visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Tuesday, November 30, 2010

Berlarilah Kepada Allah


oleh Ustadz Fathuddin Ja'far, MA



إن الحمد لله وحده, نحمده و نستعينه و نستغفره ونتوب اليه ونعوذ بالله من شرور أنفسنا وسيئات أعمالنا من يهده الله فهو المهتد ومن يضلله فلن تجد له وليا مرشدا, أشهد أن لا اله الا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده ورسوله بلغ الرسالة وأدى الأمانة ونصح للأمة وتركنا على المحجة البيضاء ليلها كنهارها لا يزيغ عنها الا هلك, اللهم صل وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن دعا بدعوته الى يوم الدين. أما بعد, فيا عباد الله اوصيكم ونفسي الخاطئة المذنبة بتقوى الله وطاعته لعلكم تفلحون. وقال الله تعالى في محكم التنزيل بعد أعوذ بالله من الشيطان الرجيم :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ (ال عمران : 102)

Kaum muslimin rahimakumullah..

Pertama-tama, marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita pada Allah dengan berupaya maksimal melaksanakan apa saja perintah-Nya yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul saw. Pada waktu yang sama kita dituntut pula untuk meninggalkan apa saja larangan Allah yang termaktub dalam Al-Qur’an dan juga Sunnah Rasul Saw. Hanya dengan cara itulah ketaqwaan kita mengalami peningkatan dan perbaikan...

Selanjutnya, shalawat dan salam mari kita bacakan untuk nabi Muhammad Saw sebagaimana perintah Allah dalam Al-Qur’an : أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya bershalawat atas Nabi (Muhammad Saw). Wahai orang-orang beriman, ucapkan shalawat dan salam atas Nabi (Muhammad) Saw. (QS. Al-Ahzab [33] : 56)

Kaum Muslimin rahimakumullah..

Berbagai musibah yang menimpa negeri kita sejak satu dekade belakangan, bermula dari krisis ekonomi, kepemimpinan, politik, budaya, moral dan sampai kepada musibah tsunami Aceh, gempa bumi Jogja, Padang, lumpur Lapindo Sidoarjo, longsor Wasior, serta sampai tsunami Mentawai, meledaknya gunung merapi Jawa Tengah dan berbagai bencana lainnya sepertinya belum cukup dijadikan pelajaran. Padahal kita menyaksikan dengan mata kepala ratusan ribu nyawa manusia sudah melayang... Triliunan rupiah sudah musnah.. Ribuan bangunan dan rumah sudah hancur. Puluhan ribu masyarakat luka dan cacat dan berbagai kerugian immaterial lainnya yang tak terhingga..

Ajaib memang negeri ini... Penduduknya yang mayoritas Muslim belum juga mampu mengambil peljaran dari berbagai peristiwa yang memilukan itu. Lebih ajaib lagi, di tengah ancaman berbagai musibah, khususnya gempa bumi, gempa ekonomi, gempa moral dan puluhan gunung merapi yang diperkirakan siap meledak sewaktu-waktu, kita masih bergulat soal sistem penyaluran bantuan bencana, deteksi dan peringatan dini tsunami, gempa dan ledakan gunung merapi. Padahal faktanya, tak satupun bencana dan musibah itu yang dapat dihentikan, apalagi di-delete dari lembaran kehidupan dunia ini. Berbagai teknologi canggih yang diciptakan sama sekali tidak mampu mengundurkan musibah-musibah tersebut barang sedetikpun, apalagi menghentikannya agar tidak terjadi.

Sesungguhnya berbagai musibah dan peristiwa itu adalah ayat-ayat kebesaran dan kekuasaan Allah di atas bumi ini. Kita baru manpu menatapnya dengan mata kosong. Padahal seharusnya ditatap dengan mata iman dan ilmu Kebesaran serta Kekuasaan Allah. Sebab itu tidak heran, jika kita masih saja lalai terhadap ayat-ayat Allah yang berseliuran di hadapan mata kita sendiri seperti yag dijelaskan Allah dalam Al-qur’an :

وَكَأَيِّنْ مِنْ آَيَةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَمُرُّونَ عَلَيْهَا وَهُمْ عَنْهَا مُعْرِضُونَ (105)

Betapa banyak ayat (Kebesaran dan Kekuasaan) Allah di langit dan di bumi yang mereka lewati, sedangkan mereka tetap saja berpaling darinya. (QS. Yusuf [12] : 105)

Kaum Muslimin rahimakumullah..

Agar berbagai bencana dan peristiwa yang menimpa negeri ini khususnya dan di bagian bumi Allah mana saja pada umumnya, alangkah baiknya kita belajar dari umat-umat terdahulu. Bagaimana Allah menimpakan azab dan bencana kepada mereka? Apa yang menyebabkan mereka diazab dan ditimpakan musibah kepada mereka? Bagaimana kondisi mereka waktu menghadapi azab dab bencana tersebut? Akankah mereka mampu lari, atau menghindar dari skenario Allah tesebut? Semuanya akan kita dapatkan jawabannya dengan jelas dan rinci dalam Al-Qur’an, asalkan kita yakin bahwa Al-Quran itu sebuah kitab kebenaran yang datang dari Allah menjadi petunjuk hidup bagi kita. Kalau tidak yakin, maka apapun yang diceritakan Al-Qur’an tidak akan berguna bagi kita.

Sangat banyak ayat Al-Qur’an bercerita tentang bagaimana Allah menghancurkan dan mengazab umat-umat terdahulu. Di antaranya seperti yang Allah jelaskan dalam surat Adz-Zdariyat [51] ayat 31 sampai 51.

أعوذ بالله من الشيطان الرجيم

قَالَ فَمَا خَطْبُكُمْ أَيُّهَا الْمُرْسَلُونَ (31) قَالُوا إِنَّا أُرْسِلْنَا إِلَى قَوْمٍ مُجْرِمِينَ (32) لِنُرْسِلَ عَلَيْهِمْ حِجَارَةً مِنْ طِينٍ (33) مُسَوَّمَةً عِنْدَ رَبِّكَ لِلْمُسْرِفِينَ (34) فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيهَا مِنَ الْمُؤْمِنِينَ (35) فَمَا وَجَدْنَا فِيهَا غَيْرَ بَيْتٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ (36) وَتَرَكْنَا فِيهَا آَيَةً لِلَّذِينَ يَخَافُونَ الْعَذَابَ الْأَلِيمَ (37) وَفِي مُوسَى إِذْ أَرْسَلْنَاهُ إِلَى فِرْعَوْنَ بِسُلْطَانٍ مُبِينٍ (38) فَتَوَلَّى بِرُكْنِهِ وَقَالَ سَاحِرٌ أَوْ مَجْنُونٌ (39) فَأَخَذْنَاهُ وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ وَهُوَ مُلِيمٌ (40) وَفِي عَادٍ إِذْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِمُ الرِّيحَ الْعَقِيمَ (41) مَا تَذَرُ مِنْ شَيْءٍ أَتَتْ عَلَيْهِ إِلَّا جَعَلَتْهُ كَالرَّمِيمِ (42) وَفِي ثَمُودَ إِذْ قِيلَ لَهُمْ تَمَتَّعُوا حَتَّى حِينٍ (43) فَعَتَوْا عَنْ أَمْرِ رَبِّهِمْ فَأَخَذَتْهُمُ الصَّاعِقَةُ وَهُمْ يَنْظُرُونَ (44) فَمَا اسْتَطَاعُوا مِنْ قِيَامٍ وَمَا كَانُوا مُنْتَصِرِينَ (45) وَقَوْمَ نُوحٍ مِنْ قَبْلُ إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ (46) وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ (47) وَالْأَرْضَ فَرَشْنَاهَا فَنِعْمَ الْمَاهِدُونَ (48) وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (49) فَفِرُّوا إِلَى اللَّهِ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ (50) وَلَا تَجْعَلُوا مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آَخَرَ إِنِّي لَكُمْ مِنْهُ نَذِيرٌ مُبِينٌ (51)

Ibrahim bertanya, "Apakah urusanmu hai para utusan?" (31) Mereka menjawab, "Sesungguhnya kami diutus kepada kaum yang berdosa (kaum Luth), (32) agar kami timpakan kepada mereka batu-batu dari tanah, (33) yang ditandai di sisi Tuhanmu untuk membinasakan orang-orang yang melampaui batas (34) Lalu Kami keluarkan orang-orang yang beriman yang berada di negeri kaum Luth itu. (35) Dan Kami tidak mendapati negeri itu, kecuali sebuah rumah dari orang Muslim (yang berserah diri). (36) Dan Kami tinggalkan pada negeri itu suatu tanda bagi orang-orang yang takut kepada siksa yang pedih. (37) Dan juga pada Musa (terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah) ketika Kami mengutusnya kepada Fir'aun dengan membawa mukjizat yang nyata. (38) Maka dia (Fir'aun) berpaling (dari iman) bersama tentaranya dan berkata, "Dia adalah seorang tukang sihir atau seorang gila." (39) Maka Kami siksa dia dan tentaranya lalu Kami lemparkan mereka ke dalam laut, sedang dia melakukan pekerjaan yang tercela. (40) Dan juga pada (kisah) Aad ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan (41) angin itu tidak membiarkan satupun yang dilaluinya, melainkan dijadikannya seperti serbuk. (42) Dan pada (kisah) kaum Tsamud ketika dikatakan kepada mereka: "Bersenang-senanglah kalian sampai suatu waktu." (43) Maka mereka berlaku angkuh terhadap perintah Tuhannya, lalu mereka disambar petir dan mereka melihatnya. (44) Maka mereka sekali-kali tidak dapat bangun dan tidak pula mendapat pertolongan, (45) dan (Kami membinasakan) kaum Nuh sebelum itu. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (46) Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar berkuasa (47) Dan bumi itu Kami hamparkan, maka sebaik-baik yang menghamparkan (adalah Kami). (48) Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah. (49) Maka segeralah kembali kepada (mentaati) Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. (50) Dan janganlah kamu mengadakan tuhan yang lain disamping Allah. Sesungguhnya aku seorang pemberi peringatan yang nyata dari Allah untukmu. (51) (QS. Adz-Dzariyat [51] : 31 – 51)

Kaum Muslimin rahimakumullah...

Dari 20 ayat tersebut dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Allah mengazab umat Nabi Luth yang mengikutkan syahwat sex mereka yang menyimpang (homo sex) dan tidak mau peduli dengan sistem dan aturan Allah dalam menyalurkan hasrat sex mereka dan bahkan menyebarkannya kepada masyarakat luas sebagai sebuah kebenaran. Lalu Allah turunkan kepada mereka hujan batu bersal dari tanah yang bisa saja berasal dari gunung merapi saat itu. Lalu mereka terbakar, mati dan hancur semuanya kecuali satu keluarga yang Allah selamatkan, keluarga nabi Luth selain istrinya yang durhaka.

