visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Monday, January 31, 2011

Dukun, Tukang Ramal, dan Zodiak

Posted: 27 Jan 2011 04:00 PM PST

Diriwayatkan dari sebagian istri Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal dan meminta untuk mengabarkan sesuatu, kemudian ia membenarkan perkataannya maka tidak diterima shalatnya 40 hari”[1]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu beliau berkata, Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun kemudian membenarkan perkataannya, maka ia telah kufur dengan Al Qur’an yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallaahu alaihi wa sallam”[2]

Syaikh Muhammad Al Yamani Al Wushobiy mendefinisikan tukang ramal (‘arraaf), yaitu seseorang yang memberitahukan letak barang yang hilang atau dicuri dan selainnya yang tersembunyi keberadaannya bagi manusia. Maka sebagian manusia mendatangi tukang ramal tersebut dan ia memberitahukan tentang sihir, barang yang hilang, barang yang dicuri, maupun identitas pencuri atau penyihir, atau informasi sejenis yang tidak diketahui. Berbeda dengan dukun (kaahin, populer dengan sebutan “paranormal” dalam bahasa Indonesia -pen) yaitu seseorang yang memberitahukan kepada manusia perkara ghaib, yang belum pernah terjadi, seperti Mahdi Amin[3], kalangan dukun dan sejenisnya, begitu pula orang yang memberitahukan perkara batin dalam diri manusia (biasanya dengan memberitahukan sifat-sifat rahasia, karakter, atau watak orang tersebut yang hanya diketahui dirinya pribadi –pen).[4]

Sedangkan zodiak ialah diagram yang digunakan oleh ahli astrologi untuk menggambarkan posisi planet dan bintang. Diagram tersebut dibagi menjadi 12 bagian, masing-masingnya memiliki nama dan simbol. Zodiak digunakan untuk memperkirakan pengaruh kedudukan planet terhadap nasib atau kehidupan seseorang.”[5]

Inilah beberapa pembahasan yang diambil dari berbagai penjelasan para ulama, yang insya Allah akan kami ketengahkan ke hadapan pembaca. Semoga Allah mudahkan.

Hukum Mendatangi Tukang Ramal

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala berkata, “Zhahir hadits (yang kami sebutkan di atas –pen) ialah barangsiapa yang bertanya kepada tukang ramal, maka shalatnya tidak akan diterima 40 hari, akan tetapi hukum ini tidaklah berlaku mutlak. Adapun hukum bertanya kepada tukang ramal dan sejenisnya terbagi menjadi beberapa jenis:

Jenis Pertama: hanya sekedar bertanya saja, maka ini adalah haram berdasarkan sabda Nabi shallallaahu alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal,… dst. (yang telah disebutkan di atas –pen). Maka ditetapkannya hukuman bagi orang yang bertanya kepada tukang ramal menunjukkan keharamannya, karena tidaklah hukuman atas suatu perbuatan itu disebutkan kecuali menunjukkan atas keharamannya.

Jenis Kedua: bertanya kepada tukang ramal kemudian membenarkan dan mempercayai perkataannya, maka hal ini adalah bentuk kekufuran, karena membenarkan perkara ghaib berarti mendustakan Al Qur’an di mana Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml : 65).

Jenis Ketiga: bertanya kepada tukang ramal dengan maksud untuk mengujinya, apakah ia jujur atau pendusta, bukan dengan maksud untuk mengambil perkataannya. Maka hal ini tidaklah mengapa, dan tidak termasuk dalam hadits di atas. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam pernah bertanya kepada Ibnu Shayyad[6], “Apa yang aku sembunyikan darimu?” Ibnu Shayyad menjawab, “Asap”, maka Nabi menjawab, “Tetaplah di tempatmu. Engkau tidak akan melampaui apa yang telah Allah takdirkan padamu.”[7]

Jenis Keempat: bertanya dengan maksud untuk menampakkan kelemahan dan kedustaan tukang ramal tersebut, kemudian mengujinya dalam rangka menjelaskan kedustaan dan kelemahannya. Maka hal ini dianjurkan, bahkan hukumnya terkadang menjadi wajib. Karena menjelaskan batilnya perkataan dukun tidak diragukan lagi merupakan suatu hal yang dianjurkan, bahkan bisa menjadi wajib.

Maka larangan bertanya kepada tukang ramal tidaklah berlaku mutlak, akan tetapi dirinci sesuai dalil-dalil syar’i yang telah disebutkan.”[8]

Bagaimana Cara Tukang Ramal Mengetahui Hal-Hal Ghaib?

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh hafizhahullahu ta’ala menjelaskan, “Dukun tidaklah mengetahui perkara ghaib kecuali menggunakan jin, yaitu dengan cara beribadah kepada jin tersebut dengan ibadah yang mengandung kesyirikan. Kemudian jin menggunakan kesempatan untuk memalingkan manusia dari ibadah kepada Allah, dan hal tersebut dilakukan agar jin mau mengabarkan hal-hal ghaib.

Adapun jin dapat mengetahui perkara ghaib, yang terkadang benar, dengan cara mencuri rahasia langit. Yaitu jin saling menumpuk satu sama lain hingga mendengar wahyu Allah Jalla wa ‘Ala, dari langit. Maka dilemparilah jin dengan panah api sebelum jin tersebut memperoleh rahasia langit dengan sembunyi-sembunyi, akan tetapi terkadang panah api tersebut dilemparkan setelah jin memperoleh rahasia langit. Maka jin kemudian membawa rahasia tersebut kepada dukun, akan tetapi diubah dengan kedustaan, atau ditambah dengan 100 kedustaan. Dukun kemudian mengagungkan jin karenanya, dan pengagungan tersebut ialah bentuk ibadah manusia atas jin.

