2
Sumber: dailymail.co.uk
Filosofi Berpakaian


Rabu, 28/04/2010 07:43 WIB
Dikutip dari Eramuslim

يَا بَنِي آَدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآَتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آَيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ (26) يَا بَنِي آَدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُمْ مِنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآَتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ (27)

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS Al-A’raf [7]: 26)

Panggilan ini hadir di tengah naungan pemandangan kisah yang telah dipaparkan sebelumnya. Yaitu pemandangan ketelanjangan, terbukanya aurat, dan menutupinya dengan sekedarnya dengan daun surga. Ini adalah buah dari kesalahan. Kesalahan tersebut mengambil bentuk durhaka kepada perintah Allah, dan menyentuh larangan Allah. Ini bukan kesalahan yang dikisahkan oleh mitos-mitos dalam ‘kitab suci’! Kesalahan yang mewarnai persepsi artistik Barat yang bersumber dari mitos tersebut, dan dari pengaruh-pengaruh Frued yang beracun. Kesalahan itu bukan karena makan ‘pohon pengetahuan’, seperti yang diceritakan dalam mitos Perjanjian Lama.

Ia juga bukan kecemburuan Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap manusia dan ketakutan-Nya sekiranya Adam makan pohon kehidupan sehingga ia menjadi salah satu tuhan, seperti yang didakwakan mitos-mitos tersebut. Mahasuci Allah dari apa yang mereka sifatkan dengan kesucian yang sebesar-besarnya. Kesalahan tersebut juga bukan karena hubungan seksual, sebagaimana imajinasi seni eropa selama ini berkutat pada lumpur seks untuk menafsirkan sehingga aktivitas kehidupan, seperti yang diajarkan Freud si yahudi kepada mereka!

Dalam menghadapi pemandangan telanjang yang terjadi akibat perbuatan dosa, dan dalam menghadapi ketelanjangan yang senantiasa dipraktikkan orang-orang musyrik di masa jahiliyah, maka konteks seruan ini mengingatkan nikmat Allah pada manusia yang telah mengajari mereka, memudahkan mereka, dan juga mensyariatkan bagi mereka pakaian untuk menutupi aurat yang terbuka. Selain untuk menutupi aurat, pakaian juga menjadi perhiasan dan keindahan, menggantikan buruknya ketelanjangan. Karena itu Allah berfirman, “Kami turunkan.” Maksudnya adalah kami syariatkan bagi kalian di dalam wahyu. Kata libas terkadang digunakan untuk sesuatu yang menutupi kemaluan, dan itu adalah pakaian bagian dalam. Sedangkan kata risyan terkadang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh dan berhias, dan itu adalah pakaian bagian luar. Sebagaimana kata risyan digunakan untuk arti kehidupan yang sejahtera, nikmat dan harta benda. Semua makna ini saling berjalinan dan saling menguatkan.

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.”

Demikian pula, konteks surat di sini menyebutkan kalimat “pakaian takwa”, dan memberinya sifat “yang paling baik”.

“Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah…”

Abdurrahman bin Aslam mengatakan, “Maksudnya ayat ini adalah bertakwa kepada Allah dengan menutup auratnya. Itulah yang dimaksud dengan pakaian takwa.”

Ada hubungan antara pensyariatan Allah terhadap pakaian untuk menutup aurat dan untuk perhiasan dengan takwa. Keduanya sama-sama pakaian. Yang satu menutup aurat hati dan menghiasi hati, sedangkan yang lain menutupi aurat tubuh dan menghiasi tubuh. Keduanya saling berhubungan. Karena dari rasa takut dan malu kepada Allah itulah muncul rasa jijik dan malu terhadap ketelanjangan tubuh. Barangsiapa yang tidak malu dan takut kepada Allah, maka tidak ia tidak peduli untuk telanjang dan mengajak orang lain untuk telanjang. Telanjang dari rasa malu dan takwa, telanjang dari pakaian, dan membuka aurat!

Sesungguhnya menutup aurat karena rasa malu bukan sekedar kebiasaan lingkungan—seperti klaim para propagandis yang berusaha memengaruhi rasa malu masyarakat dan kesucian mereka untuk menghancurkan kemanusiaan mereka. Ini sejalan dengan rencana keji Yahudi yang termuat dalam program pemerintah Zionis. Rasa malu adalah fitrah yang diciptakan Allah dalam diri manusia, dan pakaian adalah syariat yang diturunkan Allah kepada manusia. Allah memberi mereka kemampuan untuk melaksanakan syari’at tersebut dengan berbagai kekayaan dan rezki di bumi yang ditundukkan Allah kepada mereka.

Allah mengingatkan anak-anak Adam tentang nikmat-Nya pada mereka ketika mensyariatkan pakaian dan menutup aurat. Syariat ini bertujuan untuk menjaga kemanusiaan mereka agar tidak runtuh kepada tataran kebiasaan hewan! Selain itu, Allah mengingatkan mereka akan nikmat-nikmat-Nya dengan tujuan untuk mendukung mereka dengan kemudahan yang diberikan kepada mereka.

“Mudah-mudahan mereka selalu ingat.”

Dari sini seorang muslim dapat menghubungan antara serangan dahsyat yang diarahkan kepada rasa malu dan akhlak manusia; ajakan secara gamblang untuk telanjang secara fisik atas nama perhiasan, peradaban dan cinta; antara program Yahudi untuk menghancurkan kemanusiaan mereka dan mempercepat dekadensi mereka, untuk mempermudah Yahudi dalam memperbudak mereka!

Selain itu, seorang muslim juga dapat menghubungkan semua ini dengan program yang ditujukan untuk mengikis habis sisa-sisa akar agama ini dalam bentuk emosi yang terpendam di lubuk jiwa! Sampai sejauh inilah upaya-upaya penghancuran yang mereka lakukan, dengan serangan keji untuk mengajak kepada telanjang jiwa dan fisik, seperti yang disuarakan media-media yang bekerja untuk setan-setan Yahudi di setiap tempat!

Sesungguhnya perhiasan “insani” adalah perhiasan dengan menutup tubuh, sementara perhiasan “hewani” adalah dengan cara telanjang. Tetapi umat manusia pada hari ini telah kembali ke dunia jahiliyah yang menjatuhkan mereka ke tataran binatang!

Tuesday, April 27, 2010

Hadhratus Syaikh, Ulama dan Pejuang

Hadhratus Syaikh, Ulama dan Pejuang


Kaifa Ihtada

26/3/2010
11 Rabiuts Tsani 1431 H
Hits: 771

Oleh: Aidil Heryana, S.Sosi

________________________________________



dakwatuna.com – “Materialisme historis mengembangkan pendapat bahwa kebahagiaan tidak dapat dicapai kecuali dengan materi (uang dan benda). Filsafat ini tidak mempercayai adanya ruh (jiwa yang dibimbing Tuhan), dan tidak percaya pada alam ghaib (seperti Tuhan, malaikat, jin dan syaitan) serta hari kemudian. Kepercayaan ini sangat berbahaya bila tertanam pada jiwa anak-anak kita karena dapat merusak kepercayaan mereka pada Islam….”

Paparan di atas bukanlah pengajaran teori aliran-aliran pemikiran oleh seorang dosen di ruang kuliah. Tetapi ini adalah statement politik hadhratus-syaikh K.H. Hasyim Asy’ary dalam pidato beliau pada Muktamar NU ke-17 pada 24 Mei 1947 di Madiun. Sikapnya sangat tegas, beliau mencela komunisme dan mengatakan bahwa percaya kepada keesaaan Allah membutuhkan iman dan siapa saja yang tidak memiliki iman tidak akan percaya kepada keesaan Allah.

Kalau pernyataan seperti itu diungkapkan saat sekarang ini boleh jadi orang menganggapnya wajar-wajar saja dan aman-aman saja karena tidak ada tekanan politis atau bahkan nihil resiko politiknya. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan kenyataan yang terjadi saat Muktamar NU ke-17 pada 24 Mei 1947 di Madiun. Bahwa masa itu ‘komunisme’ bukan sekedar aktualisasi komunis tulen, dengan ideologi Marxisme-Leninisme tulen. Dan seperti kita tahu partai-partai komunis di manapun mencari monopoli kekuasaan dengan tujuan untuk mendirikan sistem Marxis-Leninis di bawah pimpinan partai yang eksklusif. Dan Partai Komunis Indonesia (PKI) saat itu tengah menuai simpati yang tidak sedikit dari sebagaian rakyat Indonesia.

