visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, December 30, 2010

Kelemahan Ke 13 : Memiliki Sikap Standar Ganda

Standar umum yang berlaku dalam gerakan dakwah – sampai saat ini masih berlaku – ialah bahwa anggota dihisab/dinilai di hadapan qiyadah/pepimpin. Kondisi ini mengharuskan mereka TAAT MUTLAK dalam keadaan suka maupun terpaksa.

Namun, kebutuhan untuk menilai/mengevaluasi para pemimpin gerakan dakwah masih hal yang tabu untuk didiskusikan dan dibahas. Demikian pula halnya terhadap organisasi dan prakteknya, kendati sudah sangat dibutuhkan.

Pada umumnya para pemimpin itu saat memaparkan laporan kerja mereka dan kerja organisasi melakukannya secara umum dan dengan bahasa yang umum pula seperti, “segala sesatu berjalan dengan baik”, “dakwah mengalami kemajuan”, “sesungguhnya masa depan Islam cerah”, “kemenangan sudah dekat”, “mereka melihatnya jauh, namun kami melihatnya dekat”, “kalian (para anggota) harus memperkuat keimanan dan memberikan pengorbanan yang lebih banyak lagi”, dan banyak lagi ungkapan-ungkapan umum lainnya.

(Nah, pertanyaan berikutya adalah : Jika dalam berharokah ada pemimpin yang mau membuat dan memberikan laporan dan pertanggung jawaban terhadap kinerjanya dan kondisi organisasinya secara umum masih dianggap belum cukup dan masih dianggap pemimpin tersebut bermasalah.

Maka bagaimana dengan pemimpin yang sudah memimpin puluhan tahun dan bahkan menginginkannya sampai mati. Namun tidak pernah membuat laporan pertanggung jawaban kinerjanya dan organisasi? Inilah tragedy dan ironi gerakan dakwah masa kini yang paling mengerikan.)

Gerakan dakwah kehilangan dasar-dasar ilmiyah yang dijadikan sandaran untuk mengevalusasi dan menilai para anggotanya… Belum ada statistik atau fakta-fakta yang berdasarkan angka-angka.

Tidak ada pula analisa objektif baik kuantitatif maupun kualitatif, khususnya terkait penjelasan tentang keanggotaan, masalah keuangan, laporan/ survey untuk mengetahui opini umum (yang berkembang dalam internal organisasi), taqwim jama’i (evaluasi jamaah), maupun kualitas kerja organisasi.

Yang terjadi adalah, seringkali sebagian pemimpin itu menolak untuk menjawab suatu pertanyaan dengan alasan keharusan sirriyah (rahasia tanzhim) dan tidak bisa dibuka secara umum (atau dengan bahasa lainnya, ini atau itu adalah urusan qiyadah, cukuplah dia saja yang tahu).

Sesungguhnya gerakan dakwah itu mustahil berada dalam situasi dan kondisi yang sehat bila qiyadah (pemimpin)-nya tidak tunduk pada “evaluasi objektif secara rutin”. Sebab itu, orang-orang yang menantang untuk mejadi pemimpin atau ingin terus menjadi pemimpin perlu dihadapkan kepada tantangan-tantangan yang riil dan harus selalu dituntut untuk meningkatkan kualitas kinerja mereka.

Hal yang sangat krusial lainnya ialah, bahwa pertanggung jawaban dan evaluasi keuangan jamaah/gerakan dakwah itu memiliki dimensi akhlak dalam internal gerakan dan dimensi hukum dalam sebuah negara.

Sebab itu, gerakan dakwah harus mengeluarkan laporan dan penjelasan-penjelasan keuangan dan siap dievaluasi dan diaudit yang didasari oleh landasan yang benar dan sehat.

(Sungguh merupakan musibah besar dalam gerakan dakwah bila sistem dan kebijakan keuangan yang diterapkan adalah sistem sentralistik dengan berbagai alasan dan dalil syar’i yang dikemukakan.

Sesungguhnya yang terjadi adalah qiyadahnya tidak pernah siap memberikan laporan keuangan kepada anggota jamaahnya, karena takut diketahui penyimpangan mereka….. Inilah di antara efek negatif double standard /standar ganda yang mereka terapkan).

Wednesday, December 29, 2010

Setiap Kebaikan adalah Sedekah

1 ـ عن جابر بن عبد الله ـ رضي الله عنهما ـ عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال :” كل معروفٍ صدقة “ . رواه البخاري ، ومسلم .

dakwatuna.com – Dari Jabir bin Abdullah RA, dari Nabi Muhammad saw bersabda: “Semua kebaikan itu adalah sedekah.” (HR Al Bukhari dan Muslim)

Penjelasan:

كل معروفٍ Kebaikan yang lahir dari manusia dalam bentuk perbuatan aktif, atau meninggalkan perbuatan tertentu. Dicatat pahala sedekah baginya.

Al Ma’ruf adalah semua yang diketahui berdasarkan dalil syar’i termasuk dalam amal kebaikan. Maka termasuk dalam al ma’ruf itu adalah nafkah suami kepada istrinya, berwajah cerah ketika berjumpa dengan saudaranya. Demikian juga tidak melakukan keburukan adalah salah satu bentuk al ma’ruf.

2 ـ عن أبي موسى الأشعري ـ رضي الله عنه ـ قال : قال النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ : ” على كل مسلم صدقة . قالوا : فإن لم يجد ؟ قال فيعمل بيديه ، فينفع نفسه ، ويتصدق . قالوا : فإن لم يستطع ، أو لم يفعل ؟ قال : فيعين ذا الحاجة الملهوف : قالوا : فإن لم يفعل ؟ قال : فيأمر بالخير ـ أو قال بالمعروف . قال : فإن لم يفعل ؟ قال فليمسك عن الشر ، فإنه له صدقة “

Dari Abu Musa Al Asy’ariy RA berkata, Nabi Muhammad SAW bersabda: “Setiap muslim harus bersedekah.” Para sahabat bertanya: “Jika tidak memiliki sesuatu untuk bersedekah?” Jawab Nabi: “Bekerja dengan tangannya, sehingga bermanfaat bagi dirinya dan bersedekah.” Para sahabat bertanya lagi: “Jika tidak mampu atau tidak melakukannya?” Jawab Nabi: “Membantu orang yang memerlukan yang mengharapkan bantuan.” Para sahabat bertanya lagi: “Jika tidak mampu?” Jawab Nabi: “Menyuruh yang baik –atau ma’ruf.” Ada yang bertanya lagi: “Jika tidak mampu?” Jawab Nabi: “Hendaklah menahan diri dari keburukan, karena sesungguhnya itu adalah shadaqah.”

Penjelasan:

Sabda Nabi Muhammad SAW: فيعمل بيده فينفع bekerja dengan tangannya, pekerjaan apa saja yang bisa dikerjakannya seperti : kerajinan tangan, dagang, dll.

لنفسه Bisa membiayai diri sendiri dan orang yang menjadi tanggung jawabnya, sehingga tidak meminta-minat kepada orang lain.

ويتصدق Dan bersedekah sehingga bermanfaat bagi orang lain, dan berpahala.

فإن لم يستطع ، أو لم يفعل Jika tidak mampu melakukannya, atau tidak mengerjakannya karena malas. Ada keraguan perawi.

Jawab Nabi: فيعين maka membantu dengan ucapan atau perbuatan, atau kedua-duanya.

ذا الحاجة الملهوف Orang yang memerlukan, teraniaya, meminta pertolongan, berduka, atau dalam kesulitan.

فإن لم يفعل ” ذلك عجزاً ، أو كسلاً Jika ia tidak melakukannya karena tidak mampu atau malas?

Jawab Nabi: فيأمر بالخير أو قال بالمعرو menyuruh yang baik atau yang ma’ruf, perawi hadits ini ragu.

Ar Rhaghib berkata: Al Ma’ruf adalah nama untuk semua perbuatan yang dikenal baik menurut syariah maupun akal sehat. Maka semua yang ma’ruf adalah baik.

قال Berkata salah seorang sahabat yang ada ketika Rasulullah menyampaikan hal ini. Jika tidak mampu? Jawab Nabi: فليمسك عن الشر فإنه له صدقة ” Hendaklah ia menahan diri dari perbuatan buruk. Karena sikap ini adalah sedekah baginya.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran anjuran bersedekah dengan harta, sebagaimana anjuran bekerja dan berusaha agar mendapatkan nafkah untuk dirinya, dapat bersedekah kepada orang lain, menjaga kehormatan diri dari meminta-minta.

Dari hadits ini dapat pula diambil pelajaran anjuran berbuat kebaikan semaksimal mungkin. Dan bahwa seseorang yang telah berniat melakukan kebaikan kemudian mengalami kesulitan hendaklah berpindah kepada kebaikan lainnya. Karena semua perbuatan baik adalah ma’ruf, dan semua yang ma’ruf adalah sedekah.

Menyayangi Manusia dan Hewan (01)

1 ـ عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ ابْنِ الْحُوَيْرِثِ ـ رضي الله عنه ـ قَالَ أَتَيْنَا النَّبِيّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ وَنَحْنُ شَبَبَةٌ ، مُتَقَارِبُونَ ، فَأَقَمْنَا عِنْدَهُ عِشْرِينَ لَيْلَةً ، فَظَنَّ أَنَّا اشْتَقْنَا أَهْلَنَا ، وَسَأَلَنَا عَمَّنْ تَرَكْنَا فِي أَهْلِنَا ، فَأَخْبَرْنَاهُ ، وَكَانَ رَفِيقًا رَحِيمًا ، فَقَالَ : ارْجِعُوا إِلَى أَهْلِيكُمْ ، فَعَلِّمُوهُمْ ، وَمُرُوهُمْ ، وَصَلُّوا ، كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي ، وَإِذَا حَضَرَتِ الصَّلاةُ ؛ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ ، ثُمَّ لِيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ “رواه البخاري .

Dari Abu Sulaiman Malik bin Al Huwairits RA berkata: Kami menemui Nabi Muhammad saw, ketika itu kami masih muda, rata-rata usianya. Kami berada bersama Nabi Muhammad saw selama dua puluh hari, sehingga ia menganggap kami telah rindu kepada keluarga kami, ia menanyakan kepada kami tentang keluarga yang kami tinggalkan. Lalu kami sampaikan kepadanya. Nabi Muhammad adalah orang yang sangat lemah lembut dan penyayang. Lalu bersabda: Pulanglah ke keluarga kamu semua, ajarkan kepada mereka, suruhlah mereka, dan shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat. Dan jika datang waktu shalat hendaklah ada salah seorang di antaramu mengumandangkan adzan, kemudian yang paling tua hendaklah menjadi imam. (HR. Al Bukhari)

Penjelasan:

عَنْ أَبِي سُلَيْمَانَ مَالِكِ ابْنِ الْحُوَيْرِثِ ـ رضي الله عنه Al Laitsiy, tinggal di Bashrah.