Adapun sebelum diutusnya Nabi ‘alaihish shalatu wa sallam banyak rahasia langit yang beredar, akan tetapi pasca pengutusan Nabi alahish shalatu wa sallam langit dijaga dengan lebih ketat, karena Al Qur’an dan wahyu telah turun, maka rahasia langit dijaga agar tidak ada yang menyerupai wahyu dan nubuwwah. Hingga wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam rahasia langit kembali beredar akan tetapi hanya sedikit dibandingkan sebelum diutusnya Nabi. Maka dapat disimpulkan bahwa kondisi rahasia langit terbagi menjadi tiga :

1. Sebelum pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit banyak beredar

2. Setelah pengutusan Nabi alaihish shalatu wa sallam: jin tidak mendapat rahasia langit kecuali sangat jarang terjadi, itu pun bukan merupakan wahyu dari Allah Jalla wa ‘Alla

3. Setelah wafatnya Nabi alaihish shalatu wa sallam: rahasia langit kembali beredar, akan tetapi tidak sebanyak sebelumnya, karena langit dijaga ketat dengan panah api. Allah Jalla wa ‘Ala menjelaskan hal tersebut dalam banyak ayat Al Qur’an, mengenai bintang-bintang dan panah api yang dilemparkan kepada jin, sebagaimana firman Allah (yang artinya), “Kecuali syaithan yang mencuri-curi (berita) yang dapat didengar (dari malaikat) lalu dia dikejar oleh semburan api yang terang.” (QS. Al Hijr : 18)[9]

Hanya Allah yang Mengetahui Perkara Ghaib

Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni rahimahullah membagi perkara ghaib menjadi dua jenis, yaitu:

Pertama, ghaib muthlaq, yang tidak diketahui oleh seluruh makhluq. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu” (QS. Al Jin : 26)

Kedua, ghaib muqayyad yang tidak diketahui kecuali oleh sebagian makhluk dari kalangan malaikat, jin, manusia dan yang menyaksikannya. Maka hal ini menjadi ghaib bagi sebagian makhluk, namun tidak ghaib bagi yang menyaksikannya. [10]

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy rahimahullahu ta’ala menjelaskan, “Sesungguhnya hanya Allah Ta’ala saja yang mengetahui perkara ghaib, maka barangsiapa yang mengaku mengetahui perkara ghaib maka ia telah menjadi sekutu bagi Allah, baik berupa perdukunan, ramalan, dan sejenisnya. Atau barangsiapa yang membenarkan perkataan tersebut maka ia telah menjadikan sekutu bagi Allah dalam kekhususan-Nya, dan ia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya.[11]

Hukum Mempercayai Zodiak

Zodiak atau sering diistilahkan dengan astrologi (ilmu ta’tsir), merupakan bagian dari ilmu nujum. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu ta’ala kembali menjelaskan berkaitan dengan ilmu ta’tsir ini, “Ilmu ta’tsir (astrologi) terbagi menjadi tiga, yaitu:

Pertama, keyakinan bahwa bintang-bintang memiliki pengaruh atas seseorang, dalam arti bahwa bintang-bintang tersebut mampu menciptakan kejadian dan musibah. Maka hal tersebut merupakan kesyirikan akbar, karena barangsiapa yang menyerukan bahwa selain Allah ada pencipta lain, maka ia melakukan syirik akbar. Hal tersebut juga menjadikan pencipta (yaitu Allah Ta’ala) tunduk pada salah satu makhluq-Nya (yaitu bintang-bintang).

Kedua, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab bagi sesuatu yang belum terjadi, dan hal tersebut ditunjukkan melalui pergerakannya, peralihannya, atau pergantian tertentu dari bintang. Misalnya perkataan ‘Karena bintang ini bergerak seperti ini, maka itu artinya orang ini hidupnya akan sial’, atau ‘Karena orang ini lahir saat bintang berada dalam posisi ini, maka ia akan menjadi orang yang bahagia’. Maka hal semacam ini termasuk menjadikan ilmu perbintangan sebagai sarana untuk meramal perkara ghaib, dan perbuatan ini termasuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari agama. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah: ‘Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’” (QS. An Naml : 65)

Ketiga, keyakinan bahwa bintang-bintang menjadi sebab terjadinya kebaikan atau keburukan. Yaitu dengan menyandarkan segala sesuatu yang terjadi sebagai akibat pergerakan bintang, dan hal tersebut dilakukan hanya jika sesuatu tersebut telah terjadi. Maka perbuatan semacam ini tergolong syirik ashghar.[12]

Semoga Allah memberi taufik.

Penulis: Yhouga Ariesta

Artikel www.muslim.or.id

________________________________________

[1] HR. Muslim [2230] tanpa lafadz “..kemudian ia membenarkan perkataannya..” Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullahu ta’ala menjelaskan makna “tidak diterima shalatnya” dengan “tidak diberi pahala shalatnya”. Sehingga shalat tetap wajib bagi orang tersebut. Wallahu a’lam. (lihat Al Mulakhash fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 213 cet. Darul Ashimah)

[2] HR. Al Hakam [I/8] dishahihkan dan disepakati oleh Adz Dzahabi dan Al Albani dalam Al Irwa’ [2006]

[3] Nama seorang dukun dari Iran

[4] Al Qoulul Mufid fi Adillati At Tauhid hal. 142, cet. Dar Ibn Hazm

[5] Zodiac, Google Dictionary, http://google.com/dictionary

[6] Ibnu Shayyad, namanya Shaafi, sebagian pendapat mengatakan namanya Abdullah bin Shayyad, atau Shaa’id. Ia adalah seorang Yahudi penduduk Madinah, sebagian pendapat mengatakan ia bahkan seorang Anshar. Ia masih kecil saat kedatangan Nabi shallallaahu alaihi wa sallam ke Madinah, sebagian pendapat mengatakan ia kemudian masuk Islam. Dikatakan bahwa Ibnu Shayyad ialah Dajjal, ia terkadang mampu meramal, sebagian orang kemudian membenarkannya dan sebagian yang lain mendustakannya. Maka beritanya segera tersebar, dan orang-orang menyangka ia adalah Dajjal. Nabi shallallaahu alaihi wa sallam kemudian menemui Ibnu Shayyad untuk mengklarifikasi kebenaran hal tersebut (lihat HR. Bukhari 1355) Ibnu Shayyad tetap hidup setelah Nabi shallallaahu alaihi wa sallam wafat, namun keberadaannya tidak diketahui setelah itu. Para ulama, semisal Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/328, menjalaskan bahwa Ibnu Shayyad ialah salah satu diantara Dajjal, akan tetapi bukanlah Dajjal akbar. Wallahu a’lam. (Man Huwa Ibnu Shayyad?, Syaikh Muhammad Shalih Munajjid, www.islam-qa.com)

[7] HR. Bukhari [1355] dan Muslim [2931]