Bashirah (ketajaman mata hati) keulamaannya jelas tercermin dari pensikapannya ini. Beliau menangkap gelagat yang luput dari perhatian kebanyakan orang tentang gerakan komunis ini. Bahwa partai komunis bukanlah salah satu pemain di antara partai-partai lain dalam arena kehidupan demokrasi. Begitu partai komunis berhasil memegang kekuasaan, dia tidak pernah akan melepaskannya secara sukarela. Dia akan menyingkirkan kekuatan-kekuatan politik lain. PKI dengan ideologinya tidak mungkin ditampung dalam alam pluralitas. Dan pada kenyataannya, kita tidak melupakan bahwa PKI pernah mengancam akan mengambil alih kekuasaan dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis.

Kiai Hasyim dilahirkan pada hari Selasa Kliwon, tanggal 24 Dzul-qa’dah 1287 hijriah bertepatan dengan 14 Februari 1871 Masehi. Sedari kecil sudah terlihat beberapa perihal yang menunjukkan bahwa kelak dia akan menjadi tokoh besar Indonesia bahkan dunia. Itu semua tidak lepas dari peran seorang Ibu (Nyai Halimah) yang sejak mengandung telah berpuasa untuk Kiai Hasyim. Sedari kecil Kiai Hasyim telah diajarkan untuk mencintai ilmu pengetahuan, dan itu berlanjut sampai ia menjadi ulama besarpun ia masih mau menimba ilmu.

Kehidupan Kiai Hasyim tidaklah seperti yang kita bayangkan, kesederhanaan menjadi pegangan utama bagi Kiai Hasyim. Sejak masih remaja, Kiai Hasyim dikenal sebagai anak muda yang berpandangan relegius dan berorientasi ukhrawi. Beliau terbiasa melakukan aktivitas ruhiyah dengan berpuasa guna mencegah hawa nafsu. Kebiasaan ini beliau warisi dari sang Ibu, Nyai Halimah. Sekalipun tak puasa, beliau jarang makan. Paling banyak, beliau makan sehari dua kali, yaitu sarapan pagi dengan secangkir kopi susu serta makan malam usai mengajar. Beliau jarang makan siang, kecuali jika kebetulan ada tamu dan beliau bermaksud menghormatinya dengan menemani makan siang.

Konon, ketika istri beliau yang ketujuh masih hidup, setiap hari sang nyai menyediakan nasi dan lauk-pauk yang cukup untuk menghormati sekurang-kurangnya 50 orang tamu. Dari segi pemikiran, Kiai Hasyim berbeda pandangan dengan sebagian ulama semasanya yang terkadang bercorak sinkretik, karena Kiai Hasyim dalam soal agama lebih berpikir puritan, terjaga semangatnya dalam membela Islam dan sikap kelembutannya dalam menghadapi perbedaan madzhab. Seperti tercermin dalam pidato beliau saat Muktamar NU ke-11 tahun 1936 di Banjarmasin.

Assalamu’alaikum wa Rahmatullahi wa barakatuh

Telah sampai kepada saya bahwa di kalangan kalian berkobar api fitnah dan pertentangan. Setelah saya fikir penyebabnya adalah apa yang ada dalam masyarakat zaman ini bahwa mereka telah mengganti Kitab Allah SWT. dan Sunnah Rasul-Nya SAW. Allah SWT berfirman ”Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara, maka damaikanlah antara dua saudara kalian…”tapi kenyataannya mereka menjadikan saudara-saudaranya sesama mukmin sebagai musuh. Mereka tidak melakukan perdamaian, tetapi justru melakukan kerusakan terhadap saudara-saudara mereka itu. Rasulullah SAW., bersabda ”janganlah kalian saling iri hati, benci, bertolak belakang, dan bersaing, tetapi jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara”. Tetapi kenyataannya mereka saling dengki, benci, bertolak belakang, bersaing, dan bermusuhan.

Wahai ulama yang fanatik terhadap sebagian madzhab atau terhadap sebagian pendapat ulama, tinggalkanlah kefanatikan kalian dalam furu’ dalam mana ulama menjadi dua pendapat: satu pendapat mengatakan bahwa setiap mujtahid adalah benar. Pendapat lain mengatakan bahwa yang benar hanya satu tetapi yang salah tetap diberi pahala. Tinggalkanlah sifat fanatik dan kecintaan yang dapat mencelakakan ini. Belalah agam Islam. Berjihadlah terhadap orang yang melecehkan al-Qur’an dan sifat-sifat Allah Yang Maha Kasih juga terhadap penganut ilmu-ilmu batil dan akidah-akidah yang sesat. Berjihad terhadap orang semacam ini adalah wajib. Mengapa kalian tidak menyibukkan diri dalam jihad ini.

Wahai kaum Muslimin, di tengah-tengah kalian orang-orang kafir telah merambah ke segala penjuru negeri, maka siapakah dari kalian yang mau bangkit untuk … dan peduli untuk membimbing mereka ke jalan petunjuk?

Maka, wahai para ulama, dalam keadaan seperti ini kalian harus berjihad dan fanatik. Kefanatikan kalian dalam masalah furu’ dan perbuatan kalian menggiring seseorang ke satu madzhab atau satu pendapat ulama maka hal itu tidak diterima oleh Allah SWT. Dan tidak diridhai oleh Rasul-Nya SAW. (Sebenarnya) yang mendorong hal itu hanyalah sifat fanatik, nafsu persaingan dan kedengkian. Seandainya as-Syafi’i, Abu Hanifah, Malik, Ahmad, Ibnu Hajar, dan Ramli hidup pasti mereka sangat tidak menyukai kalian dan tidak bertanggungjawab atas perbuatan kalian itu. Apakah akan diingkari perbedaan pendapat di kalangan ulama?

Kalian melihat melihat banyak orang awam yang jumlahnya hanya Allah Yang tahu, tidak melaksanakan shalat yang balasan atas orang yang tidak melaksanakannya al-Syafi’i, Malik, dan Ahmad adalah dipancung lehernya dengan pedang, sedangkan kalian membiarkan mereka. Bahkan jika salah seorang dari kalian melihat banyak dari tetangganya tidak melaksanakan shalat dia diam saja. Kemudian mengapa kalian mengingkari masalah furu’ dalam mana fuqaha’ berbeda pendapat sementara perbuatan yang secara ijma’ diharamkan seperti zina, judi, dan minum minuman keras dibiarkan? Jika demikian kalian tidak punya ghirah untuk Allah. Ghirah kalian hanya untuk al-Syafi’i dan ibn Hajar sehingga hal ini menyebabkan terpecahnya kalian, terputusnya silaturrahim, berkuasanya orang bodoh, dan jatuhnya wibawa kalian di mata orang banyak. Juga hal tersebut dapat menyebabkan orang bodoh berani berkata yang melecehkan kalian.

Wahai para ulama, apabila kalian melihat ada orang yang mengamalkan suatu amalan berdasarkan pendapat seorang imam yang boleh ditaqlidi dari imam mazhab yang mu’tabarah, sekalipun pendapat itu kurang kuat, jika mereka tidak sependapat dengan kalian, maka kalian jangan bersikap kasar terhadap mereka melainkan bimbinglah mereka secara halus. Jika mereka tidak mau mengikuti kalian jangan jadikan mereka sebagai musuh. Jika ini dilakukan maka perumpamaannya sama dengan orang yang membangun sebuah istana dan pada saat yang sama menghancurkan kota. Janganlah perbedaan itu kalian jadikan sebab perpecahan, pertentangan, dan permusuhan. Ini sungguh merupakan kejahatan umum dan dosa besar yang dapat merobohkan bangunan ummat dan menutup pintu-pintu kebaikan. Demikianlah, Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari pertentangan dan memperingatkan dari hal-hal yang berakibat buruk dan menyakitkan. Allah berfirman ”…dan janganlah kalian berbantah-bantahan yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatan kalian…”

Wahai kaum muslimin, sesungguhnya dalam peristiwa yang terjadi selama ini terdapat banyak pelajaran dan pesan yang dapat diperoleh oleh orang yang berfikir dewasa, lebih banyak dari apa yang dia peroleh dari khutbah dan nasehat para muballigh dan da’i. Peristiwa-peristiwa itu sesungguhnya merupakan ujian setiap saat. Maka apakah sudah saatnya mengambil pelajaran dan peringatan? Dan apakah sudah saatnya kita kembali sadar dari kemabukan dan kelalaian kita dan menyadari bahwa kemenangan kita bergantung pada tolong-menolong dan persatuan diantara kita, juga kesucian hati dan ketulusan di antara kita ? Atau kalau tidak, kita akan tetap dalam perpecahan, sikap tidak mau tolong-menolong, kemunafikan, dengki dan iri serta kesesatan yang abadi. Padahal agama kita satu yaitu Islam, mazhab kita satu yaitu Syafi’iyah, daerah kita satu yaitu Jawa, dan kita semua termasuk Ahlus-Sunnah wa al-Jama’ah. Maka demi Allah sungguh ini adalah cobaan yang nyata dan kerugian besar.

