visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Wednesday, September 14, 2011

Iman Kepada Malaikat


Iman kepada Malaikat merupakan salah satu landasan agama Islam. AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Rasul telah beriman kepada al-Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian juga orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya….” (QS. Al-Baqarah: 285) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau menjawab: “(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan buruk.” (Muttafaq `alaih)

Barangsiapa yang ingkar dengan keberadaan malaikat, maka dia telah kafir, keluar dari Islam. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa`: 136)

Batasan Minimal Iman kepada Malaikat

Syaikh Shalih bin `Abdul `Aziz Alu Syaikh hafidzahullah mengatakan: “Batas minimal (iman kepada malaikat) adalah keimanan bahwasanya Allah menciptakan makhluk yang bernama malaikat. Mereka adalah hamba-hamba Allah yang senantiasa taat kepada-Nya. Mereka merupakan makhluk yang diatur sehingga tidak berhak diibadahi sama sekali. Diantara mereka ada malaikat yang ditugasi untuk menyampaikan wahyu kepada para Nabi.” (Syarh Arbain Syaikh Shalih Alu Syaikh)

Bertambah Iman Seiring dengan Bertambahnya Ilmu

Setelah itu, setiap kali bertambah ilmu seseorang tentang rincian hal tersebut (malaikat), wajib baginya mengimaninya. Dengan begitu, maka imannya akan bertambah. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turannya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembira.” (QS. At-Taubah: 124)

Hakikat malaikat

Syaikh DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil mengatakan, “Dalil-dalil dari al-Qur`an, as-Sunnah, dan ijma` (kesepakatan) kaum muslimin (tentang malaikat) menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

• Malaikat merupakan salah satu makhluk di antara makhluk-makhluk ciptaan Allah.

• Allah menciptakan mereka untuk beribadah kepada-Nya, sebagaimana Allah menciptakan jin dan manusia juga untuk beribadah kepada-Nya semata.

• Mereka adalah makhluk yang hidup, berakal, dan dapat berbicara.

• Malaikat hidup di alam yang berbeda dengan alam jin dan manusia. Mereka hidup di alam yang mulia lagi suci, yang Allah memilih tempat tersebut di dunia karena kedekatannya, dan untuk melaksanakan perintah-Nya, baik perintah yang yang bersifat kauniyyah, maupun syar`iyyah.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah. Sebenarnya (malaikat-malaikat itu), adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka itu tidak mendahului-Nya dengan perkataan dan mereka mengerjakan perintah-perintah-Nya. Allah mengetahui segala sesuatu yang di hadapan mereka (malaikat) dan yang di belakang mereka, dan mereka tiada memberi syafaat melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Dan barangsiapa di antara mereka, mengatakan: ‘Sesungguhnya Aku adalah tuhan selain daripada Allah’, maka orang itu Kami beri balasan dengan Jahannam, demikian Kami memberikan pembalasan kepada orang-orang zalim.” (QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29)

(Lihat Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin hal. 15)

Asal Penciptaan Malaikat

Allah Ta`ala menciptakan malaikat dari cahaya. Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam hadits dari Ummul Mu`minin `Aisyah radhiyallah `anha, dia mengatakan bahwasanya Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Malaikat diciptakan dari cahaya.” (HR. Muslim)

Jumlah Malaikat

Jumlah mereka sangat banyak. Hanya Allah saja yang tahu berapa banyak jumlah mereka. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan tidak ada yang mengetahui tentara Tuhanmu melainkan Dia sendiri.” (QS. Al-Muddatstsir: 31) Ketika Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallammelakukan Isra` Mi`raj, berkata Jibril `alaihis salam kepada beliau: “Ini adalah Baitul Ma`mur. Setiap hari shalat di dalamnya 70 ribu malaikat. Jika mereka telah keluar, maka mereka tidak kembali lagi…. ” (Muttafaqun `alaihi)

Sifat Fisik Malaikat

Berikut ini kami sampaikan sebagian sifat fisik malaikat:

• Kuatnya fisik mereka

Allah Ta`ala berfirman tentang keadaan neraka (yang artinya), “Penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. Tahrim: 6)

Panas api neraka, yang membuat besi dan batu meleleh, tidak membahayakan mereka.Demikian juga dengan Malakul jibal (Malaikat gunung), dimana dia menawarkan kepada Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam untuk menabrakkan dua gunung kepada sebuah kaum yang mendurhakai beliau. Kemudian beliau menolak tawaran tersebut. (Hadits yang menceritakan kisah ini terdapat dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim)

• Mempunyai sayap

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Segala puji bagi Allah Pencipta langit dan bumi, Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga dan empat. Allah menambahkan pada ciptaan-Nya apa yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fathiir: 1)

• Tidak membutuhkan makan dan minum

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan sesungguhnya utusan-utusan Kami (malaikat-malaikat) telah datang kepada lbrahim dengan membawa kabar gembira, mereka mengucapkan: “Selamat.” Ibrahim menjawab: “Selamatlah,” maka tidak lama kemudian Ibrahim menyuguhkan daging anak sapi yang dipanggang. Maka tatkala dilihatnya tangan mereka tidak menjamahnya, Ibrahim memandang aneh perbuatan mereka, dan merasa takut kepada mereka. Malaikat itu berkata: ‘Jangan kamu takut, sesungguhnya kami adalah (malaikat-ma]aikat) yang diutus kepada kaum Luth.’” (QS. Huud: 69 – 70)As Suyuthi rahimahullah berkata: “Ar-Razi dalam tafsirnya mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwasanya malaikat tidak makan, tidak minum, dan juga tidak menikah.”

Ke-ma`shum-an Malaikat

Allah Ta`ala telah manjadikan malaikat sebagai makhluk yang ma`shum, dimana mereka tidak akan pernah bermaksiat kepada-Nya. Allah Ta`alaberfirman: “Dan mereka berkata: ‘Tuhan Yang Maha Pemurah telah mengambil (mempunyai) anak’, Maha Suci Allah….” (lihat QS. Al-Anbiyaa`: 26 – 29 di atas)

Buah Iman kepada Malaikat

Diantara buah dari beriman kepada malaikat adalah:

• Mengetahui keagungan Allah Ta`ala yang telah menciptakan makhluk-makhluk yang mulia, yaitu malaikat.

• Kecintaan kepada malaikat karena ibadah-ibadah yang mereka lakukan. (lihat Syarh Tsalatsatul Ushul Syaikh `Utsaimin)

Demikianlah sedikit bahasan tentang malaikat. Untuk mendapatkan pembahasan yang lebih rinci tentang Malaikat, silahkan merujuk ke kitab Mu`taqad Firaqil Muslimiin wal Yahud wan Nashara wal Falasifah wal Watsaniyyiin fil Malaikatil Muqarrabiin karya DR. Muhammad bin `Abdul Wahhab al-`Aqiil. Wallahu Ta`ala a`lam.

Penulis : Abu Ka’ab Prasetyo



Iman Terhadap Kitab-kitab Suci


Iman terhadap kitab suci merupakan salah satu landasan agama kita. AllahTa`ala berfirman yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan. Akan tetapi, sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman dengan Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi….” (QS. Al-Baqarah: 177) Rasulullah ketika ditanya oleh Jibril `alaihis salam tentang iman, beliau menjawab:“(Iman yaitu) Engkau beriman dengan Allah, para Malaikat, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, dan beriman dengan takdir yang baik dan buruk.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin mengatakan: “Kitab (biasa disebut dengan Kitab suci) adalah kitab yang Allah turunkan kepada rasul-Nya sebagai rahmat untuk para makhluk-Nya, dan petunjuk bagi mereka, supaya mereka mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.” (lihat kitab Rasaail fil `Aqiidah karya Syaikh Utsaimin)

Cakupan Iman dengan Kitab Suci

Masih dalam kitab yang sama, beliau juga mengatakan: “Iman dengan kitab suci mencakup 4 perkara:

1.Iman bahwasanya kitab-kitab tersebut turun dari Allah Ta`ala.

2.Iman dengan nama-nama yang kita ketahui dari kitab-kitab tersebut, seperti al-Qur`an yang Allah turunkan kepada Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam, Taurat kepada Musa, Injil kepada Isa, dan lain sebagainya.

3.Pembenaran terhadap berita-berita yang shahih, seperti berita-berita yang ada dalam al-Qur`an dan kitab-kitab suci sebelumnya selama kitab-kitab tersebut belum diganti atau diselewengkan.

4.Pengamalan terhadap apa -apa yang belum di-nasakh dari kitab-kitab tersebut, rida terhadapnya, dan berserah diri dengannya, baik yang diketahui hikmahnya, maupun yang tidak diketahui.” (Rasaail fil `Aqiidah)

Sumber dan Tujuan Penurunan Kitab Suci

Seluruh kitab-kitab suci sumbernya adalah satu, yaitu dari Allah Jalla wa `Alaa. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “ Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus makhluk-Nya. Dia menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan Kitab yang telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil, sebelum (al-Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan dia menurunkan al-Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan (siksa).” (QS. Ali Imran: 2-4)

Tujuan penurunan kitab-kitab suci juga satu, yaitu tercapainya peribadatan hanya kepada Allah semata, sebagaimana terdapat dalam firman Allah Ta`ala dalam surat al-Maidah ayat 44 – 50. (Untuk pembahasan lebih rinci, lihat kitab ar-Rusul war Risaalaat karya `Umar bin Sulaiman al-Asyqar, hal 231 – 235)

Kedudukan al-Qur`an di antara Kitab-kitab Suci Lainnya

Al-Qur`an merupakan kitab suci terakhir dan penutup dari kitab-kitab suci sebelumnya. Selain itu, al-Qur`an juga merupakan hakim atas kitab-kitab suci sebelumnya. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu; Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu…. ” (QS. Al-Maidah: 48)

Al-Qur`an merupakan kitab suci paling panjang dan paling luas cakupannya. Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam bersabda: “Saya diberi ganti dari Taurat dengan as-sab`ut thiwaal (tujuh surat dalam al-Qur`an yang panjang-panjang). Saya diberi ganti dari Zabur dengan al-mi`iin (surat yang jumlah ayatnya lebih dari seratus). Saya diberi ganti dari Injil dengan al-matsani (surat yang terulang-ulang pembacaannya dalam setiap rekaat shalat) dan saya diberi tambahan dengan al-mufashshal (surat yang dimulai dari Qaf sampai surat an-Naas).” (HR. Thabarani dan selainnya, dishahihkan sanadnya oleh al-Albani)

Di antara perkara lain yang menjadi kekhususan al-Qur`an dari kitab-kitab suci lainnya adalah penjagaan Allah terhadapnya. Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)

Sekilas Tentang Taurat

Taurat adalah kitab yang Allah turunkan kepada Musa `alahis salam. Taurat merupakan kitab yang mulia yang tercakup didalamnya cahaya dan petunjuk. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi)….” (QS. Al-Maidah: 44)

Taurat yang ada saat ini – biasa disebut dengan kitab perjanjian lama – , setiap orang yang berakal tentu mengetahui bahwa taurat tersebut bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada Musa `alaihis salam. Hal itu bisa diketahui dari beberapa bukti berikut:.