[8] Al Qoulul Mufid Syarh Kitab At Tauhid, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin, I/332, cet. Darul Aqidah

[9] At Tamhid fi Syarh Kitab At Tauhid hal. 318-319. Syaikh Shalih bin Abdul ‘Azis Alu Syaikh, cet. Darut Tauhid

[10] Majmu’ Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harroni, 16/110

[11] Al Qoulus Sadiid fi Maqashid At Tauhid hal. 80, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’diy, cet. Darul Aqidah

Cara Mudah Mengajarkan Anak Untuk Disiplin


Penting bagi orangtua untuk menetukan dan mengajarkan anak-anak hal apa saja yang bisa diterima serta hal apa saja yang tidak dapat diterima, menetapkan batasan-batasan tapi tetap membuat anak merasa nyaman. Sayangnya banyak dari orangtua yang tidak konsisten dengan keputusannya, terkadang orangtua membiarkan anaknya melakukan kesalahan tapi di lain waktu menjadi ekstra keras saat anak melakukan kesalahan yang sama.

Mengajarkan disiplin pada anak memang pekerjaan yang sulit, tapi jika hal ini berhasil dilakukan maka kepuasan besar akan dirasakan oleh orangtua. Seperti dikutip dari Health24, ada beberapa hal yang bisa dilakukan orangtua untuk menerapkan kedisiplinan itu, antara lain:

1. Pilihlah strategi yang tepat. Buatlah strategi yang tepat dengan menerapkan batasan yang jelas serta konsekuensi yang harus diterima anak jika melanggar batasan tersebut.

2. Gunakan kontak mata. Jika anak melakukan suatu kesalahan atau tidak mau menurut, tidak perlu berteriak atau marah-marah. Tapi cukup menatap mata anak dan dengan sendirinya anak pasti sudah mengerti.

3. Berhenti mengomel. Cukup berikan instruksi yang jelas pada anak, jika anak tidak mau menuruti berikan konsekuensi yang sudah disepakati bersama.

4. Beri tanda penghargaan. Buatlah peraturan apabila anak bisa berlaku disiplin akan mendapatkan penghargaan seperti bintang. Setiap akhir minggu jumlahkan berapa bintang yang telah didapatkan anak dan beri penghargaan yang lebih tinggi lagi.

5. Istirahatkan diri. Jika orangtua tidak bisa menahan diri, menjauhlah dari anak dan biarkan menenangkan diri terlebih dahulu agar tidak meluapkan kemarahannya pada anak dengan mengomel atau berteriak.

6. Diskusikan segala sesuatu dengan anak. Jika anak sudah cukup mengerti untuk diajak berbicara, maka ajaklah anak untuk terlibat dalam menetapkan segala macam peraturan yang akan dibuat.

Apapun strategi yang akan digunakan dalam menerapkan disiplin pada anak, hal yang paling penting adalah orangtua harus tetap konsisten. Jika tidak konsisten anak akan menjadi bingung apa yang sebenarnya diinginkan oleh orangtuanya.



(sydh/dtc) VOA



Riya’ Penghapus Amal

Posted: 29 Jan 2011 04:00 PM PST

Syarat paling utama suatu amalan diterima di sisi Allah adalah ikhlas. Tanpanya, amalan seseorang akan sia-sia belaka. Syaitan tidak henti-hentinya memalingkan manusia, menjauhkan mereka dari keikhlasan. Salah satunya adala melalui pintu riya’ yang banyak tidak disadari setiap hamba.

Yang dimaksud riya’ adalah melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya. Termasuk ke dalam riya’ yaitu sum’ah, yakni melakukan suatu amalan agar orang lain mendengar apa yang kita lakukan, sehinga pujian dan ketenaran pun datang . Riya’ dan semua derivatnya merupakan perbuatan dosa dan merupakan sifat orang-orang munafik.

Hukum Riya’

Riya’ ada dua jenis. Jenis yang pertama hukumnya syirik akbar. Hal ini terjadi jika sesorang melakukan seluruh amalnya agar dilihat manusia, dan tidak sedikit pun mengharap wajah Allah. Dia bermaksud bisa bebas hidup bersama kaum muslimin, menjaga darah dan hartanya. Inilah riya’ yang dimiliki oleh orang-orang munafik. Allah berfirman tentang keadaan mereka (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka . Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (QS. An Nisaa’:142).

Adapun yang kedua adalah riya’ yang terkadang menimpa orang yang beriman. Sikap riya’ ini terkadang muncul dalam sebagian amal. Seseorang beramal karena Allah dan juga diniatkan untuk selain Allah. Riya’ jenis seperti ini merupakan perbuatan syirik asghar.[1]

Jadi, hukum asal riya’ adalah syirik asghar (syirik kecil). Namun, riya’ bisa berubah hukumnya menjadi syirik akbar (syirik besar) dalam tiga keadaan berikut :

1. Jika seseorang riya’ kepada manusia dalam pokok keimanan. Misalnya seseorang yang menampakkan dirinya di hadapan manusia bahwa dia seorang mukmin demi menjaga harta dan darahnya.

2. Jika riya’ dan sum’ah mendominasi dalam seluruh jenis amalan seseorang.

3. Jika seseorang dalam amalannya lebih dominan menginginkan tujuan dunia, dan tidak mengharapkan wajah Allah.[2]

Ibadah yang Tercampur Riya’

Bagaimanakah status suatu amalan ibadah yang tercampu riya’? Hukum masalah ini dapat dirinci pada beberapa keadaan. Jika seseorang beribadah dengan maksud pamer di hadapan manusia, maka ibadah tersebut batal dan tidak sah. Adapun jika riya’ atau sum’ah muncul di tengah-tengah ibadah maka ada dua keadaan. Jika amalan ibadah tersebut berhubungan antara awal dan akhirnya, misalnya ibadah sholat, maka riya’ akan membatalkan ibadah tersebut jika tidak berusaha dihilangkan dan tetap ada dalam ibadah tersebut. Jenis yang kedua adalah amalan yang tidak berhubungan antara bagian awal dan akhir, shodaqoh misalnya. Apabila seseorang bershodaqoh seratus ribu, lima puluh ribu dari yang dia shodaqohkan tercampuri riya’, maka shodaqoh yang tercampuri riya’ tersebut batal, sedangkan yang lain tidak.[3]

Jika Demikian Keadaan Para Sahabat, Bagaimana dengan Kita?