Wahai kaum muslimin bertakwalah kepada Allah, kembalilah kepada Kitab Tuhan kalian, beramallah sesuai dengan Sunnah Nabi kalian. Tedanilah orang-orang saleh sebelum kalian, niscaya kalian akan beruntung dan berbahagia seperti mereka. bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesama kalian. Dan tolong-menolonglah kalian dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran, niscaya Allah melimpahkan Rahmat dan Ihsan-Nya kepada kalian. Janganlah kalian seperti orang-orang (munafik) yang berkata: ”kami mendengar” padahal mereka tidak mendengarkan.

Sebagai pendiri Nahdlatul Ulama, beliau sangat mengedepankan Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam mengungkapkan pemikirannya. Menurut beliau puncak keberagamaan dan jenjang kerohanian tertinggi hanya dapat dicapai melalui proses pentahapan yang runut dan syanat, tarekat hingga hakikat. Karena ketiganya saling berkait, maka ketika seseorang mencapai hakikat bukan berarti syariatnya gugur. Itu sebabnya beliau mengecam anggapan sebagian orang yang menyatakan, bila telah menjadi wali, mereka tidak perlu menjalankan syariat. Pemikiran Kiai Hasyim akan tata cara pengamalan agama yang benar dapat dibaca pada karyanya Tamyiz al Haqq ’an Al Bathil dan Ad Duror Al Muntatsiroh.

Di samping itu, dalam hal pendidikan beliau menyumbangkan pemikirannya yang tertuang dalam kitab Adab Al Alim wa Al Muta’allim, kitab ini adalah adaptasi dari karya Ibnu Jamaah al-Kinani yang bertajuk Tadzkirot As Sami’ wa Al Mutakallim. Di zaman yang sangat patriarkis, Kiai Hasyim begitu menghargai perempuan. Beliau tidak sepakat dengan opini masyarakat awam Jawa yang menyatakan bahwa wanita sekedar konco wingking dan tidak memerlukan pendidikan. Bagi Kiai Hasyim, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an bahwa pendidikan itu wajib hukumnya bagi laki-laki dan perempuan muslim. Hal ini dinyatakannya dalam forum pada muktamar NU dan menjadi landasan berdirinya pondok pesantren yang khusus didirikan untuk anak remaja putri. Mengenai alasan beliau membela kaum perempuan dapat dibaca dalam karyanya Ziyadah Ta’liqat.

Pada arena politik, beliau berjuang menggugah masyarakat supaya menyadari hak-hak politik mereka untuk hidup merdeka dan bebas dari penjajahan. Menurut beliau, kolonialisme asing hanya bisa dilawan dengan gerakan kebangkitan nasional. Ini pulalah yang kemudian melandasi beliau dan sejumlah kiai untuk mendirikan Jam’iyyah Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926. Namun, hal yang tak kalah pentingnya untuk dikaji adalah peran Kiai Hasyim dalam merebut kemerdekaan. Hal inilah yang kiranya mulai terlupakan, atau sengaja dilupakan oleh para ahli sejarah Indonesia. Padahal, perjuangan Kiai Hasyim telah dimulainya semenjak ia masih berada di Mekkah untuk menuntut ilmu, dan terus berlanjut hingga ia mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.

Beberapa peran penting Kiai Hasyim pada saat Indonesia masih dalam penjajahan Belanda dan Jepang yaitu saat Belanda menyatakan wilayah Indonesia dalam darurat perang dan merencanakan Ordonansi Milisi Bumiputera pada tahun 1940, Kiai Hasyim memanggil beberapa kiai ke Tebuireng. Melalui musyawarah, akhirnya menghasilkan keputusan menolak rencana tersebut. Bahkan mengharamkan dukungan terhadap Belanda dalam bentuk apapun, termasuk menyumbangkan darah untuk mereka. Dan musyawarah ini menyepakati tuntutan Indonesia Berparlemen yang disuarakan melaui MIAI dan GAPI (Gerakan Politik Indonesia).

Pun begitu pada saat penjajahan Jepang, Kiai Hasyim menolak segala bentuk Niponnisasi, seperti menyanyikan lagu Kimigayo dan mengibarkan bendera Hinomaru. Maka pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan ke penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya hingga beliau meninggal dunia.

Kiai Hasyim juga menyiapkan kader-kader Islam yang militan dengan cara menganjurkan para santri untuk masuk tentara Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1943 yang dipelopori oleh putranya, Abdul Kholiq. Pembentukan PETA kemudian diikuti oleh terbentuknya Hizbullah pada akhir tahun 1944 dan Barisan Sabilillah.

Namun, hal yang terpenting dalam perjuangan Kiai Hasyim adalah perannya dalam hal ”Resolusi Jihad”. Resolusi Jihad terjadi setelah Proklamasi kemerdekaan dikumnadangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kala itu, NICA mendompleng pasukan sekutu untuk memaksakan kembalinya kekuasaan Belanda dengan dalih melucuti tawanan perang Jepang. Menyikapi hal ini, Kiai Hasyim kemudian mengundang seluruh konsul se Jawa dan Madura untuk bermusyawarah, dan menghasilkan keputusan bahwa kemerdekaan yang sudah diproklamasikan dan Pemerintahan Republik Indonesia yang sah, hukumnya wajib dibela dan dipertahankan.

Dengan lahirnya Resolusi Jihad semangat umat Islam untuk mempertahankan kemerdekaan semakin terbakar. Peristiwa heroik 10 November 1945 yang diperingati sebagai Hari Pahlawan tidak terlepas dari semangat Resolusi Jihad yang dicetuskan di markas NU, Bubutan Surabaya. Kiranya kegigihan perjuangan Kiai Hasyim tersebut cukup menjadi alasan untuk memberi penghargaan kepada Kiai Hasyim sebagai ”Pahlawan Nasional” yang ditetapkan oleh Presiden Soekarno dalam Keppres nomor 249 tahun 1964.

Kiai Hasyim meninggal pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng. Sungguh kita masih sangat mendambakankan aura kepemimpinannya. Karena semangat beliau untuk selalu mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih—khususnya—dan izzul Islam wal muslimin pada umumnya, tetap menyala dan takkan hilang begitu saja…selamanya!

Maraji:

Lathiful Khuluq, Fajar Kebangunan Ulama, Biografi KH. Hasyim Asy’ari (Yogyakarta: LkiS, 2000)

KH. M. Hasyim Asy’ari, Figur Ulama dan Pejuang Sejati (Jombang: Pustaka Warisan Islam Tebuireng, 2007)

Friday, April 23, 2010

Sembilan Langkah menjadi Pemimpin Orang Beriman

Sembilan Langkah menjadi Pemimpin Orang Beriman


Oleh Ustaz Muhammad Arifin Ilham



Menjadi pemimpin bukan semata-mata kemenangan karena terpilih, tapi lebih dari itu, sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Banyak hal yang harus diejawantah sebagai pemimpin orang beriman.



Pertama, teladan dalam ketakwaan dan paham kitabullah dan sunah (QS 65: 2). Sangat sulit disebut pemimpin jika tidak ada keteladanan dalam pencarian ridha Allah. Abu Bakar ash-Shiddiq menyeru ketika dilantik jadi khalifah, ''Jika kepemimpinanku benar menurut Alquran dan as-sunnah , maka ikuti aku. Tapi jika salah, tinggalkan aku.''



Kedua, wara' (berhati-hati dengan hukum Allah) dan istikamah. Tidak ada niat melabrak hukum Allah, bahkan konsisten dengan keimanan dan istikamah di jalan-Nya. (QS 41: 30-33).



Ketiga, sehat, kuat, cerdas, dan visioner. Seorang pemimpin harus punya visi dalam membangun dan menyejahterakan rakyat (QS 59: 18). Karena itu, daya tunjang kesehatan, fisik yang kuat dan kemampuan mengeksplorasi kecerdasan menjadi hal mutlak bagi seorang pemimpin. (QS 2: 247).



Keempat, ahli ibadah, zikir, tadabbur Quran, berjamaah di masjid, puasa sunah, dan ahli tahajjud. Memimpin butuh efektivitas dan kearifan. Hal ini akan didapatkan jika pemimpin itu ahli ibadah, gemar berzikir, suka membaca Alquran, kaki dibawa ke masjid, berlapar-lapar dengan puasa sunah, serta mau menyingkap selimut di waktu malam untuk bertahajud menghadap Allah. (QS 17: 79).