• Ketidakmampuan mereka (baik Yahudi maupun Nashrani) dalam menunjukkan sanad ilmiah yang sampai kepada Musa `alaihis salam, bahkan mereka mengakui bahwa Taurat pernah hilang selama beberapa kali.

• Terjadi banyak kontradiksi di dalamnya, yang menunjukkan bahwa sudah banyak terjadi campur tangan para ulama yahudi dalam merubah isi Taurat.

• Banyak terdapat kesalahan ilmiah.

• Dan masih banyak bukti lainnya.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis al-Kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; “Ini dari Allah”, (dengan maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu. Maka Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh tangan mereka sendiri, dan Kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah: 79)

Sekilas Tentang Injil

Sedangkan Injil, dia adalah kitab yang Allah turunkan kepada Isa `alaihis salam sebagai penyempurna dan penguat bagi Taurat, mencocoki dangannya dalam sebagian besar syariatnya, petunjuk kepada jalan yang lurus, membedakan kebenaran dan kebatilan, dan menyeru kepada peribadatan kepada Allah Ta`ala semata.

Sebagaimana taurat yang ada sekarang bukanlah taurat yang dahulu diturunkan kepada Musa, demikian juga injil yang ada sekarang, juga bukan injil yang diturunkan kepada Isa `alaihimas salam. Di antara bukti dari penyataan tersebut:

• Penulisan injil terjadi jauh beberapa tahun setelah diangkatnya Isa`alaihis salam.

• Terputusnya sanad dalam penisbatan penulisan injil-injil tersebut kepada penulisnya.

• Banyak terdapat kontradiksi dan kesalahan ilmiah di dalamnya

• Dan masih banyak bukti lainnya.

(untuk mendapatkan pembahasan lebih rinci tentang keberadaan Taurat dan Injil yang ada sekarang, silahkan merujuk ke kitab Izhaarul Haq karya Rahmatullah al-Hindy)

Bolehkah mengikuti Taurat dan Injil setelah Turunnya al-Qur

Jawabnya: Tidak boleh. Bahkan, kalau seandainya kitab-kitab tersebut (Taurat atau Injil yang ada sekarang) adalah benar berasal dari para Nabi mereka, maka kita tetap tidak boleh mengikutinya karena kitab-kitab tersebut diturunkan khusus kepada umat nabi tersebut dan dalam tempo yang terbatas, dan kitab-kitab tersebut sudah di-nasakh oleh al-Qur`an. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan kami telah turunkan kepadamu al-Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaiminan (batu ujian) terhadap kitab-kitab yang lain itu;…. ” (QS. Al-Maidah: 48)

Bahkan wajib bagi Yahudi dan Nashrani saat ini untuk mengikuti al-Qur`an. Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda: “Demi Dzat Yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya! Tidaklah seorang pun dari Yahudi dan Nasrani yang mendengar akan diutusnya aku, kemudian mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku diutus dengannya, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” (HR. Bukahri dan Muslim)

Demikianlah sedikit bahasan tentang Iman dengan kitab suci. “Wahai Rabb kami, tambahkan kepada kami keimanan, keyakinan, kefakihan, dan ilmu.”

Rujukan utama:

Al-Iman bil Kutub, karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Hamd.




Friday, September 9, 2011

Keyakinan Nur Muhammad, Cikal Bakal Keyakinan Wihdatul Wujud

Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam… Beliau merupakan hamba Allah sekaligus utusan-Nya. Allah telah memilihnya sebagai hamba-Nya yang paling mulia dan sebagai pengemban risalah bagi seluruh jin dan manusia. Selain itu, Allah juga telah memuliakan beliau dengan beberapa keutamaan yang tidak dimiliki oleh makhluk selainnya.

Keyakinan Nur Muhammad

Di antara keyakinan tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang banyak tersebar di Indonesia, khususnya bagi mereka yang biasa bergelut dengan dunia ke-sufi-an, adalah keyakinan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam di ciptakan dari cahaya Allah; dan seluruh alam semesta diciptakan dari cahayanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Benarkah pemahaman ini?

Syubhat Mereka

Yang menjadi dasar atas keyakinan tersebut adalah sebuah hadits yang terdapat banyak dalam kitab-kitab sufi. Hadits tersebut adalah sebagai berikut:

`Abdurrazzaq meriwayatkan dengan sanadnya sampai kepada shahabat Jabir bin `Abdilla al-Anshariy radhiyallahu `anhu, dia mengatakan: “Saya bertanya: ‘Wahai Rasulullah, Demi bapak dan ibu saya sebagai tebusan bagimu, kabarkan kepada saya tentang makhluk yang pertama Allah ciptakan sebelum Dia menciptakan selainnya.’ Beliau menjawab: ‘Wahai Jabir, makhluk yang pertama Allah ciptakan adalah cahaya Nabimu yang Dia ciptakan dari cahaya-Nya. Kemudian Dia menjadikan cahaya tersebut berputar dengan kuat sesuai dengan kehendak-Nya. Belum ada saat itu lembaran, pena, surga, neraka, malaikat, nabi, langit, bumi, matahari, bulan, jin, dan juga manusia. Ketika Allah hendak menciptakan, Dia membagi cahaya tersebut menjadi 4 bagian. Kemudian, Allah menciptakan pena dari bagian cahaya yang pertama; lembaran dari bagian cahaya yang kedua; dan `Arsy dari bagian cahaya yang ketiga. Selanjutnya, Allah membagi bagian cahaya yang keempat menjadi 4 bagian lagi. Lalu, Allah menciptakan (malaikat) penopang `Arsy dari bagian cahaya yang pertama; Kursi dari bagian cahaya yang kedua; dan malaikat yang lainnya dari bagian cahaya yang ketiga. …[di akhir hadits beliau mengatakan] Beginilah permulaan penciptaan Nabimu, ya Jabir.”

Derajat Hadits Nur Muhammad

Wahai saudaraku, semoga Allah menunjuki kita ke jalan-Nya, ketahuilah bahwasanya sanad (silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadits) merupakan bagian dari agama kita, yang dengannya Allah menjaga agama ini. `Abdullah bin Mubarak mengatakan: “Sanad merupakan bagian dari agama. Kalau tidak ada sanad, tentu orang akan seenaknya berkata (tentang agama ini).”

Syaikh Dr. Shadiq Muhammad Ibrahim (salah seorang yang telah melakukan penelitian terhadap hadits ini) mengatakan: “Semua kitab-kitab sufi yang terdapat di dalamnya hadits ini, tidak ada yang menyebutkan sanad dari hadits tersebut. Mereka hanya menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh `Aburrazzaq. Saya telah mencarihadits tersebut dalam kitab-kitab yang ditulis oleh `Abdurrazzaq dan saya tidak menemukan hadits tersebut.”

`Abdullah al-Ghamariy (seorang pakar hadits) mengatakan: “Hadits tersebut merupakan hadits maudhu` (palsu). … Bersamaan dengan itu, hadits tersebut juga tidak terdapat dalam kitab Mushannaf `Abdurrazzaq, Tafsir-nya, dan tidak juga dalam Jami`-nya. … Maka shahabat Jabir bin `Abdullah radhiyallahu `anhu (perawi hadits menurut mereka) berlepas diri dari menyampaikan hadits tersebut. Demikian juga `Abdurrazzaq, dia tidak pernah menulis hadits tersebut (dalam kitabnya). Orang yang pertama menyampaikan hadits ini adalah Ibnu Arabi. Saya tidak tahu dari mana dia mendapatkannya.”

Konsekuensi yang Sesat dan Menyesatkan

Keyakinan sesat yang timbul sebagai konsekuensi dari hadits di atas adalah sebagai berikut:

• Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam diciptakan dari cahaya

Keyakinan ini tentu saja merupakan bentuk pengingkaran terhadap al-Qur`an yang dengan jelas menyatakan tentang kemanusiaan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam.

Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Katakanlah: ‘Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang manusia yang menjadi rasul?” (QS. Al-Israa`: 93) Dan manusia diciptakan dari tanah, bukan dari cahaya. Allah Ta`ala berfirman yang artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kalian dari tanah. Kemudian tiba-tiba kalian (menjadi) manusia yang berkembang biak.” (QS. Ar-Ruum: 20)

• Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam berasal dari cahaya Allah

Ini merupakan perkataan tentang Allah tanpa dasar ilmu. Kita tidak bisa berbicara tentang Allah, kecuali melalui kabar dari-Nya, baik yang terdapat dalam al-Qur`an, maupun hadits yang sah dari Rasulullah shallallahu `alahi wa sallam. Allah Ta`alaberfirman yang artinya: “Dan mengapa kamu tidak berkata, di waktu mendengar berita bohong itu: ‘Sekali-kali tidaklah pantas bagi kita mengatakannya, Maha Suci Engkau (Ya Tuhan kami), Ini adalah dusta yang besar.” (QS. An-Nuur: 16)

Keyakinan Ini Tidak Lebih Baik Dari Keyakinan Nashrani

Puncak dari keyakinan sesat yang timbul sebagai konsekuensi dari hadits tersebut adalah keyakinan wihdatul wujud, yaitu keyakinan bahwasanya Dzat Allah bersatu dengan semua makhluk-Nya. Mereka mengatakan bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam diciptakan dari cahaya Allah, kemudian dari cahayanya shallallahu `alaihi wa sallam diciptakanlah seluruh makhluk selainnya. Jadi, semua makhluk pada hakikatnya adalah berasal dari cahaya AllahTa’ala. Keyakinan ini (wihdatul wujud) sangat jelas kebatilannya. Bahkan, para ulama menyebutkan bahwa keyakinan orang Nashrani tentang tuhannya lebih baik dari keyakinan tersebut, karena Nashrani hanya mengatakan bahwa Dzat Allah menyatu dengan Isa `alaihis salam. Maha Suci Allah dari apa-apa yang mereka katakan. (lihat Muasuu`atur radd `ala shufiyyah)

Vonis dari Para Ulama

Ibnu `Arabi… Nama tersebut tidak asing lagi ditelinga kita. Siapakah dia? Dia merupakan salah satu tokoh sufi yang gencar dalam mempopulerkan keyakinan ini. Karena keyakinannya ini (wihdatul wujud) para ulama telah mengkafirkannya, mulai dari ulama yang sejaman dengannya, hingga ulama yang hidup saat ini. Di antara ulama-ulama besar yang mengkafirkannya adalah Ibnu Hajar al-`Atsqalany, Ibnu Katsir, Ibnu Shalah, dan al-Qasthalany, semoga Allah merahmati mereka semua. (lihat Muasuu`atur radd `ala shufiyyah)

Allah di atas Seluruh Makhluk-Nya

Di antara keyakinan Ahlus Sunnah adalah bahwasanya Allah berada di atas seluruh makhluk-Nya. Allah berfirman yang artinya: “Dan Dia-lah yang Mahakuasa, yang berada di atas hamba-hamba-Nya” (QS. Al-An`am: 18)

Imam Syafi`i rahimahullah berdalil dalam menetapkan ketinggian Allah di atas seluruh makhluk-Nya, dengan hadits dari Mu`awiyah bin Hakam (yang diriwayatkan oleh Imam Muslim). Ketika itu dia ingin memerdekakan budak perempuannya. Maka Rasulullah menguji budak perempuan tersebut – apakah dia termasuk orang beriman atau tidak – dengan bertanya: “Di mana Allah?” Kemudian budak perempuan memberikan isyarat ke arah atas. Lalu Rasulullah bertanya lagi, “Siapa saya?” Budak tadi menjawab, “(Engkau adalah) utusan Allah.” Kemudian Beliau bersabda: “Bebaskan budak tersebut karena dia adalah orang yang beriman.” (Manhaj Imam Syafi`i fi Itsbail `Aqidah, hal. 355)

Semoga Allah menunjukkan kepada kita jalannya yang lurus dan melindungi hati kita dari keyakinan-keyakinan batil tersebut. Amin.