Penyakit riya’ dapat menjangkiti siapa saja, bahkan orang alim sekali pun. Termasuk juga para sahabat Nabi radhiyallahu ‘anhum. Para sahabat adalah generasi terbaik umat ini. Keteguhan iman mereka sudah teruji, pengorbanan mereka terhadap Islam sudah tidak perlu diragukan lagi. Namun demikian, Nabi shalallahu ‘alaihi wa salaam masih mengkhawatirkan riya’menimpa mereka. Beliau bersabda, Sesuatu yang aku khawatirkan menimpa kalian adalah perbuatan syirik asghar. Ketika beliau ditanya tentang maksudnya, beliau menjawab: ‘(contohnya) adalah riya’ ”[4]

Dalam hadist di atas terdapat pelajaran tentang takut kapada syirik. Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam khawatir kesyirikan menimpa sahabat muhajirin dan anshor, sementara mereka adalah sebaik-baik umat. Maka bagaimana terhadap umat selain mereka? Jika yang beliau khawatirkan menimpa mereka adalah syirik asghar yang tidak mengeluarkan dari Islam, bagaimana lagi dengan syirik akbar? Wal ‘iyadzu billah !! [5]

Lebih Bahaya dari Fitnah Dajjal

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “ Maukah kamu kuberitahu tentang sesuatau yang menurutku lebih aku khawatirkan terhadap kalian daripada (fitnah) Al masih Ad Dajjal? Para sahabat berkata, “Tentu saja”. Beliau bersabda, “Syirik khafi (yang tersembunyi), yaitu ketika sesorang berdiri mengerjakan shalat, dia perbagus shalatnya karena mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya “[6]

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa riya’ termasuk syirik khafi yang samar dan tersembunyi. Hal ini karena riya’ terkait dengan niat dan termasuk amalan hati, yang hanya diketahui oleh Allah Ta’ala. Tidak ada seseorang pun yang mengetahui niat dan maksud seseorang kecuali Allah semata. Hadist di atas menunjukkan tentang bahaya riya’, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam khawatir riya’ menimpa para sahabat yang merupakan umat terbaik, apalagi terhadap selain mereka. Kekhawatiran beliau lebih besar daripada kekhawatiran terhadap ancaman fitnah Dajjal karena hanya sedikit yang dapat selamat dari bahaya riya’ ini. Fitnah Dajjal yang begitu berbahaya, hanya menimpa pada orang yag hidup pada zaman tertentu, sedangkan bahaya riya’ menimpa seluruh manusia di setiap zaman dan setiap saat.[7]

Berlindung dari Bahaya Riya’

Berhubung masalah ini sangat berbahaya seperti yang telah dijelaskan di atas, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajarkan kepada kita sebuah doa untuk melindungi diri kita dari syirik besar maupun syirik kecil. Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kita melalui sabdanya, ‘Wahai sekalian manusia, jauhilah dosa syirik, karena syirik itu lebih samar daripada rayapan seekor semut.’ Lalu ada orang yang bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana kami dapat menjauhi dosa syirik, sementara ia lebih samar daripada rayapan seekor semut?’ Rasulullah berkata, ‘Ucapkanlah Allahumma inni a’udzubika an usyrika bika wa ana a’lam wa astaghfiruka lima laa a’lam (‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang aku sadari. Dan aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosa yang tidak aku ketahui).”[8]

Tidak Tergolong Riya’

Al Imam an Nawawi rahimahullah membuat suatu bab dalam kitab Riyadus Shalihin dengan judul, “Perkara yang dianggap manusia sebagai riya’ namun bukan termasuk riya’ “. Beliau membawakan hadist dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, “Apa pendapatmu tentang seseorang yang beramal kebaikan kemudian dia mendapat pujian dari manusia?: Beliau menjawab, “Itu adalah kebaikan yang disegerakan bagi seorang mukmin “ (H.R. Muslim 2642).

Di antara amalan-amalan yang tidak termasuk riya’ adalah :

1. Rajin beribadah ketika bersama orang shalih. Hal ini terkadang menimpa ketika seseorang berkumpul dengan orang-orang shaleh sehingga lebih semangat dalam beribadah. Hal ini tidak termasuk riya’. Ibnu Qudamah mengatakan, “Terkadang seseorang menginap di rumah orang yang suka bertahajud (shalat malam), lalu ia pun ikut melaksanakan tahajud lebih lama. Padahal biasanya ia hanya melakukan shalat malam sebentar saja. Pada saat itu, ia menyesuaikan dirinya dengan mereka. Ia pun ikut berpuasa ketika mereka berpuasa. Jika bukan karena bersama orang yang ahli ibadah tadi, tentu ia tidak rajin beribadah seperti ini”

2. Menyembunyikan dosa. Kewajiban bagi setiap muslim apabila berbuat dosa adalah menyembunyikan dan tidak menampakkan dosa tersebut. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap umatku akan diampuni kecuali orang yang menampakkan perbuatan dosanya. Di antara bentuk menampakkan dosa adalah seseorang di malam hari melakukan maksiat, namun di pagi harinya –padahal telah Allah tutupi-, ia sendiri yang bercerita, “Wahai fulan, aku semalam telah melakukan maksiat ini dan itu.” Padahal semalam Allah telah tutupi maksiat yang ia lakukan, namun di pagi harinya ia sendiri yang membuka ‘aib-‘aibnya yang telah Allah tutup.”[9]

3. Memakai pakaian yang bagus. Hal ini tidak termasuk riya’ karena termasuk keindahan yang disukai oleh Allah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak akan masuk surga seseorang yang dalam hatinya terdapat sifat sombong walau sebesar dzarrah (semut kecil).” Lantas ada seseorang yang berkata,“Sesungguhnya ada orang yang suka berpenampilan indah (bagus) ketika berpakaian atau ketika menggunakan alas kaki.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan. Yang dimaksud sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia” [10]

4. Menampakkan syiar Islam. Sebagian syariat Islam tidak mungkin dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seperti haji, umroh, shalat jama’ah dan shalat jum’at. Seorang hamba tidak berarti riya’ ketika menampakkan ibadah tersebut, karena di antara keawajiban yang ada harus ditampakkan dan diketahui manusia yang lain. Karena hal tersebut merupakan bentuk penampakan syiar-syiar islam.[11]

Ikhlas Memang Berat

Pembaca yang budiman, ikhlas adalah satu amalan yang sangat berat. Fitnah dunia membuat hati ini susah untuk ikhlas. Cobalah kita renungkan setiap amalan kita, sudahkah terbebas dari maksud duniawi? sudahkah semuanya murni ikhlas karena Allah Ta’ala? Jangan sampai ibadah yang kita lakukan siang dan malam menjadi sia-sia tanpa pahala. Sungguh, ikhlas memang berat. Urusan niat dalam hati bukanlah hal yang mudah. Tidaklah salah jika Sufyan ats Tsauri rahimahullah mengatakan, “ Tidaklah aku berusaha untuk membenahi sesuatu yang lebih berat daripada meluruskan niatku, karena niat itu senantiasa berbolak balik”[12]. Hanya kepada Allah kita memohon taufik. Wallahu a’lam.