وَنَحْنُ شَبَبَةٌ Bentuk jama’ dari kata seperti kata شاب pemuda. Seperti kata كتبة وكاتب para penulis. متقاربون Berdekatan usianya.

وكان رفيقاً Dengan fa’ lalu qaf, dari kata الرفق lemah lembut. Dalam riwayat lain وكان رقيقاً : dengan dua qaf, dari kata الرقة :sensitif

فعلموهم ” أي الشرع “ Ajarkan kepada mereka agama

” ومروهم ” أي بالمأمورات التي أمر الله تعالى بها Suruhlah mereka dengan perintah-perintah Allah, antara lain: shalat, rukun kedua dalam Islam, ajarkan kepada mereka, suruhlah mereka mengerjakannya.

” وليؤمكم أكبركم ” سناً Hendaklah yang lebih tua usianya di antara kalian menjadi imam. Hal ini tidak menafikan prioritas yang paling mengerti As Sunnah, paling banyak hafalan Al Qur’an, paling menjaga agamanya. Jika mereka sama dalam hal ini maka diprioritaskan yang paling tua usianya.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:

Keutamaan menyayangi sesama manusia –meneladani Rasulullah saw- dialah orang yang sangat lembut dan penyayang. Dan di antara kelembutan dan kasih sayangnya adalah perhatian kepada Malik bin Al Huwairits dan teman-temannya yang telah rindu kepada keluarganya . sehingga Nabi perintahkan kepada mereka: ” ارجعوا إلى أهليكم ” Pulanglah kepada keluarga kalian semua. Agar berbahagia dengan perjumpaan.

2 ـ عن أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضي الله عنه ـ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ قَالَ : بَيْنَا رَجُلٌ يَمْشِي اشْتَدَّ عَلَيْهِ الْعَطَشُ فَنَزَلَ بِئْرًا ، فَشَرِبَ مِنْهَا ، ثُمَّ خَرَجَ ، فَإِذَا هُوَ بِكَلْبٍ يَلْهَثُ يَأْكُلُ الثَّرَى مِنَ الْعَطَشِ ، فَقَالَ لَقَدْ بَلَغَ هَذَا الكلب من العطش مِثْلُ الَّذِي بَلَغَ بِي فنزل البئر ، فَمَلأَ خُفَّهُ ثُمَّ أَمْسَكَهُ بِفِيهِ ، فَسَقَى الْكَلْبَ فَشَكَرَ اللَّهُ لَهُ ، فَغَفَرَ لَهُ . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَإِنَّ لَنَا فِي الْبَهَائِمِ أَجْرًا ؟ قَالَ : فِي كُلِّ كَبِدٍ رَطْبَةٍ أَجْرٌ ” رواه البخاري .

Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah saw bersabda: Ketika seorang laki-laki berjalan ia mengalami dahaga yang sangat luar biasa. Lalu ia turun ke dalam sumur, minum airnya, lalu naik keluar. Tiba-tiba ia dapati seekor anjing yang menjulurkan lidahnya karena kehausan. Ia berkata (dalam hati): anjing ini telah kehausan seperti kehausan yang aku alami. Lalu ia kembali turun ke dalam sumur, ia penuhi sepatunya dengan air, ia pegang dengan mulutnya, lalu diberikan minum untuk anjing itu. Allah membalasnya dan mengampuni dosanya. Para sahabat bertanya: Ya Rasulullah apakah kita mendapatkan pahala dari hewan-hewan ternak kita? Jawab Nabi: Dalam setiap hati yang basah terdapat pahala. (HR Al Bukhari)

Penjelasan:

” ثم خرج ” : من البئر . Kemudian keluar dari sumur

” يلهث “Dengan tsa’ bertitik tiga, أي يخرج لسانه من العطش . artinya menjulurkan lidahnya karena kehausan ” يأكل الثرى “dengan tsa’ bertitik tiga Makan tanah أي التراب الندي yang basah/lembab .

” من العطش “ Karena rasa sangat haus yang menimpanya

” لقد بلغ هذا الكلب ” Anjing ini telah mengalami .

” بفيه ” بفمهdengan mulutnya. ” فشكر الله له ذلك “:أي جازاه عليه Allah membalasnya.

” فقالوا يا رسول الله وإن لنا في ” سقى ” البهائم أجراً ؟ Lalu para sahabat bertanya: Ya Rasulullah, apakah kita mendapatkan pahala ketika memberi minum hewan ternak kita?

Rasulullah saw menjawab: نعم . في كل ذات كبد رطبة ” أي في سقي كل حيوان ” أجر ” Ya dalam setiap memberikan minum hewan terdapat pahala.

والرطوبة ـ هنا ـ كناية عن الحياة Kata basah adalah kata kinayah/pinjaman/istilah lain untuk kata hidup. Ada yang mengatakan: Bahwa hati itu ketika haus, ia akan basah. Dengan alasan bahwa hati ketika dilemparkan ke dalam api akan tampak basah. Hal ini disebabkan karena api mengeluarkan bahan basahnya.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang keutamaan menyayangi hewan.

Menyayangi Manusia dan Hewan (02)

Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

________________________________________

3 ـ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ـ رضي الله عنه ـ قامَ رَسُولَ اللَّهِ ـ صلى الله عليه وسلم ـ في الصَّلاةِ ، وَقُمْنَا مَعَهُ ، فَقالَ أعْرَابِيٌّ ـ وَهُوَ فِي الصَّلاةِ ـ : اللهُمَّ ارْحَمْنِي وَمُحَمَّداً ، وَلا تَرْحَمْ مَعَنَا أحَداً ، فَلَمَّا سَلَّمَ النَّبِيُّ ـ صلى الله عليه وسلم ـ قالَ لِلأعْرَابِي : لَقَدْ حَجَّرْتَ وَاسِعاً ، يُرِيْدُ رَحْمَةَ اللهِ ” .رواه البخاري .

dakwatuna.com – “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah saw berdiri shalat, kami berdiri bersamanya. Lalu seorang a’rabiy (Arab Badui) berkata dalam shalatnya: Ya Allah ampunilah saya dan Muhammad, dan jangan seorang pun Engkau ampuni bersama kami. Maka ketika Nabi Muhammad salam (selesai shalat) berkata kepada A’rabiy tadi: Sesungguhnya engkau telah mempersempit yang luas, maksudnya adalah rahmat Allah.” (HR Al Bukhari)

Penjelasan:

” فقال أعرابي ” Berkata seorang A’rabiy, yaitu Dzul Huwaishirah Al Yamaniy, ada pula yang mengatakan bahwa dialah Al Aqra’ in Habis.

Rasulullah saw bersabda kepada a’rabiy tadi dengan penolakan. Karena ia pelit dengan rahmat Allah kepada makhluk-Nya. لقد حجرت واسعاً Ha’ tanpa titik dibaca fathah, jim dibaca tasydid dan ra’ dibaca sukun/mati; artinya: mempersempit sesuatu yang luas, yang menjangkau banyak orang yang berhak mendapatkannya. Dan yang dimaksudkan Rasulullah saw adalah rahmat Allah yang menjangkau segala sesuatu.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang luasnya rahmat Allah, dan bahwasanya tidak boleh membatasi rahmat Allah hanya untuk diri sendiri saja tanpa lainnya yang juga berhak mendapatkannya.

4 ـ عن النعمان بن بشير ـ رضي الله عنه ـ قال : قال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ : ترى المؤمنين في تراحمهم ،وتوادهم ، وتعاطفهم ، كمثل الجسد ، إذا اشتكى منه عضو ، تداعى له سائر جسده بالسهر والحمى ” رواه البخاري ومسلم

Dari An Nu’man bin Basyir RA berkata: “Rasulullah saw bersabda: Kamu melihat kaum mukminin dalam berkasih sayang, mencintai, tenggang rasa, adalah seperti satu tubuh, jika ada bagian tubuh yang sakit maka seluruh tubuh lainnya merasakan panas dan berjaga.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)

Penjelasan:

عن النعمان بن بشير ” الأنصاري ” Dari An Nu’man bin Basyir Al Anshari ra

ترى المؤمنين ” أي الكاملين في إيمانهم Kamu melihat kaum mukminin yang sempurna imannya

في تراحمهم Saling menyayangi satu sama lain, tidak ada sebab lain kecuali keimanan

وتوادهم Dal bertasydid, aslinya ada dua huruf dal, lau diidzghamkan, artinya: hubungan cinta mereka, seperti ziarah dan memberikan hadiah.

تعاطفهم Saling bantu di antara mereka, seperti tubuh dengan seluruh anggotanya. Kemiripannya adalah pada persamaan senggang dan lelah.

إذا اشتكى عضو ” منه ” تداعى له سائر جسده Jika ada salah satu tubuh yang sakit maka bagian tubuh lainnya bekerja sama dalam memikul rasa sakit itu.

بالسهر tidak bisa tidur, karena sakit akan menghilangkan rasa kantuk/tidur, dan والحمى panas bisa terjadi ketika orang tidak bisa tidur

Kesimpulannya: bahwa perumpamaan tubuh itu jika ada salah satu organ yang sakit maka semua tubuh akan itu sakit, seperti pohon, jika salah satu dahannya ditarik maka bagian batang lainnya akan ikut bergerak.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:

1. Dibolehkan membuat penyerupaan dan contoh untuk mendekatkan pemahaman

2. Sesungguhnya persatuan kaum mukminin yang sempurna imannya adalah sifat asasinya

3. Besarnya hak sesama muslim dan anjuran untuk saling membantu, dan saling memperhatikan satu sama lain

5 ـ عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ عن النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قال : ” ما من مسلم غرس غرساً ، فأكل منه إنسان ، أو دابة ، إلا كان له به صدقة ” .

Dari Anas bin Malik ra, dari Nabi Muhammad saw bersabda: “Tidak ada seorang muslim yang menanam tanaman, lalu dimakan manusia atau hewan, kecuali menjadi sedekah baginya.”

Penjelasan:

فأكل منه إنسان أو دابة Lalu dimakan manusia atau hewan. Penggabungan kata umum pada kata khusus. Jika yang dimaksudkan adalah semua yang berjalan di muka bumi. Atau penggabungan satu jenis kepada jenis lain, jika yang dimaksudkan adalah hewan melata seperti yang kita kenal. Dan inilah yang lebih kuat.

Ibnu Abi Jamrah mengatakan: kuda masuk dalam cakupan umum kata insan.