Kelima, tsiqah (bisa dipercaya), adil, jujur, amanah, tepat janji, tegas, dan berani. ''Sesungguhnya Allah memerintahkanmu memberikan amanah kepada yang berhak menerimanya. Jika hendak menetapkan hukum di antara manusia, berilah hukuman dengan adil ....'' (QS 4: 58).



Keenam, rendah hati, merakyat, tulus mencintai rakyatnya, serta dekat dengan anak yatim piatu dan fakir miskin (QS 4: 10). ''Hendaklah rendahkan hatimu kepada orang-orang yang beriman yang mengikutimu ....'' (QS 26: 215).



Ketujuh, jabatan menjadi washilah dakwah (QS 41: 34). Kedudukannya sebagai pemimpin bukan sebagai kehormatan, tetapi untuk kepentingan dakwah, yaitu mengajak umat dan rakyat makin dekat dengan Allah.



Kedelapan, sangat mendengar nasihat ulama, siap dikritik, terus belajar, dan tidak mudah tersinggung apalagi marah (QS 11: 88).



Terakhir, selalu berdoa untuk rakyatnya disertai tawakkal yang kuat. Indah sekali jika ada pemimpin, di siang hari ia berjibaku melayani rakyat, sedangkan malamnya ia tahajjud lalu mengangkat tangan dan berserah diri kepada-Nya. ''Maka jika kamu telah bertekad mengerjakan sesuatu (setelah berusaha) maka serahkan kepada Allah ....'' (QS 3: 159). Wa Allahu a'lam.

Wajah Agama Kartini

Wajah Agama Kartini


Jumat, 23/04/2010 08:11 WIB - Eramuslim

Kartini tak pernah lenyap dari pembicaraan. Perempuan kelahiran Jepara, 21 April 1879, ini seolah-olah menjadi perempuan luar biasa yang diperebutkan pelbagai pihak. Keuntungan didapatkan Kartini ketika hari kelahirannya dijadikan hari nasional. Tak ada tokoh selain Kartini yang namanya dikhususkan sebagai hari peringatan di negeri ini. Bulan April seakan-akan menjadi bulan Kartini, perempuan ¼ abad itu.



Keuntungan Kartini telah terjadi ketika surat-suratnya dikumpulkan dan dibukukan oleh J.H. Abendanon pada 1911. Kumpulan surat ini yang menjadikan Kartini bisa terus “mengada” sampai detik ini. Ada sumber mengatakan bahwa surat-surat Kartini yang diberi judul Door Duisternis Tot Licht dimaksudkan untuk menjaring dana bagi pendirian sekolah Kartini. Alasan J.H Abendanon itu patut dipertanyakan. Bukankah sebelum ada sekolah Kartini telah berdiri sekolah untuk perempuan di negeri ini? Mengapa menjaring dana harus dengan membukukan dan menerbitkan surat-surat Kartini?



Surat-surat yang dikirimkan Kartini bersifat pribadi. Kartini menulis surat kepada sahabat-sahabat penanya tentu tak bermaksud untuk dipublikasikan. Apakah dibenarkan secara etika menerbitkan surat-surat Kartini tanpa sepengetahuan Kartini? Sebagaimana diketahui, Kartini tidak hanya menulis surat, tapi juga menulis untuk pelbagai majalah terbitan Belanda. Jika ingin mengabadikan pemikiran Kartini, tulisan-tulisan yang dimuat di majalah itulah yang selayaknya dikumpulkan dan dibukukan, bukan surat-suratnya!



Ketika J.H Abendanon menjalankan proyek membukukan surat-surat Kartini, surat-surat yang ditulis Kartini memang tak seluruhnya dipublikasikan. Ada beberapa sahabat pena Kartini yang tak sudi menyerahkan surat kepada J.H. Abendanon. Sahabat pena Kartini yang bersedia menyerahkan surat pun tak menyerahkan seluruhnya. Ada surat yang diserahkan kepada J.H. Abendanon, ada yang tetap dipegang erat-erat. Pun, surat-surat yang diserahkan tentu tak bisa menghindari proses editing J.H. Abendanon yang memiliki kepentingan.



Dari kumpulan surat-surat Kartini itulah, kita bisa membaca Kartini. Kita bisa membaca kehidupan dan dunia Kartini, membaca ide dan pemikiran Kartini. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Kartini, kita bisa menelusuri dan membaca surat-surat Kartini. Kita pun bisa membaca “wajah agama” Kartini



Door Duisternis Tot Licht, Minazh-Zhulumati ilan-Nur?



Pada dasarnya, membaca Kartini hanya dari surat-suratnya tidaklah bisa tepat menggambarkan Kartini yang sesungguhnya. Sisi psikologis Kartini ketika menulis surat menjadi pertimbangan yang tak mungkin diabaikan. Ada keterbatasan dalam tulisan surat untuk bisa menjelaskan kehidupan Kartini secara keseluruhan.



Lewat surat-suratnya, Kartini akhirnya memang menjadi sosok multi tafsir. Memahami Kartini, kita tak bisa asal-asalan membaca surat-suratnya. Selain dituntut membaca surat-surat Kartini tidak sepotong-potong, kita juga harus melihat periode waktu penulisan surat. Ada perkembangan intelektualitas-emosional Kartini yang tentu mempengaruhi penulisan surat-suratnya.



Dalam hal ini, ada pertanyaan yang menuntut kejernihan, benarkah maksud dari Door Duisternis Tot Licht adalah Minazh-Zhulumati ilan-Nur? Entah siapa yang mula menafsirkannya. Terdapat pendapat yang lama berkembang di kalangan umat Islam bahwa Kartini terpesona dengan kalimat dalam surat Al-Baqarah ayat 257. Kalimat itulah yang dikatakan menginspirasi Kartini sehingga kerap menyebutnya dalam penulisan surat.



Pemilihan judul Door Duisternis Tot Licht untuk kumpulan surat Kartini disebabkan seringnya ungkapan itu muncul. Membaca surat-surat Kartini, ungkapan dari gelap menuju terang atau sejenisnya memang banyak terpapar. Lalu, di mana letak kalimat itu? Buku yang digunakan dalam kajian dan telaah ini adalah Surat-Surat Kartini, Renungan tentang dan untuk Bangsanya, diterjemahkan dari Door Duisternis Tot Licht oleh Sulastin Sutrisno diterbitkan Penerbit Djambatan, cetakan ke-2, 1981.



Dalam surat Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon tertanggal 17 Agustus 1902, Kartini menulis, “Kami berpegang teguh-teguh pada tangan-Nya. Dan di situ gelap gulita menjadi terang, dan angin ribut menjadi angin sepoi-sepoi.”(hlm. 246)



Ungkapan yang serupa pernah ditulis Kartini dalam suratnya kepada Nyonya M.C.E. Ovink-Soer tertanggal Oktober 1900, “Tetapi sekarang kami berpegang teguh pada tangan-Nya. Kepada Dia tiada putus-putusnya kami arahkan pandangan kami. Dia akan mengemudikan kami, mempertimbangkan dengan penuh kasih sayang. Dan di situlah gelap menjadi terang, angin ribut menjadi angin sepoi-sepoi.”(hlm. 84)



Membaca dua kutipan isi surat di atas terasa merupakan ungkapan indah. Namun, kita bisa membaca kalimat serupa yang disebutkan Kartini kepada Tuan E.C. Abendanon tertanggal 15 Agustus 1902:



Dan dengan sangat sungguh-sungguh terdengarlah suaranya mengatakan: “Berpuasalah satu hari satu malam dan jangan tidur selama itu, juga harus mengasingkan diri di tempat yang sunyi sepi.”



“Habis malam datanglah cahaya,



Habis topan datanglah reda



Habis juang datanglah mulia,



Habislah duka datanglah suka.”



berdesau-desau dalam telinga saya sebagai rekuiem.



Itulah maksud dan buah pikiran yang terdapat dalam kata-kata perempuan tua itu. Berpuasa dan tidak tidur itu lambang pandangan berikut: “Dengan berkekurangan, menderita dan tafakur akan diperoleh nur cahaya!” Tidak ada cahaya, yang tidak didahului oleh gelap. Bagus bukan? Menahan lapar dan nafsu adalah kemenangan rohani atas jasmani. Dalam menyepi orang dapat belajar berpikir.(hlm.241)



Apa maksud “berdesau-desau dalam telinga saya sebagai rekuiem”? Kita lihat kalimat serupa dalam surat Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya tertanggal 4 Oktober 1902, “Tidak ada sesuatu yang terang-benderang, yang tidak didahului gelap gulita: itu pelajaran dari hari ke hari, dari malam ke malam. Pelajaran siang dan malam!” (hlm.276).



