Posted: 13 Dec 2010 04:00 PM PST
Ayat kursi merupakan salah satu ayat yang agung dalam al Quran. Ayat ini telah sering kita dengar, bahkan sebagian besar di antara kita telah menghafal ayat ini. Marilah sejenak kita mempelajari ayat ini untuk mengambil beberapa pelajaran berharga dari ayat yang mulia ini.
Allah Ta’ala berfirman :
اللهُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُُ لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ {255}
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Baqarah:255)
[Keutamaan Ayat Ini]
Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan : “Ayat yang mulia ini merupakan ayat al Quran yang paling agung, paling utama, dan paling mulia. Hal ini karena ayat ini mengandung penjelasan perkara-perkara yang agung dan sifat-sifat Allah yang mulia. Oleh karena itu banyak hadist yang memotivasi manusia untuk membaca ayat ini dan menjadikannya sebagai wirid yang dibaca saat pagi dan sore, ketika hendak tidur, dan dzikir setelah sholat fardhu”[1]
Di antara hadist yang menunjukkan keutamaan ayat kursi adalah hadist berikut :
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ يَا أَبَا الْمُنْذِرِ أَتَدْرِي أَيُّ آيَةٍ مِنْ كِتَابِ اللَّهِ مَعَكَ أَعْظَمُ قَالَ قُلْتُ { اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ } قَالَ فَضَرَبَ فِي صَدْرِي وَقَالَ وَاللَّهِ لِيَهْنِكَ الْعِلْمُ أَبَا الْمُنْذِرِ
Dari Ubay bin Ka’ab ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Hai Abu Mundzir! tahukah kamu, ayat manakah di antara ayat-ayat al Quran yang ada padamu yang paling utama?” Abu Mundzir berkata: saya menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bertanya lagi: “
Hai Abu Mundzir, tahukah kamu, ayat manakah di antara ayat-ayat al Quran yang ada padamu yang paling utama?” Abu Mundzir berkata: Saya menjawab, “
Allahu laa ilaaha illaa huwal Hayyul Qayyum” Abu Mundzir berkata: lalu beliau menepuk dadaku seraya bersabda: “Demi Allah, semoga dadamu dipenuhi dengan ilmu, wahai Abu Mundzir”[2]. Dan masih banyak hadist lain yang menunjukkan keutamaan ayat ini.
[Penetapan Tiga Macam Tauhid]
Dalam ayat kursi terdapat penetapan tiga macam tauhid yaitu tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid asma’ wa sifat. Pada awal ayat merupakan penetapan tauhid uluhiyah, yakni firman Allah {
ُ لآَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ } (Allah, tidak ada Tuhan melainkan Dia), maksudnya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Dia. Kemudian Allah menyebutkan tauhid asma’ wa sifat dalam firman-Nya {
الْحَيُّ الْقَيُّومُ} (Yang Maha Hidup dan Maha Berdiri Sendiri). Ini merupakan penetapan sifat hidup dan berdiri sendiri (tidak butuh kepada makhluk)i bagi Allah Ta’ala. Dan firman Allah {
لاَ تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلاَنَوْمُُ } merupakan penafian. Allah menafikan dari diri-Nya sifat kekurangan dan cela yaitu sifat ngantuk dan tidur. Dalam firman-Nya {
لَّهُ مَافِي السَّمَاوَاتِ وَمَافِي اْلأَرْضِ } (kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi) merupakan penetapan rububiyah Allah, Dialah pemilik langit dan bumi dan yang ada di dalamnya.[3]
[Nama Allah Al Hayyu dan Al Qayyum]Dua nama di atas adalah nama bagi Allah Ta’ala yang terdapat dalam 3 tempat di dalam Al Quran, yaitu ayat kursi, awal surat Ali ‘Imran (ayat2), dan dalam surat Thaaha (ayat111).