Tak Lebih Berharga dari Sehelai Sayap Nyamuk!



Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الدُّنْيَا سِجْنُ الْمُؤْمِنِ ، وَجَنَّةُ الكَافِرِ

“Dunia adalah penjara bagi orang mukmin dan surga bagi orang kafir” (HR. Muslim)

Dari Amr bin ‘Auf radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَوالله مَا الفَقْرَ أخْشَى عَلَيْكُمْ ، وَلكِنِّي أخْشَى أنْ تُبْسَط الدُّنْيَا عَلَيْكُمْ كَمَا بُسِطَتْ عَلَى مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ ، فَتَنَافَسُوهَا كَمَا تَنَافَسُوهَا ، فَتُهْلِكَكُمْ كَمَا أهْلَكَتْهُمْ

“Demi Allah. Bukanlah kemiskinan yang aku khawatirkan menimpa kalian. Akan tetapi aku khawatir ketika dibukakan kepada kalian dunia sebagaimana telah dibukakan bagi orang-orang sebelum kalian. Kemudian kalian pun berlomba-lomba dalam mendapatkannya sebagaimana orang-orang yang terdahulu itu. Sehingga hal itu membuat kalian menjadi binasa sebagaimana mereka dibinasakan olehnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ka’ab bin ‘Iyadh radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةً ، وفِتْنَةُ أُمَّتِي : المَالُ

“Sesungguhnya setiap umat memiliki fitnah, sedangkan fitnah ummatku adalah harta” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ ؛ فَهُوَ أجْدَرُ أنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ الله عَلَيْكُمْ

“Lihatlah kepada orang yang lebih rendah daripada kalian -dalam hal dunia- dan janganlah kalian melihat orang yang lebih di atasnya. Karena sesungguhnya hal itu akan membuat kalian tidak meremehkan nikmat yang Allah berikan kepada kalian” (HR. Muslim)

Dari Shuhaib radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

عَجَباً لأمْرِ المُؤمنِ إنَّ أمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خيرٌ ولَيسَ ذلِكَ لأَحَدٍ إلاَّ للمُؤْمِن : إنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكانَ خَيراً لَهُ ، وإنْ أصَابَتْهُ ضرَاءُ صَبَرَ فَكانَ خَيْراً لَهُ

“Sangat mengagumkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik baginya. Dan hal itu tidak didapatkan kecuali pada diri orang mukmin. Apabila dia mendapatkan kesenangan maka dia bersyukur. Dan apabila dia mendapatkan kesusahan maka dia akan bersabar” (HR. Muslim)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اللَّهُمَّ لاَ عَيْشَ إِلاَّ عَيْشَ الآخِرَةِ

“Ya Allah tidak ada kehidupan yang sejati selain kehidupan akhirat” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إنَّ الدُّنْيَا حُلْوَةٌ خَضِرَةٌ وَإنَّ الله تَعَالَى مُسْتَخْلِفُكُمْ فِيهَا، فَيَنْظُرُ كَيْفَ تَعْمَلُونَ، فَاتَّقُوا الدُّنْيَا وَاتَّقُوا النِّسَاءَ

“Sesungguhnya dunia ini manis dan hijau. Dan sesungguhnya Allah ta’ala menyerahkannya kepada kalian untuk diurusi kemudian Allah ingin melihat bagaimana sikap kalian terhadapnya. Maka berhati-hatilah dari fitnah dunia dan wanita” (HR. Muslim)

Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُنْ في الدُّنْيَا كَأنَّكَ غَرِيبٌ ، أَو عَابِرُ سَبيلٍ

“Jadilah kamu di dunia seperti halnya orang asing atau orang yang sekedar numpang lewat/musafir” (HR. Bukhari)

Dari Sahl bin Sa’id as-Sa’idi radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ كَانَت الدُّنْيَا تَعْدِلُ عِنْدَ الله جَنَاحَ بَعُوضَةٍ ، مَا سَقَى كَافِراً مِنْهَا شَرْبَةَ مَاءٍ

“Seandainya dunia ini di sisi Allah senilai harganya dengan sayap nyamuk niscaya Allah tidak akan memberi minum barang seteguk sekalipun kepada orang kafir” (HR. Tirmidzi, dan dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)

Dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَا لِي وَلِلدُّنْيَا ؟ مَا أَنَا في الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا

“Ada apa antara aku dengan dunia ini? Tidaklah aku berada di dunia ini kecuali bagaikan seorang pengendara/penempuh perjalanan yang berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian dia beristirahat sejenak di sana lalu meninggalkannya” (HR. Tirmidzi, dia berkata: ‘hadits hasan sahih’)


Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi S.Si.

Artikel Muslim.Or.Id



Mengapa Yang Dihancurkan Yahudi Pertama Kali Adalah Wanita? (1)


“Seorang anak yang rusak masih bisa menjadi baik asal ia pernah mendapatkan pengasuhan seorang ibu yang baik. Sebaliknya, seorang ibu yang rusak akhlaknya, hanya akan melahirkan generasi yang rusak pula akhlaknya. Itulah mengapa yang dihancurkan pertama kali oleh Yahudi adalah wanita.”

Ucapan diatas dilontarkan oleh Muhammad Quthb, dalam sebuah ceramahnya puluhan tahun silam. Muhammad Quthb adalah ulama Mesir yang concern terhadap pendidikan Islam sekaligus pemikir ulung abad 20.

Ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis yang gencar melakukan perlawanan terhadap rezim Imperialisme Mesir, namun juga cendekiawan yang terkenal luas ilmunya.

Beberapa bukunya pun telah beredar di Timur Tengah dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa yang diantaranya adalah Shubuhāt Hawla al-Islām (literally "Misconceptions about Islam"). Hal nahnu Muslimūn (Are we Muslims?). Al-Insān bayna al-māddīyah wa-al-Islām. (Man between the Material World and Islam). Islam and the Crisis of the Modern World dan masih banyak lagi. Maka tak heran, lepas dari penjara ia pun mendapatkan gelar Profesor Kajian Islam di Arab Saudi.

Muhammad Quthb menekankan bagaimana pentingnya peran yang dimiliki seorang ibu dalam Islam. Ibu tidak saja adalah pihak yang dekat secara emosional kepada seorang anak, tapi ia juga memiliki pengaruh besar terhadap masa depan akhlak dari generasi yang dilahirkannya.

Menurut Muhammad Quthb anak yang pada kemudian hari mendapatkan ujian berupa kehancuran moral akan bisa diatasi, asal sang anak pernah mendapatkan pengasuhan ibu yang solehah. Pendidikan Islami yang terinternalisasi dengan baik, akan membuat sang anak lekas bangkit dari keterpurukannya mengingat petuah-petuah rabbani yang pernah terekam dalam memorinya.

Sebaliknya, ayah yang memiliki istri yang sudah rusak dari awalnya, maka ia pun hanya akan melahirkan sebuah keturunan yang memiliki kepribadian persis dengan wanita yang dipinangnya. Sifat alami anak yang banyak mengimitasi perilaku sang ibu akan membuka peluang transferisasi sifat alami ibu kepada anaknya.

Maka kerusakan anak akan amat tergantung dari kerusakan ibu yang mendidiknya. Oleh karena itu, dalam bukunya Ma’rakah At Taqaaliid, Muhammad Quthb mengemukakan alasan mengapa Islam mengatur konsep pendidikan yang terkait dengan arti kehadiran ibu dalam keluarga. Ia menulis:

“Dalam anggapan Islam, wanita bukanlah sekadar sarana untuk melahirkan, mengasuh, dan menyusui. Kalau hanya sekedar begitu, Islam tidak perlu bersusah payah mendidik, mengajar, menguatkan iman, dan menyediakan jaminan hidup, jaminan hukum dan segala soal psikologis untuk menguatkan keberadaannya… Kami katakan mengapa ‘mendidik’, bukan sekedar melahirkan, membela dan menyusui yang setiap kucing dan sapi subur pun mampu melakukannya.”

Nah, konsep inilah yang tidak terjadi di Negara Barat. Barat mengalami kehancuran total pada sisi masyarakatnya karena bermula dari kehancuran moral yang menimpa wanitanya. Wanita-wanita Barat hanya dikonsep untuk mendefinisikan arti kepribadian dalam pengertian yang sangat primitif, yakni tidak lain konsep pemenuhan biologis semata.

Dosen dan pelacur bisa jadi sama kedudukannya mirip dengan perkataan Sumanto Al Qurtubhy, kader Liberal didikan Kanada yang berujar, “Lho, apa bedanya dosen dengan pelacur? Kalau dosen mencari nafkah dengan kepintarannya, maka pelacur mencari makan dengan tubuhnya.”

Qurthuby hanyalah muqollid (pengikut) dari Sigmund Freud, psikolog kenamaan asal Austria yang membumikan konsep psikoanalisis. Ia mengatakan ketika dorongan seksual sudah menggelora dalam diri pria maupun wanita, maka sudah selayaknya mereka tuntaskan lewat jalan perzinahan, tanpa harus melalui alur pernikahan. Maka itu Freud menuding orang yang senantiasa menjaga akhlaknya rentan terserang gangguan psikologis seperti neurosis.

Kini Freud memang telah mati, namun gagasan itu membekas dalam pribadi orang Barat. Jika anda kerap menyaksikan berita Olahraga, pembawa acara sering memberitakan bahwa salah seorang pemain sepakbola di Inggris telah memiliki anak dari pacarnya, ya pacar dan bukan istri. Karena konsep pernikahan sudah mendebu di benua biru.