Ungkapan-ungkapan yang menyebut “gelap ke terang” dalam surat Kartini begitu banyaknya. Dimanakah minazh-zhulumati ilannur? Apakah Kartini terinspirasi dari surat Al-Baqarah ayat 256?



Kita dituntut membaca surat Kartini tidak sepotong-potong. Perhatikan kelanjutan kalimat “gelap gulita menjadi terang” pada surat Kartini tertanggal 17 Agustus 1902, “Kami berpegang teguh-teguh pada tangan-Nya. Dan di situ gelap gulita menjadi terang, dan angin ribut menjadi angin sepoi-sepoi.



Kami tidak takut, sungguh tidak takut. Di mana pun kami berada, di situ ada seorang Bapak, yang menjaga kami, yang mengawasi kami, yang mempertimbangkan sesuatu tentang kami dengan kasih sayang.”



Jika kita cermati surat Kartini tertanggal 15 Agustus 1902, maka dimungkinkan syair itu yang justru menginspirasi Kartini suka menyebut “dari gelap ke terang”. Syair “perempuan tua” yang berbunyi Habis malam datanglah cahaya,//Habis topan datanglah reda//Habis juang datanglah mulia,//Habislah duka datanglah suka, dikatakan Kartini berdesau-desau dalam telinganya. Apa pelajaran yang diterima siang dan malam yang dungkapkan Kartini kepada Tuan Prof. Dr. G.K. Anton dan Nyonya dalam suratnya tertanggal 4 Oktober 1902? Pelajaran dari “perempuan tua”-kah dengan syairnya? Ataukah pelajaran dari surat Al-Baqarah ayat 257?



Apakah Kebaikan adalah Agama?



Untuk bisa memastikan apakah yang dimaksud Kartini adalah minazh-zhulumati ilannur, kita bisa melihat naskah aslinya. Dimana saja sebenarnya kalimat Door Duisternis Tot Licht itu tertera? Lalu, apakah Kartini menulis minazh-zhulumati ilannur dalam suratnya? Mana naskah aslinya jika benar-benar tertera minazh-zhulumati ilannur Ataukah kita sekadar menafsirkan bahwa Door Duisternis Tot Licht maksudnya adalah minazh-zhulumati ilannur tanpa pengetahuan secara jelas?



Kartini seolah-olah menjadi sosok yang diperebutkan pelbagai pihak sesuai kepentingan masing-masing, bahkan oleh umat Islam sendiri. Fatalnya, mengutip kalimat dalam surat Kartini hanya sepenggal-penggal. Kalimat yang juga sering dikutip kalangan umat Islam secara utuh adalah bunyi surat Kartini kepada Nyonya N. Van Kol tertanggal 21 Juli 1902, “....moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”



Mari kita lihat teks suratnya setelah kalimat di atas:



“Selamanya kami maklum dan mengerti, bahwa inti semua agama ialah Kebaikan, bahwa semua agama itu baik dan bagus. Tetapi, aduhai! Manusia, apa yang kau perbuat dengan agama itu!”(hlm. 230)



Ada sikap tidak jelas Kartini terkait keyakinan/’aqidahnya. Membuat agama Islam patut disukai dalam konteks apa? Kaum liberal pun akan mengatakan siap membuat Islam patut disukai di mata pemeluk agama lain.



Kalimat serupa juga tampak 5 bulan sesudahnya dalam surat Kartini kepada Nyonya R.M Abendanon-Mandri tertanggal 12 Desember 1902, “Lambat laun barulah kami tahu, bukan agama yang tiada kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. Sepanjang hemat kami agama yang paling indah dan paling suci ialah Kasih Sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seseorang mutlak menjadi Kristen? Orang Budha, Brahma, Yahudi, Islam, bahkan orang kafir pun dapat juga hidup dengan kasih sayang yang murni.”(hlm. 293).



Berdasarkah isi surat tersebut, Kasih Sayang adalah agama menurut Kartini. Terserah memeluk agama apa, Kasih Sayang adalah agama yang paling indah dan paling suci. Dalam suratnya kepada E.C. Abendanon, Kartini berkata, “Jika orang hendak mengajarkan agama juga kepada orang Jawa, ajarlah dia mengenal Tuhan yang esa, mengenal Bapak Pengasih dan Penyayang, Bapak semua makhluk, Bapak orang Kristen, orang Islam dan lain-lain.”(hlm. 311)



Lihat juga dalam surat Kartini kepada Tuan Dr. N. Adriani tertanggal 5 Juli 1903, ”Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. Hamba Allah ada pada tiap-tiap agama, di tengah-tengah tiap bangsa.”(hlm. 333).



Dalam notanya berjudul Berilah Orang Jawa Pendidikan! tertanggal Januari 1903, Kartini mengemukakan gagasan dan pemikiran terkait dengan dunia pendidikan. Kartini memandang persoalan agama tak diikutsertakan dalam pendidikan alias bersifat netral. Kartini membiarkan siapa pun bebas dalam pilihan agamanya, bahkan tak masalah jika orang ingin tetap menganut kepercayaan nenek moyangnya



Dari keterbatasan kemampuan pikir dan analisis penulis, Kartini tak memiliki spirit agama (baca: Islam) dalam perjuangannya. Jika pun Kartini konsisten berbicara akhlak ataupun budi pekerti, akhlak yang dipahami Kartini adalah menurut versi Kartini. Perhatikan makna peradaban menurut Kartini berikut:



“Peradaban yang sesungguhnya bukan terletak dalam warna kulit, bukan dalam bahasa yang dipakai, juga tidak dalam nama kepercayaan yang dianut. Peradaban yang sesungguhnya terletak dalam hati sendiri. Peradaban yang sesungguhnya ialah akhlak dan keagungan jiwa! Keduanya itu harus dikembangkan di antara semua bangsa yang menganut berbagai kepercayaan untuk mengagungkan Tuhan, Tuhan Yang Esa dan Yang Benar, Bapak semua makhluk.”(Kartini dalam Berilah Orang Jawa Pendidikan!, 3 Januari 1903).



Dari pemaparan di atas, kita perlu merenungkan sejenak. Perlu kajian mendalam terkait pemikiran Kartini secara utuh. Wallahu a’lam.

Thursday, April 22, 2010

KARTINI

KARTINI


Kyai, selama kehidupanku baru kali inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama dan induk al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku. Maka bukan bualan rasa syukur hatiku kepada Allah. Namun aku heran tak habis-habisnya, mengapa para ulama saat ini melarang keras penerjemahan dan penafsiran al-Quran dalam bahasa Jawa? bukankah al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?” Begitu komentar Kartini ketika bertanya kepada gurunya, Kyai Sholeh Darat.

Pemikiran Kartini berubah, yang tadinya menganggap Barat (Eropa) sebagi kiblat, lalu menjadikan Islam sebagai landasan dalam pemikirannya. Hal ini setidaknya terlihat dari surat Kartini kepada Abendanon, 27 Oktober 1902 yang isinya berbunyi, “Sudah lewat masamu, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, apakah Ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah Ibu menyangkal bahwa di balik sesuatu yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut peradaban?”

Demikian juga dalam surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 yang isinya, “Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai.”

Setelah mempelajari Islam dalam arti yang sesungguhnya dan mengkaji isi al-Quran, Kartini terinspirasi dengan firman Allah SWT (yang artinya), “…mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman) (QS al-Baqarah [2]: 257),” yang diistilahkan Armyn Pane dalam tulisannya dengan, “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Kartini memiliki cita-cita yang luhur, yaitu mengubah masyarakat, khususnya kaum perempuan yang tidak memperoleh hak pendidikan, juga untuk melepaskan diri dari hukum yang tidak adil dan paham-paham materialisme, untuk kemudian beralih ke keadaan ketika kaum perempuan mendapatkan akses untuk mendapatkan hak dan dalam menjalankan kewajibannya. Ini sebagaimana terlihat dalam tulisan Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya pada 4 oktober 1902, yang isinya, “Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali, karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya, tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya; menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.”

Beberapa surat Kartini di atas setidaknya menunjukan bahwa Kartini berjuang dalam kerangka mengubah keadaan perempuan pada saat itu agar dapat mendapatkan haknya, di antaranya menuntut pendidikan dan pengajaran untuk kaum perempuan yang juga merupakan kewajibannya dalam Islam, bukan berjuang menuntut kesetaraan (emansipasi) antara perempuan dan pria sebagaimana yang diklaim oleh para pengusung ide feminis.