Penulis: Adika Mianoki

Artikel www.muslim.or.id

Catatan kaki :

[1]. I’aanatul Mustafiid bi Syarhi Kitaabi at Tauhiid II/84. Syaikh Shalih Fauzan. Penerbit Markaz Fajr

[2]. Al Mufiid fii Muhimmaati at Tauhid 183. Dr. ‘Abdul Qodir as Shufi. Penerbit Daar Adwaus Salaf. Cetakan pertama 1428/2007

[3]. Lihat Al Mufiid 183

[4]. Diriwayatkan oleh Ahmad di dalam al Musnad (V/428, 429) dan ath Thabrani dalam al Kabiir (4301) dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam as Shahiihah (951) dan Shahiihul Jami’ (1551)

[5]. I’aanatul Mustafiid I/90

[6], H.R Ahmad dalam musnadnya. Dihasankan oleh Syaikh Albani Shahiihul Jami’ (2604)

[7]. I’aanatul Mustafiid II/90

[8]. HR. Ahmad (4/403). Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dalam Shahiihul Jami’ (3731) dan Shahih at Targhiib wa at Tarhiib (36).

[9]. HR. Bukhari (6069) dan Muslim (2990)

[10]. HR.Muslim (91)

[11]. Lihat pembahsan ini dalam Bahjatun Nadzirin Syarh Riyadhis Shalihin, III/140-142, Syaikh Salim al Hilali, Daar Ibnul Jauzi

[12]. Dinukil dari Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam 34, Imam Ibnu Rajab al Hambali, Penerbit Daar Ibnul Jauzi.

PUASA SUNNAH dlm SETAHUN

Sungguh, puasa adalah amalan yang sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut, “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (HR. Muslim no. 1151).

Adapun puasa sunnah adalah amalan yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as saabiqun al muqorrobun).[1] Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah. Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi, “Hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).

Pada kesempatan kali ini, Buletin At Tauhid mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.

Puasa Senin Kamis

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Berbagai amalan dihadapkan (pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR. An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)

Puasa Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah

Dianjurkan berpuasa tiga hari setiap bulannya, pada hari apa saja. Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah, “Apakah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.” Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?” ‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)

Namun, hari yang utama untuk berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal dengan ayyamul biid.[2] Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan). Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, “Jika engkau ingin berpuasa tiga hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)

Puasa Daud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling disukai oleh Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.” (HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)

Cara melakukan puasa Daud adalah sehari berpuasa dan sehari tidak. Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya. Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. … Wallahul Muwaffiq.”[3]

Puasa di Bulan Sya’ban

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156). Yang dimaksud di sini adalah berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[4]) sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[5] Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[6]

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)

Puasa di Awal Dzulhijah

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah).” Para sahabat bertanya: “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun.” (HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[7] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.

Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[8], …” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).

Puasa ‘Arofah

Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata, “Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa ‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162). Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah. Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).

Puasa ‘Asyura

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Puasa yang paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram. Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[9]

Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 10 Muharram. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.

Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada yang berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal dunia.” (HR. Muslim no. 1134).

Ketentuan dalam Melakukan Puasa Sunnah

Pertama: Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Pada suatu hari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, “Apakah kamu mempunyai makanan?” Kami menjawab, “Tidak ada.” Beliau berkata, “Kalau begitu, saya akan berpuasa.” Kemudian beliau datang lagi pada hari yang lain dan kami berkata, “Wahai Rasulullah, kita telah diberi hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju).” Maka beliau pun berkata, “Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku berpuasa.” (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”

Kedua: Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits ‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk tetap menyempurnakan puasa tersebut.[10]

Ketiga: Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah seorang wanita berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari no. 5192 dan Muslim no. 1026)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan, “Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[11] Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar, maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”[12]

Semoga Allah beri taufik untuk beramal sholih.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel www.muslim.or.id

________________________________________

[1] Lihat Al furqon baina awliyair rohman wa awliyaisy syaithon, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 51, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1424 H.

[2] Hari ini disebut dengan ayyamul biid (biid = putih, ayyamul = hari) karena pada malam ke-13, 14, dan 15 malam itu bersinar putih dikarenakan bulan purnama yang muncul pada saat itu.

[3] Syarh Riyadhus Sholihin, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 3/470, Darul Kutub Al ‘Ilmiyah, cetakan ketiga, 1424 H

[4] Karena kadang kata seluruh (kullu) dalam bahasa Arab bermakna mayoritas.

[5] Lihat Nailul Author, Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani, 4/621, Idarotuth Thob’ah Al Muniroh.

[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, 8/37, Dar Ihya’ At Turots, cetakan kedua, 1392.

[7] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.

[8] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.

[9] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/55.

[10] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/35.

[11] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/115.

[12] Idem.



Friday, January 28, 2011

Taubatnya Sya'labah bin Abdul Rahman

Jumat, 28/01/2011 09:24 WIB

Tsalabah bin Abdul Rahman ra adalah salah seorang sahabat yang mulia. Beliau berasal
dari kalangan Anshar, dan selalu setia melayani Rasulullah Saw sejak beliau ra masuk
Islam.

Suatu ketika dalam sebuah perjalanan untuk menunaikan sebuah urusan, secara tidak
sengaja Tsalabah ra melihat seorang wanita Anshar yang sedang mandi. Rasa takutnya
akan Allah Swt muncul seketika, ia takut jika Allah Swt akan menurunkan wahyu atas
apa yang telah terjadi. Maka ia lari hingga mencapai pegunungan, tinggal disana dan
senantiasa bertaubat dan menangis kepada Allah Swt selama 40 hari.