Pasca kematian Freud, muncul banyak pengganti yang tidak lebih ekstrem, salah satunya Lawrence Kohlberg. Ia adalah pengusung metode pendidikan Karakter. Metode ini sudah gagal di Barat dan sekarang diimpor ke negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia.

Wajah pendidikan Karakter terlihat manis. Ia mentitah agar para siswa berperilaku jujur dan memegang komitmen. Namun ia tidak memliki dasar agama, jika seorang remaja memilih untuk hidup tanpa tuhan, tidak menjadi persoalan dalam pendidikan karakter, asal itu dapat dipertanggungjawabkan.



Begitu pula masalah hubungan seks. Bagi Kohlbergian, kita tidak boleh menyalahkan seorang anak perempuan yang hamil di luar nikah, sebab masalah baik atau buruk menjadi relative. Pendidikan Karakter pun tidak boleh menghakiminya, karena anak akan jatuh salah jika ia tidak bisa mempertanggungjawabkan hubungan seksnya. Jadi jika remaja perempuan hamil masih bisa terbebas dari "dosa", asal ia siap menjadi ibu. Urusan benar atau salah tergantung tanggung jawab, bukan agama.

Maka tak heran, ketika Lawrence Kohlberg lebih memilih bunuh diri dengan menyelam di laut yang dingin pun disambut gembira oleh masyarakat Barat. Alasannya bisa membuat kita sebagai umat muslim tertawa: Kohlberg telah memilih jalan yang memang ia kehendaki. Ya terlepas dari dia yang akan masuk neraka jahnam. Sebuah metode berfikir yang terlalu konyol untuk kita fahami.

Kita kembali lagi ke masalah perempuan. Kehidupan Barat yang bebas sejatinya diawali dari kehendak dari kalangan wanita untuk hidup bebas dan meredeka sesukanya.

M. Thalib, cendekiawan muslim yang telah menulis puluhan buku tentang pendidikan Islam juga menekankan bagaimana proyek Zionis dibalik wacana pembebasan wanita di Barat. Menurutnya kaum Yahudi memiliki peran kuat dibalik slogan Liberty, Egality dan Fraiternity (kebebasan, persamaan dan persaudaraan) kepada bangsa Perancis.

Hal ini dipropagandakan oleh Zionis dan disebarkan ke penjuru dunia hingga kita bisa merasakan apa yang disebut Hak Asasi Manusia dan Feminisme pada saat ini.

Dalam bukunya, “Pergaulan Bebas, Prostitusi, dan Wanita”, M. Thalib menulis,

“Slogan-slogan inilah yang membuat orang-orang bodoh turut serta mengulang-ulanginya di seluruh penjuru dunia di kemudian hari, tanpa berfikir dan memakai akalnya lagi.”

Mungkin terasa ganjil bagi kita, mengapa Yahudi sebagai bangsa yang pongah begitu takut dengan perempuan? Jawabannya sederhana: membiarkan seorang wanita tumbuh menjadi solihah adalah alamat “kiamat” bagi mereka.

Jika seorang ibu yang solehah bisa mengasuh 5 anak muslim di keluarganya untuk tumbuh menjadi generasi mujahid. Kita bisa hitung berapa banyak generasi yang bisa dihasilkan dari 800 juta perempuan muslim saat ini?

Seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah, "Siapakah manusia di muka Bumi ini yang harus diperlakukan dengan cara yang paling baik ?". Rasul menjawab, "Ibumu". "Setelah itu siapa lagi ya Rasul". Sekali lagi Rasul menjawab, "Ibumu". Sahabat bertanya kembali, "Kemudian siapa?". Lagi-lagi Rasul menjawab "Ibumu, baru Ayahmu". [Shahih, Diriwayatkan oleh Imam Bukhari).

"Jadi saya pikir pada saat itu setiap wanita akan bereaksi dengan berbagai cara yang berbeda. Beberapa wanita pada saat itu tidak akan memasak, sedangkan yang lainnya akan terlibat dialog dengan suami mereka. Di Seluruh negeri beberapa wanita akan keluar untuk berunjuk rasa. Mereka akan menekan anggota Kongres Senator agar meluluskan undang-undang yang mempengaruhi peran wanita. "

Kalimat diatas diucapkan Betty Friedan untuk menyambut demo besar-besaran wanita pada tanggal 26 Agustus 1970 di Amerika Serikat. Friedan adalah seorang tokoh feminis liberal yang ikut mendirikan dan kemudian diangkat sebagai presiden pertama National Organization for Woman pada tahun 1966. Ia menjadi pemimpin aksi massa perempuan untuk mendobrak UU di Amerika yang melarang aborsi dan pengembangan sifat-sifat maskulin oleh wanita.

Betty Friedan sendiri terlahir dengan nama Betty Naomi Goldstein pada tanggal 4 Februari tahun 1921. Pada giliranya Friedan berkembang menjadi seorang aktivis feminis Yahudi Amerika kenamaan pada durasi medio 1960-an. Puncak momentumnya terjadi setelah ia berhasil mengarang "The Feminine Mystique". Buku yang menjadi rujukan kaum feminis ini menggambarkan peranan wanita dalam masyarakat industri. Friedan mengkritik habis peran ibu rumah tangga penuh waktu yang baginya sangat mengekang dan jauh dari penghargaan terhadap hak wanita.

Buku Freidan pun terjual laris. The Feminine Mystique berubah menjadi “kitab suci” bagi kaum wanita dan Freidan pun digadang-gadang menjadi pencetus feminisme gelombang kedua setelah ombaknya pernah menyapu dunia abad 18.

Teori yang sangat ternama sekali darinya adalah apa yang disebut oleh Freidan dengan istilah Androgini. Androgini sendiri adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan pembagian peran yang sama dalam karakter maskulin dan feminin pada saat yang bersamaan. Istilah ini berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani yaitu ανήρ (anér, yang berarti laki-laki) dan γυνή (guné, yang berarti perempuan) yang dapat merujuk kepada salah satu dari dua konsep terkait tentang gender.

Namun sejatinya, kata Androgini muncul pertama kali sebagai sebuah kata majemuk dalam Yudaisme Rabinik sebagai alternatif untuk menghindari kata hemaprodit yang bermasalah dalam tradisi Yahudi.

Akan tetapi, sekalipun telah menapaki karir yang sangat memuncak dalam dunia feminism, gagasan Freidan pun juga menjadi sasaran kritik. Menariknya orang yang mengkritik Friedan adalah seorang feminis lainnya bernama Zillah Eisenstein. Eisenstein sendiri adalah Profesor Politik dan aktivis feminis dari Ithaca New York. Ia menulis kritikan tajam terhadap gagasan konsep wanita bekerja milik Friedan hingga akhirnya Friedan Dalam bukunya, Radical future of Liberal Feminism, Eisenstsein mengkritik,

“Tidak pernah jelas apakah pengaturan ini seharusnya meringan beban ganda perempuan (keluarga dan pekerjaan) atau secara signifikan menstruktur ulang siapa yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak. Bagaimana tanggung jawab ini dilaksanakan?"


Perdebatan antara Eisenstein dan Freidan yang sama-sama aktivis feminis hampir tidak pernah ditemukan dalam dunia Islam. Karena Islam bukanlah sebuah produk dari akal manusia, tidak juga lekang dimakan waktu, lebih-lebih relatif dalam standar manusia. NamunIslam adalah agama genuine yang langsung turun dari Allah SWT.

Islam sebagai agama mulia, secara tegas mengatur posisi wanita sebagai madrasah utama dalam pendidikan di rumah. Ibu, dalam Islam mendapat posisi penting sebagai guru pertama anaknya, dan bukan kakek dari anaknya, nenek dari anaknya, bahkan ayah dari anaknya sendiri.

Maka itu peran istri dalam Islam bagai guru besar pendidikan pertama yang harus dihormati oleh suaminya. Al Qur’an sendiri secara jelas melekatkan peran mulia seorang ibu yang simetris dengan peranan membangun rumah tangga mulia. Dalam surah Al Ahzab ayat 33, Allah berfirman,

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.”

Banyak orang salah kira, bahwa surat Al Ahzab ayat 33 hanya berlaku spesifik kepada istri nabi, anggapan ini sungguh keliru. Karena Al Qur’an adalah petunjuk bagi orang beriman dan Rasulullah SAW telah ditugaskan sebagai nabi yang menjadi panutan umat manusia.

Islam disini bukan berarti melarang seorang istri bekerja, karena bekerja diperbolehkan dalam Islam. Tapi Islam hanya mendelegasikan bahwa sekalipun perempuan bekerja itu harus dalam kondisi darurat dan pekerjaan bukanlah sebagai pokok tugas utamanya, karena tugas utama mencari nafkah ada pada fihak suami sedangkan istri memiliki beban yang lebih mulia: orang pertama yang menyiapkan generasi rabbani.

Perihal peran wanita dalam menyiapkan generasi emas Islam, Muhammad Quthb dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid pun menulis,

“Islam memperhatikan pria dan wanita karena mereka akan menjadi ibu-bapak produk baru. Tetapi Islam lebih memperhatikan wanita, karena wanitalah pembangun hakiki dari generasi. Sedangkan ayah baru menyusul kemudian. Mungkin ayah yang akan mendidik tapi itu nanti sesudah peranan sang ibu. Itulah sebabnya Islam mengusahakan terjaminnya belanja hidup sang ibu, agar ia tidak usah bekerja di luar rumah.”

Kebenaran Al Qur’an dan konsep Islam dalam mendudukkan perang seorang wanita menjadi ibu di rumah memang terbukti benar dalam serangkaian penelitian. Di Inggris kini telah terjadi tren dimana para wanita sudah terfikir meninggalkan karirnya dan memilih untuk berkonsentrasi di rumahnya.

Sebuah majalah wanita, Genius Beauty, maret lalu memberitakan bahwa para psikolog dan sosiolog Inggris menemukan bahwa 70% wanita Inggris meninginkan membangun sebuah keluarga yang bahagia bersama dengan pasangan mereka. Mereka memiliki kecendrungan untuk menjadi wanita yang lebih dekat kepada anaknya, ketimbang dengan “bos” nya.

Bahkan Kathy Caprino dalam bukunya "Breakdown, Breakthrough" juga memiliki kesimpulan hampir sama. Ia meneliti banyak wanita yang terjun ke dunia pekerjaan cenderung tidak bahagia. Lima alasan terpopuler mengapa mereka tidak bahagia akan pekerjaan yang disandangnya menurut Caprino adalah:

1. Merasa tidak akan bisa seimbang antara bekerja dan mengatur keluarga

2. Menderita Masalah Finasial parah

3. Tidak sungguh-sungguh menjalani bakat dan keahlian dengan hati

4. Merasa tidak berharga dan dihormati

5. Hanya mendapatkan sedikit hal positif dan kesenangan dalam pekerjaan

Maka itu dalam sejarah Islam, kita melihat bagaimana peran ibu memiliki porsi terbesar dibalik tumbuh kembangnya seorang anak menjadi ulama kelas dunia. Imam Syafi’i misalnya, dibesarkan oleh seorang ibu yang begitu sabar. Ketiadaan suami tidak membuat Ibunda Imam Syafi’i menyerah pada keadaan dan melupakan hak seorang anak untuk mendapatkan pendidikan terbaik dalam bidang agama.

