visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Wednesday, September 7, 2011

Perjalanan Sayyid Quthb ke Amerika

Dibuang Dari Mesir

“Walaupun demikian, di Mesir telah tersusun sebuah panitia yang terdiri daru guru-guru besar hukum Islam di Universitas, sebagian pemuka Al Azhar, beberapa orang Pasha, untuk mempelajari masalah solidaritas sosial dalam Islam, terutama masalah zakat. Bukan untuk mencari keridhaan Allah, bukan untuk kepentingan tanah air, tetapi untuk mencari keridhaan orang-orang Amerika, dan untuk Pusat Studi Kemasyarakatan.” (Sayyid Quthb, Islam Amerika)

Dalam beberapa buku yang beredar mengenai Sayyid Quthb, baik itu yang ditulis oleh Sayyid Quthb sendiri maupun orang lain, kita bisa membagi tiga fase kehidupan mengenai pribadi beliau.

Pertama, saat Sayyid Quthb menjadi akademisi di Mesir.

Kedua, ketika menjadi peneliti di Amerika.

Dan ketiga, saat Asy Syahid terlibat dalam Revolusi Mesir hingga akhirnya di hukum mati.

Dari sekian tiga fase tersebut, adalah menarik jika kita mengupas mengenai pribadi Sayyid Quthb saat berada di Amerika. Karena Sayyid Quthb kerap sekali memakai nama Amerika dalam menafsirkan ayat-ayat Qur’an.

Menurut DR. Abdul Sholah Fatah Al Kholidi dalam bukunya Amarieeka Minaddaghili, dikatakan bahwa Sayyid Quthb mengambil model Amerika sebagai contoh konkret sebuah peradaban yang mendasarkan dirinya dari nilai kebendaan, kejahilan, dan kekufuran serta Kebobrokan. Beliau menjelaskan ayat-ayat yang tepat mengenai hal itu dan lurusnya pengertian yang dapat diambil darinya dalam kitab tafsir fenomenalnya, yaitu Fii Dzhilalil Qur’an.

Selain itu, ketika kita mencoba menelisik kisah Sayyid Quthb di Amerika, kita akan terhantar mengenai kajian historis tentang fakta-fakta Peradaban Barat era 50-an yang disajikan Sayyid Quthb dengan representasi Amerika. Kita juga akan melihat alasan mendasar apa yang mengantarkan Sayyid turun dari dunia akademisi ke wilayah pergerakan, dari kultur KeIslaman “Kampus” menuju seorang ahlut tauhid.

Analisa-analisa Sayyid Quthb tentang Amerika bisa kita temui dalam banyak karya-karya beliau. Setidaknya hal itu tersebar di berbagai tulisan Sayyid Seperti Ma’rakatul Islam war Ras’sumaaliyah (Peperangan Islam dengan Kapitalisme). As-Salamul Aa’lami wal Islam (Kedamaian dunia dan Islam), Dirasat Islamiyah (Beberapa Studi Tentang Islam), Al Islam wa Musykilatul Hadharah (Islam dan Problematika Budaya), serta Ma’alim fiththariqh (Petunjuk Jalan).

Sayyid Quthb pertama kali menginjakkan kaki di Amerika pada tahun 1949. Ia berada di negeri Paman Sam tersebut selama kurang lebih 2,5 tahun. Sebenarnya alasan Sayyid Quthb terbang ke Amerika bukanlah didasarkan atas keinginan pribadinya, namun atas perintah Departemen Pendidikan dan Pengajar Mesir-tempat beliau bekerja- yang melihat kekritisan Sayyid Quthb atas pendidikan Sekuler yang dirasa meresahkan.

Sayyid Quthb memang sebelumnya pernah menjadi penilik di Departemen Pendidikan Mesir –namun beliau memutuskan keluar karena ketidakcocokkan atas sistem Sekular yang berlaku di Departemen tersebut. Oleh karena itu kalangan yang menilai Sayyid Quthb seorang yang sekuler sebelum masuk Ikhwan menjadi gugur dengan sendirinya. Lebih-lebih yang mengatakan Sayyid Quthb liberal.

Karena sebelum masuk ke Ikhwan pun, pada tahun 1945 Sayyid Quthb sudah menulis dua buku Islam seperti Tashwirul Fanni Al Qur’an dan Masyahid al Qiyamat fi al Qur’an. Dalam kedua bukunya ini, Sayyid mengatakan bahwa al Qur’an memiliki bahasa dan susunan yang sangat Indah yang membuktkan bahwa dia bukanlah ciptaan manusia. Bahkan dalam al ‘Adalat al Ijtima’iyyat di Al Islam yang terbit pada tahun 1948, dia menegaskan bahwa keadilan yang menjadi cita-cita umat Islam tidak akan mungkin terwujud kecuali harus dengan Islam.

Al Kholidi dalam bukunya Amarieeka Minaddaghili, memberikan fakta bagaimana karakter Sayyid saat menjadi penilik di Departemen Pendidikan dan Pengajaran Mesir. Al Kholidi menyatakan bahwa Sayyid tergolong pegawai yang tidak patuh dan loyal terhadap kebijakan di Departemen. Ia tidak mau mendekatkan diri dan tidak mau menjadi pegawai yang ditutup ruang kebebasannya dalam melakukan sesuatu. Meski terjadi pergantian kepemimpinan di tubuh Departemen, Sayyid pun tidak mengurangi daya kritisnya. Tidak jarang beliau dipojokkan dan diberondong berbagai ancaman oleh rekan-rekan sejawatnya di Departemen.

Dengan begini, kita bisa menyimpulkan bahwa persoalannya bukan pada person to person atau pimpinan di sebuah lembaga, tapi masalahnya ada di sistem. Maka itu salah lah jika kita berpandangan bahwa merubah sesuatu dapat dimulai ketika kita bisa meraih suatu jabatan dengan mengganti orangnya tanpa dibarengi dengan perubahan sistem yang mendasar, yakni Sistem Islam. Oleh karena itu, Sayyid pernah menulis sebuah artikel dalam bukunya Dirasah Islamiyah, yang berjudul: “Ambil Islam Seluruhnya Atau Tinggalkan Sama Sekali”.

Inilah yang menyebabkan kenapa pihak pemerintah kewalahan melayani kekritisan Sayyid Quthb dan mengambil jalan tengah untuk mengirim Sayyid ke Amerika. Mereka berfikir apapun caranya mereka harus aman dari “kerewelan” Sayyid yang tidak henti-hentinya mengritik kebijakan Departemen. Jadilah, status Sayyid Quthb selama di Amerika adalah utusan kebudayaan Mesir untuk mempelajari Sistem Pendidikan di Amerika.

Ketika di Amerika, Sayyid Quthb dibebani tugas untuk mengadakan studi perbandingan mengenai kurikulum, program pendidikan, serta metode pengajaran. Dalam melaksanakan itu semua, Sayyid tidak terikat pada satu universitas tertentu atau satu materi kajian tertentu. Jadi beliau diutus ke Amerika tanpa batas waktu. Pihak mesir tampaknya sengaja melakukan ini karena mereka berfikir bagaimana caranya agar Sayyid tetap tinggal di Amerika dan tidak pulang balik ke Mesir.

Setelah Sayyid mendapat program pengajaran secara khusus dalam bidang bahasa Inggris yang belum pernah ia dapatkan selama di Darul Ulum, segera beliau mengadakan peninjauan ke lapangan untuk mengkaji kurikulum pada berbagai universitas diantaranya New York, Griley, Denver, dan San Fransisco.

Namun sepanjang perjalanan Sayyid ke Amerika, disinilah ketegaran seorang Sayyid diuji. Ia senantiasa mengharap ridho Allah atas berbagai cobaan yang menghadang. Ia sadar telah dibuang dari Mesir, namun Sayyid tetap tegar dan tak putus dari bertakwa kepada Allah, asal Islam tidak pernah pergi dari kehidupannya.

Ya komitmen itu kemudian betul-betul dibuktikan Sayyid saat menumpang kapal menuju Amerika dimana seorang pelacur dan pendeta menjadi dua fitnah yang akan dihadapinya. Allahua'lam

Wanita Nashrani Itu Menangis Mendengar Bacaan Qur'an

Dalam jiwa penuh dengan kekuatan Iman, maka pergilah Sayyid Quthb ke Amerika. Dalam perjalanan itu, ia bertanya-tanya kepada dirinya: Apakah saya pergi ke Amerika lalu disana akan berperilaku sebagaimana perilaku para utusan lainnya yang hanya puas dan merasa cukup dengan makan dan tidur saja? Ataukah saya harus datang membawa perilaku yang berbeda?

Apakah saya akan tetap menunjukkan keIslaman saya dan berpegang pada ajaran-ajarannya dan mentaati semua aturannya dalam kehidupan gemerlap untuk memuaskan hawa nafsu serta semua perbuatan haram? Segudang pertanyaan itu betul-betul menantang keimanannya. Namun, Sayyid sudah tahu apa yang harus ia lakukan setiba di Amerika.