كان له به صدقة Menjadi sedekah baginya, meskipun ia tidak secara khusus berniat sedekah dengan hal itu.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran antara lain:

1. Mengingatkan kedudukan seorang muslim, bahwa ia mendapatkan pahala cocok tanamnya, meskipun tidak secara khusus berniat sedekah

2. Anjuran untuk pekerjaan-pekerjaan yang banyak menghasilkan pahala, seperti menanam yang bermanfaat bagi manusia dan hewan

3. Bahwa mengerjakan keputusan Allah untuk memakmurkan bumi ini tidak menafikan nilai ibadah, zuhud dan tawakal

4. Anjuran belajar hadits/As Sunnah, untuk mengenali amal kebaikan, sehingga senang mengerjakannya. Karena seperti pahala bercocok tanam ini tidak akan pernah ditemui kecuali dalam As Sunnah.

Bertutur Kata yang Baik

عن عديّ بن حاتم ـ رضي الله عنه ـ قال : ذكر النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ النار ، فتعوذ منها ، وأشاح بوجهه ، ثم ذكر النار ، فتعوذ منها ، وأشاح بوجهه ، ثم ذكر النار ، فتعوذ منها ، وأشاح بوجهه . قال شعبة : إما مرتين ـ فلا أشك ، ثم قال : ” اتقوا النار ولو بشق تمرة ، فإن لم يجد ـ فبكلمة طيبة ” . رواه البخاري .



“Dari ‘Adiy bin Hatim RA berkata: Nabi Muhammad saw pernah menyebutkan tentang neraka, kemudian berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Kemudian menyebutkan neraka lalu berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Kemudian menyebutkan neraka dan berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Syu’bah berkata: kemungkinan dua kali, lalu saya tidak ragu. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Takutlah neraka walaupun hanya dengan sebutir kurma, jika tidak ada maka dengan tutur kata yang baik.” (HR Al Bukhari)

Penjelasan:

باب طيب الكلام Bab tentang disyariatkannya tutur kata yang indah. Tutur kata yang indah adalah amal kebaikan yang besar nilainya, karena firman Allah:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ﴿٣٤﴾

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)

Pertahanan itu sebagaimana dilakukan dengan perbuatan bisa juga dilakukan dengan perkataan. Kalimat yang indah seperti halnya perbuatan yang baik akan membuat musuh yang membahayakan menjadi teman yang menyenangkan.

عن عديّ بن حاتم Dari ’Adiy bin Hatim At Tha’iy. Hatim adalah orang yang dikenal sebagai dermawan Arab, tidak sempat bertemu Islam. Berkata:

ذكر النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ النار Rasulullah saw menyebut neraka yang disediakan bagi kaum kafir, seperti yang diterangkan dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

فتعوذ منها kemudian berlindung diri darinya. Salah satu bentuk pelajaran Nabi kepada umatnya.

وأشاح hamzah dibaca fathah, syin bertitik diikuti dengan alif dan berakhir dengan ha’ tanpa titik. Bermakna memalingkan wajah. Sebuah ekspresi tidak senang kepada sesuatu. Sepertinya Rasulullah saw melihatnya dan memperingatkannya dengan wajahnya.

Syu’bah bin Hajjaj salah seorang yang menjadi sanad (sandaran hadits ini) berkata: إما مرتين Rasulullah menyebutnya dua kali dan mengekspresikannya dengan wajahnya, فلا أشك ini yang tidak aku ragukan, sedangkan tiga kali penyebutan neraka saya masih ragu.

Kemudian Rasulullah saw bersabda: اتقوا النار, takutlah neraka dengan membuat penghalang antara kalian dengannya.

ولو بشق تمرة Syin bertitik dibaca kasrah, artinya sepotong kurma.

فإن لم يجد Maka jika tidak mendapatkannya, فبكلمة طيبة maka bisa dengan tutur kata yang baik, artinya takutlah neraka dengan tutur kata yang baik, berdzikir menyebut nama Allah dan mengagungkan-Nya, seperti dengan ucapan:

سبحان الله ، أو الحمد لله ، أو لا إله إلا الله ، أو الله أكبر atau

لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم atau dengan amar ma’ruf nahi munkar dengan tutur kata yang baik.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:

Bahwa neraka yang di dalamnya terdapat azab dari Allah adalah sesuatu mengharuskan kita berlindung diri kepada Allah darinya, kembali kepada Allah untuk menghindarinya, dan menyelamatkan diri dari azab pedihnya

Di antara sarana preventifnya yang dapat menghadirkan ridha Allah adalah bersedekah sekecil apapun dan bertutur kata dengan baik. Dari itulah Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: … والكلمة الطيبة صدقة dan tutur kata yang baik adalah sedekah.

Kelembutan dalam segala urusan

1 ـ عن عائشة رضي الله عنها ـ زوج النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قالت : دخل رهط من اليهود على رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقالوا : السام عليكم . قالت عائشة : ففهمتها ، فقلت : وعليكم السام واللعنة ، قالت : فقال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ : مهلاً يا عائشة ، إن الله يجب الرفق في الأمر كله . فقلت : يا رسول الله ، أو لم تسمع ما قالوا ؟ قال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ : قد قلت ‎: وعليكم “رواه البخاري ، ومسلم ، والنسائي .


dakwatuna.com – Dari Aisyah RA istri Rasulullah SAW berkata: Sekelompok Yahudi masuk ke rumah Rasulullah saw, mereka mengucapkan: kematian atasmu. Aisyah RA berkata: Aku memahaminya, lalu aku menjawab: Dan atas kalian semua kematian dan kutukan. Aisyah berkata: Maka Rasulullah saw bersabda: Tenanglah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah swt mencintai kelembutan dalam segala urusan. Lalu aku berkata: Ya Rasulullah tidakkah engkau dengar apa yang mereka katakan? Rasulullah saw menjawab: Aku sudah jawab: dan atas kamu semua.

Penjelasan:

الرفق Ra’ dibaca kasrah. Yaitu lembut/lunak dalam bertutur kata dan berbuat, juga bermakna: memilih yang lebih mudah في الأمر كله dalam semua urusan.

رهط Sekelompok lelaki yang berjumlah kurang dari sepuluh.

Lalu mereka mengucapkan: السام عليكم Sin tanpa titik, dan mim tanpa tasydid. Artinya kematian atasmu. Ada yang memaknai: Mereka bermaksud mengucapkan: Semoga Allah matikan kamu saat ini.

Aisyah RA berkata: aku paham kalimat itu: السام عليكم sehingga aku katakan kepada mereka: وعليكم السام ، واللعنة yaitu terusir dari rahmat Allah, karena kebencian mereka terhadap Rasulullah saw yang terungkap dalam ucapannya: السام عليكم . lalu Rasulullah saw mengatakan: مهلاً mim dibaca fathah, dan ha’ dibaca sukun/mati, dibaca nashab dalam bentuk masdar, untuk satu orang atau lebih, mudzakkar (lk) atau muannats (pr) artinya: pelan-pelan, dan lembutlah. Dalam riwayat Al Bukhari yang lain:

مهلاً يا عائشة عليك بالرفق وإياك والعنف والفحش أي التكلم بالقبيح

Tenanglah wahai Aisyah, lembutlah kamu dan jauhilah sikap kasar dan keji, yaitu bertutur kata buruk.

إن الله يحب الرفق في الأمر كله Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam semua urusan. Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

إن الله رفيق يحب الرفق ، ويعطي على الرفق مالا يعطي على العنف

Sesungguhnya Allah Maha Lembut mencintai kelembutan, dan memberikan pada kelembutan yang tidak diberikan kepada sikap kasar.

Artinya: Bahwa Allah –menghadirkan – kepada sikap kelembutan dalam semua urusan yang tidak diberikan kepada lawannya yaitu sikap kasar.

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

إن الرفق ـ لا يكون في شيء إلا زانه ،ولا ينزع من شيء إلا شانه

Sesungguhnya kelembutan itu tidak akan ada pada apapun kecuali akan memperindahnya. Dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan memperburuknya.

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah RA berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

من يحرم الرفق يحرم الخير كله

Barang siapa yang terhalang dari kelembutan akan terhalang dari semua kebaikan.

فقلت : يا رسول الله أو لم تسمع ما قالوا ؟ Aku bertanya Ya Rasulullah, tidakkah engkau mendengar perkataannya? Rasulullah saw menjawab: Aku telah ucapkan untuk mereka: وعليكم aku dan kalian semua akan mati. Ada yang memaknai wawu dalam kalimat itu berfungsi isti’naf (permulaan kalimat baru) bukan athaf (penggabungan pada kalimat sebelumnya) sehingga menjadi jawaban atas mereka, sesuai dengan ucapan mereka, atau perkiraan maknanya adalah: aku katakan: عليكم ما تسحقونه atas kalian apa yang berhak bagi kalian, balasan yang setimpal. Rasulullah memilih kalimat ini agar terjauhkan dari kalimat keji dan lebih mendekatkan kepada sikap kelembutan.

Dalam riwayat Al Bukhari juga disebutkan bahwa Rasulullah saw mengatakan dalam memberikan jawaban kepada Aisyah RA:

أو لم تسمعي ما قلت ” لهم ” رددت عليهم ” دعاءهم ” فيستجاب لي فيهم

tidakkah kamu mendengar apa yang telah aku katakan kepada mereka, aku telah mengembalikan doa mereka itu, maka telah dikabulkan doaku atas mereka.

Karena doaku dengan benar, dan doa mereka atas diriku tidak dikabulkan karena doanya bathil dan zhalim.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang berpegang teguh dengan sikap kelembutan dalam semua urusan, berusaha mengarah kepada sikap ini. Rasulullah saw menjawab perkataan Yahudi السام عليكم: dengan kalimat وعليكم tanpa tambahan. Hal ini lebih lembut. Rasulullah saw telah memberikan teladan kepada kaum muslimin dalam menjawab Yahudi dan sejenisnya.

2ـ عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ أن أعرابياً بال في المسجد ، فقاموا إليه ،

فقال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم : ” لا تزر موه ” ، ثم دعا بدلو من ماء ،

فصب عليه ” .رواه البخاري

Dari Anas bin Malik RA bahwa seorang Arab badui kencing di masjid, para sahabat bangun mendekatinya. Rasulullah saw bersabda: Jangan hentikan kencingnya. Kemudian Rasulullah meminta disediakan setimba air, lalu disiramkan di atas kencing itu. HR Al Bukhari.

Penjelasan:

فقاموا إليه Para sahabat bangun menuju ke Arab badui itu, hendak memukulnya, dll.

Rasulullah saw mengatakan kepada mereka: لا تزر موه ta’ dibaca dhammah, za’ bertitik dibaca sukun/mati, ra dibaca kasrah dan mim dibaca dhammah, artinya: Jangan kalian potong/hentikan kencingnya.