Kemiskinan pun tidak lantas membuatnya sungkan “melobi” seorang guru di al-kuttab (Sekolah Mengahafal Qur’an) untuk curhat bahwa dirinya tidak memiliki biaya bagi sekolah Imam Syafi’i. Bayangkan karena tidak punya uang untuk membeli kertas, Imam Syafi’i sampai harus menulis di pecahan tembikar, tulang belulang, hingga pelepah kurma. Dan berkat kegigihan sang ibulah, guru di Al Kuttab itu merasa luluh.

Imam Syafi’i lantas betul-betul memanfaatkan momen belajar yang telah dibuka oleh ketegaran seorang ibu. Bayangkan, Imam Syafi’i sudah hafal Qur’an sejak kecil dan di umur 15 tahun telah diizinkan untuk mengeluarkan fatwa. Subhanallah. Tanpa kehadiran seorang ibu, mungkin saat ini kita hanya mengenal nama Imam Syafi’i sebagai orang biasa, bukan ulama kesohor yang kejeniusannya dalam perkara fiqh menjadi peneman kita saat mengalami kebingungan.

Sayyid Quthb pun demikian. Ketika ditanya tentang masa kecilnya, Ulama Mesir itu hanya bisa berujar, “Setiap aku bermain, tidak ada suara yang kudengar selain tilawah Qur’an yang dibawa oleh ibuku”. Ibu seperti itulah yang melahirkan generasi penghafal qur’an dan pelawan imperialisme dalam satu keluarga, baik Sayyid Quthb, Muhammad Quthb, Aminah Quthb, Hamidah Quthb.

Konsep Ibu yang paralel dengan pembinaan generasi berperadaban inilah yang tidak kita temui dalam agama-agama lainnya, seperti Yahudi maupun Kristen. Mereka memang berbicara tentang perempuan, tapi bukan perempuan yang melahirkan peradaban. Sebab jika memang perempuan mulia, tidak mungkin wanita dipanggil para pria dengan sapaan femina atau kurang iman. “The Very word to describe woman, femina, according to the authors (of Witchess Hammer) is derived from fe and minus interpretated as less in faith,” kata Walter L. Liefeld dalam buku berjudul Daughter of Church.

Terlepas apakah dasar etimologis kata femina itu benar atau sekedar olok-olok yang pasti perempuan di Barat dalam sejarahnya memang diperlakukan seperti manusia kurang iman. Tidak heran pada masa Inquisisi wanita menjadi korban penyiksaan dan pemerkosaan. Jadi Barat memang tidak memiliki pengalaman untuk membangun wanita beradab.

Sebaliknya Islam menurunkan hikmah dan ibrah tentang dominasi peran ibu di dalam rumah yang tidak mesti dipusingkan oleh atribut karir dunia. Merekapun bahagia-bahagia saja. Maka tak heran, perintah menghargai ibu lebih pertama dititahkan oleh Allah ketimbang ayah. Dalam surah Al Ahqaf ayat 15, Allah berfirman,

“Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila Dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa:

"Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang berserah diri".

Islam tidak menyukai wanita dilelahkan syarafnya dengan bekerja memeras tenaga. Wanita yang bekerja pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah pergeseran-pergesaran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria. (Muhammad Quthb)

Pada 4 Januari tahun 1988, koran New York Times merilis hasil penelitian mengenai psikologi wanita karir Yahudi di Amerika yang dilakukan seorang sosiolog di Gratz College, Philadhelphia. Survey bertajuk "Jewish Women on the Way Up: The Challenge of Family, Career, and Community'' ini melibatkan tidak sedikit para wanita Yahudi. Beberapa organisasi Yahudi pun mengumpulkan sekitar 1000 orang wanita Yahudi baik sebagai pebisnis maupun wanita professional untuk menjadi objek garapan dari penelitian serius ini.

Penelitian sendiri disponsori oleh Komite Yahudi Amerika dan Majalah triwulanan berhaluan Feminis Yahudi bernama Lilith. Seribu wanita itu kemudian diberikan kuesioner dan diwajibkan untuk mengisi seluruh pertanyaan agar riset berjalan maksimal.

Hasilnya, cukup menarik. Kesimpulan dari survei itu adalah bahwa sementara perempuan lain masih banyak menemukan diri mereka harus memilih antara pernikahan, karir dan melahirkan anak, wanita karir Yahudi justru berhasil memadukan ketiganya. Ini adalah sebuah temuan yang memang mendukung opini sebelumnya dimana perhatian Yahudi terhadap keluarga tergolong sangat tinggi. Wanita Yahudi yang bergelar sarjana, master, ataupun doktor mampu membagi peran antara seorang pekerja dengan status mereka sebagai seorang ibu.

Meningkatnya jumlah wanita karir Yahudi yang membanjiri sektor ekonomi sebenarnya tidak terlepas akan dua hal. Pertama, faktor finansial Yahudi. Jika kita berkaca kepada sejarah, dominasi wanita Yahudi yang mewarnai lapangan pekerjaan tidak terlepas dari peran dinamika kehidupan mereka di Eropa. Lambannya Yahudi dalam menguasai sektor perekonomian, memaksa mereka memutar otak untuk membiayai kehidupan. Terlebih jumlah Yahudi sangat sedikit. Mereka juga banyak mengalami krisis identitas saat mengarungi diaspora ke berbagai Negara. Walhasil, diskriminasi Eropa terhadap mereka membuat banyak elite Yahudi memainkan peran wanita untuk menyambung keluarga.

Namun peran yang begitu signifikan ada pada faktor kedua, yakni peran di balik layar mereka dalam memainkan skenario Revolusi Perancis. Perlu dicatat bahwa Revolusi Perancis sama sekali bukan garapan orang-orang Perancis yang ditujukan demi kebaikan rakyat Perancis itu sendiri. Revolusi Perancis digerakkan oleh agen-agen kepentingan asing (yahudi kapitalis internasional) dengan tujuan menghancurkan seluruh stuktur masyarakat dan negara Perancis untuk digantikan dengan "orde baru" yang sesuai dengan kepentingan mereka.

Hal ini pun dikonfirmasi oleh dokumen Protocols of Learned Elders of Zion (Protocols of Zion), dokumen rahasia yang memuat rencana dominasi dunia oleh tokoh-tokoh yahudi. Protokol ketujuh dan pertama dokumen itu mengatakan:

"Ingat dengan Revolusi Perancis yang kepadanya kita menyebutkan sebagai keberhasilan besar. Rahasia dari persiapannya dikenal luas di kalangan kita karena sesungguhnya itu adalah pekerjaan kita."

"Kitalah yang pertama kali berteriak di antara massa 'Liberty, Equality, Fraternity.' Orang-orang gentile (non-yahudi) bodoh berdatangan dari seluruh penjuru untuk memakan umpan itu, dan bersama mereka melakukan 'kebaikan untuk dunia'. Bahkan orang-orang bijak dari gentile sedemikian bodohnya sehingga tidak mengerti bahwa pentingan asing."

Dengan semboyan equality inilah feminisme menemukan momentumnya. Sebuah buku berjudul Vindication of The Rights of Women yang dikarang Mary Wollstronecraft pada tahun 1792 bisa kita ambil sebagai bahan kajian lebih jauh. Seperti dikatakan Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya Feminist Thought, Mary adalah wanita yang mendelegasikan feminisme gelombang pertama. Ia menggambarkan bahwa kerusakan psikologis dan ekonomi yang dialami perempuan disebabkan oleh ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki dan peminggiran peran perempuan dari ruang publik.

Marry Wollctronecraft yang mencoba bunuh diri sebanyak dua kali dan menolak menikah hingga usia yang lebih lanjut ini kemudian menginginkan bahwa perempuan bukanlah “mainan laki-laki atau lonceng milik laki-laki”. Dengan kata lain, perempuan bukanlah “sekedar alat” atau isntrumen untuk kebahagiaan atau kesempurnaan orang lain. Sebaliknya perempuan adalah tujuan yang memiliki harga diri untuk menentukan nasibnya sendiri. dalam realitas tidak pernah ada persamaan dan kebebasan.

Dalam perkembangannya, tren wanita karir menjadi suatu fakta yang tidak terelakkan. Feminisme berkembang menjadi ‘wahyu’ untuk menuntun para wanita dalam menuntaskan struktur keluarga yang sangat mengekang bagi perkembangan perempuan.

Namun pemikiran Yahudi yang menggembar-gemborkan kebebasan untuk wanita dalam berkarir mulai menimbulkan dampaknya. Efek daripada ini berimbas kepada mulai dipertanyakannya kesimpulan bahwa wanita Yahudi mampu memadukan antara karir, keluarga, dan mengurus anak. Bahwa tidak semua wanita Yahudi bisa digambarkan sebagai sosok perempuan ideal seperti penelitian Lilith tahun 1988.

Dalam catatan tingkat perceraian yang dirilis Divorcemag.com, pada tahun 2002 saja, tingkat perceraian di Israel yang hanya sebuah Negara kecil, mencapai angka 14%.Menariknya survey itu tidak mencatumkan negara-negara muslim sebagai Negara yang memiliki tingkat perceraian tinggi. Tercatat Negara mayoritas muslim seperti Turki hanya mencantumkan angka 6%. Itu pun jika kita mau mendebat penyebutan Turki sebagai Negara muslim mengingat bahwa Negara para Fatih tersebut masih setia dalam menerapkan hukum sekuler, dan bukan hukum Islam.

Bahkan tingkat peceraian di Israel semakin tajam dari waktu ke waktu. Pada tahun 2006 saja, Pengadilan Administrasi Rabbinis mengemukakan bahwa di Yerusalem, kota yang didominasi religiusitas Yahudi, ada kenaikan tajam 10,4 % perceraian di kalangan keluarga Yahudi dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Menariknya para pelaku perceraian di Israel justeru berasal dari kalangan religius Yahudi yang terkenal militan, radikal, fundamentalis atau bisa disebut sebagai kelompok ultra ortodoks yang diwakili oleh komunitas Yahudi Haredim.

Komunitas Haredim sendiri adalah sebuah kelompok masyarakat Yahudi ultra-ortodoks yang menjadikan Taurat sebagai pegangan hidup. Jumlah mereka mencapai 10 % dari total 7,8 juta penduduk Israel. Dalam masyarakat Yahudi Haredim, semua yang berbau sekuler sangat dilarang. Kelompok ini juga mengharamkan para pengikutnya untuk memiliki radio dan televisi, terlebih lagi menontonnya.