Pada akhir tahun 1948, akhirnya Sayyid Quthb meninggalkan Iskandariah, Mesir, menuju Amerika melalui Kapal Api dengan melintasi laut tengah dan mengarungi samudera Atlantik. Diatas kapal api itulah banyak persitiwa yang terjadi dan membekas dalam hatinya. Bahkan kenangan dalam perjalanan menuju Amerika itu banyak dituangkan saat ia menulis Tafsir Fii Dzhilalil Qur’an. Salah satu kisahnya saat beliau melihat seorang misionaris Kristen berupaya mengkristenkan orang-orang Islam yang menumpang kapal tersebut. Kejadian itu berlangsung tepat ketika waktu bergulir menuju Shalat Jum’at.

Sayyid Quthb melihat sang misionaris tidak ubahnya pendeta-pendeta pada umumnya yang menawarkan ajaran agama Kristen yang sangat kacau. Sontak saja, hal ini membangkitkan rasa dan semangat keimanan Sayyid Quthb untuk menjaga akidah saudara semuslimnya. Tidak butuh menunggu waktu lama, beliau segera menghubungi kapten kapal untuk meminta izin mendirikan Sholat Jum’at di atas kapal. Semua orang Islam, berikut awak kapal pun kemudian mendatangi panggilan Shalat Jum’at yang diinisiasikan Sayyid Quthb. Ia pun akhirnya bertindak sebagai khotib. Dan usut punya usut Sayyid Quthb ternyata tengah melakukan perubahan besar dalam kapal tersebut.

Rupanya, shalat Jum’at yang ia pimpin adalah shalat Jum’at pertama yang didirikan di kapal tersebut. Mengenai hal ini, Sayyid Quthb sempat menulisnya dalam Tafsir Fii Dzihilalil Qur’an saat membahas Surat Yunus.

“Nahkoda kapal (seorang Inggris) memberikan kemudahan kepada kami untuk menunaikan shalat. Ia memberikan kelonggaran kepada para awak kapal, para juru masak, dan para pelayannya, yang kesemuanya beragama Islam untuk menunaikan shalat Jum’at bersama kami asalkan tidak ada tugas saat waktu itu. Mereka sangat bergembira, karena ini merupakan kali pertama dilaksanakannya shalat Jum’at di kapal tersebut.”

Sayyid bersama para jama’ah kemudian menjadi santapan para penumpang asing. Gerakan Sholat Sayyid dan kaum muslimin lainnya terasa asing bagi mereka namun memendam kelembutan ibadah yang begitu syahdu. Hingga sesaat setelah shalat Juma’at dilaksanakan, banyak diantara orang asing mendatangi Sayyid dan para jama’ah seraya mengucapkan selamat dan sukses atas ibadah Jum’at yang baru saja dilaksanakan. Sayyid Quthb pun menulis kenangan itu dalam Kitab Fi Dzhilalil Qur’annya,

“Saya bertindak sebagai Khatib dan imam shalat Jum’at itu. Para penumpang yang sebagian besarnya orang asing itu duduk-duduk berkelompok-kelompok menyaksikan kami shalat. Setelah menunaikan shalat banyak dari mereka, yang datang kepada kami untuk mengucapkan selamat atas kesuksesan kami melaksanakan tugas suci. Dan ini merupakan puncak pengetahuan mereka tentang shalat kami.”

Salah satu orang yang mendatangi jema’ah Sayyid Quthb adalah seorang wanita beragama Nashrani berkebangsaan Yugoslavia. Wanita itu sendiri adalah orang melarikan diri dari tekanan dan ancaman komunis Teito. Wanita itu mengaku takjub atas kesyahduan dan ketertiban Shalat Jum’at yang didirikan Sayyid Quthb dan kaum muslimin. Air matanya pun tak kuasa untuk dibendung. Ia menangis mengetahui betapa nilai-nilai rabbani yang dilantunkan Sayyid Quthb tidak mampu menahan perasaannya.

Wanita itu pun begitu heran. Ia bertanya-tanya alunan musik apa yang baru saja dibacakan Sayyid Quthb. Irama itu pun tidak pernah dikenalnya selama ini. Ia melihat sang imam (yakni Sayyid Quthb) membacakan kalimat-kalimat berlainan namun penuh dengan bahasa dan irama. Menurutnya hal itu tidak pernah ia dengar dalam agamanya selama ini. Akhirnya wanita itu pun kaget saat mengetahui bahwa bahasa yang dilantunkan Sayyid Quthb dalam Shalat Jum’at adalah ayat-ayat Al Qur’anul Karim, sebuah kitab suci mulia bagi umat muslim.

Inilah yang membuat Sayyid Quthb semakin memahami bagaimana kekuatan redaksi di dalam Al Qur’an begitu mempesona. Tidak hanya bagi umat muslim, juga bagi non musim. Karena ucapan takjub itu sendiri keluar dari mulut seorang wanita yang belum pernah memahami satu huruf pun di dalam Al Qur’an. Tentang kejadian itu, Sayyid Quthb menulis dalam Kitab Fii Dzhilalil Qur’an,

“Terjadinya peristiwa ini dan peristiwa-peristiwa serupa lainnya, yang dialami banyak orang menunjukkan bahwa di dalam Al Qur’an ini terdapat rahasia lain yang ditangkap oleh sebagian hati manusia, hanya semata-mata ia mendengar Al Qur’an dibaca. Boleh jadi keimanan wanita kepada agamanya dan pelariannya dari negeri komunis itu telah menjadikan perasaannya begitu sensitif terhdap kalimat-kalimat Allah secara mengaggumkan seperti ini.”

Maka itu Sayyid Quthb, merasa perlu untuk memperbincangkan Al Qur’an dengan kekuatannya, yang tersembunyi dan mengagumkan itu. Sebelum membicarakan segi-segi pengetahuan yang dapat diketahui lebih banyak, daripada orang lain oleh orang-orang yang mempelajari seni pengungkapan dan orang-orang yang berusaha memikirkan dan merenungkannya.

Menurut Sayyid Quthb penyampaian Al Qur’an memiliki keistemewaan karena yang ditunjukinya lebih luas, pengungkapannya lebih lembut, indah, dan lebih hidup. Selain itu menurut Sayyid Quthb, Al Qur’an pun memiliki metode penjelasan yang diluar kemampuan jangkauan manusia. Seperti bagaimana Al Qur’an menyampaikan metodenya dalam beberapa ayat di dalam surat Yunus.

“ dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak Menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: "Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya Termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Surat Yunus, 90)

Menurut Sayyid Quthb, Sampai disini kisah ini diceritakan, kemudian dikomentari secara langsung, dengan firman yang diarahkan kepada pemandangan yang dihadapi sekarang,

“ Apakah sekarang (baru kamu percaya), Padahal Sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu Termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan kami.” (Surat Yunus 91-92)

Kemudian disusul lagi dengan membeberkan pandangan yang terus terjadi hingga sekarang ini, (bahkan pada masa-masa selanjutnya),

“ dan Sesungguhnya Kami telah menempatkan Bani Israil di tempat kediaman yang bagus dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik. Maka mereka tidak berselisih, kecuali setelah datang kepada mereka pengetahuan (yang tersebut dalam Taurat). Sesungguhnya Tuhan kamu akan memutuskan antara mereka di hari kiamat tentang apa yang mereka perselisihkan itu.” (Surat Yunus 93)

Maka benarlah kata Sayyid Quthb bahwa redaksi Al Qur’an sangat berbeda dengan redaksi ciptaan manusia. Redaksi atau susunan Al Qur’an mempunyai kekuatan yang hebat terhadap jiwa, dimana redaksi ciptaan manusia tidak pernah bisa memilikinya. Dengan hanya membacanya, maka kadang-kadang dapat menimbulkan pengaruh yang hebat terhadap orang-orang yang tidak tahu apa-apa tentang bahasa Arab. Ya termasuk wanita Yugoslavia itu, yang menangis mendengar bacaan Al Qur’an

Keprimitifan Bangsa Amerika Memandang Seks

“Sayyid Quthb menganggap bahwa loyalitasnya terhadap Islam dan kegigihannya dalam berdakwah sejak beliau berangkat ke Amerika, merupakan contoh nyata untuk membuktikan kebaikan kehendak Allah pada hamba-hambaNya. Ketika hati mereka terbuka untuk menerima kebaikan itu, maka kita harus memberikan respon yang baik terhadap panggilan-panggilanNya dan berjalan dengan langkah-langkah konkrit dalam rangka merealisasikan dan mematuhiNya. “

Kata-kata di atas ditulis oleh DR. Sholah Abdul Fatah Al Kholidi dalam bukunya Amerieka Minaddaghili pada tahun 1986. Buku yang pertama kali terbit di Indonesia tahun 1990 dengan judul “Sayyid Quthb Mengungkap Amerika”, ini menceritakan bagaimana ujian kepada Sayyid Quthb datang silih berganti. Belumlah bayang-bayang kehancuran iman umat muslim dihempas oleh seorang Pendeta, kini ujian itu justru datang kepada diri Sayyid Quthb sendiri.

Salah satu yang dilahirkan Amerika terhadap masyarakatnya adalah apa yang disebut oleh Sayyid Quthb sebagai “Keprimitifan dalam memandang Seks”. Menurut Al Kholidi, Sayyid Quthb memaparkan berbagai bukti atas apa yang diucapkannya dan menjelaskan kenyataan Amerika yang menunjukkan keprimitifan seksual seperti penampilan seorang pemudi guna memikat pemuda.

Sayyid Quthb juga menunjukkan kecenderungan sifat hewani para pemuda guna menarik perhatian pemudi. Praktek hewani mereka di dunia seks, syahwat dan kesenangan serta permusuhan kata-kata kerendahan dan keutamaan, kata Sayyid Quthb telah tersusun rapih dalam kamus Amerika untuk seks.