ثم دعا بدلو من ماء ، فصب عليه Kemudian Rasulullah saw meminta disediakan setimba air lalu diguyurkan di atas kencing itu, sehingga mensucikannya.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang kelembutan dalam semua urusan. Rasulullah SAW menyuruh para sahabat menjauh dari Arab Badui tadi, agar tidak mengganggunya menuntaskan kencingnya. (hdn)

Tuesday, December 28, 2010

Mu'min Rindu Kampung Halaman Sejati


Tahukah saudara bahwa ketika seorang Mu’min telah lulus menyelesaikan segenap rangkaian pemeriksaan atas dirinya diyaumul hisab (hari perhitungan amal), maka barulah ia diizinkan Allah memasuki Al-Jannah (surga), negeri keabadian penuh kebahagiaan hakiki? Ia tidak diizinkan memasuki surga bilamana terbukti ia masih mempunyai permasalahan dengan sesama manusia, walaupun dengan Allah Ta’aala ia tidak lagi punya masalah apa-apa. Segenap dosanya yang bersifat hablun minallah telah diampuni Allah Ta’aala. Namun karena ia masih memiliki masalah hablun minannaas dengan sesama manusia, maka ia ditahan di suatu tempat dekat sekali dari baabul-jannah (pintu surga) guna menyelesaikan berbagai perkara (melakukan rekonsiliasi) dengan sesama manusia.

Dalam hal ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menggambarkannya sebagai berikut:

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُعَلَيْهِ وَسَلَّمَيَخْلُصُ الْمُؤْمِنُونَيَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ النَّارِفَيُحْبَسُونَ عَلَى قَنْطَرَةٍبَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِفَيُقْتَصُّ لِبَعْضِهِمْ مِنْبَعْضٍ مَظَالِمُكَانَتْ بَيْنَهُمْفِي الدُّنْيَا حَتَّى إِذَاهُذِّبُوا وَنُقُّوا أُذِنَ لَهُمْفِي دُخُولِ الْجَنَّةِفَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِلَأَحَدُهُمْ أَهْدَى لِمَنْزِلِهِفِي الْجَنَّةِ مِنْهُ بِمَنْزِلِهِكَانَ فِي الدُّنْيَا

Dari Abu Sa'id Al Khudri ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, "Orang-orang yang beriman pada hari Kiamat selamat dari neraka, lalu mereka ditahan di jembatan antara surga dan neraka, lalu sebagian akan diqishas atas sebagian yang lain karena kezhaliman mereka waktu di dunia, sehingga setelah mereka dibersihkan dan telah suci, maka barulah mereka diizinkan memasuki surga. Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, seseorang di antara mereka lebih mengetahui rumahnya di surga dari pada rumahnya di dunia." (HR. Ahmad No. 10673)

Dalam hadits di atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menggunakan istilah "ditahan di jembatan antara surga dan neraka" untuk menggambarkan masih menggantungnya masalah orang-orang beriman yang belum berhak masuk surga karena masih adanya problema antara dirinya dengan manusia lainnya yang pernah ia zalimi. Perbuatan menzalimi manusia lain merupakan perbuatan tercela yang sangat dibenci Allah Ta’aala. Dalam sebuah hadits Qudsi dikatakan sebagai berikut:

إِنِّي حَرَّمْتُ عَلَى نَفْسِيالظُّلْمَ وَعَلَى عِبَادِيأَلَا فَلَا تَظَالَمُوا

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bahwa Allah berfirman, “Wahai para hamba-Ku, sesungguhnya Aku mengharamkan kezaliman atas diri-Ku dan Aku mengharamkannya pula atas kalian, maka janganlah kalian saling menzalimi.” (HR. Ahmad No. 20451)

Surga merupakan tempat yang hanya berhak dimasuki oleh hamba-hamba Allah Ta’aala yang benar-benar telah bersih dari segenap dosa, baik dosa kepada Allah Ta’aala maupun dosa kepada sesama hamba Allah. Oleh karenanya, seorang muslim senantiasa mendambakan dan mengharapkan ampunan Allah Ta’aala sebab ia tahu bahwa jika dirinya masih mempunyai dosa niscaya ia tidak berhak memasuki surga. Dan oleh karenanya seorang muslim sangat khawatir bila dirinya terlibat dalam sebuah perbuatan menzalimi manusia lain, sebab ia tahu bahwa mengharapkan maaf dari sesama manusia seringkali lebih sulit daripada mengharapkan ampunan Allah Ta’aala yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Maka di dalam hadits di atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan “...lalu sebagian akan diqishas atas sebagian yang lain karena kezhaliman mereka waktu di dunia...” dan ini merupakan suatu keharusan agar si muslim yang sempat berlaku zalim dapat menjadi bersih dari dosa tersebut sehingga layak memasuki surga. Sebab surga hanya menerima mereka yang bersih dan suka membersihkan diri. Oleh karenanya Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selanjutnya berkata, “...maka barulah mereka diizinkan memasuki surga.”

Lalu terakhir Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa “Demi Dzat yang jiwaku ada dalam genggaman-Nya, seseorang di antara mereka lebih mengetahui rumahnya di surga dari pada rumahnya di dunia." Si mukmin kemudian berhak memasuki surga Allah Ta’aala dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menggambarkan bahwa ketika si mukmin menginjakkan kakinya ke dalam surga tiba-tiba kakinya membawa tubuhnya melangkah menuju kediamannya di surga lebih mengetahui, mantap dan yakin daripada ia melangkahkan kakinya pulang ke rumahnya sewaktu hidup di dunia. Subhanallah...

Jadi, saudaraku, surga memang benar-benar kampung halaman sejati orang-orang beriman. Sebab Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sampai perlu bersumpah demi Allah Ta’aala Dzat yang jiwanya berada di dalam genggamanNya, ketika menggambarkan hal tersebut. Sewaktu di dunia seseorang setelah pulang dari dinas luar kota tentu sangat rindu pulang ke rumahnya agar berkumpul dengan anak dan istrinya. Boleh jadi kerinduannya sedemikian rupa malah menyebabkan dirinya sampai kehilangan arah alias tersesat pulang ke rumahnya sendiri. Hal ini tidak bakal terjadi ketika seorang mu’min memasuki pintu surga lalu melangkahkan kakinya menuju rumah sejatinya, kampung halaman sejatinya.

Sungguh bahagianya bila seseorang dapat memasuki pintu surga lalu berkumpul kembali bersama keluarganya dan anak-keturunannya di kampung halaman sejati orang-orang beriman.

Allah Ta’aala berfirman di dalam Kitabullah Al-Qur’anul Karim:

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍأَلْحَقْنَا بِهِمْذُرِّيَّتَهُمْ وَمَا أَلَتْنَاهُمْ مِنْعَمَلِهِمْمِنْ شَيْءٍكُلُّ امْرِئٍ بِمَا كَسَبَ رَهِينٌ

“Dan orang-orang yang beriman, dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan anak cucu mereka dengan mereka (di dalam surga), dan Kami tiada mengurangi sedikit pun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.” (QS. Ath-Thuur [52] : 21).

Allah Ta’aala berfirman di dalam Kitabullah Al-Qur’anul Karim:

وَأُزْلِفَتِ الْجَنَّةُ لِلْمُتَّقِينَغَيْرَبَعِيدٍهَذَا مَا تُوعَدُونَلِكُلِّ أَوَّابٍحَفِيظٍمَنْ خَشِيَ الرَّحْمَنَبِالْغَيْبِ وَجَاءَ بِقَلْبٍ مُنِيبٍادْخُلُوهَا بِسَلامٍذَلِكَ يَوْمُ الْخُلُودِ

Dan didekatkanlah surga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka). Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya). (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertobat, masukilah surga itu dengan aman, itulah hari kekekalan. (QS. Qaaf [50] : 32-34 )

Ya Allah, masukkanlah kami beserta keluarga dan anak-cucu kami ke dalam RahmatMu dan SurgaMu.



MEMULIAKAN KELUARGA


Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah

dakwatuna.com – Islam turun sebagai agama rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana yang disebutkan Allah Taala kepada Rasulullah saw.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)


Dengan misi yang sangat mulia itulah, dapat dipahami bahwa syariat Islam akan memberikan perhatian yang sangat tinggi terhadap segala hal yang terkait dengan tindakan-tindakan yang akan membuahkan hasil berupa rahmatan lil ‘alamin.

Sebagai salah satu dari implementasi misi rahmatan lil ‘alamin Islam sangat memperhatikan pola hubungan antar manusia (mu‘amalah insaniyah).

Dalam makalah yang ringkas ini, akan dibahas bagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk memuliakan keluarga sebagai bagian dari upaya mewujudkan tata kehidupan sosial yang penuh dengan kedamaian dan sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan.

Memuliakan Keluarga

1. Hubungan suami-istri

Perhatian terhadap keutuhan dan keharmonisan keluarga diingatkan dengan sangat jelas dalam Al-Qur’an mengenai hakikat dan tujuan pembentukan keluarga itu sendiri. Perhatikan firman Allah Taala dalam Ar-Rum: 21

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.”

Dengan demikian, sakinah, mawaddah dan rahmah merupakan suatu kondisi yang hendaknya diciptakan oleh pasangan suami istri di dalam rumah tangganya. Dan ini memerlukan suatu upaya yang sistematis dan konstruktif dari kedua belah pihak. Tuntunan interaksi harmonis suami istri dapat kita lihat dalam beberapa pesan Al-Qur’an dan Hadits:

هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ

“… mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka…” (QS. Al-Baqarah: 187)

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisaa:19)

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ

“…Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka…” (Q.S. An-Nisaa: 34)

“Tidakkah mau aku kabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang paling baik dijadikan bekal seseorang? Wanita shalihah: jika dilihat (suami) menyenangkan dan jika (suami) meninggalkannya ia menjaga dirinya dan harta suaminya.” (HR. Abu Dawud dan Nasa’i)

“ Janganlah seorang (suami) mukmin membenci seorang (istri) mu’minah. Jika ia tidak suka dengan salah satu perilakunya, ia dapat menerima perilakunya yang lain (HR. Muslim)

“Takutlah kepada Allah dalam (memperlakukan ) wanita karena kamu mengambil mereka dengan amanat Allah, dan engkau halalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Dan kewajibanmu adalah memberi nafkah dan pakaian kepada mereka dengan baik”

“Sesungguhnya aku berdandan untuk istriku, sebagaimana dia berdandan untukku” (Perkataan Ibnu Abbas RA)

2. Memuliakan anak

Memuliakan keluarga juga berarti meningkatkan kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Dalam hal ini, patokan paling utama adalah perintah Allah Taala kepada orang-orang beriman untuk menjaga keselamatan keluarganya dari api neraka (QS. At-Tahrim: 6 ). Sungguh menjadi kewajiban orang tua untuk menjadikan anak-anak mereka orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Memuliakan anak berarti memenuhi hak-hak mereka, bahkan sejak awal kehidupan mereka dimulai yakni:

a. Menerima kelahiran

Menerima kelahiran mereka dengan penuh sukacita, tidak boleh menolaknya. Sabda Nabi: Barang siapa yang mengingkari anaknya, sedang anak itu mengetahuinya maka Allah akan menutup diri dari orang itu. dan keburukannya akan ditunjukkan di hadapan orang-orang terdahulu dan kemudian (HR. Ad Darami).

b. Melantunkan adzan di telinga kanan saat lahir ke dunia

Aku melihat Rasulullah saw azan di telinga Husein ketika dia baru saja dilahirkan oleh Fatimah RA. (HR. al Hakim)

c. Tahnik

Yaitu sunnah yang diajarkan Rasulullah SAW berupa pemberian makanan manis dan lembut di saat-saat pertama kehidupan anak (bisa dengan kurma atau madu)

d. Menyusuinya dalam waktu yang cukup (2 tahun).