2. Allah mengazab dan menghancurkan Fir’aun dan prajuritnya yang terkenal gagah perkasa. Betapa tidak, dengan kepongahanya, Fir’aun bukan hanya menolak dakwah nabi Musa, melainkan ingin membunuhnya dan mebrengus ajarannya yang datang dari Allah, dengan cara membunuh Musa dan pengikutnya. Namun, sesuai scenario Allah, Allah perintahkan Nabi Musa untuk lari ke pinggir laut merah agar Fir’aun dan pasukannya mengejar mereka ke sana. Tanpa diduga sama sekali oleh Fir’aun dan prajuritnya, di laut merah itulah tempat mereka menghembuskan nafas terakhir.. Inilah cara Allah menghancurkan pemimpin dan pasukannya yang sombong itu dan tidak mau bertaubat dan kembali kepda Allah.

3. Kaum ‘Ad Allah hancurkan pula dengan angin kencang yang menusuk daging selama 7 malam dan delapan hari sehingga tercerabutlah tulang-tulang mereka dari daging sehingga mereka binasa semua dalam keadaan berglimpangan. Azab itu turun juga karena mereka durhaka kepada Allah dan Nabi-Nya.

4. Kaum Tsamud juga Allah hancurkan dengan petir keras sekali sehingga mereka berjatuhan dan tidak mampu lagi bangkit untuk selama-lamanya. Azab ini juga Allah timpakan karena mereka membangkang kepada ajaran Allah dan Nabi-Nya.

5. Demikian pula dengan kaum Nuh sebelum kaum-kaum tersebut. Mereka Allah hancurkan dengan menciptakan banjir besar sehingga mereka tenggelam semuanya, kecuali para pengikut nabuh Nuh yang beriman dan taat pada Allah dan nabi-Nya.

Dari kisah kehancuran lima kaum tersebut di atas, penyebabnya hanya satu, yakni membangkang kepada sistem dan aturan Allah yang diamanahkan kepada para Rasul-Nya untuk disampaikan kepada umat mereka masing-masing. Pembangkangan tersebut bisa melalui pola sex menyimpang (homosex dan lesby), atau disebabkan penyimpangan lainnya seperti yang terkait dengan akidah yang dilakukan umat nabi Nuh yang menyembah kuburan orang-orang sholeh, atau kesombongan yang dilakukan oleh Fir’aun dan para pengikut dan pasukannya.

Disamping itu, ayat-ayat tersebut bukan hanya menceritakan sebab-sebab kehancuran mereka, akan tetapi juga memberikan solusi efektif agar tidak ditimpakan Allah berbagai azab seperti yang ditimpakan kepada umat-umat terdahulu. Solusinya ialah : kembali kepada Allah dengan berlari seperti yang Allah tawarkan pada ayat ke 50. Kembali kepada-Nya dengan mentaati semua perintah dan menjauhi semua larangan-Nya. Sebagai bukti utama dan terutama dari kembali kepada Allah itu ialah tidak menyekutukan-Nya dalam penciptaan dan perbutan-Nya (rububiyyah), ibadah (uluhiyyah) dan nama-nama (nama-nama) dan sifat-sifat-Nya.

Inilah satu-satunya solusi yang harus kita ambil jika kita ingin menyelamatkan negeri dan umat ini dari azab Allah berupa berbagai bencana yang ditimpakan-Nya kepada kita. Membangun satu gaya hidup menyimpang dari aturan Allah, apapun bentuknya, adalah undangan turunnya azab Allah. Lalu babagimana dengan berbagai gaya hidup menyimpang yang sekarang marak dilakukan oleh sebagian masyarakat kita? Tentulah azab itu akan datang dengan berbagai macam pula. Sebelum terlambat, mari kita berlari menuju Allah dengan mentaati semua sistemnya. Pada waktu yang sama, kita buang jauh-jauh sistem hidup yang tidak diridhai Allah, bagaimanapun beratnya. Dengan demikian insya Allah kita selamat dunia dan akhirat. Amin..

Kaum Muslimin rahimakumullah...

Demikianlah khutbah ini, semoga Allah memelihara iman kita yang sudah tertanam sejak lahir. Semoga Allah berikan kepada kita kesempatan kembali kepada-Nya sambil berlari dan merasakan kenikmatan dan kenyamanan berada di sisi-Nya. Dialah tempat kita meminta dan Dia jua tempat kita memohon perlindungan. Semoga Allah berkenan menghimpunkan kita di syurga Firdaus yang paling tinggi bersama Rasul Saw, para shiddiqin, syuhada’, dan shalihin sebagaimana Allah himpunkan kita di tempat yang mulia ini. Allahumma amin..

بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم ونفعني وإياكم بما فيه من الآيات و الذكر الحكيم أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم إنه تعالى جواد كريم ملك رؤوف رحيم إنه هو السميع العليم ......



Bagaimana Melakukan Ishlah?


oleh mashadi

Betapa kehidupan yang ada sekarang sudah rusak. Dari semua lapisan sosial. Tidak ada lagi sisi-sisi kehidupan yang masih utuh, dan tidak rusak akibat pengaruh jahiliyah, yang sudah merasuk ke dalam sistem kehidupan.

Manusia berputar-putar dalam lingkaran kebathilan. Inilah yang menyebabkan kehidupan manusia tidak lagi bermanfaat, dan menuju kepada kehancuran. Masa depan manusia yang hanya berorientasi kepada pencapaian kenikmatan dunia telah menyebabkan dirinya putus asa.

Menghadapi kondisi seperti ini seorang ulama terkemuka Al-Gazzali memberikan sebuah kaedah atau methode dalam melakukan ishlah.

Kaedah pertama, sesungguhnya tujuan dasar keberadaan umat Muslim (al ulumul al Muslimah) adalah untuk membawa risalah Islam kepada seluruh alam semesta. Jika umat ini berpangku tangan dan tidak memperjuangkan dan menyampaikan risalah Islam, maka dunia akan dipenuhi oleh berbagai macam kekacauan dan kerusakan yang besar. Umat Islam dan masyarakat lainnya akan menjadi korban dari keengganan kaum Muslim untuk memperjuangkan dan menegakkan risalahnya.

Kaedah kedua, kaedah ini memiliki hubungan yang sangat erat dengan kaedah pertama. Selama umat Islam dituntut untuk menyebarkan misi reformasi (ishlah) ke seluruh pelosok bumi, namun pada kenyatannya mereka malah berpangku tangan dan tidak menyampaikan misi tersebut. Mereka tidak tergerak untuk memperjuangkan risalah Islam sebagai al-haq, yang akan dapat memperbaiki kehidupan umat manusia. Sikap berpangku tangan inilah yang menyebabkan mandegnya kehidupan dikalangan umat Islam. Sehingga, tidak ada kemajuan dan perbaikan bagi kehidupan mereka.

Kaedah ketiga, sebagai pelengkap kaedah kedua, selama ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk menemukan penyebab sikap berpangku tangan yang dilakukan kaum muslimin, maka tujuan akhir dari pencarian ini adalah melakukan diagnosa dan memberi jalan keluar, dan bukan sekadar menunjukkan reaksi emonsional yang bersifat negatif dengan sibuk mencari kambing hitam dan saling menuduh. Kelemahan dan kerusakan yang terjadi dikalangan umat ini, tidak semata-mata pengaruh dari luar, tetapi yang harus disadari, bagaimana mencari kelemahan yang sifatnya inheren (melekat) dalam diri umat. Mengapa umat ini menjadi jumud, taklid, dan hanya bersifat pasif, dan tidak memiliki semangat (hamasah) dalam melakukan perbaikan ihslah, baik terhadap dirinya sendiri maupun lingkunganannya yang lebih luas.

Maka, melhat kondisi hari ini yang dialami oleh umat muslimin, Al Gazzali lebih cenderung melakukan kritik (muhasabah) atas diri sendiri (an naqd adz dzati). Dia tidak mencari-cari alasan apapun untuk menjustifikasi kelemahan umat Islam serta melemparkan tanggung jawab atas segala keterpurukan itu kepada kekuatan-kekuatan asing. Kelemahan-kelemahan yang sangat nyata, terutama kelemahan aqidah, dan pemahaman mereka atas risalah Islam, dan komitmen serta perjuangan dalam menegakkan risalah inilah, yang kemudian menyebabkan mereka menjadi bagian dari kekuatan yang menjajah mereka.

Methode ini sesuai dengan prinsip dalam Islam, seperti yang dinyatakan dalam firman Allah Ta’ala:

وَمَا أَصَابَكُم مِّن مُّصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَن كَثِيرٍ

Dan apapun musibah yang menimpa kamu adalah, karena hasil perbuatan tanganmu sendiri. (QS. As-Syura [42] : 30).

Dari ayat diatas, lalu, Al-Gazzali, menemukan sebuah methode yang diyakini, sebagai sebuah jalan, yang sangat sesuai dengan apa yang dijalankan oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam. Al-Gazzali memulai perubahan dari diri sendiri, kemudian merambah kepada komunitas yang lebih luas, sampai tingkat negara. Muridnya melakukan hal yang sama, yang kemudian lahirlah generasi Nuruddin dan Shalahuddin al-Ayyubi, dan berhasil membebaskan tanah Palestnia, yang meliputi Al-Quds dari tangan pasukan Salib. Ini semua telah terbukti betapa methedo ini sangat ampuh, khususnya dalam membangun kembali kehidupan yang dilandasi nilai-nilai dan prinsip Islam.

Seperti firman Allah Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنفُسِهِمْ

Sesungguhnya Allah tidak akan merubah (keadaan) yang ada pada suatu kaum, sehingga mereka merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri. (QS. Ar-Ra’d [13] : 11).

Selanjutnya, Al-Gazzali menambahkannya, bahwa prinsip dasar yang menggunakan methode yang sesuai dengan firman Allah diatas itu, yang menjadi periode emas dalam sejarah Islam, yang melahirkan generasi Khulafaur Rasyidin, karena para Khulafaur Rasyidin merupakan ulama-ulama yang mendapatkan pentunjuk, atau ulama yang mengenal Allah dan beritiba’ (mengikuti Rasul Shallahu alaihi wa sallam), memahami hukum-hukum-Nya.

Setelah periode Khulafaur Rasyidin itu, prinsip tersebut berubah, aqidah berada dibawah pengaruh politik. Karena kekuasan dipegang oleh orang-orang yang tidak layak dan tidak memiliki kredibelitas yang sempurna dalam fatwa dan hukum. Mereka hanya mengabdi kepada penguasa, sekadar untuk mendapatkan dunia. Karena itu, ulama yang sesudah periode Khulafaur Rasyidin itu, kebanyakan hanyalah sekumpulan orang yang mengabdi kepada penguasa. Bukan hamba-hamba yang shalih yang mukhlis.

Inilah sesungguhnya penyebab kerusakan dikalangan umat yang terus-menerus sampai hari ini. Amar ma’ruf nahi munkar berhenti, yang ada hanyalah dukungan ulama kepada penguasa, sekalipun mereka adalah ahlul ma’siyat. Para ulama itu bukan menjadi pengingat para penguasa yang telah berbuat dzalim dan munkar, tetapi malah mereka menyetujui dan menjadi stempel perbuatan dan kemauan para penguasa.