Orang Amerika bagi Sayyid telah menggunakan keindahan alami yang diberikan kepada mereka sebagai fungsi seksual nafsu hewani sebagai wajah keprimitifan seksual yang mereka jalani. Sayyid Quthb berkata,

“Di hadapanmu hadir seorang pemudi seakan-akan jin perempuan yang tersihir atau bidadari yang kabur. Namun begitu ia mendekatimu, maka engkau hanya merasakan gejolak yang kosong tanpa cahaya, dan hanya mencium bau tubuh yang terbakar, bukan wewangian yang semerbak. Kemudian pandangan anda berakhir pada daging, sekedar daging, daging yang sungguh lezat, tapi bagaimanapun ia hanyalah daging.”

Sayyid Quthb juga menyaksikan di beberapa negeri bahwa kebebasan atas penyimpangan terhadap tubuh sudah sangat menggila. Ia sudah tidak bisa lagi dientaskan lewat Pendidikan Seksualitas (seperti yang ada di sekolah-sekolah kita saat ini, red.), tapi harus berakhir pada gejolak syahwat yang tidak pernah terpuaskan.

Maka itu tidaklah heran, kalau kita saksikan betapa hancurnya peradaban Amerika saat ini dan itu ternyata telah dimulai jauh-jauh hari. Ya sebuah negara yang berteknologi maju tapi gagal mengantarkan rakyatnya ke Surga Allah SWT. Sayyid Quthb menulis,

“dengan pesona tubuh yang terbuka dan tanpa rasa malu seorang pemudi menemui pemuda. Dari daya tarik tubuh yang kekar, seorang pemuda dikagumi pemudi dan seorang suami mendapat hak-haknya. Hak-hak ini akan runtuh, menurut istilah semua orang, ketika laki-laki tidak sanggup memenuhinya karena suatu sebab.”

Sejak dahulu kala, Sayyid Quthb telah membeberkan fakta bahwa pada periode ia hidup komite empat belas Amerika yang bertugas mengawasi keadaan moral di dalam negeri telah menetapkan bahwa 90% dari bangsa Amerika menderita berbagai kelainan seksual yang cukup riskan. Hal ini membuat presiden Amerika sampai-sampai mengumumkan bahwa: “Enam dari tujuh pemuda Amerika tidak layak menjadi serdadu, karena kemerosotan moral yang melanda mereka.”

Rupanya ujian seks dari bangsa seperti Amerika pun pernah Sayyid Quthb rasakan. Ini bermula ketika Sayyid Quthb masih dalam perjalanan di atas kapal laut menuju Amerika. Di atas kapal, orang-orang Amerika telah tahu keberadaannya. Sebab selama ini Sayyid Quthb telah dikenal sebagai penulis muslim yang jujur dan sikapnya yang keras menghantam sekularisme.

Mereka pun berencana menjebak Sayyid Quthb dengan perempuan. Orang-orang Amerika itu kemudian menyusun skenario untuk melumpuhkan iman Sayyid Quthb di hadapan para manusia. Dengan liciknya, mereka memperalat seorang wanita untuk membujuk dan merayunya hingga terjatuh di dalam lumpur kehina-dinaan. Maklum sampai saat kepergiannya ke Amerika, Sayyid Quthb masih berstatus lajang. Ia pernah melamar perempuan namun ditolak. Bayangkan dalam kondisi ingin menikah, gejolak Sayyid Quthb dihantarkan ujian maha dahsyat dari Allah.

Hingga akhirnya datanglah suara seseorang mengetuk pintu kamarnya. Sayyid Quthb lalu membukanya. Ia membuka pintu secara penuh ketabahan. Sampai pada beberapa waktu, ternyata di hadapannya telah berdiri seorang wanita cantik lagi semampai dengan gaya mempersona seperti keprimitifan bangsa Amerika memandang cinta. Sang wanita itu pun menyapa Sayyid Quthb lewat bahasa Inggris, "bolehkah saya menjadi tamu tuan malam ini?"

Sayyid Quthb pun terperangah. Ia hampir saja kalap. Namun bukan Sayyid Quthb namanya jika tidak tahu bahwa inilah jawaban yang diberikan oleh Allah ketika ia betul-betul berjanji ingin memperbaiki diri.

Sang Sayyid lekas mengangkat kepalanya lalu menolak rayuan wanita itu secara halus. Namun wanita itu bergeming. Melihat gelagat kondisi tidak berubah ke arah lebih baik, Sayyid Quthb pun berujar, “Di kamar hanya ada satu tempat tidur, maaf.”

Mendengar jawaban Sayyid Quthb, wanita itu semakin mendesak untuk masuk. Ia bak jin perempuan kesetanan ingin menerkam mangsa di hadapannya lewat tampilan sensual penuh godaan. Pada titik itulah Sayyid bersikap lebih tegas. Lewat iman yang teguh, ia mengusir sang wanita itu keluar menjauh dari kamar.

Beberapa saat kemudian wanita itu terjatuh di lantai papan. Saat itu, Sayyid sadar bahwa wanita itu sedang mabuk.Begitu lulus dari ujian yang pertama, Sayyid Quthb segera mengucap: “Alhamdulillah… saya merasa bangga dan bahagia, karena saya telah berhasil memerangi hawa nafsu. Dengan demikian nafsu itu berjalan di atas jalan tekad yang saya tentukan.”

Wanita itulah senjata pertama yang dirancang Amerika untuk menggoda dan meruntuhkan iman Sayyid. Akan tetapi, Allah lebih mengetahui ketetapan jalan yang beliau pilih, yakni jalan Allah, jalan keimanan, jalan cahaya Rabbani yang terang menyala-nyala hingga Allah memberinya taufik dan pertolongan dalam memenangkan ujian itu.

Akan tetapi, bukan “Bangsa Primitif yang memandang seks” namanya jika masih belum jera memasukkan tiap muslim ke lubang galian mereka. Mereka pun kembali memperalat seorang gadis guna menaklukan iman Sayyid. Sejak Sayyid tiba di Amerika, mereka asyik menguntit pergerakan pemuda soleh itu dari satu universitas ke universitas lainnya.

Sampai suatu ketika, datang cobaan kedua menghampiri jiwanya. Kini, seorang wanita yang berdebat dengannya tentang perlunya free sex di Institut Keguruan di Colorado dan Galersi.

Wanita itu menjelaskan tentang indahnya kehidupan seks bebas beserta segala racun dunianya. Namun lagi-lagi, godaan itu hanyalah isapan jempol semata. Sayyid Quthb bergeming dan tidak tergoda akan kenikmatan dunia fana. Ia kembali lolos lubang dari durjana.

Sudah selesaikah ujian untuk Sayyid Quthb? Ternyata tidak. Cobaan ketiga itu datang dari seorang pegawai hotel yang dengan promosi cabulnya menawarkan hostes-hostes dan wanita-wanita cantik, baik yang masih polos maupun yang agak over acting. Sembari menahan beratnya ujian, Sayyid Quthb hanya tersenyum dan menolak tawaran memikat itu. Subhanallah.

Bayangkan itu semua terjadi di tengah kondisi negara bebas seperti Amerika dan dalam kondisi Sayyid sedang rindu akan sosok pendamping. Tak sedikit pemuda muslim terjebak berada di sana, hanya dalam waktu satu hingga dua bulan. Padahal Sayyid berada di Amerika selama 2,5 tahun. Bisa dikata keberhasilan Sayyid Quthb menaklukan Keprimitifan bangsa Amerika dimulai dari proses tarbiyah yang telah ditanamkan oleh ibunya sejak kecil. Iman yang besar terhadap Allah dan pemahaman yang luar biasa tentang kebobrokan peradaban Barat yang membuatnya mampu menjadi pria sejati walaupun hingga akhir hayat ia tidak beristri. Subhanallah.

Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat". (Surat Annur ayat 30).

Wanita AS Bersuka Ria Sementara Jenazah Suaminya Masih di Dalam Rumah

Ketika Sayyid Quthb tiba di Amerika, ia sudah merasakan keganjilan tentang bangunan peradaban yang didirikan Amerika. Amerika yang dielu-elukan sebagai Negara maju, ternyata memilik permasalahan serius dalam standar kehidupan mereka.

Menurut Sayyid Quthb, masyarakat Amerika pada umumnya telah bekerja bagai sebuah mesin otomatis. Mereka memiliki tuhan bernama pabrik, industri, materi, dan teknologi. Efek dari ini semua bahwa Amerika telah mengalami keruntuhan psikologis dalam taraf yang akut. Masyarakat Amerika sangat asyik bekerja sampai-sampai mereka lupa bahwa mereka adalah manusia. Sayyid Quthb menulis,

“Saya khawatir bahwa di Amerika tidak ada keseimbangan antara kebesaran dan peradaban materi dengan kebesaran manusia yang menciptakan perabadan tersebut. Saya khawatir bahwa roda kehidupan akan terus berjalan dan lembaran zaman telah terlipat, sedangkan Amerika belum menambahkan apa-apa atau menambahkan tetapi hanya sedikit sekali dari nilai nilai kemanusiaan itu, nilai-nilai yang membedakan antara manusia dengan benda, membedakan antara manusia dengan binatang.”