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah:233)

e. Memberi nama yang baik.

Imam Ibnu Qayim mengatakan bahwa ada hubungan yang erat antara nama dengan kualitas anak. Pemberian nama yang baik akan mendorong yang punya nama untuk berbuat baik sesuai dengan makna yang terdapat di dalam namanya, karena nama yang diberikan orang tua mengandung doa dan harapan. Sebaliknya seorang anak akan merasa malu dan rendah diri apabila nama yang disandangnya buruk, atau tiada makna.

f. Aqiqah

Menyembelih hewan qurban untuk kelahiran mereka pada hari ketujuh. Rasulullah saw. bersabda, “Bayi laki-laki diaqiqahi dengan dua ekor kambing yang memenuhi syarat dan bayi perempuan cukup dengan satu ekor kambing.” (H.R. Ad-Darami)

g. Cukur rambut

Pada hari yang ketujuh pula dilakukan pencukuran rambut, dan menimbang rambut tersebut lalu dikonversi dalam satuan emas atau perak yang selanjutnya disedekahkan kepada faqir miskin. “Timbanglah rambut al Husain dan sedekahkanlah perak seberat itu” (HR. Al-Hakim)

h. Khitan

Dari segi medis khitan jelas bermanfaat bagi kesehatan. Dengan khitan berarti sejak kecil ia sudah dipelihara harga diri, kehormatan dan kesehatannya.

Selanjutnya memuliakan anak berarti juga memberikan pendidikan yang baik kepada mereka. Al Qur’an secara monumental telah mengisyaratkan pentingnya pendidikan anak ini melalui kisah Lukman ketika sedang mendidik anaknya:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَابُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ

“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.” (QS. Luqman: 13)

Dengan pendidikan yang benar menurut apa yang diajarkan Allah Taala, maka anak akan menjadi individu yang mature dewasa dan bertanggung jawab, serta mampu memberikan kontribusi yang optimal bagi kemaslahatan umat.

Kewajiban orang tua pada akhirnya disempurnakan dengan membantu mereka dalam membangun keluarga dengan menikahkannya. Orang tua berperan dalam memilih siapa calon suami/istri putra-putri mereka menurut ukuran kebaikan Islam.

3. Memuliakan orang tua

Sedangkan bagaimana anak bersikap kepada orang tuanya, juga sangat jelas diperintahkan Allah Taala:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا. وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia .Dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. Al-Isra: 23-24)

Bahkan Allah selalu mensejajarkan perbuatan mengabdi kepada-Nya dan bertauhid dengan berbuat baik kepada orang tua:

وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, ….” (QS. An Nisa: 36)

Ini menunjukkan bahwa memuliakan kedua orangtua bukan perkara sepele. Rasulullah SAW bahkan menegaskan bahwa memuliakan kedua orangtua terus berlanjut meskipun keduanya telah tiada:

Abu Usaid (Malik) bin Rabi’ah Assa’diyah berkata: Ketika kami duduk di sisi Rasulullah SAW mendadak datang seorang dari Bani Salimah dan bertanya: Ya Rasulullah apakah masih ada jalan untuk berbakti terhadap ayah bundaku sesudah mati keduanya? Jawab Nabi: Ya, men-shalatkan atasnya, membacakan istighfar atas keduanya dan melaksanakan janji (wasiat)nya, serta menghubungkan ikatan yang tidak dapat dihubungkan melainkan karena keduanya, dan menghormati teman-teman keduanya (HR. Abu Dawud)

(hdn)





ORANG YANG BERJIWA BESAR



Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Harta tidak akan berkurang gara-gara sedekah. Tidaklah seorang hamba memberikan maaf -terhadap kesalahan orang lain- melainkan Allah pasti akan menambahkan kemuliaan pada dirinya. Dan tidaklah seorang pun yang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah (ikhlas) melainkan pasti akan diangkat derajatnya oleh Allah.” (HR. Muslim, lihat Syarh Muslim [8/194])

Hadits yang mulia ini memberikan berbagai pelajaran penting bagi kita, di antaranya:

1. Hadits ini menganjurkan kita untuk bersikap ihsan/suka berbuat baik kepada orang lain, entah dengan harta, dengan memaafkan kesalahan mereka, ataupun dengan bersikap tawadhu’ kepada mereka (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)

2. Anjuran untuk banyak bersedekah. Karena dengan sedekah itu akan membuat hartanya berbarokah dan terhindar dari bahaya. Terlebih lagi dengan bersedekah akan didapatkan balasan pahala yang berlipat ganda (lihat Syarh Muslim [8/194]). Selain itu, sedekah juga menjadi sebab terbukanya pintu-pintu rezeki (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)

3. Anjuran untuk menjauhi sifat bakhil/kikir.

4. Kebakhilan tidak akan menghasilkan keberuntungan

5. Hadits ini menunjukkan keutamaan bersedekah dengan harta

6. Sedekah adalah ibadah

7. Allah mencintai orang yang suka bersedekah -dengan ikhlas tentunya-

8. Terkadang manusia menyangka bahwa sesuatu bermanfaat baginya, namun apabila dicermati dari sudut pandang syari’at maka hal itu justru tidak bermanfaat. Demikian pula sebaliknya. Oleh sebab itu alangkah tidak bijak orang yang menjadikan hawa nafsu, perasaan, ataupun akal pikirannya yang terbatas sebagai standar baik tidaknya sesuatu. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Manusia itu, sebagaimana telah dijelaskan sifatnya oleh Yang menciptakannya. Pada dasarnya ia suka berlaku zalim dan bersifat bodoh. Oleh sebab itu, tidak sepantasnya dia menjadikan kecenderungan dirinya, rasa suka, tidak suka, ataupun kebenciannya terhadap sesuatu sebagai standar untuk menilai perkara yang berbahaya atau bermanfaat baginya. Akan tetapi sesungguhnya standar yang benar adalah apa yang Allah pilihkan baginya, yang hal itu tercermin dalam perintah dan larangan-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 89)

9. Hadits ini menunjukkan disyari’atkannya menepis keragu-raguan dan menyingkap kesalahpahaman yang bercokol di dalam hati manusia

10. Memberikan targhib/motivasi merupakan salah satu metode pengajaran yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

11. Hadits ini juga menunjukkan pentingnya memotivasi orang lain untuk beramal salih

12. Anjuran untuk memberikan maaf kepada orang lain yang bersalah kepada kita -secara pribadi-. Dengan demikian -ketika di dunia- maka kedudukannya akan bertambah mulia dan terhormat. Di akherat pun, kedudukannya akan bertambah mulia dan pahalanya bertambah besar jika orang tersebut memiliki sifat pemaaf (lihat Syarh Muslim [8/194]).

13. Di antara hikmah memaafkan kesalahan orang adalah akan bisa merubah musuh menjadi teman -sehingga hal ini bisa menjadi salah satu cara untuk membuka jalan dakwah-, atau bahkan bisa menyebabkan orang lain mudah memberikan bantuan dan pembelaan di saat dia membutuhkannya (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 109)

14. Allah mencintai orang yang pemaaf.

15. Anjuran untuk bersikap tawadhu’/rendah hati. Karena dengan kerendahan hati itulah seorang hamba akan bisa memperoleh ketinggian derajat dan kemuliaan, ketika di dunia maupun di akherat kelak (lihat Syarh Muslim [8/194]).

16. Hakekat orang yang tawadhu’ adalah orang yang tunduk kepada kebenaran, patuh kepada perintah dan larangan Allah dan rasul-Nya serta bersikap rendah hati kepada sesama manusia, baik kepada yang masih muda ataupun yang sudah tua. Lawan dari tawadhu’ adalah takabur/sombong (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)

17. Allah mencintai orang yang tawadhu’

18. Larangan bersikap takabur; yaitu menolak kebenaran dan meremehkan orang lain

19. Tawadhu’ yang terpuji adalah yang dilandasi dengan keikhlasan, bukan yang dibuat-buat; yaitu yang timbul karena ada kepentingan dunia yang bersembunyi di baliknya (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)

20. Yang menjadi penyempurna dan ruh/inti dari ihsan/kebajikan adalah niat yang ikhlas dalam beramal karena Allah (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)

21. Ketawadhu’an merupakan salah satu sebab diangkatnya derajat seseorang di sisi Allah. Di samping ada sebab lainnya seperti; keimanan -dan itu yang paling pokok- serta ilmu yang dimilikinya. Bahkan, ketawadhu’an itu sendiri merupakan buah agung dari iman dan ilmu yang tertanam dalam diri seorang hamba (lihat Bahjat al-Qulub al-Abrar, hal. 110)

22.Hadits ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mencari ketinggian dan kemuliaan derajat di sisi-Nya. Sedangkan orang yang paling mulia di sisi-Nya adalah yang paling bertakwa (lihat QS. al-Hujurat: 13). Dan salah satu kunci ketakwaan adalah kemampuan untuk mengekang hawa nafsu, sehingga orang tidak akan bakhil dengan hartanya, akan mudah memaafkan, dan tidak bersikap arogan ataupun bersikap sombong di hadapan manusia.

23. Hadits ini menunjukkan keutamaan mengekang hawa nafsu dan keharusan untuk menundukkannya kepada syari’at Rabbul ‘alamin

24. Hendaknya menjauhi sebab-sebab yang menyeret kepada sifat-sifat tercela -misalnya; kikir dan sombong- dan berusaha untuk mengikisnya jika seseorang mendapati sifat itu ada di dalam dirinya

25.Kemuliaan derajat yang hakiki adalah di sisi Allah (diukur dengan syari’at), tidak diukur dengan pandangan kebanyakan manusia

26. Bisa jadi orang itu tidak dikenal atau rendah dalam pandangan manusia -secara umum-, akan tetapi di sisi Allah dia adalah sosok yang sangat mulia dan dicintai-Nya. Tidakkah kita ingat kisah Uwais al-Qarani seorang tabi’in terbaik namun tidak dikenal orang, diremehkan, dan tidak menyukai popularitas?