Kehidupan mereka sendiri sering diisi dengan saling bertukar kabar melalui poster yang ditempelkan di tembok jalanan. Lelaki dan perempuan yang bukan muhrim juga tidak diperkenankan untuk berduaan, apalagi berpacaran. Pernikahan pun diatur dengan sistem perjodohan. Gambar perempuan otomatis dilarang tampil di muka umum, dan tiap hari Sabbath, mereka mengeluarkan kebijakan untuk tidak boleh ada yang mengemudikan kendaraan.

Namun yang menjadi menarik adalah bahwa kelompok yang memegang teguh Taurat seperti Heredim pun menjadi penumbang saham terbesar dalam perceraian keluarga Yahudi di Israel. Menurut Rabi Yitzhak Ralbag, petinggi di kantor pernikahan Yahudi (semacam KUA di Israel) banyaknya pasangan religius yang bercerai adalah suatu fakta yang menjadi pukulan telak bagi Yahudi. Seperti dikutip dari Jerusalem Post, Ralbag mengatakan,

"I see it even among haredim when they come to register for marriage. More and more requests to marry are being made by haredi divorcees. Once it was an embarrassment."

Jika tingkat perceraian saja, sudah menggerogoti kaum ortodok Yahudi, maka kaum sekuler pasti akan memiliki riwayat sama, jika tidak secara matematis mengalami hal yang lebih buruk. Nomor perceraian keluarga sekuler di Tel Aviv melonjak naik meski pada tingkat yang lebih moderat. Masih, menurut laporan Jerusalem Post, tercatat ada sekitar 3.007 orang Yahudi yang memilih untuk mengakhiri pernikahan mereka pada tahun 2006. Dalam data pengadilan, angka perceraian keluarga sekuler Yahudi ini naik 4,4% dari tahun 2005.

Dan menariknya salah satu alasan perceraian dikalangan keluarga Yahudi disebabkan karena kesibukan ekonomi yang sedikit banyak membuat para wanita mengambil sektor pekerjaan. Kesibukan wanita Yahudi ini tentunya membuat mereka banyak menelantarkan keluarga. Wanita yahudi juga banyak menjalin kasih dengan pria lain dari hubungan pekerjaanya.

Sebagai umat Islam, kita bisa mengambil pelajaran dari runtuhnya tatanan keluarga di kalangan Yahudi. Islam sebenarnya sudah bisa memprediksi kehancuran sebuah keluarga yang tidak hanya menimpa kaum kafir tersebut. Menurut Muhammad Quthb, dalam bukunya Ma’rakah At Taqalid, Islam memang tidak menyukai posisi wanita yang mengambil jalan karir sebagai pilihan hidupnya. Sebab Islam, kata Muhammad Quthb tidak suka wanita dilelahkan fisiknya dengan bekerja memeras tenaga. Secara lebih jauh, Profesor Kajian Islam dari Universitas Arab Saudi itu menulis sebuah hal yang menarik,

“Wanita yang bekerja pulang ke rumah sudah dalam keadaan lelah seperti halnya si pria sendiri. Syarafnya tegang dan otot kaku. Lalu timbullah pergeseran-pergesaran tegang antara dia dengan suaminya. Kedua-duanya tidak mau mengalah. Anak-anaknya pun lalu merasa tidak punya ibu. Yang terasa oleh mereka adalah mereka punya dua ayah, yang sama-sama pria.”

Oleh karena itu, menurut Muhammad Quthb, Islam adalah agama yang gigih menjamin seluruh esensial hidup wanita, tanpa mengharuskannya memburu, memeras keringat, demi mendapatkan sesuap nasi. Namun hal ini bukan berarti Islam kemudian melarang wanita bekerja. Karena bekerja diperbolehkan dalam Islam. Paling banter, Islam tidak menyukainya. Meski perlu juga dicatat bahwa keputusan wanita bekerja dapat dilakukan jika dalam situasi terdesak, darurat, dan memaksa perempuan untuk turun tangan, seperti ketika ia ditinggalkan suaminya. Namun terlepas dari situasi itu, perempuan tidak diwajibkan untuk bekerja. Karena hak memberikan nafkah ada pada suami.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada.” (Annisa: 34)

Maka bila seorang wanita menikah, hamil, lalu melahirkan, amanah perempuan yang pertama kali tertumpu pada dirinya adalah sektor rumah tangganya. Kenapa? Sebab perempuan memiliki peran strategis lagi mulia, yakni mempertahankan status tauhid seorang anak yang telah diberikan oleh Allah dan itu jauh lebih mulia ketimbang mereka mendahulukan karirnya. Maka itu tidak heran dalam sebuah hadis mengenai fitrah anak, Rasulullah SAW menyebut ibu pada posisi pertama sebelum ayah dalam mendidik agama anaknya, “Setiap bayi lahir dalam keadaan fitrah (bertauhid). Ibu bapaknyalah yang menjadikan Yahudi, Nasrani atau Majusi.”

Dan proses seorang wanita menjadi sebenar-benarnya wanita tidak akan pernah berjalan baik, jika ia melupakan status utamanya sebagai seorang ibu. Proses ini pun juga mustahil terjadi jika seorang wanita lebih mendekatkan dirinya kepada karirnya ketimbang amanah besar yang diberikan Allah untuk menuntaskan hadis Rasulullah tersebut. Dalam hal ini, Islam bukan kemudian melarang wanita meraih pendidikan tinggi di luar rumahnya, karena menuntut ilmu wajib bagi seluruh umat muslim. Namun Islam mendelegasikan bahwa tugas keilmuan pertama yang mesti dipelajari seorang wanita adalah ilmu rumah tangganya, setelah itu baru ia bisa memilih jenjang pendidikan lain yang ia sukai.

Karena Islam adalah agama satu-satunya yang tidak mengenal dikotomi keberhasilan seorang wanita yang sukses di luar rumah, namun meninggalkan jejak kehancuran di dalam rumahnya. Seperti Marry Wollstronecraft, yang katanya “sukses” menjadi feminis, tapi justeru sudah melakukan percobaan bunuh diri berkali-kali dan membunuh fitrahnya dengan tidak menikah sampai usia lanjut.

Maka itu Islam sangat adil meletakkan proporsi perempuan baik sebagai ibu, penuntut ilmu, dan pengurus suami. Jauh lebih berkeadilan dan beradab ketimbang instrumen Lilth dalam menilai wanita Yahudi, yang pada perkembangannya bahwa keutuhan rumah tangga Yahudi tidak bisa dipertahankan.

Maka, meminjam bahasa seorang penyair Arab maka peran ibu muslim disini bagaikan sebuah madrasah yang akan simetris, tidak saja pada perannya mendidik seorang anak, tetapi juga pada kadar kualitas generasi dimana ia tinggal. “Ibu adalah sebuah madrasah (tempat pendidikan) yang jika kamu menyiapkannya. Berarti kamu menyiapkan (lahirnya) sebuah masyarakat yang baik budi pekertinya.”

Ada sebuah kisah menarik ditulis oleh Hamid Fahmi Zarkasy pada jurnal Islamia INSISTS Volume III no. 5 tahun 2010 yang berjudul “Equality”. Nancy, sebut saja begitu, tiba-tiba minta cerai dari James, suaminya yang seorang professional. Padahal ia sudah 10 tahun menikah. Sebagai itu rumah tangga dengan 2 orang anak, Nancy begitu menikmati kehidupannya. Penghasilan suami, sekolah anak-anak, dan kehidupan rumah tangganya tergolong sejahtera.

Di kepalanya serasa ada yang terus membisikkan tulisan Peter Berger, "The family now appears as an age-old evil. Heterosexual is rape, motherhood is slavery, all relation between the sexes are struggle of power" (Keluarga sekarang Nampak seperti setan tua. Hubungan seks pria wanita adalah perkosaan; peran keibuan adalah perbudakan; semua hubungan antarjenis kelamin adalah perjuangan untuk kekuasaan). Maka, sukses suaminya dirasa menambah rasa superioritas dan penguasaan terhadap dirinya. Meski itu tidak secuilpun terbesit dalam pikiran suaminya.

Setelah cerai ia berharap akan bebas dari suami, bisa berkarir sendiri, dan tidak terikat di dalam rumah tangga. Tapi itu hanya harapan. Setelah cerai ternyata karirnya tidak sejaya mantan suaminya. Rumah tangga dan anak-anak masih diurusnya sendiri dan nyaris kehilangan perhatian. Di dunia kerjanya banyak masalah yang tidak mudah dihadapi. Di dalam benaknya terbetik penyesalan, “ternyata sendiri itu tidak nyaman”. Tanpa suami hidupnya terasa pincang.

Benarlah wisdom dari Nabi: “Sungguh miskin! Wanita tanpa laki-laki. Sungguh miskin! Laki-laki tanpa wanita”. Kalau saja Nancy pernah membaca hadith ini dia tentu akan mengumpat para feminis atau berfikir panjang untuk cerai. Asalkan dia tidak membaca hadith itu dengan hermeneutika. Ya sebuah penafsiran yang awalnya ingin melihat kitab suci lebih dinamik, tetatpi justru membunuh kitab suci itu sendiri. Dan Kristen tahu betul, teologinya rontok karena virus mematikan ini.

Nah, mimpi Nancy sendiri adalah equality. Itu adalah tuntutan zaman postmodernime yang sarat kepentingan sesaat dan selalu berubah-rubah. Jadi mimpi Nancy juga adalah misi postmo, yakni membangun persamaan total. Jargonnya sayup-sayup seperti berbunyi “persamaan adalah keadilan”. Artinya kerja menyetarakan adalah kebaikan, dan membeda-bedakan adalah kejahatan. Sebab teori menyamaka-nyamakan adalah bawaan pluralisme dan relativisme. Dua doktrin penting yang berada pada melting-post postmodern.

Cerita Hamid Fahmi diatas adalah realita tidak terelakkan di akhir zaman seperti saat ini. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah tayangan ramadhan di televisi ketua Pusat Studi Wanita UIN jutsru lebih mempertajam kembali problem itu. Ia mengatakan bahwa jangan menyekat wanita pada jurusan tertentu. Rupanya, menurutnya telah terjadi penggiringan bahwa wanita lebih pas menjadi guru dan beberapa jurusan soft lainnya, ketimbang bekerja pada sektor-sektor yang lebih maskulin.

Kalau ucapan itu dikatakan pejabat UIN memang bisa jadi wajar , sebab mantan rektornya, Professor Azyumardi, ikut membenarkan teori Asghar Ali Engineer (Cendikiawan India) bahwa Al-Qur’an turun di tengah budaya patriarkal, sehingga bias gender dalam Al-Qur’an tak bisa dielakkan.