Padahal menurut Sayyid Quthb suatu peradaban manapun yang dilalui manusia tidak terletak pada kecanggihan teknologi yang diciptakannya. Tidak pula terletak pada kedahsyatan kekuatan yang dimilikinya atau hasil-hasil produksinya, tetapi sebagian besar nilai suatu peradaban terletak pada besar kecilnya manusia mengetahui kenyataan-kenyataan tentang alam semesta dan gambaran-gambaran serta nilai kehidupan. Artinya Sayyid Quthb meletakkan fondasi rabbani sebagai kebenaran hakiki dari kemajuan peradaban.

Oleh karena itu, hasil dari ideologi materialisme yang diterapkan dalam standar kehidupan bangsa Amerika, akan sangat terlihat bagaimana ketika masyarakat Amerika melihat apa yang kita sebut sebagai nilai-nilai ukhrawi. Menurut Sayyid Quthb, ada fenomena menjijikkan di Amerika. Bagaimana masyarakat Amerika melihat sebuah musibah dengan kacamata hedonisme.

Ada sebuah pengalaman menarik tentang hal ini yang diuraikan dengan sangat baik oleh Sayyid Quthb. Kisah ini pernah ia tulis dalam Majalah Ar Risalah, Mesirtertanggal 15 November 1951. Menurutnya, saat mendapati musibah, masyarakat Amerika nyaris menghadapinya tanpa hati dan perasaan. Ini pernah terjadi saat Sayyid Quthb berada di Rumah Sakit George Washington. Saat itu, sore hari, tidak biasanya rumah sakit tampak demikian gaduh. Para pasien yang biasa berjalan melangkah berlarian menuju tempat dimana telah banyak manusia berkumpul. Mereka bertanya-tanya tentang kegaduhan yang tiba-tiba merobek ketenangan suasana rumah sakit.

Tidak butuh waktu berapa lama, diketahui bahwa salah seorang pegawai rumah sakit tertimpa musibah dimana secara tidak sengaja tubuhnya telah tertimpa oleh kotak lift yang cukup berat. Melihat panorama itu, nukannya membantu sang korban, salah seorang diantara mereka justru menceritakan kepada sang korban sambil tertawa terbahak-bahak. Ya meski keadaan pegawai malang itu dalam kondisi sekarat dengan lidah yang telah terjulur kaku. “Saya menanti reaksi kemarahan atau kecaman dari orang-orang yang mendengarnya. Tapi-tapi sia-sia, para pendengar yang semakin banyak malah ikut tertawa dengan gaya peniruan yang keji itu,” tutur Sayyid Quthb.

Kisah lain lagi didapat dari seorang teman Sayyid Quthb yang bercerita kepadanya mengenai murahnya harga ukhrawi dalam benak bangsa Amerika. Kala itu kawan Sayyid Quthb menghadiri acara kematian salah seorang warga Amerika. Dengan lumuran balsam, sebuah jenazah dibaringkan di tengah rumah semata-mata menunggu ucapan duka yang mengalir oleh para kerabat.

Uniknya, ketika acara itu berakhir, kawan Sayyid Quthb ini begitu terkejut melihat orang-orang Amerika justru bercanda di sekitar jenazah. Sang Istri dari mayit itupun tidak menampakkan gurat kesedihan sedikit pun. Ia malah ikut tertawa membelah ketenangan mayat yang dingin di sekitar tubuh yang telah terbungkus kafan. Mereka sama sekali tidak menyiratkan hati penuh duka bagai diselimuti keibaan pasca ditinggal keluarga tercinta selama-lamanya.

Kisah lain juga didapat ketika salah seorang ustadz di Washington mendapat undangan pesta bersama istrinya. Dalam penuturan Sayyid Quthb, sebelum berangkat, istri sang ustadz mendadak sakit. Maka demi menemani ujian yang diterima istrinya, beliau menelepon dan mengabarkan bahwa beliau tidak dapat menghadiri karena alasan tersebut. Tetapi penyelenggara pesta mengatakan, bahwa ia bisa hadir walau tanpa istri. Kata sang penyelenggara, “Jangankan baru istri yang ditinggal sakit, sedang di pesta ini ada salah seorang wanita yang baru saja ditinggal mati suaminya tapi tetap menghadiri pesta yang tengah dirayakan.”

Sang penyelenggara itu pun kemudian mengatakan kepada ustadz ini, “Bukankah satu keberuntungan jika Ustadz bisa menemuinya,” tentu dengan bahasa sedikit nakalanya. Lantas, betapa kagetnya sang ustadz, karena bagaimana mungkin bahwa seorang istri sudah menghadiri sebuah pesta padahal jenazah sang suami masih berbaring dirumah. Ini sama sekali tidak masuk akal, selain naluri kemanusiaannya telah tergerus kepada hingar bingar dunia.Mengenai kejadian ini Sayyid Quthb berkisah,

“Ingatanku kembali melayang pada suasana yang memberi pengaruh yang dalam pada perasaanku…. Kami memelihara burung di rumah. Suatu hari kami menyembelih salah satu di antaranya. Lantas betapa kami terkejut, ketika melihat burung-burung lainnya berdiri dan berkeliling dengan tenang menatap burung yang kami sembelih. Pemandangan tersebut adalah suatu kejutan yang tidak diharapkan oleh seekor burung yang walau tidak memiliki derajat yang tinggi, tetapi merupakan hantaman yang membuat kami tidak lagi menyembelih seekor burung di hadapan kelompok burung yang lainnya.”. Subhanallah

Sayyid Quthb menjelaskan akar dari permalasahan ini bermula dari kekeliruan bangsa Amerika dalam memandang masalah. Menurutnya, dalam menilai suatu masalah, pendapat antara manusia yang satu berbeda dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan prinsip yang digunakan tiap-tiap orang dalam menilai suatu persoalan, sebagai konsekuensi adanya perbedaan maka berbeda pula hasil kesimpulannya.

Pada titik inilah Sayyid Quthb membongkar bahwa kesuksesan bukanlah berdasarkan materi. Kesukesan bukanlah dapat diukur dari panjangnya gedung-gedung tinggi. Karena materialisme adalah lubang yang digali jahiliyyah untuk mengubur naluri rabbani seorang manusia. Ia adalah jebakan teramat halus yang menjauhkan umat manusia dari fitrahnya. Sayyid Quthb akhirnya menulis,

“Oleh karena itu, sudah seyogyanya umat Islam tidak memandang Amerika segala-galanya. Bangsa Amerika adalah orang yang dungu dan lugu apabila kita memandangnya dari lensa keimanan, ya meski jumlah mereka besar sekali di berbagai Negara dan mereka memiliki kontrol terhadap pendidikan di negeri-negeri muslim.”

Pendeta Yang Tidak Lebih Dari Laki-laki Brengsek

Orang-orang Amerika adalah pemilik gereja paling banyak di dunia. Tetapi mereka, termasuk orang yang paling jauh perasaan keagamaannya terhadap kesucian agama itu sendiri. Dari dulu sampai sekarang, gereja terkenal sebagai tempat ibadah agama Kristen. Tetapi bagi Amerika, agama bukan lagi dominasi kesucian, namun sudah menjadi domain syahwat manusia. Ya sebuah pemandangan yang sama sekali tidak pernah kita temui dalam Islam.

Perjalanan Sayyid Quthb kali ini meretas tentang hubungan gereja dan pemuda di Amerika. Ia menuliskan kisah ini masih di Majalah Ar Risalah tertanggal 9 November tahun 1951.

Sulit rasanya untuk dinalar bagaimana sebuah tempat ibadah dalam suatu agama memiliki fungsi ganda lagi bertolak belakang: menjaga kesucian dan meruntuhkannya di saat bersamaan. “Bermaksiat” di tempat Ibadah adalah hal yang lumrah dilakukan pendeta untuk menarik kuantitas jama’ah, alasannya bisa menjadi tidak masuk akal, yakni agar Kristen memiliki daya pikat dan tidak lantas pusing ditinggalkan pemeluknya. “Bahkan mayoritas pengunjung Gereja menanggapinya sebagai tradisi yang vital untuk menghabiskan memuaskan nafsu primitif manusia,” begitu bahasa Sayyid Quthb.

Sepanjang tinggal di Amerika, Sayyid Quthb melihat bahwa kebanyakan gereja di Amerika mempunyai perkumpulan yang terdiri dari pria dan wanita. Hal ini didasari karena pengurus tiap gereja ingin menampung anggota sebanyak-banyaknya. Amerika memang Negara unik, Kristen lantas “memperparah” untuk memperunik cerita itu. Di Amerika memang terjadi sebuah persaingan antara masing-masing gereja dari berbagai aliran. Mereka berlomba dengan berbagai cara, guna menarik perhatian masa ke aliran masing-masing gereja. Bahkan itu dilakukan dengan memakai gadis-gadis cantik yang pandai menyanyi, menari, penuh daya pikat atau setidaknya memasang selebaran dan membubuhkan beraneka warna cahaya di pintu-pintu gereja.

Sayyid Quthb sendiri kebetulan pernah mendapati kejadian lucu itu. Di kampusnya, terpampang sebuah pengumuman tentang pesta gereja yang diletakkan di ruang pertemuan para mahasiswa. Maklumat itu betul-betul diperhatikan Sayyid Quthb karena berbunyi:

“(Datanglah, red.) Pada minggu pertama bulan oktober, jam 6 sore dengan hidangan ringan, permainan menarik, teka-teki, berbagai perlombaan serta hiburan.”