27. Pujian dan sanjungan orang lain kepada kita bukanlah standar apalagi jaminan. Sebab ketinggian derajat yang hakiki adalah di sisi-Nya. Oleh sebab itu, tatkala dikabarkan kepada Imam Ahmad oleh muridnya mengenai pujian orang-orang kepadanya, beliaupun berkata, “Wahai Abu Bakar -nama panggilan muridnya-, apabila seseorang telah mengenal jati dirinya, maka tidak lagi bermanfaat ucapan (pujian) orang lain terhadapnya.” (lihat Ma’alim fi Thariq Thalabil Ilm, hal. 22). Ini adalah Imam Ahmad, seorang yang telah hafal satu juta hadits dan rela mempertaruhkan nyawanya demi menegakkan Sunnah dan membasmi bid’ah. Demikianlah akhlak salaf, aduhai… di manakah posisi kita bila dibandingkan dengan mereka? Jangan-jangan kita ini tergolong orang yang maghrur/tertipu dengan pujian orang lain kepada kita. Orang lain mungkin menyebut kita sebagai ‘anak ngaji’, orang alim, orang soleh, atau bahkan aktifis dakwah. Namun, sesungguhnya kita sendiri mengetahui tentang jati diri kita yang sebenarnya, segala puji hanya bagi Allah yang telah menutupi aib-aib kita di hadapan manusia… Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami

28. Islam menyeru kepada akhlak yang mulia

29. Islam mengajarkan sikap peduli kepada sesama dan agar tidak bersikap masa bodoh terhadap nasib atau keadaan mereka

30. Sesungguhnya ketaatan itu -meskipun terasa sulit atau berat bagi jiwa- pasti akan membuahkan manfaat besar yang kembali kepada pelakunya sendiri. Sebaliknya, kedurhakaan/maksiat itu -meskipun terasa menyenangkan dan enak- maka pasti akan berdampak jelek bagi dirinya sendiri. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Perkara paling bermanfaat secara mutlak adalah ketaatan manusia kepada Rabbnya secara lahir maupun batin. Adapun perkara paling berbahaya baginya secara mutlak adalah kemaksiatan kepada-Nya secara lahir ataupun batin.” (al-Fawa’id, hal. 89). Allah ta’ala telah menegaskan (yang artinya), “Bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyenangi sesuatu padahal itu adalah buruk bagi kalian. Allah Maha mengetahui, sedangkan kalian tidak mengetahui -segala sesuatu-.” (QS. al-Baqarah: 216)

31. Pahala besar bagi orang yang berjiwa besar; yaitu orang yang tidak segan-segan untuk menyisihkan sesuatu yang dicintainya -yaitu harta- guna berinfak di jalan Allah, mau melapangkan dadanya untuk memaafkan kesalahan orang lain kepadanya, serta bersikap tawadhu’ dan tidak meremehkan orang lain.

32. Ketiga macam amal soleh ini -dengan izin Allah- bisa terkumpul dalam diri seseorang. Dia menjadi orang yang dermawan, suka memaafkan, dan juga rendah hati. Perhatikanlah sifat-sifat dan kepribadian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya ketiga sifat ini akan kita temukan dalam diri beliau. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada bagi kalian pada diri Rasulullah teladan yang baik, yaitu bagi orang yang berharap kepada Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (QS. al-Ahzab: 21)

33. Di samping menyeru kepada persatuan umat Islam -di atas kebenaran- maka Islam juga menyerukan perkara-perkara yang menjadi perantara atau sebab terwujudnya hal itu. Di antaranya adalah dengan menganjurkan 3 hal di atas: suka bersedekah -yang wajib ataupun yang sunnah-, suka memaafkan, dan bersikap rendah hati/tawadhu’. Sesungguhnya, kalau kita mau mencermati kondisi kita di jaman ini -yang diwarnai dengan kekacauan serta fitnah yang timbul di medan dakwah-, akan kita dapati bahwa kebanyakan di antara kita -barangkali- amat sangat kurang dalam menerapkan ketiga hal tadi. Akibat tidak suka bersedekah, banyak kepentingan umat -khususnya dakwah- yang tidak terurus dengan baik. Akibat sulit memaafkan, permusuhan yang tadinya hanya bersifat personal pun akhirnya melebar menjadi permusuhan kelompok. Akibat perasaan lebih tinggi dan gengsi, jalinan ukhuwah yang terkoyak pun seolah tak bisa dijalin kembali. Masing-masing pihak ingin menang sendiri dan berat mendengarkan pandangan atau argumentasi saudaranya. Maka yang terjadi adalah sikap saling menyalahkan, dan kalau perlu menjatuhkan kehormatan saudaranya tanpa alasan yang dibenarkan. Kalau seperti itu caranya, ya tidak akan pernah ketemu… Bisa jadi ini hanya sekedar analisa, namun tidak kecil kemungkinannya itu merupakan realita yang ada, wallahul musta’an. Sebagian orang, setelah selesai mendengar kritikan dari saudaranya seketika itu pula ia memberikan ‘serangan balik’ kepada sang pengkritik. Padahal, nasehat yang didengarnya belum lagi meresap ke dalam akal sehatnya. Karena merasa dirinya telah ‘dilecehkan’ dia pun berkata kepada temannya, “Saya juga punya kritikan kepadamu. Kamu itu begini dan begitu…” Wahai saudaraku -semoga Allah merahmatimu- marilah kita bersama-sama berlatih untuk menerima kritik dan nasehat dengan lapang dada (lihat wasiat ke-31 bagi penuntut ilmu, dalam Ma’alim fi Thariq Thalabil ‘Ilm, hal. 268-269). Ingatlah ucapan seorang Syaikh yang mulia ketika berceramah menegaskan isi nasehat Syaikh Rabi’ bin Hadi -hafizhahullah- dalam Daurah Nasional yang belum lama berlalu di Masjid Agung Bantul Yogyakarta, “Tidak ada seorang insanpun melainkan pasti pernah terjatuh dalam kekeliruan… Namun, yang tercela adalah orang yang tetap bersikukuh mempertahankan kesalahannya.” Semoga Allah menjadikan kita sebagai orang-orang yang berjiwa besar, Allahumma amin. Rabbanaghfirlana wa li ikhwaninal ladzina sabaquna bil iman, wa laa taj’al fi qulubina ghillal lilladzina amanu, Rabbana innaka ra’ufur rahim.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi



Artikel www.muslim.or.id



Berdebat Dengan Munafiq



Oleh Reza Pratama

Beberapa kali mungkin kita terjebak dalam debat. Kadang malah terlihat tak berujung. Akhirnya malah terjadi saling tuding, saling hina, bahkan tak jarang kata-kata kasar terlontar. Baru saja, sebelum menuliskan catatan singkat ini, saya membaca tulisan seorang saudara di akun twitternya.

Darinya, ada beberapa hal yang perlu disampaikan di sini terkait sikap seorang da’i dalam menghadapi orang-orang munafiq. Allah berfirman,

"Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh". (QS al A'raaf 199)

Mengomentari ayat ini, Sayyid Quthb, dalam Zhilal, berkata, " Inilah arahan-arahan rabbaniyah di dalam menghadapi kejahiliyahan yang sangat buruk, di dalam menghadapi kemanusiaan yang tersesat. Arahan rabbani menyeru da'i untuk berlapang dada dan toleran. Juga supaya menyampaikan perintah dengan jelas untuk melakukan kebaikan yang sudah dikenal oleh fitrah manusia dengan lapang dengan tidak mempersulit dan tidak memperberat. Juga supaya ia berpaling dari tindak kejahiliyahan, dengan tidak menjatuhkan hukuman pada mereka, tidak mengajaknya/melayaninya berdebat, dan tidak ikut bersama-sama mereka", ujarnya.

Apabila mereka melampaui batas dan menimbulkan kebencian dengan keras kepala dan menghalang-halangi, dan setan mengembuskan kebencian itu, maka hendaklah seorang da'i memohon perlindungan pada Allah agar hatinya tenang, tenteram, dan bersabar.

Sementara itu, Ibnu Katsir, dalam tafsirnya, berkata, Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan dia menceritakan sebuah kisah mengenai umar ketika salah satu tamunya membuatnya marah. Maka al Hur bin Qais berkata padanya, “Yaa amiral mu'minin, sesungguhnya Allah ta'ala berfirman pada nabi, 'Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah dengan ma'ruf serta berpalinglah dari orang-orang bodoh'.”

Ibnu Jarir berkata bahwa sesungguhnya nabi telah memerintahkan agar dia menyuruh pada yang ma'ruf pada hamba-hambanya. Termasuk dalam yang ma'ruf itu adalah segala ketaatan, dan menyuruh berpaling dari orang-orang yang bodoh...

Mari tetap bersikap dingin menghadapi orang-orang munafiq. Sebab, Allah berkata bahwa memang seperti itulah tabiat mereka. Mereka akan tetap bersikap seperti itu hingga mereka mau mengubah apa yang ada dalam dirinya, yang kemudian berakibat pada turun tangannya Allah dalam mengubah hatinya, dalam mengubah sikapnya.

"Dan jika dikatakan pada mereka, "Marilah (kembali) pada apa yang diturunkan oleh Allah dan kepada rasulnya." kamu pasti akan melihat orang2 munafiq itu menghalang2i kamu dengan keras". (QS an Nisaa' 61)

"Sesungguhnya Allah tidak mengubah apa yang ada dalam qaum itu, sehingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka". (QS ar Ra'd 13)

Menghadapi mereka, Allah memerintahkan kita untuk memberikan "qaulan baliigha" pada mereka.

"Mereka itu adalah orang2 yang Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka. Krn itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah pada diri mereka qaulan baliigha (perkataan yang membekas)". (QS an Nisaa' 63)

Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan qaulan baliigha itu? Untuk lebih mudahnya, mari kita simak nasihat Syaikh Utsaimin berikut ini. Beliau, dalam ash Shohwatul Islamiyyah, berkata bahwa bashirah, khususnya dalam da'wah itu ada tiga: pertama, bashirah ‘alaa ilmi. Kedua, bashirah ‘alaa mad’u. Ketiga, bashirah ‘alaa da’wah.

Yang pertama, bashirah ‘alaa ilmi. Pengetahuan atau penguasaan atas ilmu. Yang ini jelas merupakan syarat da’wah pertama. Tidak perlu saya jelaskan lagi lebih jauh. Sebab apa lagi yang akan dijelaskan oleh seorang da’i selain ilmu mengenai Islam? Bukankah mereka yang tak memiliki sesuatu tak dapat memberikan sesuatu?