“Saya kira benar. Secara historis, Al-Qur’an turun di tengah masyarakat Arab yang patriarkal (masyarakat yang didominasi laki-laki). Masyarakat waktu itu bukan hanya tribal oriented (yang berorientasi kabilah), tetapi juga male oriented (yang didominasi laki-laki). Perempuan Arab, yang kita tahu, ‘kan hampir tidak punya kedudukan apa-apa. Perempuan di mata keluarga adalah aib, sehingga hal ini yang menjadi salah satu alasan untuk mengubur hidup-hidup bayi perempuan.” Tukas Azyumardi tahun 2001 saat diwawancara Jaringan Islam Liberal. Realita itu benar, tapi jika kemudian Al Qur’an menjadi bias gender, ini harus diperdebatkan.

Tidak hanya itu, Azyumardi kemudian menyeret problem ketimpangan jender di Al Qur’an dengan membawa-bawa nama Tuhan. Ya, nama Tuhan dalam arti yang sesungguhnya dan bukan metafor. Menurut Azyumardi, kata ganti Tuhan yang dipakai Allah di Al Qur’an adalah bias gender. Al-Quran sendiri (dalam beberapa redaksinya) memang membahasakan Allah dengan kata ganti Dia (huwa). Di mana makna aslinya adalah dia laki-laki satu orang. Tetapi kita tahu, Al Qur’an bukan berarti ingin memberi kesimpulan bahwa Allah SWT sejatinya laki-laki, dan bukan perempuan. Karena Allah adalah Zat yang tidak memiliki jenis kelamim. Uniknya, Azyumardi ternyata memiliki pendapat lain. Dengarkan petikannya,

“Kalau kita menggunakan analisis semantik memang ada benarnya. Misalnya, seperti yang sering digugat oleh para aktivis gender tentang kata ganti Tuhan yang selalu dipakai adalah (dia laki-laki). Atau mungkin fi’il yang digunakan adalah fi’il mudzakkar (fi’il laki-laki).”

Padahal, kalaulah Azyumardi dan gerombolan feminis lainnya mau membaca sejarah, pemakaian kata perempuan sebagai Tuhan tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan perempuan itu sendiri, bahkan bisa jadi sebaliknya. Di zaman Yunani, salah seorang dewa terkejam justru adalah perempuan, seperti Dewi Ker (nama perempuan zaman Yunani). Dalam mitologi Yunani, ia adalah dewi yang haus darah dan secara kejam merobek jiwa dari tubuh yang sekarat lalu mengirimnya ke dunia bawah. Ribuan Ker berterbangan di atas area pertempuran, dan jika ada manusia yang mati, maka para Ker akan saling berebut seperti burung pemakan bangkai. Para Ker sebenarnya tidak berkuasa atas hidup dan mati manusia, namun sifat haus darah mereka menjadikan para Ker berusaha membuat orang-orang mati.

Tidak hanya Ker, adalagi Eris. Dalam mitologi Yaunani, ia adalah dewi perselisihan. Karena kebiasaannya membuat pertengkaran, Eris akhirnya tidak turut diundang pada pesta pernikahan Peleus dan Thetis. Eris yang marah kemudian melemparkan sebuah apel emas bertuliskan "untuk yang tercantik" ke tengah-tengah pesta. Kejadian inilah yang pada akhirnya akan menyebabkan Perang Troya. Nah, kalau sudah begini apakah Azyumardi dan Feminis lainnya ingin nama Allah diganti dengan “yang penting” perempuan? Kalau begitu ganti saja nama Tuhan kita dengan Ker.

Maka itu sejatinya, gagasan Feminis di Indonesia yang selama ini memakai klaim agama demi memulusukan misinya, tidak lebih sebagai penggugu tradisi feminis yang terjadi pada domain Kristen. Cross, F.L., dalam "The Oxford Dictionary of The Christian Church"dengan baik menuliskan fakta untuk memperkuat itu. Kata Cross, ide pokok dalam teologi feminis adalah keberatan terhadap tradisi kekristenan tentang hubungan antara perempuan dengan keilahian. Teolog-teolog feminis berpendapat bahwa perempuan dapat menggambarkan Allah, baik secara penuh maupun terbatas, sama seperti Allah yang digambarkan melalui laki-laki. Feminis juga berusaha untuk melihat kekayaan dan keterbatasan dari Alkitab dan literatur Kristen, serta berusaha untuk memberikan perubahan pemikiran, baik di Gereja maupun dalam institusi akademis. Jadi sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Islam.

Celia Deane-Drummond, professor theologi di University of Chester, Inggris juga menyatakan demikian. Dalam bukunya, "Teologi dan Ekologi", Deane-Drummond melihat bahwa tradisi Kristen dimana Alkitab yang ditulis oleh laki-laki telah menekankan dominasi figur pria atas wanita. Hal itu membuat hubungan-hubungan hierarkis yang menekankan bapak sebagai kepala, yang pada perkembangannya membuat ketidakadilan bagi perempuan. Ini wajar, karena Kristen memang bermasalah.

Bagaimana mungkin sebuah kitab suci untuk rujukan umat manusia, justru ditulis oleh manusia itu sendiri. Bandingkan dengan tradisi Islam dimana Allah pernah menantang para penyembah berhala yang masih ragu dan menuduh Al Qur’an hanyalah karangan Nabi Muhammad saw. Allah mendokumentasikan ini di surah Al Baqarah.

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah[31] satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (Al Baqarah: 23)

Apa yang dialami Kristen tidak pernah terjadi dalam dunia Islam. Para isteri Nabi saw. sendiri adalah para perempuan yang memikul tanggung jawab untuk mendidik kaum muslimin sebagai pengamalan dari perintah Allah swt.

“Sebutlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha lembut lagi Maha mengetahui.” (Al Ahzab: 34)

Al Qasimi dalam tafsirnya (jilid 13: 4859) mengungkapkan bahwa yang dimaksud ayat-ayat Allah ialah Al Qur’an, sedangkan Al Hikmah adalah sunnah Nabi saw. Oleh karena itu rumah-rumah Rasulullah saw. menjadi pusat pendidikan Islam selain di mesjid. Dan itu ikut membawa istri beliau-beliau sebagai pembangun peradaban.

Aisyah radhiyallahu 'anha sendiri adalah isteri nabi yang mengambil bagian terbanyak dalam periwayatan hadis. Tercatat beliau meriwayatkan hadis hingga mencapai angka 2220 hadis. Maka tak heran, menurut Abdurrahman Al Baghdadi dalam bukunya “Emansipasi Dalam Islam”, pada gilirannya peran Aisyah dalam sejarah umat Islam sangat mewarnai fiqhul Islam, kehidupan berfikir, beragama, termasuk berpolitik bagi kaum muslimin.

Selanjutnya, Ibnu Saad dalam karangannya “Tabaqaad” (jilid 2) dari Abu Musa radhiyallahu 'anhu menyatakan bahwa manakala sahabat Rasulullah saw. ragu akan suatu masalah, mereka segera menanyakannya kepada Aisyah. Dan menurut riwayat dari Qubaishah bin Dzuaib dinyatakan bahwa Aisyah tergolong perempuan yang paling luas ilmunya diantara manusia, sehingga orang-orang terkemuka dari sahabat nabi saw. menjadikan Aisyah sebagai tempat bertanya

Rupanya, tidak hanya Aisyah, perempuan yang mampu membuat cetak sejarah gemilang dalam sejarah Islam. Beberapa wanita Islam lainnya tercatat menjadi masyhur dalam medan peperangan. Diantara nama-nama itu adalah Asma binti Abu Bakar Ashshidiq, Asma binti Yazid bin Asakan, Ummu Amarah, Nasibah binti Ka’ab dan sejumlah wanita lainnya. Namun apakah para feminis turut mendelegasikan peran perempuan dalam jihad? Tidak, karena standar keberhasilan mereka, justru ketika Islam menjadi mundur.

Keniscayaan sejarah bahwa wanita muslim memiliki peran dalam kehidupan, tidak membuat kemudian mereka besar kepada dan ikut-ikutan latah meminta bahwa mereka lebih tinggi dari pria. Aisyah pun tidak pernah merasa lebih tinggi dari Nabi. Dan sudah fitrahnya memang wanita ingin dilindungi oleh laki-laki. Allah berfirman,

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”

Makanya, kebenaran ayat Qur’an bahwa laki-laki pelindung bagi perempuan menjadi keniscayaan. Bahwa semakin maraknya perempuan menguasai segala sektor tidak mesti membuat negara itu maju. Seperti disitir dari tulisan Hamid Fahmi, prosentase anggota parlemen di AS misalnya hanya 10.3% di Jepang 6.7%, di Singapura hanya 3.7%, sedangkan Indonesia 12.2%. meski begitu Indonesia juga tidak lebih maju dari AS, Singapura dan Jepang dalam semua bidang, khususnya pembangunan ekonomi.

Di Timur seperti Jepang, Taiwan, Indonesia, Pakistan, India, Saudi, Mesir dsb total equality tidak benar-benar dikehendaki wanita. Di negeri-negeri itu profesi ibu rumah tangga masih banyak diminati. Di Jepang para wanita praktis tidak bekerja ketika menjadi istri dan mengurus keluarga. Tapi tidak ada pengaruh ekonomi yang signifikan terhadap Negara. Menarik… (Pz/bersambung)

Wednesday, September 7, 2011

Ihsan Dalam Beribadah

“Kualitas bisa menandingi kesekian kuantitas” Demikianlah ungkapan yang banyak tersebar di media masa. Sebagai seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tentu kita sangat menginginkan amalan-amalan ibadah yang kita lakukan di dunia, mendapat balasan yang sangat banyak di akhirat kelak. Kita semua berharap dengan amalan ibadah kita yang sedikit, kita akan mendapat pahala yang berlipat ganda nanti di akhirat. Dengan apakah hal itu bisa terwujud? Salah satunya adalah dengan meningkatkan kualitas amalan ibadah kita. Pada pembahasan kami kali ini, kami akan membahas tentang ihsan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Semoga Allah memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk bisa melakukan amalan-amalan yang Dia cintai dan Dia ridhai.

Pembagian Ihsan

Sebelum kami membahas lebih jauh tentang ihsan dalam beribadah, perlu diketahui sebelumnya bahwa pada dasarnya, ihsan terbagi menjadi dua:

(1) ihsan dalam ibadah kepada Allah; dan

(2) ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk.

Ihsan dalam beribadah kepada Allah – jenis yang akan dibahas di sini – terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib dan ihsan yang mustahab (sunah), sebagaimana ihsan dalam menunaikan hak-hak makhluk juga terbagi menjadi dua, yaitu ihsan yang wajib, dan ihsan yang mustahab (sunah). (Lihat Hushulul Ma-mul karya Syaikh Abdullah al-Fauzan hafidzahullah)

Ihsan yang Wajib dalam Beribadah

Ihsan yang wajib ialah seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan memenuhi dua syarat diterimanya ibadah, yaitu ikhlas dan ittiba’(mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).

Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik (lebih ihsan) amalnya.” (QS. Huud: 7)

Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah mengatakan tentang ayat tersebut, “Yaitu amal yang paling ikhlas dan paling benar (sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam). Sesungguhnya suatu amalan, jika dia ikhlas tetapi tidak benar; maka amalan tersebut tidak diterima. Demikian juga sebaliknya, jika suatu amalan benar, tetapi tidak ikhlas; maka amalan tersebut juga tidak diterima. Amalan hanya akan diterima jika dia ikhlas dan benar.”

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan dalam tafsirnya terhadap ayat tersebut, “Suatu amalan tidak dapat dikatakan ihsan, sampai amalan tersebut ikhlas hanya untuk Allah Ta’ala dan sesuai dengan syariat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir al-Quranil ‘Adzim)

Kenapa Pahalanya Berbeda?

Pahala yang Allah berikan kepada hamba-Nya atas amal ibadah yang telah dia lakukan, berbeda-beda. Ada diantara mereka yang mendapat pahala sepuluh kali lipat, ada yang tujuh ratus kali lipat, bahkan ada yang jauh lebih banyak dari itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang bermaksud berbuat kebaikan, kemudian dia mengamalkannya; maka Allah akan mencatatnya di sisi-Nya dengan sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kali lipatnya, bahkan sampai jumlah yang banyak sekali.” (Muttafaqun ‘alaih)

Kenapa demikain? Bukankah amalan yang dilakukan sama? Bukankah ibadahnya sama-sama diterima di sisi Allah Ta’ala? Kenapa balasan kebaikannya berbeda? Salah satu alasannya adalah perbedaan tingkatan ihsan seorang hamba ketika melakukan ibadah tersebut.

Sebagai misal, orang yang shalat ashar dengan khusyuk dari takbiratul ihram sampai salam, tentu mendapat pahala yang lebih banyak dari orang yang mengamalkan ibadah serupa, tetapi khusyuknya hanya dua rakaat saja. Orang yang khusyuk pada dua rakaat, pahalanya lebih banyak dari orang yang khusyuknya hanya satu rakaat saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang selesai dari shalatnya tetapi tidak ditulis pahala (penuh) baginya, kecuali setengahnya, atau sepertiganya, atau seperempatnya, hingga beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘sepersepuluhnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan selain keduanya)

Ihsan yang Mustahab

Kadar ihsan seorang hamba ketika melaksanakan ibadah berbeda-beda. Pahala yang dia dapatkan dari ibadah tersebut pun berbeda-beda, sesuai dengan tingkat ihsannya. Setelah kita menunaikan ihsan yang wajib terkait dengan amalan ibadah (yaitu ikhlas dan ittiba’), hendaknya kita melanjutkannya dengan melakukan sunah-sunahnya. Ihsan yang mustahab (sunah) terbagi menjadi dua tingkatan:

1. Tingkatan Musyahadah

Yaitu seseorang beribadah kepada Allah seolah-oleh dia melihat-Nya. Maksud melihat di sini bukanlah melihat dzat-Nya, tetapi melihat sifat-sifat-Nya, yaitu dengan melihat bekas-bekas dari sifat-sifat-Nya yang bisa disaksikan pada ciptaan-Nya.

Ilmu dan keyakinan seorang mukmin dengan nama-nama Allah Ta’ala dan sifat-sifat-Nya akan menjadikannya mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat di alam ini kepada salah satu nama di antara nama-nama Allah atau sifat diantara sifat-sifat-Nya. Ketika dia melihat sesuatu yang menyenangkan, maka dia langsung ingat akan keluasan rahmat-Nya. Ketika dia melihat suatu musibah, maka dia langsung ingat akan kekuasaan Allah dan dalamnya hikmah-Nya. Dia senantiasa mengembalikan segala sesuatu yang dia lihat kepada nama diantara nama-nama Allah Ta’ala atau sifat diantara sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, maka nama-nama Allah yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha tinggi akan senantiasa hadir dalam hatinya, khususnya ketika beribadah kepada Allah Ta’ala.

2. Tingkatan Muraqabah

Yaitu seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala dengan disertai perasaan bahwasanya Allah senantiasa mengawasinya. Jika seorang hamba beribadah kepada Allah dengan perasaan demikian, maka dia akan senantiasa berusaha membaguskan ibadahnya karena Allah Ta’alasenantiasa mengawasinya. Ketika dia memulai shalat, dia yakin bahwa Allah mengawasinya dan dia sedang berdiri dihadapan-Nya. Oleh karena itu, dia akan senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan di dalam shalat tersebut, dan membaguskannya. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari al-Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya.” (QS. Yunus: 61)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika menjelaskan tentang makna ihsan, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Namun, jika engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR. Muslim)

Tingkatan yang pertama (tingkatan musyahadah) ditunjukkan oleh sabda beliau, “Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya.” Sedangkan tingkatan muraqabah, yaitu tingkatan yang lebih rendah dari tingkatan musyahadah, ditunjukkan oleh sabda beliau, “Namun, jika engkau tidak bisa melakukannya, maka sesungguhnya Dia melihatmu.”

Demikianlah sedikit bahasan tentang ihsan dalam beribadah. Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan taufik-Nya kepada kita semua untuk dapat ihsan dalam semua amal ibadah kita kepada-Nya. Semoga Allah menerima semua amalan kita, dan memberikan balasan yang berlipat ganda nanti di akhirat.

Rujukan utama:

Syarh Arbain oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh hafidhahullah.


Penulis: Abu Ka’ab Prasetyo



Senang Mendengarkan Bacaan al-Qur’an


Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata:

قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «اقْرَأْ عَلَيَّ الْقُرْآنَ» قَالَ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَقْرَأُ عَلَيْكَ؟ وَعَلَيْكَ أُنْزِلَ؟ قَالَ: «إِنِّي أَشْتَهِي أَنْ أَسْمَعَهُ مِنْ غَيْرِي» ، فَقَرَأْتُ النِّسَاءَ حَتَّى إِذَا بَلَغْتُ: {فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِنْ كُلِّ أُمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَؤُلَاءِ شَهِيدًا} [سورة: النساء، آية رقم: 41] رَفَعْتُ رَأْسِي، أَوْ غَمَزَنِي رَجُلٌ إِلَى جَنْبِي، فَرَفَعْتُ رَأْسِي فَرَأَيْتُ دُمُوعَهُ تَسِيلُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadaku, “Bacakanlah kepadaku al-Qur’an.” Ibnu Mas’ud berkata: Aku katakan, “Wahai Rasulullah! Apakah saya akan membacakannya kepadamu sementara ia diturunkan kepadamu?”. Beliau menjawab, “Aku senang mendengarnya dari orang selain diriku.” Maka aku pun membacakan surat an-Nisaa’, ketika sampai pada ayat [yang artinya], “Bagaimanakah jika [pada hari kiamat nanti] Kami datangkan dari setiap umat seorang saksi, dan Kami datangkan engkau sebagai saksi atas mereka.” (QS. an-Nisaa’: 41). Aku angkat kepalaku, atau ada seseorang dari samping yang memegangku sehingga aku pun mengangkat kepalaku, ternyata aku melihat air mata beliau mengalir (HR. Bukhari [4582] dan Muslim [800])


Hadits yang agung ini memberikan pelajaran kepada kita untuk memiliki rasa senang dan menikmati bacaan al-Qur’an yang dibacakan oleh orang lain. Oleh sebab itu Imam Bukhari juga mencantumkan hadits ini di bawah judul bab ‘Orang yang senang mendengarkan al-Qur’an dari selain dirinya’ (lihat Fath al-Bari [9/107]). an-Nawawi rahimahullah berkata,“Ada beberapa pelajaran dari hadits Ibnu Mas’ud ini, di antaranya; anjuran untuk mendengarkan bacaan [al-Qur'an] serta memperhatikannya dengan seksama, menangis ketika mendengarkannya, merenungi kandungannya. Selain itu, hadits ini juga menunjukkan dianjurkannya meminta orang lain untuk membacanya untuk didengarkan, dalam keadaan seperti ini akan lebih memungkinkan baginya dalam mendalami dan merenungkan isinya daripada apabila dia membacanya sendiri. Hadits ini juga menunjukkan sifat rendah hati seorang ulama dan pemilik kemuliaan meskipun bersama dengan para pengikutnya.” (al-Minhaj [4/117])

Hadits ini juga menunjukkan bahwa salah satu ciri orang soleh adalah bisa menangis ketika mendengar bacaan al-Qur’an. Imam Bukhari mencantumkan hadits ini di bawah judul bab ‘Menangis tatkala membaca al-Qur’an’ (lihat Fath al-Bari [9/112]). Lantas, apakah yang mendorong Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika mendengar ayat di atas? Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Yang tampak bagi saya, bahwasanya beliau [Nabi] menangis karena sayangnya kepada umatnya. Sebab beliau mengetahui bahwa kelak beliau pasti menjadi saksi atas amal mereka semua, sedangkan amal-amal mereka bisa jadi tidak lurus (amalan yang tidak baik) sehingga membuat mereka berhak untuk mendapatkan siksaan, Allahu a’lam.” (Fath al-Bari [9/114])

Namun, ada satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa menangis tatkala membaca al-Qur’an harus dilandasi dengan keikhlasan. Bukan karena ingin mendapatkan pujian dan sanjungan. Oleh sebab itu, Imam Bukhari mengiringi bab tadi [menangis tatkala membaca al-Qur'an] dengan bab ‘Dosa orang yang membaca al-Qur’an untuk mencari pujian (riya’), mencari makan, atau menyalah gunakannya untuk berbuat jahat/dosa’ (lihat Fath al-Bari[9/114]).

Dan yang lebih utama lagi adalah menangis tatkala sendirian. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang menceritakan 7 golongan yang mendapatkan naungan Allah pada hari kiamat, yang salah satunya adalah, “Seorang lelaki yang mengingat Allah dalam keadaan sendirian lantas berlinanglah air matanya.” (HR. Bukhari [660] dan Muslim [1031]). an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menunjukkan keutamaan menangis karena takut kepada Allah ta’ala dan keutamaan amal ketaatan yang rahasia/tersembunyi karena kesempurnaan ikhlas padanya, Allahu a’lam.” (al-Minhaj [4/354])

Satu pelajaran lagi yang mungkin bisa ditambahkan di sini, adalah keutamaan belajar bahasa arab. Karena dengan memahami bahasa arab akan lebih memudahkan dalam menghayati kandungan al-Qur’an. Oleh sebab itu hendaknya kita lebih bersemangat lagi dalam mempelajari bahasa arab dan mengkaji tafsir al-Qur’an. Allahu a’lam.