Imam Al-Gazzali hanya mengajak kembali kepada manhaj awal yang sudah diberikan para salaf, terutama oleh Rasulullah Shallahu alaihi wa salam dalam memperbaiki umat dan kaum muslimin. Wallahu’alam.



Yakinilah Engkau Akan Datang Sendiri-Sendiri

oleh Mashadi

Tak ada yang akan dapat menolong kita kelak. Siapapun. Semuanya sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Mereka sudah tidak ada lagi kesempatan memikirkan orang lain. Seorang ayah tidak lagi dapat menolong anaknya, isterinya, saudaranya, dan sebaliknya. Semuanya harus sendiri-sendiri. Ketika menghadap Rabbul Alamin. Inilah kehidupan di akhirat, kelak.

Orang-orang yang terbiasa dengan pertolongan orang lain, ketika masih di dunia, pasti akan kecewa di akhirat. Tidak mungkin lagi dapat mengharapkan bantuan dari orang lain, yang selama di dunia sering menolongnya. Tidak ada tempat bergantung. Semuanya manusia yang menjadi tempat gantungannya putus. Semuanya tak berarti apa-apa. Di akhirat nanti manusia hanya dapat bergantung dengan amalannya selama di dunia. Itulah satu-satu tempat bergantung.

Manusia akan mengeluh, bersedih, dan menderita, yang sifatnya kekal. Mereka akan menerima musibah, bencana, dan hukuman, semuanya bagian dari kehidupannya di dunia. Seperti digambarkan dalam surah al-Waqi’ah, bagi golongan ‘kiri’ (ashabul syimal), yang akan menerima ‘raport’ (cataran) kehidupannya selama di dunia dengan wajah yang sangat masam, sedih.

Gambaran bagi orang-orang yang menolak agama Allah, mendustakan, dan berbuat durhaka. Di dunia tak merasakannya. Mereka hidup dengan gantungan orang-orang yang dianggap kuat, memberikan perlindungan, kebahagiaan, dan serba lengkap dan melengkapi kebutuhan dan keinginan hidupnya, sampai tidak lagi mempercayai Rabbul Alamin.

Tidak guna lagi menangis. Bersedih. Meratap dengan nada yang pilu. Akibat dari apa yang sudah diperbuatnya selama hidup di dunia. Mereka sangat asyik dengan kehidupan dunia. Penuh dengan tawa. Lalai kewajibannya. Lalai akan nikmatnya. Lalai akan pemberian yang diberikan Rabbul Alamin. Merasa segala yang didapatkan adalah hasil pribadinya. Karena itu tak pernah merasa besyukur. Naluri hidupnya hanyalah mengikuti hawa nafsunya. Tiba-tiba mereka harus mempertanggungjawabkan segala apa yang sudah diperbuat selama di dunia. Sendiri-sendiri.

Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam bersabda :

“Kamu menangis atau tidak sama saja. Demi Allah yang menggenggam jiwaku, hai Jabir, para malaikat terus menaungi ayahmu dengan sayap mereka mengangkatnya. Demi Allah yang menggenggam jiwaku, hai Jabir sungguh Allah berbicara dengan ayahmu tanpa perantara. Dia berfirman : “Berharaplah!” Dia berkata : “Saya berharap Engkau mengembalikan saya ke dunia agar terbunuh lagi di jalan-Mu”. Allah berfirman ; “Tapi Aku telah menetapkan bahwa yang mati tidak daspat kembali ke dunia lagi. Berharaplah (yang lain)!” Dia berkata : “ Saya berharap Engkau ridho kepadaku sebab saya telah ridha kepada-Mu. Allah berfirman : “Aku telah memberi keridhaan-Ku kepadamu. Aku tidak akan murka kepadamu selamanya”.

Di akhirat nanti hanyalah orang-orang yang mendapatkan ridha-Nya yang akan mendpatkan kebahagiaan. Bukan manusia-manusia yang selama hidupnya mencari ridha manusia. Menjadikan manusia sebagai sesembahan. Menjadikan manusia tempat bergantung dan meminta pertolongan. Manusia yang telah menempatka manusia lainnya, sebagai sesembahan dan tempat bergantung hidupnya, dia tidak akan pernah mendpatkan ridha dari Allah Rabbul Alamin, di akhirat kelak.

Mereka hanya orang-orang yang menyesali hidupnya. Mereka tidak lagi dapat bertemu dan mendapatkan pertolongan dari orang-orang yang dahulunya di dunia telah memberikan mereka pertolongan. Orang-orang yang dianggap hebat 'super'. Masing-masing orang hanya akan mempertanggungjawabkan sesuai dengan amalnya. Sebesar apapun kekuasaan manusia di dunia, yang disangka oleh manusia lainnya, yang dianggap dapat memberikan pertolongan dan perlindungan itu, hanyalah akan menjadi sia-sia dihadapan Allah Rabbul Alamin.

Maka Allah Ta’ala berfirman :

وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَن يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَىٰ مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ

“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, segera mengingat Allah, lalu memohon ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan dosa itu, sedang mereka mengetahui”. (QS. Al-Imran [3] : 135)

Ingatlah ketika kelak menghadap Rabbul Alamin Yang Maha Agung, setiap manusia akan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Maka ketika menyadari telah menyimpang dari jalan yang telah ditetapkan Rabb, segeralah memohon ampun, dan bertaubat. Wallahu’alam.



Bersabarlah Atas Nikmatnya


oleh Mashadi



Tak ada lagi yang dapat diucapkan kepada siapapun, kecuali harus mengucapkan, bersabarlah atas segala pemberian Allah Azza Wa Jalla ini.

Kesabaran inilah yang akan menjadikan manusia sempurna dalam kehidupannya. Kesabaran inilah yang akan mengantarkan manusia mendapatkan ridha Allah Azza Wa Jalla. Kesabaran inilah yang akan menyebabkan manusia mendapatkan kemuliaan disisi-Nya.

Bersabar atas nikmat iman yang telah diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla kepada kita. Bersabar atas nikmat Islam yang telah diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla kepada kita. Sabar dengan iman yang kita miliki ini, kita akan menjadi kekasih-Nya yang kekal. Tak akan nista hidup kita. Selamanya.

Dengan nikmat Islam, dan bersabar dengannya, kita akan menjadi manusia yang hidup dengan lurus, mendapatkan ‘shirat’ (jalan lurus), tak akan pernah tersesat selama-lamanya. Menjadikan petunjuk Rabbaniyah itu, bagi kehidupan kita, maka akan mendapatkan kebahagian dan kedamaian. Tak ada cara lain, dan methode lain, yang dapat mengantarkan kehidupan yang membawa kepada kehidupan yang damai dan tenteram, kecuali Islam.

Allah Ta’ala berfirman :

فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِل لَّهُمْ

“Maka bersabarlah seperti para rasul yang memiliki keteguhan itu telah bersabar.”(QS. al-Ahqaf [46] : 35)

Mereka yang memiliki kesabaran dan keteguhan adalah Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Muhammad Shallahu Alaihi Wa Sallam.

Mereka hamba-hamba-Nya yang memiliki kesabaran dan keteguhan dalam memegang keimanan, keislaman mereka. Mereka sangat teguh. Tidak mudah berubah oleh pengaruh lingkungan, kondisi, dan faktor-faktor keduniawian.

Mereka benar-benar berpegang teguh dengan apa yang telah diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla. Tidak ada yang dapat menggoyahkan sikap mereka sedikitpun. Termasuk bagaimana ketika mereka menghadapi tekanan dan bujukan, mereka tetap sabar. Mereka hanya memilih janji-Nya dan ridha-Nya.

Pribadi yang benar-benar menjadi uswah,dan kita harus beritiba’ kepada Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, karena sifat-sifatnya yang memberikan pelajaran yang sangat luar biasa bagi kehidupan seluruh umat manusia.

Bagaimana Beliau yang telah menggenggam kekuasaan. Beliau telah memiliki segalanya. Segala yang diinginkan manusia. Berupa kehidupan dunia. Tetapi Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, tak pernah tersentuh hatinya dengan semua yang artifisial duniawi. Beliau tetap bergeming dengan dakwahnya. Inilah teladan manusia yang sabar di muka bumi.

Abu Sofyan pernah menawarkan pernik-pernik kehidupan. Kekuasan, harta, dan perempuan cantik, diantara perempuan Qurays, tetapi Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, menolaknya. Tidak ada kemuliaan dengan kehidupan yang artifisial berupa dunia. Kekuasaan, harta, dan perempuan, semua itu memiliki limitasi, tak pernah kekal.

Semuanya akan berakhir dengan ketentuan-Nya. Rasulullah memilih yang kekal, yang sempurna, dan kenikmatan yang panjang, tanpa akhir, yaitu kehidupan akhirat. Janji-Nya diyakini tak akan pernah selisih, karena bukan janji manusia.

Nuh berdakwah selama 950 tahun siang dan malam. Tak mendapatkan sambutan kaumnya. Tidak yang menyambut seruannya. Mereka menolak. Mereka menolak agama Allah, manhaj-Nya, dan syariat-Nya.

Allah Ta’ala berfirman :

قَالَ رَبِّ إِنِّي دَعَوْتُ قَوْمِي لَيْلًا وَنَهَارًا

فَلَمْ يَزِدْهُمْ دُعَائِي إِلَّا فِرَارًا

وَإِنِّي كُلَّمَا دَعَوْتُهُمْ لِتَغْفِرَ لَهُمْ جَعَلُوا أَصَابِعَهُمْ فِي آذَانِهِمْ وَاسْتَغْشَوْا ثِيَابَهُمْ وَأَصَرُّوا وَاسْتَكْبَرُوا اسْتِكْبَارًا

“Nuh berkata, Rabbi, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku malam dan siang, maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari (dari kebenaran). Dan sesungguhnya setiap aku menyeru mereka (kepada iman) agar engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinganya dan menutup bajunya (kemukanya) dan mereka tetap (mengingkari) dan menyombongkan diri dengan sangat”. (QS. Nuh [71] : 5-7).

Itulah sebuah fragmen kehidupan para Rasul dan Anbiya’. Mereka akan menghadapi kaum yang tak mau menerima petunjuk dan agama Allah. Mereka mengingkari , dan bahkan mereka memjusuhinya. Inilah fragmen kehidupan yang berlangsung sepanjang sejarah kehidupan, tak pernah akan berakhir di sepanjang kehidupan manusia.

Orang-orang yang sabar, teguh, dan tunduh dengan memilih jalan yang telah diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla, melawan orang-orang yang sudah dari awal menolaknya. Tetapi mereka tetap sabar, dan tidak pernah dengan kondisi yang ada. Para Rasul akan selalu menghadapi umat dan kaum yang mendustakan agama Allah. Sepanjang sejarah. Karena itu, sikap sabar yang diberikan para Rasul dalam mengemban misi risalah-Nya, selalu menjadi bagian dari sejarah kehidupan ini.