Wallahu a‘lam bi muradih

[Iwan Setiawan; Mahasiswa UIN Sunan Gunung Jati Bandung]

Akibat Maksiat terhadap Jiwamu

AKIBAT MAKSIAT THD JIWAMU
oleh Mashadi

Tidak mudah. Tapi lakukanlah. Setiap saat. Di mana hadirkanlah dalam kehidupan ini hukuman-hukuman, dan akibat yang ditetapkan oleh Allah terhadap perbuatan dosa. Bayangkan betapa dahsyatnya akibat hukuman yang bakal kita terima. Lalu, jadikanlah hal itu sebagai, langkah untuk mengajak jiwa ini meninggalkan dosa-dosa.

Syeikh Ibn Qayyim menyebutkan beberapa hukuman, akibat dari perbuatan maksiat yang cukup membuat seseorang harus berpikir, sebelum melakukan perbuatan maksiat. Digambarkan oleh Syikhul Islam, akibat perbuatan maksiat itu antara lain :

Pertama, perbuatan maksiat yang dilakukan oleh seseorang itu, mempunyai akibat, akan dapat menutup hati, pendengaran, dan penglihatan. Sehingga, terkuncilah hatinya, tersumbat kalbunya, karena ia penuh dengan kotoran yang berkarat. Allah yang membolak-balikkan hatinya itu, sehingga tidak memiliki pendirian, membuat jarak antara diri dan hatinya. Allah akan membuatnya lupa untuk berzikir, dan membuat lupa dirinya sendiri.

Allah meninggalkan orang-orang berbuat maksiat dengan tidak membersihkan hatinya. Maksiat membuat dada seseorang sempit, sukar bernafas seperti naik ke langit, hatinya dipalingkan dari kebenaran, menambah penyakit dengan penyakit, dan akan tetap sakit. Seperti yang diterangkan oleh Imam Ahmad, dari Hudhaifah ra, ia berkata, ‘hati itu ada empat kondisi’. Pertama, yaitu hati bersih yang memiliki lampu yang menerangi. Itulah hati orang mukmin. Kedua, hati yang tertutup, yaitu hati orang kafir.
Ketiga, hati yang terbalik, yaitu orang munafik.
Keempat, hati yang ada dua unsur materi (madah), didalamnya,unsur keimanan dan kemunafikan. Kapan saja salah satu unsurnya yang mendominasi, maka unsur itu yang menguasainya.

Hakikatnya, kemaksiatan juga menjauhkan seseorang dari kethaatan kepada Allah, menjadikan hati menjadi tuli dan enggan mendengarkan kebenaran. Selalu menolak kebenaran, dan membuat seseorang buta dan enggan melihat kebenaran. Perumpaan antara hatinya dan kebenaran yang tidak bermanfaat adalah seperti antara telinga dan suara, antara mata dan warna, serta antara lidah orang dengan ucapannya. Sebenarnya, hakekat kebutaan, ketulian, dan kebisuan hati adalah hakikat cacat yang sebenarnya, cacat akan zat, dan cacat organ sekaligus.
“Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi buta ialah hati yang di dalam dada”. (Al-Hajj : 46).
Bukan ayat diatas itu menafikan cacat kebutaan fisik, sebab Allah berfirman :
“Tidak ada halangan bagi orang buta”. (An-Nur : 61)
Dia (Muhammad) bermuka masa dan berpaling karena telah datang seoran buta”. (‘Abassa :1-2)
Kemudian yang dimaksud ayat diatas itu, kebutaan yang sempurna dan yang sebenarnya adalah kebutaan hati. Sebagaimana Sabda Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam :
"Bukanlah orang yang kuat itu orang yang kuat dalam bergulat (bertarung), akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai hawa nafsunya ketika marah”. Dan Sabd beliau lainnya : “Bukanlah orang-orang miskin itu orang yang berkeliling yang datang padamu yang minta sesuap makanan, akan tetapi orang miskin yang tidak meminta-minta kepada orang dan tidak diketahui orang tetapi ia diberi sedekah”. (RH : Bukhari).

Kiranya, dapat disimpulkan, kemaksiatan menyebabkan kebutaan, ketulian, dan kebisuan hati.
Selanjutnya, maksiat dapat menyebabkan longsornya hati seperti longsornya suatu bangunan ke dalam bumi, hingga menyebabkan jatuh hatinya pada derajat yang paling bawah. Tanda-tanda longsornya hati tidak bisa dirasakan pemiliknya.
Tanda-tanda longsornya hati adalah selalu berlaku pada hal-hal yang hina, keji, rendah, dan kotor. Seorang ulama salaf mengatakan, “Sesungguhnya hati kita ini berkeliling. Ada yang berkeliling di sekitar di sekitar arsy (singgasana Allah), tetapi juga ada pula hati yang di sekitar tempat-tempat yang kotor-kotor.

Maksiat juga dapat mengubah bentuk hati atau mengutuk, sebagaimana dikutuknya sebuah bentuk fisik makhluk menjadi binatang. Akibatnya, hati berubah menjadi bentuk binatang dalam perilaku, watak, dan kelakuannya. Ada hati yang dikutuk menjadi bentuk babi, anjing, khimar, ular, kelajengking, atau watak-watak binatang tersebut. Sufyan ats-Tsauri menafsirkan ayat “Dan tiadalah binatang-binatang yang ada dalam bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya melainkan umat-umat (juga) seperti kamu”. (Al-An’am : 38).
“Diantara mereka ada yang memiliki akhlak (perilaku) seperti binatang buas, juga yang memiliki perilaku anjing, perilaku babi, perilaku khimar, atau ada juga yang suka menghiasi pakaiannya seperti burung merak, atau ada juga yang bodoh seperti khimar. Ada yang lebih suka mengutamakan orang lain atas dirinya seperti ayam jago. Ada juga yang sangat jinak dan penurut seperti burung dara, ada juga yang sangat pendendam seperti unta, ada juga yang baik seperti kambing, dan ada juga yang mirip serigala, dan lainnya”. Jika persamaan watak dan perilaku ini menguat secara bathin, maka akan nampak wujudnya dalam bentuk lahir yang mampu dilihat orang yang firasatnya kuat. Allah akan mengubah bentuk fisiknya dengan bentuk binatang yang perilakunya diserupai. Sebagaimana apa yang dilakukan oleh Allah kepada orang Yahudi dan orang yang menyerupai mereka, di mana mereka dikutuk menjad babi dan anjing.

Betapa banyak hati yang sakit, tanpa dirasakan oleh pemiliknya, betapa banyak hati yang dikutuk, dan hati yang longsor. Betapa banyak orang yang terfitnah oleh pujian manusia, orang yang tertipu, karena perilakunya ditutupi oleh Allah. Ini semua adalah hukuman dan penghinaan Allah kepada ahli maksiat.

Allah juga menjadikan makar bagi ahli maksiat, ia akan ditipu oleh para penipu, ditertawakan, dan disesatkan dari jalan kebenaran oleh orang yang hatinya sesat. Maksiat juga membalikkan hati, dan hati akan melihat kebenaran sebagai kebathilan, kebathilan sebagai kebenaran, makruf sebagai mungkar, dan mungkar sebagai yang makruf. Ia berbuat kerusakan, tetapi merasa berbuat kebaikan. Ia menghalangi manusia dari jalan Allah, tetap ia merasa mengajak ke jalan kebenaran. Ia mendapat kesesatan akan tetapi merasa mendapat petunjuk dari Allah. Dia mengkuti hawa nafsu, namun merasa sebagai orang yang thaat kepda Allah. Ini semua adalah hukuman bagi ahli maksiat yang mengenai hati manusia.

Maksiat juga menghijab hati dari Allah di dunia dan hijab terbesar adalah ketika hari kiamat. Allah berfirman :
“.. Sesungguhnya mereka pada hari itu benar-benar terhalang dari (melihat)Tuhan mereka”. (Al-Muthaffifin : 15).
Wallahu’alam.
IKHLAS

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Musa Al Asy'ari disebutkan bahwa Rasulullah saw pernah ditanya tentang seseorang yang berperang karena keberaniannya, karena fanatisme, karena riyak, mana di antaranya yang berada di jalan Allah? Rasulullah menjawab, ''Barangsiapa yang berperang agar Kalimatullah itulah yang tertinggi, maka ia berada di jalan Allah.'' Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw bersabda, ''Sesungguhnya Allah tidak melihat tubuh dan penampilanmu, tetapi Allah melihat hatimu.''

Ikhlas adalah sebuah kata yang sangat mudah diucapkan, tapi sulit dilaksanakan. Mulut kita setiap saat boleh jadi mengatakan, ''Saya ikhlas kok.'' Tetapi, karena keikhlasan bukanlah aktivitas mulut, maka sebanyak apa pun kita mengatakan kita ikhlas, kalau hati tidak ikhlas maka itu tidak akan mempunyai arti sedikit pun di hadapan Allah. Para ahli sufi mengatakan, ''Amal itu bersifat fisik, sedangkan ruhnya adalah ikhlas.'' Oleh karenanya, setiap amal yang tidak dibangun di atas landasan keikhlasan adalah amalan mati yang tertolak dan tidak diberkahi.