Mengenai hal ini, Syaikh Utsaimin berkata, Sebagian orang menghukumi sebagian perkara yang bukan merupakan kewajiban sebagai perkara yang wajib; dibangun dengan ijtihad yang keliru, ta’wil, dan syubhat yang tiada dasarnya. Apalagi menjadikan hal tersebut sebagai tolok ukur wala’ dan bara’! Apabila ia menjumpai seseorang yang berbeda pendapat dengannya, ia benci dan marah dengannya. Padahal pendapatnya sendiri telah menyelisihi al Kitab dan as Sunnah. Namun, apabila pendapat seseorang sesuai dengan pendapatnya, ia pun mencintainya.

Kedua, bashirah ‘alaa mad’u. Pengetahuan atas objek da’wah. Hal ini dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu untuk berda’wah di Yaman. Saat itu, beliau bersabda, Sesungguhnya engkau akan mendatangi suatu kaum ahli kitab. (Muttafaqun ‘alaih)

Kata-kata ini tentu bukan tanpa maksud. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menginginkan kita mengetahui objek da’wah sebelum berda’wah padanya. Kita patut mengetahui tingkat ilmunya, kemampuannya dalam diskusi maupun debat, dan sebagainya, supaya kita kemudian mampu mengambil hatinya dan mengajaknya pada Islam. Asy Syaikh kemudian mengutip sebuah hadis berikut, Sesungguhnya kalian akan saling mengalahkan di hadapanku, dan sebagian kalian lebih cerdas dalam mengemukakan pendapat daripada sebagian yang lain. Maka aku memutuskan perkara berdasarkan apa yang kudengar. Barangsiapa yang mengajukan perkara demi mengambil hak saudaranya, janganlah diambil. Sesungguhnya barangsiapa yang berhenti dari hal itu, terputuslah api neraka baginya. (Muttafaqun ‘alaih)

Ketiga, bashirah ‘alaa da’wah. Pengetahuan atas da’wah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, "Kami diperintah supaya berbicara kepada manusia menurut kadar akal mereka masing-masing". (HR. Muslim).

Ini penting, sebab tidak semua manusia memiliki standar yang sama dalam menilai perkataan orang lain. Bisa jadi, karena kita membaca al Quran dan mendapati nabi Ibrahim yang merupakan khalilullah itu sampai menyebut ummatnya sesat dengan perkataan yang jelas itu (QS 21:54), lantas kita berbuat hal yang sama.

Perlu kita perhatikan kultur masyarakat yang berkembang. Jelas berbeda kultur masyarakat nabi Ibrahim dengan kultur masyarakat kita, meski model ma’shiyatnya sama saja. Sama-sama kesyirikan yang jadi masalah. Jelas berbeda kultur masyarakat Arab zaman Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam dengan budaya masyarakat Indonesia saat ini. Dahulu, ada sebuah qabilah yang nyaman saja disebut “bani kalb”. Tapi tentu itu tak tepat bila sebutan itu disematkan—dengan alasan apa pun—pada penduduk Indonesia. Dahulu ada sahabat yang lazim dipanggil Abu Hurairah. Tak pas pula rasanya bila panggilan ini diterjemahkan dalam bahasa Indonesia kemudian kita sematkan pada tetangga kita yang menyukai kucing.

Untuk itu, Rasul kemudian memerintahkan kita untuk berbicara—dalam rangka berda’wah, tentu—menurut kadar akal objek da’wah. Semata supaya pesan da’wah ini tak tertinggal. Supaya maksud besarnya tak terpotong.

Ada sebuah kekhawatiran dari dalam diri saya melihat da’i yang mengabaikan rambu-rambu ini: akan ada perdebatan-perdebatan tak berkualitas yang secara perlahan tapi pasti akan menurunkan izzah para da’i di mata mad’unya. Akibatnya, belum satu kalimat terlontar dari lisan kita, keengganan mereka sudah muncul terlebih dahulu. Jadilah niat kita untuk berda’wah tak terlaksana.

Syariat ini perlu disampaikan. Salah satu wasilahnya adalah dengan cara beradu argumen (QS 16:125). Berdebat, dengan kata lain. Di sisi lain, kita mudah menjumpai ayat maupun hadis yang berisi anjuran untuk meninggalkan debat. Apalagi bila debat itu mempertanyakan hukum atau syariat Allah.

Sesungguhnya orang-orang yang memperdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai pada mereka tidak ada dalam dada mereka melainkan hanyalah kebesaran mereka sekali-sekali tidak akan mencapainya. Maka mintalah perlindungan pada Allah. Sesungguhnya Ia maha mendengar lagi maha melihat. (QS al Mu’min 56)

Namun, sekali lagi, penguasaan kita terhadap medan da’wah diuji di sini, di mana kita harus menempatkan diri kita di posisi pertengahan. Lembut dalam berda’wah memang dianjurkan. Tapi jelas tidak untuk setiap saat dan tempat. Serupa debat Ibrahim ‘alaihissalam muda dengan Namrudz. Atau seperti argumen-argumen Musa ‘alaihissalam di hadapan Fir’aun.

"Janganlah kamu mengikuti orang2 yang mendustakan ayat2 Allah. Mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak, lalu mereka bersikap lunak (juga) padamu". (QS al Qalam 8-9)



Jangan Menjadi Mukmin Instan


oleh Mashadi

Menanam jagung dengan menanam jati hasilnya pasti akan lain. Waktu yang dibutuhkannya juga lain. Jagung hanya butuh waktu tiga bulan. Sudah dapat dipanen. Sedangkan pohon jati memerlukan waktu puluhan tahun. Tetapi pohon jati semakin tua, kayunya semakin baik.

Manusia tabiatnya ingin cepat dan serba instan. Tidak ingin susah. Tidak ingin kesulitan. Segalanya ingin dicapai dengan mudah. Tidak ingin belama-lama dengan waktu. Usahanya ingin cepat dinikmatinya. Inilah kehidupan hari ini. Karena itu banyak orang yang tidak dapat sabar. Tidak sabar dengan waktu dan proses. Sehingga banyak yang mengambil jalan pintas.

Bagaimana menegakkan agama Allah ingin cepat mendapatkan hasilnya? Ingin terwujud sebuah tatanan yang sesuai yang diinginkannya. Padahal perjuangan menegakkan agama Allah itu bukan yang mudah. Tidak mungkin dapat terwujud dengan waktu yang serba singkat. Butuh proses. Ingin cepat terwujud keinginannya. Sementara itu berbagai tantangan dan hambatan bertumpuk-tumpuk.

Lamanya pencapaian dalam setiap usaha itu, sebaliknya akan menentukan kualitas manusia itu. Apakah dia jenis manusia yang cukup memiliki kesabaran? Sebatas dengan kemampuan menghadapi rintangan dan tantangan yang ada, dan kemudian dia tetap sabar dalam usahanya, maka manusia ini termasuk jenis manusia yang sabar. Manusia yang penuh dengan tawakal.

Seorang sahabat Salman Al-Farisi harus berjalan kaki dari negeri Syria ke Madinah. Salman yang pindah-pindah agama, yang akhirnya menemukan Islam, dan begitu rindunya dengan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, harus ridha berjalan kaki menempuh perjalanan yang sangat panjang melintasi gurun pasir, agar sampai ke Madinah.

Tidak mungkin membangun sebuah kehidupan yang menggunakan kualitas yang seperti diinginkan oleh Allah Rabbul Alamin itu, hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Membutuhkan waktu yang amat panjang. Bila manusia sudah terdorong ingin cepat mencapai hasilnya, dan tidak sabar, maka bangunan yang diinginkannya tidak pernah akan terwujud selama-lamanya. Justru orang-orang yang menginginkan bangunan Islam dengan instan itu, ujung-ujungnya akan terperangkap pada jebakan musuh, dan kemudian akan menghancurkan gerakannya.

Kisah Salman hanyalah sepenggal kisah. Manusia yang penuh dengan keikhlasan dalam usahanya ingin mendapatkan ridha dari Rabbnya, dan keinginannya bertemu dengan manusia yang mendapatkan amanah dari Rabbul alamin, yaitu Rasul Shallahu alaihi wa sallam. Mengapa Salman begitu kuat keinginan bertemu dengan Rasul Shallahu alaihi wa sallam? Salman berani menanggung resiko denan berjalan kaki mengarungi samudera padang pasir yang begitu luas, dan jauh dari kota Madinah? Ini hanyalah episode tokoh yang begitu rindu ingin menegakkan bangunan Islam, dan Rasul Shallahu alaihi wa sallam, yang menjadi pujaannya.

Islam hanya dapat dibangun kekuatan orang-orang yang sabar, tidak pernah tergoda dengan hasil, yang berupa lukisan dunia. Salman yang berani menempuh perjalanan begitu panjang, bukan semata-mata ingin mendapatkan kehidupan dunia.

Kerinduannya kepada Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tak lain kerinduannya dengan orang yang sudah pasti dijanjikan tentang kemuliaan pada kehidupan akhirat. Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, manusia yang paling mulia, yang dengan dakwahnya yang tak mengenal menyerah dengan siapapun, yang ingin menghalangi dakwahnya, karena Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tidak menginginkan kenikmatan dunia. Tetapi, Rasulullah Shallahu alaihi, seorang utusan Allah Rabbul alamin, yang senantiasa merindukan kemuliaan disisi-Nya.

Orang-orang yang sabar dan tidak bersikap instan dalam mencapai tujuan, tidak takut dengan ancaman-ancaman, dia akan tetap istiqomah dengan usahanya. Betapa terasa sangat berat.

Salman datang kepada Islam dengan sendirian. Dari bumi yang sangat jauh. Rela dengan penuh keikhlasan memenuhi panggilan Islam. Tidak peduli dengan waktu. Tidak peduli dengan masa dalam hidupnya. Ia menemukan Islam dan membelanya dang memperjuangkannya. Sampai akhirnya Salman meninggal sendirian di tengah padang pasir. Tanpa siapa-siapa. Ia tetap istiqomah dengan Islamnya. Tak butuh pertolongan dan dukungan manusia.

Begitulah generasi salaf dahulu menjalani kehidupan mereka, ketika mereka sudah memeluk Islam, tak pernah lagi meninggalkannya. Dengan penuh kesabaran memperjuangkan dan menegakkannya. Semuanya dijalani dengan sabar. Tanpa berkeluh kesah, dan ingin menikmati segera hasilnya. Dijalani kehidupan dengn penuh tawakal.

Allah Ta’ala berfirman :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴿٢٨﴾

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuihannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaannya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, dan janganlah engkau mengkuti oran gyang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dari keadaannya sudah melewati batas”. (QS. Al-Kahfi [18] : 28)

Tetaplah bersama dengan orang-orang yang dengan penuh kehidupan yang bertujuan menegakkan agama Allah, dan bangunan Islam, dan jangan tergoda oleh bisikan dan rayuan dunia, yang dapat merusak jalan hidup ini, jalan hidup orang-orang mukmin, yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai wali dan pelindung. Wallahu’alam.