Pelajaran yang tidak memiliki batas. Pelajaran yang akan terus berlangsung bagi kehidupan. Bagi mereka yang ingin menegakkan agama Allah. Tidak ada waktu berhenti. Tidak ada waktu menjadi kecewa. Karena menuju kepada kabaikan dan kesempurnaan agama Allah selalu dihadapkan berbagai cobaan dan penderitaan. Inilah kehidupan yang pernah dialami para Rasul. Tetapi mereka menjadi manusia-manusia yang paling mulia disisi-Nya.

Al-Qur’an menegaskan bahwa orang-orang yang sabar telah dipersiapkan balasan baik dari Allah, yaitu ketika nanti mereka kembali kepada-Na dan berdiri dihadapan-Nya. Kesabaran mereka akan diganti dengan sesuatu yang paling mulia dan diberikan juga pahala yang sangat besar dan banyak.

Firman Allah :

نِعْمَ أَجْرُ الْعَامِلِينَ

الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

.. Alangkah bagus ganjaran orang-orang yang beramal baik, yaitu mereka yang sabar dan bertawakkal kepada Rabb mereka”. (QS. al-Ankabut [29] : 58-59)

Begitu indahnya janji Allah Azza Wa Jalla bagi orang-orang yang sabar, dan telah mengikatkan diri mereka dengan apa-apa yang telah disyariatkan oleh Allah Rabbul Alamin. Wallahu’alam.



Jangan Menjadi Mukmin Instan


oleh Mashadi

Menanam jagung dengan menanam jati hasilnya pasti akan lain. Waktu yang dibutuhkannya juga lain. Jagung hanya butuh waktu tiga bulan. Sudah dapat dipanen. Sedangkan pohon jati memerlukan waktu puluhan tahun. Tetapi pohon jati semakin tua, kayunya semakin baik.

Manusia tabiatnya ingin cepat dan serba instan. Tidak ingin susah. Tidak ingin kesulitan. Segalanya ingin dicapai dengan mudah. Tidak ingin belama-lama dengan waktu. Usahanya ingin cepat dinikmatinya. Inilah kehidupan hari ini. Karena itu banyak orang yang tidak dapat sabar. Tidak sabar dengan waktu dan proses. Sehingga banyak yang mengambil jalan pintas.

Bagaimana menegakkan agama Allah ingin cepat mendapatkan hasilnya? Ingin terwujud sebuah tatanan yang sesuai yang diinginkannya. Padahal perjuangan menegakkan agama Allah itu bukan yang mudah. Tidak mungkin dapat terwujud dengan waktu yang serba singkat. Butuh proses. Ingin cepat terwujud keinginannya. Sementara itu berbagai tantangan dan hambatan bertumpuk-tumpuk.

Lamanya pencapaian dalam setiap usaha itu, sebaliknya akan menentukan kualitas manusia itu. Apakah dia jenis manusia yang cukup memiliki kesabaran? Sebatas dengan kemampuan menghadapi rintangan dan tantangan yang ada, dan kemudian dia tetap sabar dalam usahanya, maka manusia ini termasuk jenis manusia yang sabar. Manusia yang penuh dengan tawakal.

Seorang sahabat Salman Al-Farisi harus berjalan kaki dari negeri Syria ke Madinah. Salman yang pindah-pindah agama, yang akhirnya menemukan Islam, dan begitu rindunya dengan Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, harus ridha berjalan kaki menempuh perjalanan yang sangat panjang melintasi gurun pasir, agar sampai ke Madinah.

Tidak mungkin membangun sebuah kehidupan yang menggunakan kualitas yang seperti diinginkan oleh Allah Rabbul Alamin itu, hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Membutuhkan waktu yang amat panjang. Bila manusia sudah terdorong ingin cepat mencapai hasilnya, dan tidak sabar, maka bangunan yang diinginkannya tidak pernah akan terwujud selama-lamanya. Justru orang-orang yang menginginkan bangunan Islam dengan instan itu, ujung-ujungnya akan terperangkap pada jebakan musuh, dan kemudian akan menghancurkan gerakannya.

Kisah Salman hanyalah sepenggal kisah. Manusia yang penuh dengan keikhlasan dalam usahanya ingin mendapatkan ridha dari Rabbnya, dan keinginannya bertemu dengan manusia yang mendapatkan amanah dari Rabbul alamin, yaitu Rasul Shallahu alaihi wa sallam. Mengapa Salman begitu kuat keinginan bertemu dengan Rasul Shallahu alaihi wa sallam? Salman berani menanggung resiko denan berjalan kaki mengarungi samudera padang pasir yang begitu luas, dan jauh dari kota Madinah? Ini hanyalah episode tokoh yang begitu rindu ingin menegakkan bangunan Islam, dan Rasul Shallahu alaihi wa sallam, yang menjadi pujaannya.

Islam hanya dapat dibangun kekuatan orang-orang yang sabar, tidak pernah tergoda dengan hasil, yang berupa lukisan dunia. Salman yang berani menempuh perjalanan begitu panjang, bukan semata-mata ingin mendapatkan kehidupan dunia.

Kerinduannya kepada Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tak lain kerinduannya dengan orang yang sudah pasti dijanjikan tentnag kemuliaan pada kehidupan akhirat. Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, manusia yang paling mulia, yang dengan dakwahnya yang tak mengenal menyerah dengan siapapun, yang ingin menghalangi dakwahnya, karena Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, tidak menginginkan kenikmatan dunia. Tetapi, Rasulullah Shallahu alaihi, seorang utusan Allah Rabbul alamin, yang senantiasa merindukan kemuliaan disisi-Nya.

Orang-orang yang sabar dan tidak bersikap instan dalam mencapai tujuan, tidak takut dengan ancaman-ancaman, dia akan tetap istiqomah dengan usahanya. Betapa terasa sangat berat.

Salman datang kepada Islam dengan sendirian. Dari bumi yang sangat jauh. Rela dengan penuh keikhlasan memenuhi panggilan Islam. Tidak peduli dengan waktu. Tidak peduli dengan masa dalam hidupnya. Ia menemukan Islam dan membelanya dang memperjuangkannya. Sampai akhirnya Salman meninggal sendirian di tengah padang pasir. Tanpa siapa-siapa. Ia tetap istiqomah dengan Islamnya. Tak butuh pertolongan dan dukungan manusia.

Begitulah generasi salaf dahulu menjalani kehidupan mereka, ketika mereka sudah memeluk Islam, tak pernah lagi meninggalkannya. Dengan penuh kesabaran memperjuangkan dan menegakkannya. Semuanya dijalani dengan sabar. Tanpa berkeluh kesah, dan ingin menikmati segera hasilnya. Dijalani kehidupan dengn penuh tawakal.

Allah Ta’ala berfirman :

وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُم بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَن ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا ﴿٢٨﴾

“Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama dengan orang-orang yang menyeru Tuihannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridaannya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia, dan janganlah engkau mengkuti oran gyang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginannya dari keadaannya sudah melewati batas”. (QS. Al-Kahfi [18] : 28)

Tetaplah bersama dengan orang-orang yang dengan penuh kehidupan yang bertujuan menegakkan agama Allah, dan bangunan Islam, dan jangan tergoda oleh bisikan dan rayuan dunia, yang dapat merusak jalan hidup ini, jalan hidup orang-orang mukmin, yang menjadikan Allah dan Rasul-Nya sebagai wali dan pelindung. Wallahu’alam.



Thursday, November 25, 2010

Transformasi, Ra’il, dan Cinta

dakwatuna.com – Namanya Ra’il binti Ra’ayil atau Ra’el binti Ra’ael. Nama ini diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath Thabari dan Ibnu Abi Hatim dari Muhammad bin Ishaq. Sementara namanya yang lain bersumber dari riwayat Abu Asy Syaikh dari Syu’aib Al Juba’i. Sedangkan kebanyakan ulama’ yang berhati-hati lebih suka menyebutnya seperti yang disebutkan Allah dalam Al Qur’an: Imra’atul Aziz. Maka, izinkan saya kali ini menggunakan nama menurut versi Yahudi itu, Ra’il binti Ra’ayil.

Adalah sudah mafhum di dalam lintasan sejarah yang kita pelajari: kisah Yusuf dan Ra’il. Seorang perempuan yang sangat cantik dan merupakan ibu angkat dari Yusuf muda. Ia adalah seorang istri Menteri Keuangan di negara Mesir kala itu. Seorang istri yang kesepian karena bersuamikan seorang lelaki yang mandul yang tidak pernah menggaulinya. Tidak pernah memberikan haknya sebagai seorang istri berupa kebutuhan biologis. Kebutuhan rohani untuk meredam gejolak syahwatnya.

Maka, mendapati seorang pemuda berwajah tampan yang ketampanannya merupakan ketampanan setengah lelaki di bumi, Ra’il pun tergetar hatinya. Interaksi yang intens di dalam rumah dengan lawan jenis mau tidak mau memunculkan syaitan di dalam dirinya. Mulailah timbul benih ketertarikan di dalam diri Ra’il terhadap Yusuf yang tampan. Padahal suaminya telah berpesan agar ia menjaganya sebagai seorang putra.

Ra’il yang dibakar nafsu menyusun rencana keji kepada Yusuf muda. Ia pun menutup pintu-pintu di dalam rumahnya hingga hanya menyisakan dirinya dan Yusuf berdua. Tidak ada yang melihat mereka kecuali Allah. Seorang perempuan cantik dan lelaki tampan di dalam sebuah ruang tertutup. Syaitan semakin membakar birahi Ra’il.

“Marilah ke sini!” ajak Ra’il kepada Yusuf (Yusuf: 23)

Ajakan ini tentu saja bukan sekadar ajakan untuk mendekat. Namun, ini adalah isyarat dari Ra’il kepada Yusuf untuk melakukan perbuatan keji, persetubuhan, perzinaan. Ini merupakan puncak keganasan syaitan di dalam diri Ra’il. Selama ini pun ia telah berusaha untuk menundukkan Yusuf agar mau menjamahnya. Ia menggunakan ajakan dan rayuan yang halus. Namun, hari ini ia menggunakan cara yang kasar dan terang-terangan agar Yusuf mau menjadi budak nafsunya. Yusuf pun menolak dengan menyebutkan kebaikan Tuhan dan tuannya, suami dari perempuan yang sedang merayunya (Yusuf: 23). Ia tidak mau menjadi pengkhianat.