Dalam nama Al Hayyu terdapat penetapan sifat hidup bagi Allah. Yaitu sifat hidup yang sempurna, tidak didahului ketiadaan dan tidak disertai kehancuran dan fana, serta tidak ada kekurangan dan cela. Kehidupan yang berkonsekuensi sempurananya sifat-sifat Allah, baik ilmu-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, kemampuan-Nya, kemauan-Nya, kasih sayang-Nya, dan perbuatan yang Allah kehendaki. Dengan demikian, hanya Allah semata yang berhak untuk diibadahi, sebgaimana firman-Nya :
وَتَوَكَّلْ عَلَى الْحَيِّ الَّذِي لاَيَمُوتُ وَسَبِّحْ بِحَمْدِهِ وَكَفَى بِهِ بِذُنُوبِ عِبَادِهِ خَبِيرًا {58}
“Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) Yang tidak mati, dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa hamba-hamba-Nya.”(Al Furqan:58)
Adapun dalam nama Allah Al Qayyum terdapat penetapan Qayyumiyah sebagai sifat bagi Allah, yakni keadaan Allah yang berdiri sendiri. Nama Allah Al Qayyum mengandung dua hal :
Pertama. Sempurnanya ketidakbutuhan Allah
Subhanahu wa Ta’ala, Dia berdiri sendiri, tidak membutuhkan makhluknya, sebagaimana firman-Nya :
يَآأَيُّهَا النَّاسُ أَنتُمُ الْفُقَرَآءُ إِلَى اللهِ وَاللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيدُ {15}
“Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah Yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Faathir:15)
Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّكُمْ لَنْ تَبْلُغُوا ضَرِّي فَتَضُرُّونِي وَلَنْ تَبْلُغُوا نَفْعِي فَتَنْفَعُونِي
“Sesungguhnya kalian tidak akan dapat menimpakan mudharat sedikitpun kepada-Ku dan tidak akan dapat memberikan manfaat sedikitpun kepada-Ku “[4]
Kedua. Sempurnanya kemampuan dan pengaturan Allah terhadap makhluk-Nya. Allah menopang para makhluknya dengan kekuatan-Nya, dan seluruh makhlukk fakir (butuh) terhadap Allah. Allah tidak sedikitpun butuh terhadap makhluk. ‘Arsy, Kursi, langit dan bumi, gunung dan pohon, manusia dan hewan, semuanya fakir kepada Allah. Allah berfirman :
أَفَمَنْ هُوَ قَآئِمٌ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ وَجَعَلُوا لِلَّهِ شُرَكَآءَ قُلْ سَمُّوهُمْ
“Maka apakah Tuhan yang menjaga setiap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama dengan yang tidak demikian sifatnya)? Mereka menjadikan beberapa sekutu bagi Allah. Katakanlah: “Sebutkanlah sifat-sifat mereka itu“. …” (Ar Ra’du :33).[5]
[Meminta Syafaat Hanya kepada Allah]
Ayat yang agung ini juga mengandung pelajaran penting tentang syafaat. Bahwa syafaat adalah milik Allah dan hanya boleh meminta syafaat kepada Allah semata. Allah berfirman :
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِندَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya?”
Allah Ta’ala tidak melarang meminta syafaat secara mutlak, bahkan terdapat syafaat yang diterima di sisi Allah, yaitu syafaat yang mendapat izin dari Allah terhadap orang yang mentauhidkan-Nya. Syafaat yang diterima oleh Allah harus memenuhi dua syarat :
Pertama. Izin syafaat dari Allah Ta’ala. Semua syafaat adalah milik-Nya semata, sebagaimana Allah berfirman :
ُلِ لِلَّهِ الشَّفَاعَةُ جَمِيعًا … {44}
“Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafaat itu semuanya” (Az Zumar:44)
Tidak ada sesuatupun yang memberi syafaat, baik itu malaikat maupun Nabi tanpa izin Allah
‘Azza wa Jalla.
Kedua. Ridho Allah terhadap orang yang diberi syafaat. Orang yang meminta syafaat adalah ahli tauhid yang tidak menjadikan selain Alah sebagai pemberi syafaat, sebagaimana firman-Nya :
وَلاَيَشْفَعُونَ إِلاَّ لِمَنِ ارْتَضَى …{28}
“dan mereka (para malaikat) tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah” (Al Anbiya’:28)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ
“Manusia yang beruntung dengan syafaatku pada hari kiamat adalah yang mengucapkan Laa ilaaha illallaah, dengan tulus dari lubuk hatinya.” [6]
Syafaat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam –tentunya setelah mendapat izin dari Allah- tidak akan didapatkan kecuali oleh ahli tauhid murni. Ini bertentangan dengan keyakinan kaum musyrikin yang menyangka bahwa syafaat akan diberikan dengan menjadikan wali-wali mereka sebagai pemberi syafaat, serta beribadah dan mencintai sesembahan selain Allah. [7]
[Luasnya Ilmu Allah Ta’ala]
يَعْلَمُ مَابَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَاخَلْفَهُمْ وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ بِمَا شَآءَ
“Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya”
Pada firman Allah Ta’ala (yang artinya) “Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka” di dalamnya terdapat penetapan sempurnanya ilmu Allah ‘Azza wa Jalla.