Perihal pengumuman itu, Sayyid Quthb langsung mengomentari,

“Ini tidaklah mengherankan, karena pengurus gereja tidak merasa bahwa pekerjaannya tidak beda dengan seorang Direktur Panggung Sandiwara atau pengurus tempat perdagangan. Yang terpenting bagi mereka adalah kesuksesan (mengeruk jama’ah, red.), sedang cara tidaklah begitu dipikirkan."

Hal itu pernah dibuktikan saat Sayyid Quthb sendiri saat berada di Kota Griley, Colorado. Saat itu, pemuda soleh ini berkesempatan untuk menghampiri sebuah gereja. Setelah kebaktian gereja berakhir, nyanyian-nyanyian gereja kemudian mengalun. Turut ikut serta para pemuda-pemudi bersama anggota perkumpulan lainnya. Padahal di waktu bersamaan, sebagian yang lain masih bersembahyang di gereja, bayangkan. Sayyid Quthb pun keluar melalui pintu samping menuju ruang dansa yang persis bersebelahan dengan tempat jama’ah tengah bersembahyang. Dua pemandangan kontras ini hanya dihubungkan dengan sebuah pintu.

Ruang dansa gereja itu sendiri diterangi dengan cahaya-cahaya kemilauan. Lampu berwarna merah, kuning, biru, serta putih pun menyelimuti suasana gereja silih berganti. Persis ruangan disko. Tidak berapa lama, pendeta memutar irama lagu-lagu romantis. Sang pendeta juga mendorong para pemuda dan pemudi yang masih setia berdiam diri untuk turun berdansa menikmati alunan nada. Karena merasa keterangan lampu mampu merusak suasana yang cukup romantis itu, maka sang pendeta pun nekat memadamkannya.

Walhasil, cahaya remang-remang pun akhirnya menyulap wajah sebuah gereja menjadi sebuah café dansa khas Amerika. Dan untuk menggenapi aroma temaram itu, sebuah lagu Amerika ternama berjudul, “But Baby, it’s cold outside” (Tapi Sayang, udara diluar dingin, red.) pun mengalun menemani keheningan malam.

Awal kenapa lagu ini yang dipilih, Sayyid Quthb memiliki cerita tersendiri. Lagu yang ngetrend di Amerika tahun 50-an itu berisi tentang gambaran psikologi muda-mudi Amerika pada umumnya. Berisi dialog antara sepsang kekasih yang baru saja kembali dari acara mereka. Dikisahkan bahwa sang pemuda menahan gadisnya untuk tetap di rumahnya, namun sang gadis menolak. Alasan gadis itu cukup masuk akal: malam kian larut sedang ibunya menunggu dirumah. Walhasil untuk meluluhkan hati sang kekasih, sang pemuda pun menjawab: tetapi sayang, udara diluar dingin.

Lantas apa hubungannya antara lagu ini dengan sebuah gereja? Lagu ini memiliki pesan menyeluruh kepada seluruh pemuda. Pesan itu adalah untuk berlama-lamaan dahulu di gereja karena cuaca dingin tidak memungkinkan tiap pemuda mengantar kekasihnya pulang ke rumah. Sebuah tafsiran menjijikkan menjurus konyol yang menjadi cara terakhir yang dilakukan antek-antek kafir Amerika dalam menarik jama'ahnya. Ironis.

Kita kembali lagi ke sang pendeta. Kini wajahnya sumringah. Ia gembira bahwa misinya telah berhasil. Muda-mudi itu semakin betah di gereja. Lantas sang pendeta pun meninggalkan ruangan untuk kembali ke rumah. Ya meninggalkan sekumpulan pasangan yang tidak lagi bisa membedakan mana café dan mana tempat ibadah. Mana sebuah kesucian yang diberikan Tuhan untuk tidak mengotorinya dengan hedonitas dan mana arti syahwat libido mereka.

Kisah lain kini datang dari seorang pendeta yang berbicara kepada teman Sayyid Quthb dari Irak. Masih dalam tulisannya di Majalah Ar Risalah, dalam bab “Pendeta dan Laki-Laki Brengsek”, Sayyid Quthb menjelaskan kisah ini dengan sangat gamblang.

Awalnya ini dimulai dari rasa penasaran teman Sayyid Quthb itu perihal seorang kawannya bernama Mary yang saat itu tidak terlihat di gereja. Mendengar pertanyaan dari rekan Sayyid Quthb itu, guratan muka sang pendeta menampilkan kesedihan. Ia merasa iba bukan karena perkara jumlah jama'ah yang datang ke gerejanya berkurang menjadi satu karena keabsenan Mary. Namun situasinya betul-betul diluar sangkaan kita semua. Pendeta itu malah menjelaskan bahwa tidaklah penting baginya ketika semua wanita tidak hadir, asalkan seorang Mary bisa hadir. Benak teman Sayyid Quthb ini pun diliputi rasa aneh menyaksikan jawaban sang pendeta.

Ia lantas balik bertanya mengapa sang pendeta berfikiran seperti itu, dan sang pendeta itu pun menjawab, “Mary demikian menarik. Mayoritas pemuda sendiri menghadiri gereja karena dia (pesona Mary, red.)”. Bayangkan betapa rusaknya moral seorang pendeta yang rela menukar kesucian seorang wanita demi kuantitas masa pengunjung. Barangkali, baginya, derajat kehadiran Mary lebih tinggi dari Yesus.

Cerita lain pun datang dari serorang pemuda Arab yang tengah meniti studi di Amerika. Pemuda itu bernama Abul Atahiah. Seperti pemuda Amerika pada umumnya, Abul Atahiah memiliki seorang kekasih. Abul kerap berkisah tentang gadisnya. Ia mengaku sering mengalah dan berusaha melepaskan sang kekasih untuk menyanyi di gereja. Bagi pemuda Amerika itu, waktu bersenda bersama sang kekasih adalah titik puncak kebahagiaan pasangan muda-mudi Amerika dan tidak boleh diganggu acara apapun, termasuk agama.

Walhasil, kekasih Abul kerap terlambat datang ke gereja. Bapak pendeta pun menuding Abul Atahiah adalah orang yang menyebabkan sang gadis terlambat menghadiri sembahyang. Menariknya, sang pendeta hanya akan berkata seperti itu jika sang gadis datang sendiri ke gereja tanpa kehadiran Abul. Tetapi jika, gadis itu berhasil menarik Abul Atahiah untuk mau ke gereja, maka meski ia terlambat, hal itu tidak menjadi masalah bagi bapak pendeta.

Dari segala kejadian diatas, akhirnya para pendeta itu mengutarakan isi hatinya kepada Sayyid Quthb. Secara jujur, mereka mengakui bahwa sesungguhnya tidak dapat lagi menarik pemuda ke gereja kecuali dengan cara-cara seperti di atas. Rasa-rasanya, mereka sudah kehabisan akal dan cara untuk membumikan agama Kristen di Amerika. Para pemuda pun tidak pernah menanyakan ke dalam diri mereka sendiri apakah tujuan mereka pergi ke gereja murni untuk ibadah atau hanya karena perempuan.

“(Mereka) sekedar bepergian itulah tujuannya. Itulah situasi yang sangat dikenal oleh siapapun yang hidup di Amerika,”cetus Sayyid Quthb.

Ikhwahfillah tentu kejadian diatas sama sekali tidak pernah terfikirkan dalam agama kita, yaitu Islam. Kita sama sekali tidak habis fikir jika seorang ustadz menarik para pemuda ke mesjid lewat tampilan seorang perempuan. Kecuali ustadz itu memang sudah sinting dan bergeser tapal imannya.

Kita juga tidak pernah melihat bahwa masjid dijadikan tempat jamaah laki-laki dan wanita berdansa sementara ada seorang imam sedang mendirikan shalat jama’ah di hadapannya. Kecuali mereka adalah jama’ah aliran sesat yang telah menghalalkan segala cara demi pemuasan nafsu mereka. Inilah fitrah dari ajaran kekafiran yang telah menyimpang dari awalnya. Tidakkah mereka terfikir bahwa mereka hanyalah menambal sulam ajaran agamanya, karena Allah sendiri tidak mengakui status keimanan mereka akibat kekeliruannya memandang agama.

Sayyid Quthb pun akhirnya sadar. Ia merasa prihatin terhadap masyarakat Mesir yang menjadikan Amerika sebagai standar nomor satu dalam kehidupan. Yang menjadikan gereja Kristen Amerika sebagai kiblat keagamaan, karena apa yang dilihatnya jauh dari bayangan bangsa Mesir.

“Akan tetapi saat saya kembali ke Mesir, maka saya dapati orang yang berbicara atau menulis tentang gereja di Amerika, sedang ia belum pernah melihat Amerika sesaat pun dan tentang peranannya dalam perbaikan sosial dan kesialannya dalam menyucikan hati dan mendidik roh,” ujar Sayyid Quthb.

Ya gereja-gereja Amerika yang tidak lebih dari sebuah tempat mesum dan seorang pendeta yang tidak lebih dari seorang laki-laki brengsek. Maka itu, ini sudah seharusnya ditanamankan oleh tiap aktivis muslim untuk tidak tergelincir karena fitnah wanita yang biasa dijadikan medium orang-orang kafir menghancurkan agama kita.

“Kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman, padahal orang-orang yang bertakwa lebih mulia daripada mereka di hari Kiamat. Dan, Allah memberi rezeki kepada orang-orang yang kehendaki-Nya tanpa batas." (Al Baqarah: 212).

Terbunuhnya Hasan Al Banna

Menurut Sayyid Quthb, Islam adalah pedoman hidup yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam adalah agama terbaik, sempurna, dan mencakup seluruh sendi kehidupan. Menurut Sayyid Quthb penyerahan total manusia kepada Islam, tidak bisa hanya sebatas pengakuan lisan, namun juga harus dibuktikan kepada amal perbuatan. Maka itu Sayyid Quthb mengatakan bahwa umat Islam haruslah berhukum kepada hukum Allah dan menolak segala jenis hukum yang dibuat oleh manusia.

Bahkan Sayyid Quthb mengecam pencampuran hukum Allah dengan hukum manusia lalu berkesimpulan bahwa kedua hukum itu dapat disatukan. Oleh karenanya, ia tergolong aktivis Ikhwan yang menolak keras istilah yang dikeluarkan oleh kalangan Barat maupun umat muslim seperti Demokrasi Islam, Sosialisme Islam, Teokrasi Islam, dan lain sebagainya.

Ditengah-tengah kesibukannya melaksanakan tugas, Sayyid tetap melanjutkan kegiatannya dengan menulis artikel di berbagai majalah di Amerika, antara lain majalah yang terbit di Colorado. Ketika di Amerika itu pulalah Sayyid Quthb pernah mendapat tawaran imbalan 10.000 US Dollar untuk penerjemahan salah satu bukunya, yakni Al Adalat al Ijtima’iyya fi al Islam, ke dalam bahasa Inggris. Tetapi tawaran ini ditolaknya, dan dia memberikan hak terjemahan bukunya tersebut secara cuma-cuma kepada American Institute for Social Studies, John B. Hardy, seorang perofesor dari Hulfix University, Kanada, yang kemudian bertindak sebagai penerjemahnya.

DR. Afif Muhammad, yang membuat disertasi tentang Sayyid Quthb menilai bahwa sesungguhnya hingga keberadaannya di Amerika itu, Sayyid Quthb belum banyak memberikan andil secara praktis dalam kehidupan politik dan pergerakan Islam di negaranya, Mesir. Kecuali lewat tulisan-tulisannya sampai akhirnya dia berhadapan dengan fakta-fakta yang mengguncangkan jiwanya, dan sekaligus membuka matanya tentang banyak hal selama ini belum disadarinya.

Dan salah satu peristiwa yang menyakitkan hatinya adalah reaksi orang-orang Amerika terhadap pembunuhan Hasan Al Banna pada bulan Februari 1949. Saat itu Sayyid Quthb sedang dirawat di rumah sakit di Amerika, dan dia menyaksikan luapan kegembiraan dan sukacita yang diperlihatkan masyarakat Amerika melalui semua hal yang ada di sekitarnya, baik surat kabar, media masa lainnya, dan di tempat-tempat pertemuan di seluruh Amerika. Semuanya menyatakan kegembiraan dan saling memberikan ucapan selamat atas terbebasnya mereka dari ancaraman seorang laki-laki di Timur (baca: Hasan Al Banna).

Sementara itu, perkenalan Sayyid Quthb dengan John Houritz Dunn, seorang intelejen Inggris yang menetap di Amerika, juga semakin menyadarkan dirinya tentang perjuangan Hasan Al Banna dan Ikhwanul Muslimin selama ini. Anggota Intelejen Inggris yang kemudian masuk Islam dan menganti namanya menjadi Jamaluddin Dunn ini berkali-kali mengundang Sayyid Quthb datang ke rumahnya.

Dalam salah satu pertemuan itu, Dunn menyodorkan berbagai dokumen tentang rencana-rencana Inggris dan Amerika di Mesir, khususnya sikap mereka terhadap Ikhwanul Muslimin sejak organisasi ini didirikan di Ismailia pada tahun 1928 hingga terbunuhnya Hasan Al Banna tahun 1949. Dalam dokumen itu disebutkan pula bahwa apabila Inggris angkat kaki dari Mesir, maka Amerikalah yang akan menggantikan tempatnya.

Melihat kenyataan seperti itu, maka Sayyid Quthb mengatakan, “Kini terungkaplah kebenaran itu, dan saya yakin bahwa organisasi ini (Ikhwanul Muslimin) berada di pihak benar, dan pasti tidak ada ampunan untuk saya di sisi Allah manakala saya tidak mengikutinya. Lihatlah Amerika ini. Ia berusaha menindas Hasan Al Banna, dan Inggris pun mengerahkan seluruh personil dan media propagandanya, bahkan di Amerika Serikat sekalipun, untuk memerangi Ikhwanul Muslimin. Karena itu saya tegaskan, pada diri saya bahwa saya bergabung dengan Ikhwanul Muslimin saat saya belum lagi keluar dari rumah intelejen Inggris ini.”

Dan sejak saat itulah, Sayyid Quthb memutuskan untuk melakukan sesuatu yang lebih berarti daripada sekedar menulis artikel dan buku-buku. Bersamaan dengan itu, terjadi perubahan situasi politik di Mesir. Pengaruh dan kekuasaan Raja Faruq semakin merosot dan perlawanan terhadap Inggris semakin meningkat. Kendati masa tugasnya di Amerika tidak dibatasi, namun dia memutuskan untuk segera kembali ke negerinya, dan dia tiba di Mesir pada tanggal 20 Agustus 1950. Dengan demikian, periode ini bisa kita sebut sebagai periode peralihan dari seorang akademisi, budayawan, ke dunia pergerakan.

Pandangan Sayyid Quthb terhadap Hasan Al Banna diliputi penghormatan yang kuat. Ia memuji Hasan Al Banna sebagai pribadi jenius yang menggerakan Ikhwan dalam membumikan akidah Islam di Mesir. Perihal kata ‘Banna’ pada Hasan Al Banna, Sayyid Quthb sendiri pernah membahasnya lewat artikelnya yang berjudul ‘Hasan Al Banna Dan Kejeniusan Pembangunan’ yang terangkum dalam buku ‘Dirasah Islamiyah’. Dengarlah petikan tulisan Sayyid Quthb berikut ini:

“Nama Hasan Al Banna adalah suatu kebetulan bahwa hal ini adalah suatu kebetulan saja. Suatu kenyataan yang besar adalah bahwa laki-laki ini memang betul-betul Bana, yaitu pembangunan, Malah ia orang yang membangun dengan baik, malah juga seorang jenius pembangunan. Aqidah Islam telah banyak mengenal juru da’wah. Tetapi seruan itu tidak membangun. Tidak semua ju’ru da’wah sanggup untuk menjadi pembangunan. Tidak semua pembangunan mempunyai suatu kejeniusan yang hebat dalam pembangunan ini.”

Selanjutnya, kecaman Sayyid Quthb kepada Amerika semakin menjadi-jadi. Sayyid Quthb menungkapkan bahwa dunia Eropa dan Amerika sebenarnya bagai dua sisi mata uang yang berdiri dalam satu barisan sama untuk menghadapi dunia Islam. “Jiwa salibis yang dari dulu adalah tetap, tidak berubah.” ujarnya

Sayyid Quthb kemudian berusaha menyadarkan umat muslim yang telah lupa terhadap kekejian Amerika karena ada dikalangan umat muslim yang menyebarkan propaganda tentang misi Amerika untuk berbuat baik kepada bangsa-bangsa yang diperbudak olehnya. Padahal umat muslim sudah menyadari bagaimana luka bangsa Palestina yang dilakukan oleh Amerika. “Luka-luka dunia Islam mengucurkan darah di setiap tempat, sementara Amerika berdiri menonton bahkan mendukung kolonial yang kotor,” tukas Sayyid Quthb.

Mereka Berantas Kemaksiatan dengan Ratusan Buku, Sementara Islam Hanya dengan Beberapa Ayat Qur'an

Amerika memang Negara dengan segudang kisah, segenap kasus, dan sejuta cerita tidak putus-putus perihal kemaksiatan. Kita bisa tertawa, tersenyum geli, mengurut dada, bahkan untuk sejenak termenung. Amerika terlalu sayang untuk dilewati untuk mengenali sebuah kejahiliyahan agar kita mampu mengambil ibroh dari kerusakan bangsa yang konon dikatakan maju namun kewalahan menghadapi masyarakatnya.

Setelah mengemukakan berbagai contoh tentang kehancuran masyarakat Eropa, Sayyid Quthb kembali membicarakan sebuah bangsa tragis seperti Amerika yang masih relevan dibicarakan hingga saat ini. Kisah ini pernah beliau tulis di Kitab Fi Dzhilalil Qur’an jilid yang kedua.

Saat Sayyid Quthb berada di Amerika, beberapa polisi berhasil menangkap suatu komplotan yang mempunyai banyak cabang di berbagai kota. Mereka sendiri bisa dikata sekelompok bandit yang terdiri dari para dokter, pengacara, dan elite kalangan intelektual. Mereka diam-diam membantu pasangan-pasangan suami isteri untuk melakukan selingkuh dan berbuat zina dengan pasangan lainnya.