“Sesungguhnya,” kata Allah dalam Surat Yusuf ayat 24, “Perempuan itu telah bermaksud (melakukan perbuatan itu) dengan Yusuf, dan Yusuf pun bermaksud (melakukan pula) dengan perempuan itu andaikata dia tidak melihat tanda (dari) Tuhannya…”

Di sini Ra’il bermaksud untuk mengajak Yusuf untuk menjamahnya. Dan Yusuf pun sebagai seorang lelaki muda sempat terbesit dalam pikirannya untuk menerima ajakan syaitan berwujud perempuan manis di depannya itu. “Nafsunya (Yusuf),” kata Az Zamakhsyari dalam Tafsir Al Kasysyaf, “Cenderung untuk berlaku supel dan memiliki ketertarikan kepadanya sebagai hasrat orang muda yang mirip dengan kemauan dan keinginan terhadapnya, sebagaimana hal ini adakalanya tergambar dalam kondisi dimana yang bersangkutan hilang akalnya.”

“Akan tetapi,” lanjutnya menjelaskan, “Yusuf mematahkan dan menolak hal ini dengan melihat keterangan Tuhannya yang ditetapkan terhadap orang-orang mukallaf, bahwa mereka diwajibkan menjauhi perkara-perkara yang diharamkan. Kalau bukan karena kecenderungan yang kuat yang disebut dengan hamm (kehendak), niscaya yang bersangkutan tidak akan dipuji oleh Allah ketika menjauhinya.”

Selanjutnya adegan berkejaran antara lelaki terperkosa dengan perempuan pemerkosa terjadi. Yusuf menuju pintu kamar dan hendak melarikan diri. Namun, Ra’il berhasil meraih ekor baju Yusuf dan menyobeknya. Sementara itu, tanpa terduga Menteri Keuangan Qithfir muncul dari balik pintu. Konspirasi terhadap Yusuf pun dilakukan.

“Apakah pembalasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan istrimu,” kata Ra’il kepada suaminya, retoris, “Selain dipenjarakan atau (dihukum) dengan azab yang pedih?” (Yusuf 25)

Ah, saya yakin Anda lebih tahu kejadian selanjutnya tatkala Yusuf berhasil dibebaskan oleh pendapat anggota keluarga di rumah itu mengenai posisi sobeknya baju Yusuf. Maka, marilah kita melompat agak jauh ke masa perjamuan Ra’il dengan perempuan-perempuan kota golongan elit yang menghujatnya karena menggoda seorang budak.

Ketika para perempuan itu telah memegang jatah pisau masing-masing, Ra’il menyuruh Yusuf menampakkan diri. Semua perempuan kota itu terpana dengan sesosok manusia tampan di hadapan mereka. Bahkan mereka mengira bahwa ia adalah malaikat yang mulia (Yusuf 31). Keterpanaan mereka pada keelokan wajah pemuda Yusuf itu mengacaukan sensor syaraf dan koordinasi otot mereka hingga mereka masing-masing memotong jari mereka sendiri tanpa merasa kesakitan. Menurut Zaid bin Aslam, perempuan-perempuan itu tergila-gila kepada Yusuf, tidak sadar, dan kehilangan akal karena pemandangan yang mereka lihat. Melihat kejadian itu, gembiralah Ra’il.

“Imra’atul Aziz,” tulis Sayyid Quthb dalam Fi Zhilal Qur’an, “Melihat bahwa dirinya telah dapat mengalahkan perempuan-perempuan golongannya itu, dan mereka tercengang, terkagum-kagum, dan terbengong-bengong dengan munculnya Yusuf di hadapan mereka. Maka, berkatalah perempuan itu atas kemenangannya dengan tidak merasa malu-malu di depan perempuan-perempuan lain yang sejenis dan sekelas dengannya. Dan, dia membanggakan diri terhadap mereka bahwa Yusuf ini berada di dalam genggaman tangannya , meskipun dia tidak mematuhinya pada suatu kali (untuk mengajaknya berbuat serong). Tetapi, toh perempuan itu dapat mengendalikannya pada kali lain (untuk menampakkan diri kepada perempuan itu).”

Maka, kali ini tanpa tedeng aling-aling dan tanpa rasa risih, Ra’il mengakui di hadapan para perempuan kota itu bahwa ia memang menggoda Yusuf agar mau menjamah dirinya dan bersetubuh dengannya. Namun, ia juga mengakui bahwa Yusuf menolak mengikuti ajakannya itu (Yusuf 32). Rasa cinta yang didominasi oleh nafsu syahwati telah membuatnya menjadi perempuan yang menakutkan.

“Sesungguhnya,” kata Ahmad Musthafa Al Maraghi dalam tafsirnya, “Cintanya (Ra’il) kepada Yusuf telah merobek selaput jantung yang meliputinya, lalu tenggelam di dalam lubuknya. Maka dikuasailah dia oleh cintanya itu, sehingga tidak peduli lagi dengan akibat pelanggarannya atau nasib yang akan terjadi padanya.”

Dan demi menahan dirinya dalam kesucian dan menjauhi fitnah perempuan itu, Yusuf pun berdoa dan memilih dipenjara sesuai dengan ancaman Ra’il tempo hari. Akhirnya Yusuf pun dipenjara oleh ayah angkatnya sendiri, Menteri Keuangan Qithfir.

Selanjutnya, mari kita melompat lagi hingga ke adegan dimana Raja Mesir Ar Rayyan bin Al Walid telah memperoleh takwil mimpinya. Maka, ia pun ingin mengundang Yusuf agar menjadi orang kepercayaannya. Namun, Yusuf tidak mau dan meminta Raja Ar Rayyan melakukan investigasi atas kasus perempuan-perempuan yang melukai tangannya. Ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak pernah mengkhianati ayah angkat sekaligus tuannya. Hasilnya tentu saja menguntungkan Yusuf karena akhirnya kebenaran dapat ditegakkan dan menggantikan kezhaliman yang menimpanya.

“Sekarang jelaslah kebenaran itu,” kata Ra’il melihat bahwa kebenaran dan keadilan telah meninggi dan memenuhi ufuk langit, “Akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar.” (Yusuf 51)

Nah, inilah titik balik yang dialami oleh Ra’il bin Ra’ayil. Ia mengakui kesalahannya dan ia pun bertaubat. Taubat nasuha. Taubat sesungguh-sungguhnya. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang,” ujar Ra’il (Yusuf 53). Bahkan, kemudian ia menanggalkan kesyirikan yang melekat di dalam hatinya dan kini telah tergantikan oleh ketauhidan yang murni. Kini ia menjadi seorang yang berada dalam keterserahan diri di hadapan Allah. Namun, ternyata masih ada yang belum berubah di dalam hatinya. Perempuan ini masih mencintai seseorang yang dirayunya berbuat keji dahulu. Ra’il masih mencintai Yusuf. Ia masih mencintainya meskipun sudah belasan tahun ia dipenjara.

“Jadikanlah aku Menteri Keuangan (Mesir),” pinta Yusuf kepada Raja Ar Rayyan, “Sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan.” (Yusuf 55)

Permintaannya pun dipenuhi. Raja pun memecat Menteri Keuangan Qithfir dan me-reshufle kabinetnya. Ia mengangkat Yusuf menjadi Menteri Keuangan yang baru. Menurut Mujahid, beberapa malam setelah dipecat dari jabatan kementeriannya, Qithfir pun meninggal. Kemudian Raja Ar Rayyan berinisiatif untuk menikahkan Yusuf dengan janda Qithfir: Ra’il binti Ra’ayil!

Di kamar pengantin, di malam pertama mereka, Yusuf dan Ra’il berdua saja. Kini pintu kamar telah tertutup, dan tidak ada siapa-siapa selain mereka. Suasana ini seperti yang pernah terjadi belasan tahun silam tatkala mereka berduaan di kamar yang tertutup. Namun, kini berbeda. Kini, Yusuf bin Ya’qub adalah suami Ra’il binti Ra’ayil.

“Bukankah kesempatan seperti ini lebih baik dan terhormat daripada pertemuan kita dahulu ketika engkau menggebu-gebu melampiaskan hasratmu, wahai Ra’il?” tanya Yusuf kepada pengantin cantik di depannya. Ia mencintainya. Adegan ini dicatat Ath Thabari dalam Tarikh dan Jami’ul Bayan-nya.

“Wahai orang yang tepercaya,” jawab Ra’il pada Yusuf, mungkin dengan intonasi yang memanja dan menggemaskan, “Janganlah engkau memojokkanku dengan ucapanmu itu. Ketika kita bertemu dulu, jujur dan akuilah, bahwa di matamu aku pun cantik dan mempesona, hidup mapan dengan gelar kerajaan, dan segalanya aku punya.”

“Namun,” lanjutnya, “Ketika itu aku tersiksa karena suamiku tidak mau menjamah perempuan manapun, termasuk aku. Lantas aku pun mengakui dengan sepenuh hatiku akan karunia Allah yang diberikan atas ketampanan dan keperkasaan dirimu, wahai Nabi Yusuf.”

Selanjutnya, mereka menjalani hidup sebagai sepasang suami istri.

Ibnu Katsir dalam Qishashul Anbiya’ menuliskan bahwa setelah menikahi Ra’il, Yusuf baru mengetahui bahwa Ra’il ternyata masih gadis (perawan). Penyebabnya adalah karena suaminya yang dulu adalah seorang lelaki mandul yang tidak dapat mencampuri istri-istrinya. Kemudian dari pernikahan Yusuf dan Ra’il itu lahirlah dua orang putra, yakni Afrayim dan Mansa.

Cinta Ra’il di sini memang istimewa. Sejak awal, cinta yang dirasakannya kepada Yusuf selalu didominasi oleh kebutuhan apa yang ada di antara dua paha. Ia begitu terobsesi secara fisik pada lelaki tampan di dalam rumahnya itu. Dorongan birahi dan libido yang begitu menggebu seakan telah memutus urat malunya. Bahkan dalam tataran masyarakat paganis, ia dilecehkan karena tindakannya ingin memperkosa seorang lelaki yang tidak lain dianggap sebagai budak rumahnya.

Bahkan atas apa yang dirasakannya itu mampu menjadikannya sebagai perempuan yang kejam dan melakukan kebohongan terhadap orang lain, fitnah yang keji kepada seorang lelaki jujur dan suci, tipu daya terhadap perempuan lain yang menghinanya, dan kezhaliman memenjarakan orang lain yang tidak bersalah. Kesalahan yang ia lakukan telah bertumpuk-tumpuk hanya untuk memuaskan perasaannya untuk menundukkan lelaki istimewa yang dicintainya itu.

Dan dari apa yang dilakukannya itu ternyata tidak menghasilkan apa-apa. Bahkan Yusuf semakin eksis dengan kepribadian dan prinsip-prinsip hidupnya. Ia mampu membersihkan diri dari berbagai kotoran fitnah meskipun harus bersiksa-siksa diri di kungkungan penjara. Sebuah tempat yang paling nyaman baginya dari menghindari fitnah para perempuan. Dan dari dalam penjara pula ia mampu menyusun strategi dan langkah-langkah taktis untuk membongkar kedok kezhaliman dan menancapkan pilar keadilan di langit Mesir.