Untuk mewujudkan perasaan ikhlas, setiap Muslim harus senantiasa meluruskan niatannya dalam setiap amal yang dilakukannya, meneliti setiap motivasi yang menggerakkannya untuk beramal. Setelah itu tidak ada waktu bagi seorang mukmin untuk diam tidak beramal karena takut tidak ikhlas, saatnya untuk segera beramal dengan penuh semangat dan kesungguhan seakan-akan Allah melihat sekecil apa pun kesalahan yang dia perbuat dalam setiap amal atau kerja yang dilakukan.

Ada berbagai dorongan kejiwaan yang dapat menyelewengkan kita dari keikhlasan, di antaranya: kekayaan, penampilan, ketenaran, pangkat, dan kepentingan. Setiap kita hendaknya meneliti hati dan jiwa kita, adakah salah satu dari hal tersebut di atas menjadi motivasi atau niat dalam kita beramal. Jikalau ternyata benar, jangan serta merta amalan itu kita tinggalkan, tetapi hendaklah kita luruskan niat semata-mata karena Allah, kemudian kita lanjutkan amal dan kerja dengan niat yang ikhlas.

Ketika keikhlasan sudah bersemayam di dalam setiap orang Muslim, maka ketika ada pekerjaan yang harus ditunaikan tentulah akan berdesak-desakan orang datang untuk mengerjakannya, menghilang ketika ada keuntungan, saling mengalah dalam urusan dunia, dan saling berlomba dalam urusan akhirat. Namun, ketika rasa ikhlas itu jauh dari hati orang mukmin tentu yang terjadi adalah sebaliknya, sepi ketika ada pekerjaan yang harus diselesaikan, berdesak-desakan ketika ada keuntungan, dan saling tidak mau kalah dalam urusan dunia, dan saling mengalah bahkan malas dalam urusan akhirat.

Keikhlasan akan menimbulkan kedamaian dan persaudaraan, sedangkan ketidakikhlasan akan menimbulkan kekacauan dan pecahnya persaudaraan. Ada sebuah kata-kata bijak yang dapat kita ambil hikmahnya: hendaklah Anda berbuat amalan-amalan yang mendatangkan pujian, kemudian Anda lari dari mendengar pujian-pujian itu. Allah juga telah mengingatkan kita dalam sebuah ayat untuk bekerja, beramal, beribadah semata-mata karena Allah. ''Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku adalah karena Allah Tuhan semesta alam, tidak ada sekutu baginya dan dengan itulah aku diperintahkan (Al An'am: 162-163)''.

Wallahu a'lam.

Wednesday, April 21, 2010

TAFAKUR

Tafakur
Syarah Hadits
13/4/2010 | 29 Rabiuts Tsani 1431 H | Hits: 1.674
Oleh: Mochamad Bugi

dakwatuna.com - Rasulullah saw. pernah bersabda, “Tafakkuruu fii khalqiLlahi wa laa tafakkaruu fiiLlahi, berpikirlah kamu tentang ciptaan Allah, dan janganlah kamu berpikir tentang Dzat Allah.” Hadits yang diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dari Ibnu Abbas ini menurut Syaikh Nashiruddin Al-Bani dalam kitab Shahihul Jami’ish Shaghir dan Silsilahtu Ahadits Ash-Shahihah berderajat hasan.
Hadits itu berbicara tentang salah satu ciri khas manusia yang membedakanya dari makhluk yang lain, bahwa manusia adalah makhluk yang berpikir. Dengan kemampuan itulah manusia bisa meraih berbagai kemajuan, kemanfaatan, dan kebaikan. Namun, sejarah juga mencatat bahwa tidak sedikit manusia mengalami kesesatan dan kebinasaan akibat berpikir.
Karena itu, Rasulullah saw. menghendaki kita, kaum muslimin, untuk punya budaya tafakur yang akan bisa mengantarkan kita kepada kemajuan, kemanfaatan, kebaikan, ketaatan, keimanan, dan ketundukan kepada Allah Ta’ala. Agar tujuan itu tercapai, Rasulullah saw. memberi rambu-rambu agar kita tidak salah dalam bertafakur. Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk bertafakur mengenai makhluk ciptaan Allah swt. Beliau melarang kita berpikir tentang Dzat Allah karena kita tidak akan mampu menjangkaunya, dan berpikir tentang Dzat Alllah bisa mengantarkan kita kepada kesesatan dan kebinasaan.
FADHAAILUT TAFAKKURI (KEUTAMAAN TAFAKUR)

Setidaknya ada empat keutamaan tafakur, yaitu:
1. Allah memuji orang-orang yang senantiasa bertafakur dan berdzikir dalam setiap situasi dan kondisi dengan menceritakannya secara khusus dalam Al-Qur’an di surat Ali Imran ayat 190-191. Sa’id Hawa dalam Al-Mustakhlash Fi Tazkiyatil Anfus halaman 93 berkata, “Dari ayat ini kita memahami bahwa kemampuan akal tidak akan terwujud kecuali dengan perpaduan antara dzikir dan pikir pada diri manusia. Apabila kita mengetahui bahwa kesempurnaan akal berarti kesempurnaan seorang manusia, maka kita bisa memahami peran penting dzikir dan pikir dalam menyucikan jiwa manusia. Oleh karena itu, para ahli suluk yang berupaya mendekatkan diri kepada Allah senantiasa memadukan antara dzikir dan pikir di awal perjalanannya menuju Allah. Sebagai contoh, di saat bertafakur tentang berbagai hal, mereka mengiringinya dengan tasbih, tahmid, takbir, dan tahlil.”
2. Tafakur termasuk amal yang terbaik dan bisa mengungguli ibadah. Ada atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban berbunyi, “Berpikir sesaat lebih utama daripada ibadah setahun.” Kenapa begitu? Karena, berpikir bisa memberi manfaat-manfaat yang tidak bisa dihasilkan oleh suatu ibadah yang dilakukan selama setahun. Abu Darda’ seorang sahabat yang terkenal sangat abid pernah ditanya tentang amalan yang paling utama, ia menjawab, “Tafakur.” Dengan tafakur seseorang bisa memahami sesuatu hingga hakikat, dan mengerti manfaat dari yang membahayakan. Dengan tafakur, kita bisa melihat potensi bahaya hawa nafsu yang tersembunyi di dalam diri kita, mengetahui tipu daya setan, dan menyadari bujuk rayu duniawi.
3. Tafakur bisa mengantarkan kita kepada kemuliaan dunia dan akhirat. Ka’ab bin Malik berkata, “Barangsiapa menghendaki kemuliaan akhirat, maka hendaknyalah ia memperbanyak tafakur.” Hatim menambahkan, “Dengan merenungi perumpamaan, bertambahlah ilmu pengetahuan; dengan mengingat-ingat nikmat Allah, bertambahlah kecintaan kepadaNya; dan dengan bertafakur, bertambahlah ketakwaan kepadaNya.” Imam Syafi’i menegaskan, “Milikilah kepandaian berbicara dengan banyak berdiam, dan milikilah kepandaian dalam mengambil keputusan dengan berpikir.” (lihat Mau’idhatul Mu’minin)
4. Tafakur adalah pangkal segala kebaikan. Ibnul Qayyim berkata, “Berpikir akan membuahkan pengetahuan, pengetahuan akan melahirkan perubahan keadaan yang terjadi pada hati, perubahan keadaan hati akan melahirkan kehendak, kehendak akan melahirkan amal perbuatan. Jadi, berpikir adalah asas dan kunci semua kebaikan. Hal ini bisa menunjukkan kepadamu keutamaan dan kemuliaan tafakur, dan bahwasanya tafakur termasuk amalan hati yang paling utama dan bermanfaat sampai-sampai dikatakan, ‘Tafakur sesaat lebih baik daripada ibadah setahun’. Tafakur bisa mengubah dari kelalaian menuju kesadaran, dan dari hal-hal yang dibenci Allah menuju hal-hal yang dicintaiNya, dari ambisi dan keserakahan menuju zuhud dan qana’ah, dari penjara dunia menuju keluasan akhirat, dari kesempitan kejahilan menuju bentangan ilmu pengetahuan, dari penyakit syahwat dan cinta kepada dunia menuju kesembuhan ruhani dan pendekatan diri kepada Allah, dari bencana buta, tuli, dan bisu menuju nikmat penglihatan, pendengaran, dan pemahaman tentang Allah, dan dari berbagai penyakit syubhat menuju keyakinan yang menyejukkan hati dan keimanan yang menentramkan.” (Miftah Daris Sa’adah: 226).