Akibat standar materialisme yang diterapkan, maka banyak suami dan istri di Amerika tidak lagi bisa dipercaya dalam hal cinta. Kesetiaan sebuah pernikahan yang telah terpatri amat mudah luntur jika digoda atas nama cinta. Maka di Amerika banyak berdiri kantor-kantor yang memiliki tugas diluar penalaran umat manusia: mencari para istri dan suami yang kabur dari rumahnya. Apa yang dimaksud dengan tugas kantor-kantor itu, dengarlah perkataan Sayyid Quthb berikuti ini:

“Hal itu terdapat dalam sebuah masyarakat Amerika dimana seorang suami tidak tahu apakah ia akan kembali dan menemukan istrinya di dalam rumah atau telah kabur bersama pacarnya.

Demikian pula dengan sang istri, mereka tidak tahu apakah suami yang keluar di pagi hari bersamanya, akan pulang kembali kepadanya atau malah ia akan digaet oleh wanita lain yang lebih cantik dan lebih menarik darinya. Itulah masyarakat dimana rumah-rumah mereka dipenuhi keresahan yang tidak memberi nafas pada syarafnya untuk beristirahat.”

Sayyid Quthb jadi teringat kitab Al Hijab karangan Abul Ala Al Maududi tentang tiga serangkai syetan yang menciptakan perang seksual di Amerika, yakni adab yang keji, film-film bioskop yang terbuka, dan ketelanjangan para wanita. Mengenai temuan Al Maududi itu, Sayyid Quthb pun berkomentar, “yang timbul adalah Amerika tidak hanya terpengaruh oleh ketiga faktor ini, bahkan menyerah total kepadanya, sementara ia menempuh jalan yang ditempuh oleh bangsa Romawi.”

Dari serangkain fenomena penyakit masyarakat di Amerika, menurut Sayyid Quthb maka arus kejahatan terbesar di Amerika banyak dilakoni oleh para remaja. Gubernur Negara bagian New York kala itu sampai-sampai mengumumkan bahwa ia akan menjadikan upaya mengatasi penyimpangan ini sebagai program utama dari perbaikan yang dilakukannya di Negara bagian tersebut. Gubernur itu kemudian mendirikan tempat-tempat rehabilitasi serta perkumpulan olahraga. “Tetapi ia jelaskan bahwa pengobatan atas kecanduan obat bius yang melanda para mahasiswa tidak masuk dalam programnya, dan ia menyerahkan urusannya kepada para pejabat kesehatan,” tukas Sayyid Quthb.

Komite 14 Amerika yang bertugas mengawasi keadaan moral negeri itu telah menaksir bahwa 90% dari rakyat Amerika, menderita penyakit kelamin yang berbahaya. Hal ini terjadi sebelum ditemukannya obat-obatan modern yang mampu mengatasi itu semua. Bahkan seorang hakim di kota Denver menyatakan bahwa dalam setiap dua kasus perkawinan terjadi satu kasus perceraian.

Menurut Sayyid Quthb sesungguhnya pemerintah Amerika pernah berusaha melenyapkan keadaan ini. Lalu dibuatlah UU Tahun 1919 yang bernama Undang-undangan “Kekeringan”. Nama UU yang menyertakan kata “Kekeringan” tampaknya memang sengaja dipakai pemerintah sebagai bahan ejekan terhadap pecandu bir yang dilarang minum khamr hingga terkesan tenggorokan mereka akan kering akibat penerapan UU ini.

Uniknya, 14 tahun kemudian, pemerintah Amerika malah menghapus UU ini. Padahal untuk propaganda Anti minuman keras bagi masyarakatnya, Pemerintah Amerika telah menggelontorkan dana propaganda senilai 60 juta US Dollar: sebuah angka fantastis untuk ukuran tahun itu. Ya meski di Amerika.

Tidak hanya itu, Pemerintah Amerika juga telah mengeluarkan banyak buku dan selebaran yang sudah tidak terbilang jumlahnya. Semenjak 14 tahun dikeluarkannya larangan tentang minuman keras saat itu, pemerintah telah menghukum mati sekitar 300 jiwa. 532.335 orang pun tercatat masuk bui akibat kebijakan UU ini. Denda yang dibayar para bandit pun mencapai angka 16 juta pound, sementara harta benda yang disita ditaksir senilai 404 juta pound.

Namun, memang dasar pemerintah Amerika, setelah segala propaganda yang menghabiskan tenaga fikiran, ratusan juta pound, pemerintan malah mencabut kembali dan menghapuskan undang-undang itu. Tidak jelas apakah hal ini didasari tekanan masyarakat Amerika yang terbiasa hidup liberal atau memang hal ini sebagai bentuk keputus-asaan pemerintah memberantas minuman keras.

Kondisi seperti diatas tidak pernah ditemukan dalam Islam. Islam, menurut Sayyid Quthb lebih memiliki solusi mengakar untuk menciptakan masyarakat yang sehat jiwanya. Jika Amerika mencetak banyak buku dan menghabiskan ratusan juta pound, maka dengan bahasa elegan Sayyid Quthb berujar, “Sementara Islam melenyapkan kebiasaan yang telah mengakar di masyakarat jahiliah hanya dengan beberapa lembar ayat Qur’an.” Subhanallah.

Maka itu benarlah bahwa sebuah peradaban tanpa petunjuk iman hanya akan melahirkan konsep tambal sulam dalam mengentaskan masalah masyarakat bangsanya.

“Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali…” (An-Nahl :92).

Satu Janji itu Adalah Surga Bagi Mereka yang Telah Berjihad



“Tidaklah termasuk masyarakat Islami, masyarakat yang mewadahi orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai ‘kaum muslim’, sementara Syariat Islam tidak menjadi undang-undang (qanun) masyarakat tersebut meski mereka menunaikan shalat, puasa, dan haji ke baitullah.”

“Kita tidak akan mampu sampai pada konsepsi rabbani dan juga mencapai kehidupan rabbani, kecuali dengan cara menempuh manhaj pemikiran yang rabbani.” (Sayyid Quthb, Ma’alim Fiththariqh)

Sayyid Quthb telah menghabiskan banyak waktu di Amerika. 2,5 tahun adalah waktu yang tidak sedikit baginya untuk mempelajari peradaban Barat. Ternyata Sayyid Quthb menyerah. Ia menyerah bukan berarti kalah, namun ia merasa Barat bukanlah tempat persinggahannya untuk jangka waktu lama. Kendati masa tugasnya di Amerika tidak dibatasi, namun dia memutuskan untuk segera kembali ke negerinya dan dia tiba di Mesir pada tanggal 20 Agustus 1950.

Al Kholidi dalam bukunya Amarieka Minaddaghili menjelaskan bahwa Karena kepergian Sayyid Quthb ke Amerika adalah untuk melepaskan Mesir dari kritikannya, maka Sayyid Quthb beranggapan bahwa situasi di Mesir sudah berubah terutama setelah melemahnya kekuasaan Raja Faruk. “Terlebih lagi di Mesir telah terjadi semacam demokrasi dan adanya berbagai macam aliran serta propaganda yang kontradiksi tanpa seorang pun yang tahu tujuan pokok maupun motor berbagai peristiwa itu,” tulis Al Kholidi.

Masih dalam buku yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonsia berjudul “Sayyid Quthb Mengungkap Amerika”, Al Kholidi menyatakan bahwa Sayyid Quthb tahu benar, jika keberadaannya yang paling penting adalah di sisi keluarga dan sahabatnya. Kewajibannya yang tidak kalah penting adalah memberitahu dan memperingatkan manusia dari tipu daya para penipu, yaitu setelah ia selamat dari kepungan dan cengkeraman Amerika.

Sampai-sampai kerinduannnya akan Mesir membawanya menulis sebuah syair saat masih di San Fransisco yang berjudul “Dua’ul Ghareb”. Puisi ini sendiri sempat dimuat di Majalah Al-Kitab pada bulan Juni 1950.

Wahai para Penghuni tepian sungai Nil

Pemudamu terhampar disini

Telah lama dia berkelana

Bilakah sang pengembara akan dapat kembali?

Bilakah kedua tatapnya akan jatuh kembali pada kampung halamannya yang bagai mercusuar

……..

Oh Mesir! Hadirkanlah kembali ke tanahmu pengembara sebatang kara ini!

Cintanya tercurah padamu, kembalikanlah pemuda tercinta ini”

Kerinduan Sayyid Quthb kepada Mesir, sebagaimana yang tercermin dalam syairnya diatas, nyaris membuat kita dapat melihat perasaan, rintihan, dan bisikan jiwanya secara nyata. DR. Afif Muhammad, dalam bukunya dari “Dari Teologi ke Ideologi” yang menjadi disertasinya mengenai Sayyid Quthb menyatakan bahwa periode kembalinya Sayyid Quthb ke Mesir pada perkembangannya bisa disebut sebagai periode peralihan dari seorang budayawan ke pemikir agama dalam kehidupan Sayyid Quthb.

Pasca kembali dari Amerika, Sayyid Quthb tergolong intens untuk mendalami pemikrian Hasan Al Banna. Ia terlibat dalam pengkajian Islam yang lebih mendalam. Melihat kesungguhan Sayyid Quthb dalan berjuang, Shalih Usymawi (salah seorang Tokoh terkemuka Ikhwan) mengajaknya bergabung dengan Ikhwanul Muslimin dan Sayyid Quthb memenuhi ajakan itu. Perlu disadari pada paragraf ini bahwa Ikhwan yang dimaksud Sayyid Quthb kala itu adalah Ikhwanul Muslimin yang betul-betul ideologis dengan cita-cita menegakkan Islam secara komperhensif di Bumi Mesir, bukan penampakan Ikhwan kini yang cenderung moderat dan terjebak pada dinamika pencarian kekuasaan.