Ketika kebenaran telah menjernih, ia bebas. Dan siapa-siapa yang tersalah pun bertaubat. Ra’il berada di titik balik kehidupan. Apa yang dilakukan Yusuf menjadikannya semakin respek kepada lelaki itu, begitu Anis Matta menyebutnya dalam Serial Cinta. Kini perasaan dan kecenderungan yang dirasakannya berubah. Dari gejolak hewani menjadi cinta suci yang tinggi. Dari kerendahan lumpur kali, meninggi ke langit matahari. Dari yang ada di antara dua kaki, menuju yang ada di sekuntum hati.

Jika Umar bin Khathab telah menghijrahkan cintanya, dari kecintaan pada diri ke kecintaan pada Sang Nabi, maka Ra’il bin Ra’ayil telah mentransformasikan cintanya, dari cinta semata syahwati ke cinta segenggam hakiki. Ia mengubah sekalut benang biru, menjadi lukisan langit berpelangi ungu. Ia mampu merubahnya karena ia tahu bahwa ia mau. Dan ia mau merubahnya karena ia tahu bahwa ia mampu. Ketika Umar mengubah ‘siapa’ dalam hirarki cintanya, Ra’il mengubah ‘apa’ dalam keistiqamahan arah cintanya.

(hdn)



Bertutur Kata yang Baik


عن عديّ بن حاتم ـ رضي الله عنه ـ قال : ذكر النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ النار ، فتعوذ منها ، وأشاح بوجهه ، ثم ذكر النار ، فتعوذ منها ، وأشاح بوجهه ، ثم ذكر النار ، فتعوذ منها ، وأشاح بوجهه . قال شعبة : إما مرتين ـ فلا أشك ، ثم قال : ” اتقوا النار ولو بشق تمرة ، فإن لم يجد ـ فبكلمة طيبة ” . رواه البخاري .

“Dari ‘Adiy bin Hatim RA berkata: Nabi Muhammad saw pernah menyebutkan tentang neraka, kemudian berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Kemudian menyebutkan neraka lalu berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Kemudian menyebutkan neraka dan berlindung diri darinya dan mengekspresikan dengan wajahnya. Syu’bah berkata: kemungkinan dua kali, lalu saya tidak ragu. Kemudian Rasulullah saw bersabda: Takutlah neraka walaupun hanya dengan sebutir kurma, jika tidak ada maka dengan tutur kata yang baik.” (HR Al Bukhari)

Penjelasan:

باب طيب الكلام Bab tentang disyariatkannya tutur kata yang indah. Tutur kata yang indah adalah amal kebaikan yang besar nilainya, karena firman Allah:

وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ فَإِذَا الَّذِي بَيْنَكَ وَبَيْنَهُ عَدَاوَةٌ كَأَنَّهُ وَلِيٌّ حَمِيمٌ ﴿٣٤﴾

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, Maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah Telah menjadi teman yang sangat setia.” (QS. Fushshilat: 34)

Pertahanan itu sebagaimana dilakukan dengan perbuatan bisa juga dilakukan dengan perkataan. Kalimat yang indah seperti halnya perbuatan yang baik akan membuat musuh yang membahayakan menjadi teman yang menyenangkan.

عن عديّ بن حاتم Dari ’Adiy bin Hatim At Tha’iy. Hatim adalah orang yang dikenal sebagai dermawan Arab, tidak sempat bertemu Islam. Berkata:

ذكر النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ النار Rasulullah saw menyebut neraka yang disediakan bagi kaum kafir, seperti yang diterangkan dalam ayat:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ ﴿٦﴾

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At Tahrim: 6)

فتعوذ منها kemudian berlindung diri darinya. Salah satu bentuk pelajaran Nabi kepada umatnya.

وأشاح hamzah dibaca fathah, syin bertitik diikuti dengan alif dan berakhir dengan ha’ tanpa titik. Bermakna memalingkan wajah. Sebuah ekspresi tidak senang kepada sesuatu. Sepertinya Rasulullah saw melihatnya dan memperingatkannya dengan wajahnya.

Syu’bah bin Hajjaj salah seorang yang menjadi sanad (sandaran hadits ini) berkata: إما مرتين Rasulullah menyebutnya dua kali dan mengekspresikannya dengan wajahnya, فلا أشك ini yang tidak aku ragukan, sedangkan tiga kali penyebutan neraka saya masih ragu.

Kemudian Rasulullah saw bersabda: اتقوا النار, takutlah neraka dengan membuat penghalang antara kalian dengannya.

ولو بشق تمرة Syin bertitik dibaca kasrah, artinya sepotong kurma.

فإن لم يجد Maka jika tidak mendapatkannya, فبكلمة طيبة maka bisa dengan tutur kata yang baik, artinya takutlah neraka dengan tutur kata yang baik, berdzikir menyebut nama Allah dan mengagungkan-Nya, seperti dengan ucapan:

سبحان الله ، أو الحمد لله ، أو لا إله إلا الله ، أو الله أكبر atau

لا حول ولا قوة إلا بالله العلي العظيم atau dengan amar ma’ruf nahi munkar dengan tutur kata yang baik.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran:

Bahwa neraka yang di dalamnya terdapat azab dari Allah adalah sesuatu mengharuskan kita berlindung diri kepada Allah darinya, kembali kepada Allah untuk menghindarinya, dan menyelamatkan diri dari azab pedihnya

Di antara sarana preventifnya yang dapat menghadirkan ridha Allah adalah bersedekah sekecil apapun dan bertutur kata dengan baik. Dari itulah Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Muhammad saw bersabda: … والكلمة الطيبة صدقة dan tutur kata yang baik adalah sedekah.



Kelembutan dalam Segala Urusan


1 ـ عن عائشة رضي الله عنها ـ زوج النبي ـ صلى الله عليه وسلم ـ قالت : دخل رهط من اليهود على رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ فقالوا : السام عليكم . قالت عائشة : ففهمتها ، فقلت : وعليكم السام واللعنة ، قالت : فقال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ : مهلاً يا عائشة ، إن الله يجب الرفق في الأمر كله . فقلت : يا رسول الله ، أو لم تسمع ما قالوا ؟ قال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم ـ : قد قلت ‎: وعليكم “رواه البخاري ، ومسلم ، والنسائي .

dakwatuna.com – Dari Aisyah RA istri Rasulullah SAW berkata: Sekelompok Yahudi masuk ke rumah Rasulullah saw, mereka mengucapkan: kematian atasmu. Aisyah RA berkata: Aku memahaminya, lalu aku menjawab: Dan atas kalian semua kematian dan kutukan. Aisyah berkata: Maka Rasulullah saw bersabda: Tenanglah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah swt mencintai kelembutan dalam segala urusan. Lalu aku berkata: Ya Rasulullah tidakkah engkau dengar apa yang mereka katakan? Rasulullah saw menjawab: Aku sudah jawab: dan atas kamu semua.

Penjelasan:

الرفق Ra’ dibaca kasrah. Yaitu lembut/lunak dalam bertutur kata dan berbuat, juga bermakna: memilih yang lebih mudah في الأمر كله dalam semua urusan.

رهط Sekelompok lelaki yang berjumlah kurang dari sepuluh.

Lalu mereka mengucapkan: السام عليكم Sin tanpa titik, dan mim tanpa tasydid. Artinya kematian atasmu. Ada yang memaknai: Mereka bermaksud mengucapkan: Semoga Allah matikan kamu saat ini.

Aisyah RA berkata: aku paham kalimat itu: السام عليكم sehingga aku katakan kepada mereka: وعليكم السام ، واللعنة yaitu terusir dari rahmat Allah, karena kebencian mereka terhadap Rasulullah saw yang terungkap dalam ucapannya: السام عليكم . lalu Rasulullah saw mengatakan: مهلاً mim dibaca fathah, dan ha’ dibaca sukun/mati, dibaca nashab dalam bentuk masdar, untuk satu orang atau lebih, mudzakkar (lk) atau muannats (pr) artinya: pelan-pelan, dan lembutlah. Dalam riwayat Al Bukhari yang lain:

مهلاً يا عائشة عليك بالرفق وإياك والعنف والفحش أي التكلم بالقبيح

Tenanglah wahai Aisyah, lembutlah kamu dan jauhilah sikap kasar dan keji, yaitu bertutur kata buruk.

إن الله يحب الرفق في الأمر كله Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam semua urusan. Imam Muslim meriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

إن الله رفيق يحب الرفق ، ويعطي على الرفق مالا يعطي على العنف

Sesungguhnya Allah Maha Lembut mencintai kelembutan, dan memberikan pada kelembutan yang tidak diberikan kepada sikap kasar.

Artinya: Bahwa Allah –menghadirkan – kepada sikap kelembutan dalam semua urusan yang tidak diberikan kepada lawannya yaitu sikap kasar.

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah RA bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:

إن الرفق ـ لا يكون في شيء إلا زانه ،ولا ينزع من شيء إلا شانه

Sesungguhnya kelembutan itu tidak akan ada pada apapun kecuali akan memperindahnya. Dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan memperburuknya.

Imam Muslim juga meriwayatkan dari Jarir bin Abdullah RA berkata: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda:

من يحرم الرفق يحرم الخير كله

Barang siapa yang terhalang dari kelembutan akan terhalang dari semua kebaikan.

فقلت : يا رسول الله أو لم تسمع ما قالوا ؟ Aku bertanya Ya Rasulullah, tidakkah engkau mendengar perkataannya? Rasulullah saw menjawab: Aku telah ucapkan untuk mereka: وعليكم aku dan kalian semua akan mati. Ada yang memaknai wawu dalam kalimat itu berfungsi isti’naf (permulaan kalimat baru) bukan athaf (penggabungan pada kalimat sebelumnya) sehingga menjadi jawaban atas mereka, sesuai dengan ucapan mereka, atau perkiraan maknanya adalah: aku katakan: عليكم ما تسحقونه atas kalian apa yang berhak bagi kalian, balasan yang setimpal. Rasulullah memilih kalimat ini agar terjauhkan dari kalimat keji dan lebih mendekatkan kepada sikap kelembutan.

Dalam riwayat Al Bukhari juga disebutkan bahwa Rasulullah saw mengatakan dalam memberikan jawaban kepada Aisyah RA:

أو لم تسمعي ما قلت ” لهم ” رددت عليهم ” دعاءهم ” فيستجاب لي فيهم

tidakkah kamu mendengar apa yang telah aku katakan kepada mereka, aku telah mengembalikan doa mereka itu, maka telah dikabulkan doaku atas mereka.

Karena doaku dengan benar, dan doa mereka atas diriku tidak dikabulkan karena doanya bathil dan zhalim.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang berpegang teguh dengan sikap kelembutan dalam semua urusan, berusaha mengarah kepada sikap ini. Rasulullah saw menjawab perkataan Yahudi السام عليكم: dengan kalimat وعليكم tanpa tambahan. Hal ini lebih lembut. Rasulullah saw telah memberikan teladan kepada kaum muslimin dalam menjawab Yahudi dan sejenisnya.