NATAAIJUT TAFAKKURI (BUAH TAFAKUR)
1. Kita akan mengetahui hikmah dan tujuan penciptaan semua makhluk di langit dan bumi sehingga menambah keimanan dan rasa syukur.
Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya. [Ar-Ruum, 8]
2. Kita bisa membedakan mana yang bermanfaat sehingga bersemangat untuk meraihnya, mana yang berbahaya hingga berusaha mengindarinya.
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ” yang lebih dari keperluan.” Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir. (Al-Baqarah: 219)
3. Kita bisa memiliki keyakinan yang kuat mengenai sesuatu, dan menghindari diri dari sikap ikut-ikutan terhadap opini yang berkembang.
Katakanlah: “Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian kamu pikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras. (Saba: 46)
4. Kita bisa memperhatikan hak-hak diri kita untuk mendapatkan kebaikan, sehingga tidak hanya berusaha memperbaiki orang lain dan lupa pada diri sendiri.
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Al-Baqarah: 44)
5. Kita bisa memahami bahwa akhirat itu lebih utama, dan dunia hanya sarana untuk membangun kebahagiaan akhirat.
Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Maka tidakkah mereka bepergian di muka bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan Rasul), dan sesungguhnya kampung akhirat adalah lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memikirkannya? (Yusuf: 109)
Dan apa saja[1130] yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka Apakah kamu tidak memahaminya? (Al-Qashash: 60). [1130] Maksudnya: hal-hal yang berhubungan dengan duniawi seperti, pangkat kekayaan keturunan dan sebagainya.
6. Kita bisa menghindari diri dari kebinasaan yang pernah menimpa orang-orang sebelum kita.
Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (Muhammad: 10)
7. Bisa menghindari diri dari siksa neraka karena bia memahami dan mengamalkan ajaran agama dan meninggalkan kemaksiatan dan dosa-dosa, terutama syirik.
Dan mereka berkata, “Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala”. (Al-Mulk: 10)
Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka Apakah kamu tidak memahami? (Al-Anbiyaa’ : 67)

DHAWABITHUT TAFAKKURI (BATASAN TAFAKUR)
Imam Al-Ghazali berkata, “Ketahuilah bahwa semua yang ada di alam semesta, selain Allah, adalah ciptaan dan karya Allah Ta’ala. Setiap atom dan partikel, apapun memiliki keajaiban dan keunikan yang menunjukkan kebijaksanaan, kekuasaan, dan keagungan Allah Ta’ala. Mendata semuanya adalah sesuatu yang mustahil, karena seandainya lautan adalah tinta untuk menuliskan semua itu niscaya akan habis sebelum menuliskan sepersepuluhnya saja dari semua ciptaan dan karya-Nya.”
Jadi, tafakur adalah ibadah yang bebas dan terlepas dari ikatan segala sesuatu kecuali satu ikatan saja, yaitu tafakur mengenai Dzat Allah.
Saat bertafakur sebenarnya seorang muslim sedang berusaha meningkatkan ketaatan, menghentikan kemaksiatan, menghancurkan sifat-sifat destruktif dan menumbuhkembangkan sifat-sifat konstruktif yang ada dalam dirinya. Berhasil tidaknya hal itu dicapai sangat dipengaruhi banyak faktor, di antaranya:

Kedalaman ilmu
Konsentrasi pikiran
Kondiri emosional dan rasional
Faktor lingkungan
Tingkat pengetahuan tentang objek tafakur
Teladan dan pergaulan
Esensi sesuatu
Faktor kebiasaan

KENAPA KITA DILARANG TAFAKKUR MENGENAI DZAT ALLAH SWT.?
Setidaknya ada dua alasan, yaitu:

1. Kita tidak akan sanggup menjangkau kadar keagunganNya.
Allah swt. tidak terikat ruang dan waktu. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Bagi Tuhanmu tidak ada malam, tidak pula siang. Cahaya seluruh langit dan bumi berasal dari cahaya wajah-Nya, dan Dia-lah cahaya langit dan bumi. Pada hari kiamat, ketika Allah datang untuk memberikan keputusan bumi akan tenang oleh cahayaNya.
(Dia) Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri pasangan-pasangan dan dari jenis binatang ternak pasangan- pasangan (pula), dijadikan-Nya kamu berkembang biak dengan jalan itu. tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat. (Asy-syuuraa: 11)
Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui. (Al-An’am: 103)
Ibnu Abbas berkata, “Dzat Allah terhalang oleh tirai sifat-sifat-Nya, dan sifat-sifat-Nya terhalang oleh tirai karya-karya-Nya. Bagaimana kamu bisa membayangkan keindahan Dzat yang ditutupi dengan sifat-sifat kesempurnaan dan diselimunti oleh sifat-sifat keagungan dan kebesaran.”

2. Kita akan terjerumus dalam kesesatan dan kebinasan.
Memberlakukan hukum Sang Khalik terhadap makhluk ini adalah sikap ghulluw (berlebihan). Itulah yang terjadi di kalangan kaum Rafidhah terhadap Ali r.a. Sebaliknya, memberlakukan hukum makhluk terhadap Sang Khalik ini sikap taqshir. Perbuatan ini dilakukan oleh aliran sesat musyabihhah yang mengatakan Allah memiliki wajah yang sama dengan makhluk, kaki yang sama dengan kaki makhluk, dan seterusnya. Semoga kita bisa terselamatkan dari kesesatan yang seperti ini. Amiin.

MENAJAMKAN NALURI KASIH SAYANG

Oleh KH Didin Hafidhuddin

Peristiwa bentrokan berdarah yang terjadi antara sebagian masyarakat dengan anggota Satpol PP di Koja Tanjung Priok Rabu (14/4) lalu merupakan sebuah tragedi kemanusiaan yang sangat memilukan. Betapa tidak, setiap kelompok yang terlibat berlomba-lomba mencederai lawannya, tanpa sedikit pun terlihat rasa malu dan belas kasihan. Sebaliknya, justru tampak amarah dan kebencian yang sangat mendalam. Padahal, rakyat negeri ini merupakan masyarakat religius dan mayoritas beragama Islam.

Inti ajaran Islam adalah menebarkan kedamaian dan kasih sayang. Rasulullah SAW menyatakan, salah satu kunci untuk masuk ke dalam surga adalah menebarkan salam (kedamaian dan keselamatan). Dari Ibn Thabari dari Ibn Umar, Rasul SAW bersabda, ''Seutama-utamanya keimanan dan keislaman seseorang adalah apabila Muslim yang lain terselamatkan dari caci-maki lisannya dan kekerasan serta kekasaran tangannya.''

Rasulullah SAW juga menyatakan, kalau kita ingin meraih kasih sayang Allah SWT dan para malaikat-Nya, maka tebarkan kasih sayang dan kecintaan kepada seluruh umat manusia dan makhluk lainnya yang ada di muka bumi ini (irhamu man fil ardi, yarhamkum man fissamaa`).

Dari keterangan tersebut di atas, dapatlah diketahui bahwa tidak ada iman, Islam, dan agama tanpa menebarkan kasih sayang, cinta dan kedamaian kepada sesama. Karena itu, upaya untuk menajamkan naluri kasih sayang dan kecintaan ini harus dilakukan terus-menerus. Pertama, komunikasi, dialog, dan musyawarah harus menjadi acuan utama dalam memecahkan berbagai macam persoalan, sehingga tidak terjadi miskomunikasi antarberbagai pihak yang sedang memiliki masalah.

Rasul SAW menyatakan, ''Tidak akan merugi orang suka istikharah (meminta yang terbaik kepada Allah SWT) dan tidak akan pernah bersedih orang yang mengedepankan musyawarah.'' Kedua, Penyelesaian dilakukan secara adil (islah) atas dasar hukum dan undang-undang yang berlaku yang disertai dengan petunjuk dari Alquran dan sunah Rasul SAW (lihat QS Al-Hujurat: 8-9).

Ketiga, jauhkan sikap arogansi kekuasaan dan fanatisme kelompok yang melahirkan kekerasan tanpa dilandasi pemikiran-pemikiran yang jernih dan rasional. Keempat, semua pihak yang bersengketa harus mengedepankan kejujuran dan keadilan dalam menyelesaikan berbagai macam masalah.

Di samping itu, bimbingan dan suri teladan dari para pejabat, para tokoh, dan pemimpin umat menjadi suatu keharusan, sekaligus suatu keniscayaan. Mudah-mudahan tragedi kemanusiaan seperti di Koja, Tanjung Priok, tidak akan berulang kembali dalam sejarah kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia yang religius. Wa Allahu a'lam.