Malaikat Jibril as menyampaikan perihal ini kpd Rasul Saw, shg Rasulullah Saw
meminta kepada beberapa sahabat Anshar untuk menjemputnya. Ketika sampai Madinah,
Rasulullah Saw sedang memimpin shalat berjamaah. Maka shalatlah mereka, namun
Tsalabah ra masih dengan rasa berdosanya, memilih shaf paling belakang. Ketika ia
mendengar ayat Qur'an yg sdg dibaca Rasul Saw, ia seketika pingsan. Selesai shalat,
Rasulullah Saw membangunkannya dan menanyakan perihal dirinya.

"Apa yg menyebabkan kau pergi dariku?," tanya Rasul.
"Dosaku, ya Rasulullah," jawabnya.
"Bukankah aku pernah menunjukkan ayat yg dpt menghapus dosa dan kesalahan (QS.
2:201)?," tanya Rasul.
"Betul, akan tetapi dosaku teramat besar, ya Rasulullah," jawabnya.
"Akan tetapi, Kalam Allah itu lebih besar lagi," jawab Rasulullah Saw.

Setelah itu, Rasulullah Saw memerintahkan agar Tsalabah dibawa kerumahnya. Namun
setelah sampai dirumah, Tsalabah ra jatuh sakit, hingga akhirnya Rasulullah Saw yang
mendengar kabar sakitnya Tsalabah ra menjenguknya. Tsalabah ra masih malu karena
rasa bersalahnya selalu menggeser kepalanya dari pangkuan Rasulullah Saw.

"Mengapa kamu geser kepalamu dari pangkuanku?," tanya Rasulullah Saw.
"Karena kepala ini penuh dosa," jawab Tsalabah ra.
"Apa yg kamu keluhkan?," tanya Nabi Saw kepadanya.
"Seperti ada gerumutan semut-semut di antara tulangku, dagingku, dan kulitku," jawab
Tsalabah ra.

"Apa yang kamu inginkan?," tanya Nabi Saw.
"Ampunan Rabbku," jawabnya.
Kemudian turunlah Jibril as kpd Nabi Saw dengan membawa wahyu dr Allah Swt,
"Andaikata hamba-Ku ini meghadap-Ku dengan kesalahannya sepenuh bumi, Aku akan
menyambutnya dengan ampunan-Ku sepenuh bumi pula."

Nabi Saw menyampaikan wahyu tersebut kepada Tsalabah ra, dan seketika ia terpekik
dan meninggal. Maka Rasulullah Saw memerintahkan agar ia segera dimandikan dan
dikafani. Ketika selesai menyalatinya, beliau Saw berjalan sambil berjingkat.
Salah seorang sahabat menanyakan mengapa Rasulullah Saw berjalan sambil berjingkat
seperti itu. "Demi Dzat yang telah mengutusku dengan benar sebagai Nabi, sungguh aku
tidak mampu meletakkan kakiku di atas bumi, karena malaikat yang turut melayat
Tsalabah sangatlah banyak," jawab Rasulullah Saw.

Kisah Tsalabah ra, seorang sahabat yang mulia, memberikan kita beberapa hikmah. Ada
keagungan dalam sikap Tsalabah ra dalam menyikapi rasa bersalahnya. Kesalahan
Tsalabah ra mungkin merupakan sebuah kesalahan yang sepele untuk kita, namun tidak
untuk seorang Tsalabah ra.

Yang dianggap sebagai dosa besar bagi Tsalabah adalah SECARA TIDAK SENGAJA melihat
seorang wanita yang sedang mandi. Ketidaksengajaan inilah yang memicu penyesalan dan taubat dari Tsalabah ra. Sedemikian mulia akhlakmu, hai Tsalabah!
Dan coba kita renungkan perjalanan taubatnya Tsalabah ra. Langkah pertama adalah
ketakutan akan kuasa Allh Swt. Rasa takut akan kuasa Allah Swt mencerminkan betapa
Tsalabah ra adalah manusia yang ihsan, dimana ia tahu dan yakin walaupun tidak ada
seorang pun yang bersamanya saat itu, namun Allah Swt ada dan mengetahui apa yang
dilakukannya. Takutnya Tsalabah ra akan azab Allah Swt atasnya segera menuntunnya ke langkah selanjutnya, yaitu penyesalan.

Penyesalan yang penuh dengan sujud dan tangis selama 40 hari. Hingga Allah Swt
menunjukkan Kasih-Nya dengan mengirim Jibril as untuk mengabarkan mengenai Tsalabah ra yang berada di atas pegunungan, ditempatnya sedang bertobat. Bahkan setelah dijemput, Tsalabah ra masih dalam nuansa penyesalan dan takut yang membuatnya pingsan ketika mendengar ayat Allah yang dibacakan oleh Rasulullah Saw dalam shalatnya. Penyesalan yang kemudian menyebabkan sakitnya Tsalabah ra, hingga Allah Swt menegaskan keagungan-Nya dan ampunan-Nya kepada Tsalabah ra.

Tahap terakhir adalah ampunan Allah Swt atas Tsalabah ra. Sangat terlihat betapa
Allah Swt mencintai hamba-hamba-Nya yang bertobat dan kembali kepada-Nya. Jika
seorang hamba sudah bertobat dan datang kepada Allah membawa kesalahan seisi dunia, maka akan disambut-Nya dengan ampunan seisi dunia pula. Yaa Allah, subhanaka yaa Ghofururrahim.

Taubat adalah rezeki setiap manusia yang seringkali dilupakan. Allah Swt membuka
pintu taubat selapang-lapangnya bagi hamba-Nya yang ingin kembali kepada-Nya. Selama hamba-Nya tidak mempersekutukan Allah Swt, maka nikmat taubat itu ada untuknya.
Sungguh merugi manusia yang lalai menikmati rezeki taubat ini, taubat ini gratis
dari Allah Swt dan tanpa tedeng aling-aling. Sebuah kehinaan jika memohon ampunan
atau maaf dari sesama manusia, namun adalah sebuah kemuliaan untuk memohon ampun dari Allah Swt dengan sebaik-baiknya permohonan.