Renungan Soal Ucapan "Selamat Natal"

Jumat, 24/12/2010 19:56 WIB

oleh Ihsan Tandjung

Sungguh kondisi sebagian ummat Islam dewasa ini sudah sangat memprihatinkan. Betapa tidak, Allah di dalam Kitabullah Al-Quranul Karim jelas-jelas memerintahkan kita untuk mengajak Ahli Kitab (yakni kaum penganut Yahudi dan Nasrani) agar hanya menyembah Allah semata, namun dalam realitanya justeru tidak sedikit ummat Islam yang setiap tahun ketika memasuki bulan Desember malah berbondong-bondong mengucapkan selamat atas perayaan hari Natal. Sudahkah mereka benar-benar merenungi dampak dari ucapan "Selamat Natal" yang mereka layangkan kepada ummat Kristiani tersebut? Mari kita coba mendalami hal ini dengan hati yang tenang dan fikiran yang jernih.

Marilah kita lihat apa yang Allah perintahkan kepada kita ummat Islam di dalam Al-Qur’an. Allah berfirman:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا

Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun." (QS. Ali Imran [3] : 64)

Jelas di dalam ayat di atas Allah menyuruh kita mengajak kaum Nasrani untuk bertauhid yaitu hanya mengesakan dan menyembah Allah semata dan agar tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun di muka bumi ini. Dan tidak ada seorangpun muslim yang tidak kenal surah Al-Ikhlas —bahkan hafal sejak masih duduk di bangku SD— di mana di dalamnya terdapat firman Allah sebagai berikut:

لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ

"Dia (Allah) tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia (Allah)." (QS. Al-Ikhlas [112] : 3-4)

Bagi seorang muslim keyakinan bahwa Allah subhaanahu wa ta’aala itu Maha Esa adalah perkara yang sudah selesai dan mantap diyakininya. Allah tidak punya anak dan Allah tidak punya orang-tua. Bahkan tidak ada sesuatupun atau seseorangpun di muka bumi ini, baik di masa lalu, masa kini maupun di masa depan yang bisa dan boleh disetarakan atau diserupakan dengan Allah subhaanahu wa ta’aala.



Lalu mengapa Allah menyuruh ummat Islam untuk mengajak ahli Kitab —termasuk kaum Nasrani di dalamnya— agar bersepakat dengan ajaran tauhid? Bahwa tidak boleh ada di dunia ini yang disembah selain Allah dan bahwa tidak boleh ada apapun atau siapapun di dunia ini yang dipersekutukan dengan Allah subhaanahu wa ta’aala. Allah menyuruh kita mengajak mereka kepada kalimat Tauhid sebab pada asalnya kalimat ini pulalah yang telah diajarkan oleh Yesus Kristus (kata mereka) atau Nabiyullah Isa ‘alaihis salaam (kata Allah dan ummat Islam) kepada Bani Israel. Nabiyullah Isa ‘alaihis salaam tidak pernah menyatakan bahwa dirinya adalah anak tuhan apalagi tuhan itu sendiri. Nabiyullah Isa ‘alaihis salaam tidak pernah menyuruh ummatnya untuk mempersekutukan Allah dengan dirinya dan diri ibundanya Maryam.

وَإِذْ قَالَ اللَّهُ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ أَأَنْتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّيَ إِلَهَيْنِ مِنْ دُونِ اللَّهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَا يَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَا لَيْسَ لِي بِحَقٍّ

"Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman, "Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia, 'Jadikanlah aku dan ibuku dua orang tuhan selain Allah?'" Isa menjawab, 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya).'" (QS. Al-Maidah [5] : 116)

Adalah suatu dusta besar bila ada yang menyangka apalagi meyakini bahwa seorang Nabi yang diutus Allah akan menyuruh ummatnya untuk menyembah dirinya dan bukan menyembah Allah subhaanahu wa ta’aala yang telah mengutus dirinya menjadi seorang Nabiyullah.

مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ

Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia, "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." (QS. Ali Imran [3] : 79)

Sehingga Nabiyullah Isa ‘alaihis salaam sendiri ketika ditanya Allah mengenai dusta besar yang telah dilakukan oleh sebagian ummatnya, menjawab sebagai berikut:

مَا قُلْتُ لَهُمْ إِلا مَا أَمَرْتَنِي بِهِ أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ

"Aku tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang Engkau perintahkan kepadaku (mengatakan)nya yaitu, 'Sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu'." (QS. Al-Maidah [5] : 117)

Jadi sebenarnya peringatan dan perayaan hari kelahiran Yesus Kristus bukanlah suatu peringatan hari ulang tahun biasa sebagaimana ulang tahun manusia lain pada umumnya. Bagi sebagian besar ummat Kristiani di seluruh dunia Hari Natal atau kelahiran Yesus setiap tanggal 25 Desember diyakini merupakan hari lahirnya anak tuhan bahkan hari lahirnya tuhan itu sendiri...! Subhaanallahi ‘amma yusyrikun (Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan). Ummat Nasrani meyakini bahwa setiap tanggal tersebut mereka menegaskan kembali keyakinan keliru mereka bahwa Allah punya anak atau Allah boleh diserupakan dengan seorang manusia, dalam hal ini Yesus atau kita menyebutnya Isa ‘alaihis salaam.

Dan Allah dengan tegas memvonis kafir bagi siapa saja yang mengucapkan kalimat sesat tersebut:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَا بَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, "Sesungguhnya Allah adalah Al Masih putra Maryam", padahal Al Masih (sendiri) berkata: "Hai Bani Israel, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu." (QS. Al-Maidah [5] : 72)

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلا إِلَهٌ وَاحِدٌ

"Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, 'Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga', padahal sekali-kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa." (QS. Al-Maidah [5] : 73)

Bila Allah memvonis mereka karena ucapan batilnya itu, lalu mengapa ummat Islam malah turut mengucapkan selamat kepada mereka atas kebatilan keyakinan mereka itu? Alih-alih kita mengajak mereka untuk bertaubat dan hanya menyembah Allah sebagaimana Allah perintahkan kita dan Nabiyullah Isa ‘alaihis salaam atau Yesus telah menyuruh mereka, malah sebagian ummat Islam dewasa ini turut memberikan dukungan dan ucapan selamat atas kekeliruan, kekafiran dan kemusyrikan mereka itu.

Bukankah ucapan selamat dari ummat Islam justeru akan melestarikan keyakinan sesat mereka? Mereka tidak diingatkan bahwa itu keliru malah mereka diberikan kalimat ucapan selamat? Alangkah tega dan zalimnya perbuatan orang-orang yang mengucapkan selamat Natal kepada ummat Kristiani yang merayakan hari kelahiran anak tuhan bahkan kelahiran tuhan itu sendiri. Kita tahu bahwa itu adalah kebatilan tetapi kita malah memberikan reinforcement dengan Christmas Greeting yang diucapkan, baik melalui ucapan langsung, facebook, email, kartu Natal atau Televisi. Ibaratnya seorang muslim yang seperti itu sedang menyatakan kepada seorang Nasrani, “Selamat ya Anda telah menjadi seorang yang kafir di mata Allah Tuhan Yang Sebenarnya.” Na’udzubillahi min dzaalika...!

Bahkan di dalam ayat-ayat berikut Allah sangat murka dengan orang-orang yang meyakini bahwa Allah Yang Maha Pemurah telah mengambil seorang anak. Sehingga Allah mengancam dengan berbagai bentuk bencana alam dahsyat dikarenakan adanya orang-orang yang mengucapkan claim batil tersbut.

وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الأرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ إِلا آتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا

"Dan mereka berkata, 'Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.' Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba." (QS. Maryam [19] : 88-93)

Sekali lagi, alangkah tega dan zalimnya bila ada seorang muslim yang mengaku menjadikan Allah sebagai Tuhan Yang Esa, tidak beranak dan tidak diperanakkan, tidak bisa diserupakan dengan apapun dan siapapun, kemudian melihat ada orang-orang yang meng-claim bahwa Ar-Rahman (Allah Yang Maha Pemurah) punya anak lalu malah turut mengucapkan selamat pada hari dimana mereka merayakan peringatan hari kelahiran anak tuhan atau bahkan tuhan mereka itu.

Tidak mengucapkan "Selamat Natal" kepada kaum Nasrani bukan berarti kita tidak bisa bergaul dan berlaku baik kepada mereka. Silahkan berlaku baik kepada mereka sepanjang tahun. Tapi pada giliran tiba bulan Desember, khususnya tanggal tertentu, tunjukkanlah sikap Tauhid kita dengan tidak ikut serta melegitimasi kekeliruan keyakinan mereka dengan mengucapkan Christmas Greetings.

Mungkin ada yang bertanya, "Tetapi kenapa kita tidak mengucapkan 'Christmas Greetings' kepada mereka sedangkan mereka mengucapkan 'Selamat Hari Raya Idul Fitri' kepada kita?" Saudaraku, sungguh tidaklah sama antara Perayaan Natal dengan Hari Raya Idul Fitri. Hari Raya Idul Fitri merupakan sebuah momen dimana ummat Islam bersyukur telah sebulan penuh beribadah Ramadhan dengan shaum di siang hari, taraweh di malam hari dan berburu lailatul qadar. Ini semua merupakan perintah-perintah Allah untuk dilaksanakan dan dijanjikanNya akan mendatangkan keselamatan di dunia maupun di akhirat bagi pelakunya. Artinya memang seorang muslim yang mentaati Allah dengan beribadah Ramadhan adalah fihak yang selamat dan patut diberikan ucapan selamat. Sementara fihak yang merayakan peringatan hari lahirnya 'anak tuhan' atau lahirnya 'tuhan' bagaimana bisa dikatakan selamat sedangkan Allah sangat murka dengan claim batil tersebut? Lalu apa perlunya diberikan ucapan selamat kepadanya? Malah semestinya —jika sanggup— kita mengajak mereka untuk bertaubat dari claim batil tersebut dan kembali kepada ajaran murni Yesus alias Nabiyullah Isa ‘alahis salaam, yakni ajaran Tauhid.

Malah seharusnya kita malu kepada Allah karena kita belum kunjung melaksanakan perintahNya untuk mengajak mereka kepada kalimat yang disepakati antara kita dengan mereka:

تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا

Katakanlah, "Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun." (QS. Ali Imran [3] : 64)

Ya Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Pengampun, ampunilah kami yang belum kunjung sanggup secara terbuka melaksanakan perintahMu di atas bahkan sebagian kami justeru malah melegitimasi kesesatan Ahli Kitab dari kalangan kaum Nasrani. Amin ya Rabbal ‘aalamiin.