Sayyid Quthb sendiri menganggap peristiwa bergabungnya ia ke Ikhwan sebagai kelahirannya untuk yang kedua kalinya. “Saya lahir tahun 1951,” begitu yang dikatakannya, sekaligus mendelegasikan bahwa waktu 45 tahun selama ia hidup sebagai hal yang nothing. Sejak saat itu, Sayyid Quthb secara ikhlas mengabdikannya untuk Islam dan perjuangan Islam. Sayyid Quthb larut dalam berbagai tulisan yang menyuarakan secara lantang untuk ikut mempersiapkan Revolusi Mesir. Secara giat turun ke lapangan dakwah dalam rangka menumbangkan sebuah tirani bernama sosialisme Mesir.

Namun yang menarik adalah, bahwa pada gilirannya Sayyid Quthb betul-betul menjadi seorang pemikir muslim yang diluar dugaan manusia. Bahwa ia melihat Islam tidak lagi semata-mata dalam basis akademis, gerakan, tapi juga pemahaman tauhid yang begitu paripurna. Pada titik inilah, jika kita pelajari lebih jauh, kita akan mendapati KeIslaman Sayyid Quthb bagai sebuah bola salju yang semakin lama kian kental. Satu demi satu Sayyid Quthb membangun manhaj Ikhwan yang menyatu dengan pemahaman Islam nan kaffah. Tak pelak nama Quthb kemudian digadang-gadang menjadi ideolog kedua pasca kepergian Hasan Al Banna. Ya ideologi yang menjadikan tauhid sebagai pilar asasi: yakfurbit thoghuti wa yu’min billah atau ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah. Ia memilih menjadi mujahid yang berikrar akan membawa Islam tegak di bumiNya.

Teori-teorinya mengenai al-hakimiyyah, al wala wa al barra, mufashalah dari jahiliyah, dan prinsip berbeda dalam identitas dan manhaj merupakan titik beda yang amat penting telah diletakkan oleh Sayyid Quthb. Dia seakan telah menjadi penanda khusus ketika kita menyebut namanya.

Bahkan Abu Mushab As Suri dalam bukunya “Perjalanan Gerakan Jihad 1930-2002” menyatakan Sayyid Quthb adalah orang yang pertama kali membangkitkan identitas pemikiran Jihadi yang muncul di Mesir disamping beberapa nama Ustadz yang pernah ada. Abu Mushab menulis,

"Sayyid Quthb berusaha mengembangkan gagasan-gagasannya ke dalam ranah praktik dan mencoba membentuk organisasi jihad underground pertama yang mengusung ide-ide tersebut. Anggota organisasi ini berasal dari lapisan pemuda mujahid yang mayoritasnya adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Hanya saja eksperimennya yang sempurna membuatnya segera bisa segera digugurkan dan ia akhirnya dihukum mati.”

Buku Ma’alim Fiththariqh sendiri telah menjadi rujukan para ikhwan dalam hal alwala’ wal bara’ kepada pemerintah. Mengenai hal ini, Abu Mushab As Suri memiliki pengalaman menarik untuk menguatkan thesis tersebut. Pada tahun 1989, pernah salah seorang instruktur Ikhwanul Muslimin Yordania di Amman bercerita kepadanya. Ketika IM Yordania memutuskan untuk masuk dalam parlemen dan kabinet, yang berarti kekuasaan legislatif dan eksekutif ada di sisi raja Hussein. Hal ini tentu membuat kegoncangan tersendiri pada diri Ikhwan tersebut karena selama ini Ikhwan telah menjadikan buku Sayyid Quthb sebagai rujukan yang memang tidak membuka peluang untuk mengakui sistem buatan manusia sebagai jalan perjuangan. Dengar penuturan instruktur Ikhwan tersebut kepada Abu Mushab.

“Saya bergabung dengan IM, pada awal tahun 1970-an. Saya diminta untuk meyakini bahwa Raja Hussein kafir karena ia memerintah dengan bukan hukum selain hukum yang diturunkan oleh Allah. Buku rujukan utama kami pada waktu itu adalah Ma’alim fiththariqh sebelumnya saya sudah membaca sebagian buku-buku tafsir. Disana saya menemukan pendapat sebagain tabi’in tentang masalah itu yang mengistilahkan kufr duna kufr (perbuatan kufr, tapi tidak mengeluarkan seseorang dari agama atau kufr kecil).

“Dengan dasar itu, saya pikir Raja Hussein tetap muslim, cuma fasik dan zalim, serta tidak kafir. Setelah pendapat saya diketahui Ikhwanul Muslimin, saya diadili oleh pengadilan Ikhwan. Mereka memberi tempo pada saya untuk mengubah pandangan saya akan tetap Islamnya status Raja Hussein. Atau jika saya tidak mau, saya dikeluarkan dari Ikhwan. Pada saat penantian itu, status keanggotaan saya dibekukan.

“Saya pun merenungkan hal itu, dan Allah tunjukkan diriku seperti pandangan mereka. Saya pun menyatakan kekafiran Raja Hussein dan status keanggotaan saya diaktifkan kembali. Selang beberapa tahun, saya menjadi instruktur Ikhwanul Muslimim dan saya ajarkan kepada para pemuda dalil-dalil kekafiran Raja Hussein, baik yang saya nukil dari buku Ma’alim Fiththariqh maupun buku-buku lain.” Subhanallah.

Inilah yang pernah melintas dalam mimpi tidur Sayyid Quthb saat di penjara. Alkisah sebagian rekannya di penjara bercerita bahwa menjelang eksekusi mati, Sayyid Quthb bermimpi bahwa laci meja tempat dia menulis dan menyimpan kertas-kertas yang memuat gagasan-gasannya terbuka. Dalam kondisi tersebut, burung pipit menghampiri laci meja Sayyid dan terbang membawa kertas-kertas tersebut ke segala arah. Sayyid Quthb yang saat itu masih di penjara menakwilkan bahwa mimpinya adalah penanda kelak suatu ketika pemikirannya akan terbang ke seluruh penjuru dunia. Dan perkataan dalam tulisan-tulisan Sayyi Quthb pun juga menjadi kenyataan,

“Tidaklah setiap kata-kata selalu sampai, ke hati orang lain lalu bergerak, mengumpulkan, dan mendorong hati. Kata-kata yang sampai ke hati adalah kata-kata yang meneteskan darah. Sebab kata-kata itu menyentuh hati manusia yang hidup. Setiap kata yang hidup sungguh menyentuh hati manusia. Adapun kata-kata yang lahir di mulut saja, dan dilontarkan oleh lisan, namun tidak sampai ke mata air ilahi yang Mahahidup, sungguh ia telah lahir dalam keadaan mati. Ia sama sekali tidak akan mendorong sejengkal pun kemajuan manusia. Tidak seorang pun akan menganut kata-kata itu karena telah lahir dalam keadaan mati. Sesungguhnya manusia tidak akan mengadopsi mayat.”

Inilah karateristik mujahid Sejati. Yang tidak saja dominan pada sebuah retorik dan gestur namun minim pada perlawanan ketika kemunkaran menari di depannya. Inilah sebuah fase kehidupan yang begitu mengagumkan dan penuh perjuangan dari seorang Sayyid Quthb; “Diusir" dari Mesir, terdampar di Amerika, sempat ditawari pelacur, menjadi imam shalat jum’at di kapal laut, menyadarkan seorang wanita nasrani, mendebat pendeta, dan kesimpulan dari itu semua Sayyid Quthb berhasil membuka mata kita untuk sadar bahwa peradaban barat adalah benih yang sangat rapuh dan mudah layu.

Sayyid Quthb adalah pribadi muslim yang berhasil memadukan konteks akademik, tauhid, dan jihadi dan mengikatnya sebagai sebuah mutiara dunia Islam yang pernah ada. Bayangkan bagaimana kita melihat saat ini banyak para akademisi muslim yang justru larut dalam tipu daya dunia ketika tengah bermukim di Amerika dan dunia Barat umumnya. Mereka yang dulunya lantang menyuarakan Syariat Islam justru berhenti ketika Amerika sudah merangkulnya, seperti apa yang terjadi ada Nurcholish Madjid; dulu dijuluki Natsir muda, pulang menjad muqallid Fazlur. Ya Fazlur Rahman, cendekiawan Pakistan yang menjadi tonggak penting liberalisme di Indonesia.

Itulah mengapa Sayyid Quthb di akhir hidupnya lebih memilih menjadi Mujahid. Mujahid yang telah membasahi tanah Mesir dengan darah Syuhada. Meminjam perkataan DR. Afif Muhammad, karena akidah Islam, bagi Sayyid Quthb, bukan sekedar ilmu yang bersifat akademik, melainkan ilmu yang harus dapat melahirkan gerakan dan perjuangan.“Satu janji itu adalah surga. Inilah yang dijanjikan untuk mereka yang telah berjihad, yang didera duka, dan kegetiran saat berjuang mati-matian di jalan dakwah.” (Sayyid Quthb). (pz)



No comments:

Post a Comment