Dikisahkan oleh Jabir bin Abdullah Al-Anshari, dikutip dr mukhatashar Kitabit-Tawwabiin yang ditulis oleh Ibnu Qudamah Al-Maqdisy.



DZIKIR BERJAMA`AH BUKANLAH BID`AH !!!


Oleh Imron Rosyadi

DALIL-DALILNYA DZIKIR, TERMASUK DALIL DZIKIR SECARA JAHAR

Dalil-dalil dzikir termasuk dalil dzikir secara jahar (agak keras)

Firman Allah swt. dalam surat Al-Ahzab 41-42 agar kita banyak berdzikir sebagai berikut :

“Hai orang-orang yang beriman! Berdzikirlah kamu pada Allah sebanyak-banyak nya, dan bertasbihlah pada-Nya diwaktu pagi maupun petang!”.

Dan firman-Nya: فَاذْكُرُونِي أذْكُرْكُمْ ...........

“Berdzikirlah (Ingatlah) kamu pada-Ku, niscaya Aku akan ingat pula padamu! ” (Al--Baqarah :152)

Firman-Nya : اَلَّذِيْنَ يَذْكُرُونَ اللهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنوُبِهِم

“...Yakni orang-orang dzikir pada Allah baik diwaktu berdiri, ketika duduk dan diwaktu berbaring”. (Ali Imran :191)

Firman-Nya : وَالذَّاكِرِيْنَ اللهَ كَثِيْرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللهُ لَهُمْ

مَغْفِرَة وَأجْرًا عَظِيْمٌا.

“Dan terhadap orang-orang yang banyak dzikir pada Allah, baik laki-laki maupun wanita, Allah menyediakan keampunan dan pahala besar”. (Al-Ahzab :35)

Firman-Nya lagi : الَّذِيْنَ آمَنُوا وَ تَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكْرِ اللهِ

ألآ بِذِكْرِ الله تَطْمَئِنُّ الـقُلُوبُ.

“Yaitu orang-orang yang beriman, dan hati mereka aman tenteram dengan dzikir pada Allah. Ingatlah dengan dzikir pada Allah itu, maka hatipun akan merasa aman dan tenteram”. (Ar-Ro’d : 28)

Dalam hadits qudsi, dari Abu Hurairah, Rasul saw. bersabda : Allah swt.berfirman :

اَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْـدِي بِي, وَاَنَا مَعَهُ حِيْنَ يَذْكـرُنِي, فَإنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإنْ ذَكَرَنِي فِي مَلاَءٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلاَءٍ خَيْرٍ مِنْهُ وَإنِ اقْتَرَبَ اِلَيَّ شِبْرًا اتَقَرَّبْتُ إلَيْهِ ذِرَاعًا وَإنِ اقْتَرَبَ إلَيَّ ذِرَاعًا اتَقـَرَّبْتُ إلَيْهِ بَاعًـا وَإنْ أتَانِيْ يَمْشِيأتَيْتُهُ هَرْوَلَة. “Aku ini menurut prasangka hambaKu, dan Aku menyertainya, dimana saja ia berdzikir pada-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam hatinya, maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, jika ia mengingat-Ku didepan umum, maka Aku akan mengingatnya pula didepan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sehasta, jika ia mendekat pada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku padanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku berjalan, Aku akan datang kepadanya dengan berlari”. (HR. Bukhori Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibnu Majah dan Baihaqi).

Allamah Al-Jazari dalam kitabnya Miftaahul Hishnil Hashin berkata : ‘Hadits diatas ini terdapat dalil tentang bolehnya berdzikir dengan jahar/agak keras’. Imam Suyuthi juga berkata: ‘Dzikir dihadapan orang orang tentulah dzikir dengan jahar, maka hadits itulah yang menjadi dalil atas bolehnya’

Hadits qudsi dari Mu’az bin Anas secara marfu’: Allah swt.berfirman:

قَالَ اللهُ تَعَالَى: لاَ يَذْكُرُنِي اَحَدٌ فِى نفْسِهِ اِلاَّ ذَكّرْتُهُ فِي مَلاٍ مِنْ مَلاَئِكَتِي

وَلاَيَذْكُرُنِي فِي مَلاٍ اِلاَّ ذَكَرْتُهُ فِي المَلاِ الاَعْلَي.

“Tidaklah seseorang berdzikir pada-Ku dalam hatinya kecuali Akupun akan berdzikir untuknya dihadapan para malaikat-Ku. Dan tidak juga seseorang berdzikir pada-Ku dihadapan orang-orang kecuali Akupun akan berdzikir untuknya ditempat yang tertinggi’ “. (HR. Thabrani).

At-Targib wat-tarhib 3/202 dan Majma’uz Zawaid 10/78. Al Mundziri berkata : ‘Isnad hadits diatas ini baik (hasan). Sama seperti pengambilan dalil yang pertama bahwa berdzikir dihadapan orang-orang maksudnya adalah berdzikir secara jahar ’ !

Hadits dari Abu Hurairah sebagai berikut:

سَبَقَ المُفَرِّقُونَ, قاَلُوْا: وَمَا المُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللهَ كَثِيْرًاوَالذَّاكِرَاتِ (رواه المسلم)

“Telah majulah orang-orang istimewa! Tanya mereka ‘Siapakah orang-orang istimewa?’ Ujar Nabi saw. ‘Mereka ialah orang-orang yang berdzikir baik laki-laki maupun wanita’ ”. (HR. Muslim).

Hadits dari Abu Musa Al-Asy’ary ra sabda Rasul saw.:

‘Perumpamaan orang-orang yang dzikir pada Allah dengan yang tidak, adalah seperti orang yang hidup dengan yang mati!” (HR.Bukhori).

Dalam riwayat Muslim: “Perumpamaan perbedaan antara rumah yang dipergunakan dzikir kepada Allah didalamnya dengan rumah yang tidak ada dzikrullah didalamnya, bagaikan perbedaan antara hidup dengan mati”.

Hadits dari Abu Sa’id Khudri dan Abu Hurairah ra. bahwa mereka mendengar sendiri dari Nabi saw. bersabda :

لاَ يَقْـعُدُ قَوْمٌ يَذْكُـرُنَ اللهَ تَعَالَى إلاَّ حَفَّتْـهُمُ المَلاَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمةُ, وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمْ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ.