2ـ عن أنس بن مالك ـ رضي الله عنه ـ أن أعرابياً بال في المسجد ، فقاموا إليه ،

فقال رسول الله ـ صلى الله عليه وسلم : ” لا تزر موه ” ، ثم دعا بدلو من ماء ،

فصب عليه ” .رواه البخاري

Dari Anas bin Malik RA bahwa seorang Arab badui kencing di masjid, para sahabat bangun mendekatinya. Rasulullah saw bersabda: Jangan hentikan kencingnya. Kemudian Rasulullah meminta disediakan setimba air, lalu disiramkan di atas kencing itu. HR Al Bukhari.

Penjelasan:

فقاموا إليه Para sahabat bangun menuju ke Arab badui itu, hendak memukulnya, dll.

Rasulullah saw mengatakan kepada mereka: لا تزر موه ta’ dibaca dhammah, za’ bertitik dibaca sukun/mati, ra dibaca kasrah dan mim dibaca dhammah, artinya: Jangan kalian potong/hentikan kencingnya.

ثم دعا بدلو من ماء ، فصب عليه Kemudian Rasulullah saw meminta disediakan setimba air lalu diguyurkan di atas kencing itu, sehingga mensucikannya.

Dari hadits ini dapat diambil pelajaran tentang kelembutan dalam semua urusan. Rasulullah SAW menyuruh para sahabat menjauh dari Arab Badui tadi, agar tidak mengganggunya menuntaskan kencingnya. (hdn)



Wednesday, November 10, 2010

HAJI, MOMENTUM PERBAIKAN DIRI


Kaum muslimin, ibadah haji merupakan madrasah yang dipenuhi berkah, media pembelajaran untuk melatih jiwa, menyucikan hati, dan memperkuat iman. Kaum muslimin akan menjumpai berbagai pelajaran dan faedah yang terkait dengan akidah, ibadah, dan akhlak di tengah-tengah pelaksanaan haji mereka.

Dapat dipastikan, bahwa ibadah haji merupakan madrasah pendidikan keimanan dimana lulusannya adalah para hamba-Nya yang beriman dan bertakwa, mereka yang mereguk manfaat dari ibadah tersebut adalah para hamba Allah yang diberi taufik oleh-Nya. Allah ta’ala berfirman,

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ (٢٧)لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ (٢٨)

“Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh, supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka …” (Al Hajj: 27-28).

Berbagai manfaat, faedah, dan pelajaran berharga yang terdapat dalam ibadah haji tidak mungkin untuk dihitung, karena sebagaimana di dalam ayat di atas, Allah berfirman dengan kata “مَنَافِعَ” yang merupakan bentuk plural dari kata “منفعة” yang disebutkan secara indefinitif (nakirah) sehingga mengisyaratkan betapa banyak dan beragam manfaat yang akan diperoleh dari ibadah haji.

Tujuan ibadah haji ini adalah agar berbagai manfaat tersebut diperoleh oleh mereka yang melaksanakannya, karena huruf lam pada firman-Nya “لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ” berfungsi untuk menerangkan alasan yang terkait dengan firman-Nya yang sebelumnya, yaitu ayat “وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالا وَعَلَى كُلِّ ضَامِرٍ”, sehingga redaksi ayat tersebut bermakna, “(Wahai Muhammad), jika engkau menyeru mereka untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu, baik dengan berjalan kaki dan berkendara untuk memperoleh berbagai manfaat haji.”

Oleh karena itu, mereka yang diberi taufik untuk melaksanakan ibadah ini hendaklah bersemangat dengan sungguh-sungguh untuk memperoleh manfaat tersebut, di samping dirinya akan memperoleh pahala yang besar dan pengampunan dosa dari Allah ta’ala. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

“Barangsiapa yang berhaji di rumah ini, kemudian tidak berbuat keji dan maksiat, niscaya dia akan kembali dalam kondisi seperti tatkala dirinya dilahirkan oleh ibunya (tidak memiliko dosa apapun).”[1]

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

تَابِعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّهُمَا يَنْفِيَانِ الْفَقْرَ وَالذُّنُوبَ كَمَا يَنْفِي الْكِيرُ خَبَثَ الْحَدِيدِ

“Laksanakanlah haji dan umrah, karena keduanya menghapus kefakiran dan dosa sebagaimana api menghilangkan karat dari besi.”[2]

Tentunya, seorang yang memperoleh keuntungan ini kembali ke negaranya dengan kondisi yang suci, jiwa yang bersih, dan kehidupan baru yang dipenuhi dengan cahaya iman dan takwa, penuh dengan kebaikan, keshalihan, serta berkomitmen dan konsisten menjalankan ketaatan kepada Allah ta’ala.

Ulama telah menyebutkan bahwa apabila keshalihan dan kesucian jiwa ini terdapat dalam diri hamba, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa Allah telah ridha kepadanya dan ciri bahwa amalannya telah diterima oleh-Nya. Apabila kondisi seorang yang telah melaksanakan haji menjadi baik, dengan berpindah dari kondisi yang buruk menjadi baik, atau dari kondisi baik menjadi lebih baik, maka hal ini merupakan tanda bahwa hajinya bermanfaat, karena balasan dari suatu kebaikan adalah tumbuhnya kebaikan sesudah kebaikan yang pertama sebagaimana firman Allah ta’ala,

هَلْ جَزَاءُ الإحْسَانِ إِلا الإحْسَانُ (٦٠)

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar Rahman: 60).

Dengan demikian, barangsiapa yang melaksanakan ibadah haji dengan baik dan bersungguh-sungguh menyempurnakannya, serta menjauhi berbagai hal yang mampu membatalkan dan mengurangi pahala berhaji, tentulah dia akan keluar dari madrasah tersebut dengan kondisi yang lebih baik.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلَّا الْجَنَّةُ

“Tiada balasan bagi haji mabrur melainkan surga.”[3]

Tentu setiap orang yang berhaji ingin dan berharap ibadah haji yang dikerjakannya menjadi haji yang mabrur dan segala upaya yang dikerahkannya mendapat pahala dan diterima di sisi-Nya. Tanda yang jelas bahwa ibadah haji yang dikerjakan mabrur dan diterima adalah ibadah haji tersebut dilaksanakan ikhlas mengharap Wajah Allah ta’ala dan sesuai dengan tuntunan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua syarat ini merupakan syarat mutlak agar suatu amal ibadah diterima di sisi-Nya, di samping itu (keduanya harus ditunjang dengan tanda yang lain, yaitu) kondisi seorang yang berhaji menjadi lebih baik daripada sebelumnya.

Dengan demikian terdapat dua tanda yang menjadi ciri bahwa ibadah haji yang dikerjakan diterima di sisi-Nya. Pertama, tanda yang terdapat di tengah-tengah pelaksanaan ibadah haji, yaitu orang yang berhaji melaksanakannya dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kedua, tanda yang muncul setelah ibadah haji dikerjakan, yaitu tumbuhnya keshalihan pada diri orang yang telah berhaji, yang ditandai dengan bertambahnya ketaatan dan semakin jauhnya dia dari kemaksiatan dan dosa. Dia memulai kehidupan yang baik, kehidupan yang dipenuhi dengan keshalihan dan istiqamah.

Patut diperhatikan bahwa seorang muslim tidak boleh memastikan bahwa amalnya telah diterima oleh Allah, meski dia telah mengerjakannya dengan sebaik mungkin. Allah ta’ala telah menjelaskan kondisi orang-orang yang memiliki keimanan yang sempurna perihal amal ketaatan yang mereka kerjakan untuk mendekatkan diri kepada-Nya,

وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ (٦٠)

“Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka.” (Al Mukminun: 60).

Maksud dari ayat di atas adalah mereka telah mengerjakan ibadah yang diperintahkan kepada mereka berupa shalat, zakat, puasa ,haji dan selainnya, namun mereka merasa takut tatkala amalan tersebut dihadapkan kepada Allah dan tatkala mereka berdiri di hadapan Allah, ternyata amalan tersebut tidak mampu menyelamatkan dan ketaatan yang telah dilakukan tidak diterima oleh-Nya.

Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah rdah, bahwa dia berkata,

“Aku berkata kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan orang-orang yang memberikan apa yang telah mereka berikan, dengan hati yang takut “, “Apakah yang dimaksud adalah pria yang berzina dan meminum khamr?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Tidak, wahai putrid Abu Bakr” atau “Tidak, wahai putrid Ash Shiddiq, akan tetapi dia adalah pria yang berpuasa, shalat, dan bersedekah, akan tetapi dia takut amalannya tersebut tidak diterima oleh Allah ta’ala.”[4]

Al Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,

إن المؤمن جمع إحسانا وشفقة ، وإن المنافق جمع إساءة وأمنا

“Sesungguhnya seorang mukmin mengumpulkan amal kebaikan dan rasa takut sedangkan seorang munafik menggabungkan amal keburukan dan rasa aman.”[5]

Telah menjadi kebiasaan kaum mukminin sejak dahulu hingga saat ini tatkala selesai melaksanakan ibadah ini mereka saling mengucapkan, “Taqabbalallahu minna wa minkum.” Mereka semua mengharapkan amalan mereka diterima.[6] Allah pun telah menyebutkan dalam kitab-Nya yang mulia bahwa nabi Ibrahim dan anaknya Isma’il a.s., tatkala mereka berdua selesai mengerjakan pndasi Ka’bah, keduanya berdo’a kepada-Nya dengan ucapan

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ (١٢٧)

“Ya Rabb kami, terimalah daripada kami (amalan kami), sesungguhnya Engkau-lah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Al Baqarah: 127).

Mereka tetap mengucapkannya, padahal mereka telah menunaikan sebuah amal shalih yang agung, meski demikian mereka memohon kepada Allah agar sudi menerima amal mereka berdua tersebut.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Wuhaib ibnul Ward, bahwa ketika dia selesai membaca ayat ini, dirinya menangis, dan berkata,

يا خليل الرحمن، ترفع قوائم بيت الرحمن وأنت مُشْفق أن لا يتقبل منك

“Wahai kekasih Ar Rahman, engkau telah membangun pondasi rumah Ar Rahman, namun engkau masih saja takut amalan tersebut tidak diterima.”[7]

Jika kondisi pemimpin kaum yang hanif dan teladan bagi kaum yang bertauhid sedemikian rupa, maka bagaimanakah kiranya kondisi yang harus dimiliki oleh orang yang derajatnya di bawah beliau?

Kami memohon kepada Allah agar menerima seluruh amalan kaum muslimin, memberikan taufik dan hidayah kepada kita, menetapkan keselamatan dan perlindungan bagi mereka yang berhaji, menerima amalan shalih kita, dan memberi petunjuk kepada kita semua agar menempuh jalan yang lurus.

Diterjemahkan dari Al Hajju wa Tahdzib an Nufus, Syaikh ‘Abdurrazaq al Badr.

Penerjemah: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

________________________________________

[1] HR. Bukhari: 1820 dan Muslim: 1350.

[2] HR. An Nasai 5/115. Dishahihkan oleh Al Albani dalam Shahih al Jami’: 2901.