Allah mengetahui segala sesuatu, yang telah lalu, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Tidak ada sesuataupun yang tersembunyi, ilmu Allah mencakup semuanya. Dalam firman Allah (yang artinya) “dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya” merupakan penafian (peniadaan). Allah menafikan pada makhluk mengetahui ilmu Allah, kecuali yang telah Allah berikan kepadanya. Mereka tidak mengetahui perkara ghaib, tidak ada yang mengetahu perkara ghaib kecuali Allah semata.[8]
[Kursi, Makhluk Allah yang Agung]
Allah Ta’ala berfirman :
وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi”
Kursi adalah salah satu makhluk Allah. Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma berkata :
إنه موضع قدمي الله عز وجل
“Kursi adalah tempat kedua telapak kaki Allah”[9]
Kursi bukanlah ‘Arsy. ‘Arsy lebih besar dari Kursi, sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah
laallhu ‘alaihi wa sallam :
ن السماوات والسبع والأرضين السبع بالنسبة للكرسي كحلقة ألقيت في فلاة من الأرض، وأن فضل العرش على الكرسي كفضل الفلاة على هذه الحلقة
Sesungguhnya langit dan bumi yang tujuh dibandingakn dengan Kursi Allah bagaikan gelang yang dilempar di tanah lapang, dan keagungan ‘Arsy disbanding Kursi bagaikan tanah lapang dbianding gelang” [10]
Ini menunjukkan atas agungnya makhluk-makhluk Allah. Keagungan makhluk menunjukkan atas keagungan Penciptanya.[11]
[Allah Ta’ala Yang Maha Tinggi]
َلاَ يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Terdapat banyak dalil yang menunjukkan bahwa Allah adalah Yang Maha Tinggi. Nama Allah
Al ‘Aliy (Yang Maha Tinggi) menunjukkan tingginya Allah secara mutlak ditinjau dari berbagai sisi.
Pertama. Allah Maha Tinggi dalam dzat-Nya (‘uluw dzat). Allah istiwa’ (tinggi dan menetap) di atas
Arsy, Allah berada di atas segala sesuatu. Allah berfirman :
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى {5}
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang istiwa’ di atas ‘Arsy .” (Thaaha:55)
Kedua. Allah Maha Tinggi dalam kekuasaan-Nya (‘uluw qodar). Sifat-sifat Allah tinggi dan agung. Sifat Allah agung, tidak menyamai dan menyerupai dengan sifat sesuatu papun, bahkan hamba tidak layak disifati dengan salah satu sifat-Nya.
Ketiga. Allah Maha Tinggi, mengalahkan yang lainnya (‘uluw qohar)[12]
[Kesimpulan]
Di akhir ketika menyimpulkan kandungan ayat ini, Syaikh As Sa’di rahimahullah menjelaskan : “ Ayat ini mencakup penjelasan tentang tauhid uluhiyah, tauhid rububiyah, dan tauhid asma’ wa shifat. Dan juga penjelasan cakupan kepemilikan, peliputan ilmu Allah, luasnya kekuasan-Nya, keagungan dan kemuliaan Allah Ta’ala, serta keagungan kebesaran-Nya, dan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Ayat ini secra khusus mengandung penjelasan tentang akidah tentang asma’ dan sifat Allah”[13]
Demikian penjelasan beberapa faedah yang dapat diambil dari ayat kursi. Semoga paparan ringkas ini bermanfaat dan menambah keimanan kita.
Wa shalallahu ‘alaa Nabiyyina Muhammad.
Penulis: Abu ‘Athifah Adika Mianoki
Artikel http://www.muslim.or.id/
Catatan kaki
[1]. Taisir Karimir Rahman, Syaikh As Sa’di, Tafsir Al Baqoroh 255.
[2]. H.R Muslim 810.
[3]. Duruus min Al Quran hal 27, Syaikh Shalih Fauzan, Daarul ‘Aashimah.
[4]. H.R Muslim 2577.
[5]. Lihat Fiqhul Asmaail Husna hal 103-107, Syaikh ‘Abdurrozzaq.
[6]. H.R Bukhari 99.
[7]. Al Mufiid fii Muhammaati at Tauhiid 168, Dr. ‘Abdul Qodir Shufiy, Adwaus Salaf.
[8] Duruus min Al Quran 28.
[9]. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Mukhtasar ‘Uluw 40
[10]. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalm Ash Shahihah 109
[11]. Syarh ‘Aqidah al Washitiyah 127, Syaikh ‘Utsaimin.
[12]. Fiqhul Asmaail Husna 174-175
[13]. Taisir Karimir Rahman, Tafsir
No comments:
Post a Comment