[3] HR. Muslim: 1349.

[4] HR. Ahmad: 25705.

[5] HR. Ibnu al Mubarak dalam Az Zuhd: 985.

[6] Ibnu Baththah dalam kitab beliau Al Ibanah (2/873) berkata, “…demikian pula seorang yang baru saja pulang dari melaksanakan haji dan ‘umrah serta menyelesaikan seluruh kegiatan manasik, apabila dirinya ditanya mengenai haji yang telah dilaksanakannya, maka ia akan mengatakan, “Kami telah berhaji, tidak ada lagi yang tersisa selain harapan agar amal tersebut diterima oleh-Nya.”

Demikian pula, do’a orang-orang bagi diri mereka sendiri atau do’a mereka kepada sesamanya adalah, “Ya Allah, terimalah puasa dan zakat kami.” Tatkala seorang menemui seorang yang telah berhaji, telah menjadi kebiasaan, dia mengucapkan, “Semoga Allah menerima hajimu dan membersihkan amalanmu.” Demikian juga, tatkala manusia saling bertemu ketika penghujung Ramadhan, maka mereka saling mengucapkan, “Semoga Allah menerima amalan kami dan amalan kalian.”

Demikianlah sunnah kaum muslimin yang telah berlalu dan menjadi kebiasaan kaum muslimin sampai saat ini yang diambil oleh generasi saat ini dari generasi terdahulu.

[7] HR. Ibnu Abi Hatim dalam kitab tafsirnya sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir 1/254 cetakan Asy Syu’ab.

SEMBELIH KERBAU SEBAGAI TOLAK BALA MERAPI


Redaksi muslim.or.id:

Isu dan prediksi yang meresahkan bermunculan seiring dengan menggeliatnya Gunung Merapi. Untuk itu, upacara tolak bala berupa penyembelihan kerbau pun digelar di Tugu Yogyakarta.

Upacara bernama asli kuat maheso luwung saji rojosunya ini diselenggarakan oleh paguyuban Tri Tunggal. Ritual ini memang dikhususkan terkait kondisi Yogyakarta yang tengah terkena bencana letusan gunung Merapi.

“Selain karena bencana dalam hal ini Merapi. Upacara ini digelar untuk menepis prediksi yang menyebut akan melebur,” ujar pemimpin ritual yang sekaligus pendiri paguyuban Tri Tunggal, Romo Sapto, kepada wartawan di sekitaran Tugu Jogja, Senin (8/11/2010) malam. (Sumber: www.detik.com)

Sanggahan:

Menyembelih hewan dalam rangka ritual adalah perbuatan yang tidak boleh dipersembahkan kepada selain Allah. Barangsiapa yang melakukannya maka Allah melaknatnya. Pelakunya telah melakukan kemusyrikan, yang apabila dia mati dalam keadaan tidak bertaubat darinya maka dia akan dihukum kekal di dalam neraka. Surga haram baginya. Seluruh amalnya akan musnah bagaikan debu yang berterbangan. Penyesalan dan kesedihan, itulah kesudahan yang akan dia rasakan pada hari kemudian.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya sholatku, nusuk/sembelihan-ku, hidup dan matiku, semuanya adalah untuk Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintahkan, sedangkan aku adalah orang yang pertama-tama pasrah.” (QS. al-An’am: 162-163).

Sa’id bin Jubair dan adh-Dhahhak menafsirkan bahwa kata ‘nusuk’ dalam ayat tersebut bermakna ‘sembelihan’ (Qurrat al-’Uyun al-Muwahhidin, hal. 67). Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwasanya menyembelih -dalam rangka ritual- tidak boleh ditujukan kecuali untuk Allah. Ini artinya menyembelih termasuk jenis ibadah, sedangkan menujukan ibadah kepada selain Allah adalah kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 86). Barangsiapa yang menyembelih untuk selain Allah entah itu jin, berhala, ataupun kubur maka keadaannya sama dengan orang yang mengerjakan sholat dan beribadah kepada selain Allah (Syarh Kitab at-Tauhid Syaikh Ibnu Baz, hal. 68)

Dalam ayat lainnya, Allah ta’ala memerintahkan (yang artinya), “Maka lakukanlah sholat dan sembelihlah kurban untuk Tuhanmu.” (QS. al-Kautsar: 2). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah…” (HR. Muslim). Dalil-dalil ini menunjukkan bahwa menyembelih untuk selain Allah -dalam rangka ritual- adalah perbuatan yang diharamkan. Bahkan keharaman yang paling haram, karena hal itu termasuk kemusyrikan. Tidak berhenti di situ saja, daging hewan yang disembelih untuk selain Allah pun haram untuk dimakan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Diharamkan atas kalian bangkai, darah, daging babi, dan daging hewan yang dipersembahkan untuk selain Allah…” (QS. al-Ma’idah: 3).

Dari sini, kita bisa mengetahui bahwa perbuatan sebagian orang yang ingin menolak bala/bencana dengan cara menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada makhluk gaib (baca: jin) yang ‘menguasai’ tempat-tempat tertentu -seperti gunung, laut, pohon, jembatan, dan lain sebagainya- merupakan tindakan yang sangat membahayakan. Perbuatan yang mereka lakukan bukan menolak bala, akan tetapi justru mengundang murka Allah ta’ala. Allahul musta’aan.

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah, sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan bagi orang-orang zalim itu tidak ada penolong sama sekali.” (QS. al-Ma’idah: 72). Allah ta’ala juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa syirik kepada-Nya, dan masih akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatannya, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisaa’: 48). Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang kafir yaitu dari kalangan ahli kitab dan orang-orang musyrik pasti berada di neraka Jahannam, mereka kekal di dalamnya untuk selama-lamanya. Mereka itulah seburuk-buruk makhluk.” (QS. al-Bayyinah: 6)

Apabila umat manusia merasa takut terhadap ancaman bencana gempa, letusan gunung berapi dan gelombang Tsunami, maka sudah semestinya mereka lebih merasa takut terhadap musibah ini; musibah aqidah dan petaka iman yang menghancurkan kehidupan…

Ya Allah, tunjukkanlah kepada kami jalan kebenaran dan berikan kepada kami kekuatan dan kemauan untuk mengikutinya.

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id



10 Nasehat untuk Bershabar


10 Nasehat untuk bershabar dari Ibnul Qayyim agar tidak terjerumus ke dalam maksiat


Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi dan Rasul paling mulia. Amma ba’du.

Berikut ini sepuluh nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah untuk menggapai kesabaran diri agar tidak terjerumus dalam perbuatan maksiat:

Pertama, hendaknya hamba menyadari betapa buruk, hina dan rendah perbuatan maksiat. Dan hendaknya dia memahami bahwa Allah mengharamkannya serta melarangnya dalam rangka menjaga hamba dari terjerumus dalam perkara-perkara yang keji dan rendah sebagaimana penjagaan seorang ayah yang sangat sayang kepada anaknya demi menjaga anaknya agar tidak terkena sesuatu yang membahayakannya.

Kedua, merasa malu kepada Allah… Karena sesungguhnya apabila seorang hamba menyadari pandangan Allah yang selalu mengawasi dirinya dan menyadari betapa tinggi kedudukan Allah di matanya. Dan apabila dia menyadari bahwa perbuatannya dilihat dan didengar Allah tentu saja dia akan merasa malu apabila dia melakukan hal-hal yang dapat membuat murka Rabbnya… Rasa malu itu akan menyebabkan terbukanya mata hati yang akan membuat Anda bisa melihat seolah-olah Anda sedang berada di hadapan Allah…

Ketiga, senantiasa menjaga nikmat Allah yang dilimpahkan kepadamu dan mengingat-ingat perbuatan baik-Nya kepadamu.

Apabila engkau berlimpah nikmat

maka jagalah, karena maksiat

akan membuat nikmat hilang dan lenyap

Barang siapa yang tidak mau bersyukur dengan nikmat yang diberikan Allah kepadanya maka dia akan disiksa dengan nikmat itu sendiri.

Keempat, merasa takut kepada Allah dan khawatir tertimpa hukuman-Nya

Kelima, mencintai Allah… karena seorang kekasih tentu akan menaati sosok yang dikasihinya… Sesungguhnya maksiat itu muncul diakibatkan oleh lemahnya rasa cinta.

Keenam, menjaga kemuliaan dan kesucian diri serta memelihara kehormatan dan kebaikannya… Sebab perkara-perkara inilah yang akan bisa membuat dirinya merasa mulia dan rela meninggalkan berbagai perbuatan maksiat…

Ketujuh, memiliki kekuatan ilmu tentang betapa buruknya dampak perbuatan maksiat serta jeleknya akibat yang ditimbulkannya dan juga bahaya yang timbul sesudahnya yaitu berupa muramnya wajah, kegelapan hati, sempitnya hati dan gundah gulana yang menyelimuti diri… karena dosa-dosa itu akan membuat hati menjadi mati…

Kedelapan, memupus buaian angan-angan yang tidak berguna. Dan hendaknya setiap insan menyadari bahwa dia tidak akan tinggal selamanya di alam dunia. Dan mestinya dia sadar kalau dirinya hanyalah sebagaimana tamu yang singgah di sana, dia akan segera berpindah darinya. Sehingga tidak ada sesuatu pun yang akan mendorong dirinya untuk semakin menambah berat tanggungan dosanya, karena dosa-dosa itu jelas akan membahayakan dirinya dan sama sekali tidak akan memberikan manfaat apa-apa.

Kesembilan, hendaknya menjauhi sikap berlebihan dalam hal makan, minum dan berpakaian. Karena sesungguhnya besarnya dorongan untuk berbuat maksiat hanyalah muncul dari akibat berlebihan dalam perkara-perkara tadi. Dan di antara sebab terbesar yang menimbulkan bahaya bagi diri seorang hamba adalah… waktu senggang dan lapang yang dia miliki… karena jiwa manusia itu tidak akan pernah mau duduk diam tanpa kegiatan… sehingga apabila dia tidak disibukkan dengan hal-hal yang bermanfaat maka tentulah dia akan disibukkan dengan hal-hal yang berbahaya baginya.

Kesepuluh, sebab terakhir adalah sebab yang merangkum sebab-sebab di atas… yaitu kekokohan pohon keimanan yang tertanam kuat di dalam hati… Maka kesabaran hamba untuk menahan diri dari perbuatan maksiat itu sangat tergantung dengan kekuatan imannya. Setiap kali imannya kokoh maka kesabarannya pun akan kuat… dan apabila imannya melemah maka sabarnya pun melemah… Dan barang siapa yang menyangka bahwa dia akan sanggup meninggalkan berbagai macam penyimpangan dan perbuatan maksiat tanpa dibekali keimanan yang kokoh maka sungguh dia telah keliru.

***

Diterjemahkan dari artikel berjudul ‘Asyru Nashaa’ih libnil Qayyim li Shabri ‘anil Ma’shiyah, www.ar.islamhouse.com

Alih Bahasa: Abu Muslih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id