“Tidak satu kaumpun yang duduk dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan dikelilingi Malaikat, akan diliputi oleh rahmat, akan beroleh ketenangan, dan akan disebut-sebut oleh Allah pada siapa-siapa yang berada disisi-Nya”. (HR.Muslim, Ahmad, Turmudzi, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah dan Baihaqi).

Hadits dari Mu’awiyah :

خَرَجَ رَسُولُ الله (صَ) عَلَى حَلَقَةِ مِنْ أصْحَابِهِ فَقَالَ: مَا اَجْلََسَكُم ؟ قَالُوْا جَلَسْنَا نَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى وَنَحْمَدُهُ عَلَى مَا هَدَانَا لِلإسْلاَمِِ وَمَنَّ بِهِ عَلَيْنَا قَالَ: اللهُ مَا أجْلَسـَكُمْ إلاَّ ذَالِك ؟ قَالُوْا وَاللهُ مَا اَجْلَسَنَا اِلاَّ ذَاكَ. قَالَ : اَمَا إنِّي لَمْ أسْتَخْلِفكُم تُهْمَةُ لـَكُمْ, وَلَكِنَّهُ أتَانِي جِبْرِيْلُ فَأخْـبَرَنِي أنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ يُبـَاهِي بِكُمُ المَلآئِكَةَ.

“Nabi saw. pergi mendapatkan satu lingkaran dari sahabat-sahabatnya, tanyanya ‘Mengapa kamu duduk disini?’ Ujar mereka : ‘Maksud kami duduk disini adalah untuk dzikir pada Allah Ta’ala dan memuji-Nya atas petunjuk dan kurnia yang telah diberikan-Nya pada kami dengan menganut agama Islam’. Sabda Nabi saw. ‘Demi Allah tak salah sekali ! Kalian duduk hanyalah karena itu. Mereka berkata : Demi Allah kami duduk karena itu. Dan saya, saya tidaklah minta kalian bersumpah karena menaruh curiga pada kalian, tetapi sebetulnya Jibril telah datang dan menyampaikan bahwa Allah swt. telah membanggakan kalian terhadap Malaikat’ “. (HR.Muslim)

Diterima dari Ibnu Umar bahwa Nabi saw. bersabda :

إذَا مَرَرْتُم بِرِيَاضِ الجَنَّة فَارْتَعُوْا, قَالُوا: وَمَا رِيَاضُ الجَنَّة يَا رَسُولُ الله ؟ قَالَ: حِلَقُ الذِّكْرِ فَإنَّ لِلَّهِ تَعَالَى سَيَّرَاتٍ مِنَ المَلآئِكَةَ يَطْلُبُونَ حِلَـقَ الذِّكْرِ فَإذَا أتَوْا عَلَيْهِمْ حَفُّوبِهِمْ.

“Jika kamu lewat di taman-taman surga, hendaklah kamu ikut bercengkerama! Tanya mereka : Apakah itu taman-taman surga ya Rasulallah? Ujar Nabi saw. : Ialah lingkaran-lingkaran dzikir karena Allah swt. mempunyai rombongan pengelana dari Malaikat yang mencari-cari lingkaran dzikir. Maka jika ketemu dengannya mereka akan duduk mengelilinginya”.

Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulallah saw.bersabda :

عَنْ أبِيْ هُرَيْرَة(ر) قَالَ: رَسُولُ الل.صَ. : إنَّ اللهَ مَلآئِكَةً يَطًوفُونَ فِي الطُُّرُقِ يَلتَمِسُونَ أهْلِ الذّكْرِ, فَإذَا وَجَدُوا قـَوْمًا يَذْكُرُونَ اللهَ تَناَدَوْا : هَلُمُّـوْا إلَى حَاجَتِكُمْ, فَيَحُفّـُونَهُمْ بِأجْنِحَتِهِمْ إلَى السَّمَاءِ, فَإذَا تَفَرَّقُوْا عَرَجُوْا وَصَعِدُوْا اِلَى السَّمَاءِ فَيَسْألُهُمْ رَبُّـهُم ( وَهُوَ أعْلَمُ بِهِمْ ) مِنْ اَيْنَ جِئْتُمْ ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : جِئْنَا مِنْ عِنْدِ عَبَيْدٍ فِي الاَرْضِ يُسَبِّحُوْنَكَ وَيُكَبِّرُوْنَكَ وَيُهَلِّلُوْنَكَ. فَيَقُوْلُ : هَلْ رَأوْنِي؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : لَوْ رَأوْنِي؟ فَيَقوُلُوْنَ : لَوْ رَأوْكَ كَانُوْا اَشَدَّ لَكَ عِبَادَةً, وَ اَشَدَّ لَكَ تَمْجِيْدًا وَاَكْثَرَ لَكَ تَسْبِيْحًا, فَيَقُوْلُ : فَمَا يَسْألُنِى ؟ فَيَقوُلُوْنَ : يَسْألُوْنَكَ الجَنَّةَ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لَوْ اَنَّهُمْ رَأوْهَا كَانُوْا اَشَدَّ عَلَيْهَا حِرْصًا وَ اَشَدَّ لَهَا طَلَبًا وَاَعْظَمَ فِيهَا رَغْبَةً. فَيَقُوْلُ : فَمِمَّا يَتَعَوَّذُوْنَ ؟ فَيَقولُوْنَ : مِنَ النَّارِ, فَيَقُوْلُ : وَهَلْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُولُوْنَ : لاَ, فَيَقُوْلُ : كَيْفَ لَوْ رَأوْهَا ؟ فَيَقُلُوْنَ : لَوْ رَأوْهَا كاَنُوْا اَشَدَّ مِنْهَا فِرَارًا, فَيَقُوْلُ : اُشْهِدُكُمْ اَنِّي قَدْ غَفَرْتُ لَهُمْ, فَيَقُوْلُ مَلَكٌ مِنَ المَلاَئِكَةِ : فُلاَنٌ فَلَيْسَ مِنهُمْ, اِنَّمَا جَائَهُمْ لِحَاجَةٍ فَيَقُوْلُ : هًمْ قَوْمٌ لاَ يَشْقَى جَلِيْسُهُمْ.

“Sesungguhnya Allah memilik sekelompok Malaikat yang berkeling dijalan-jalan sambil mencari orang-orang yang berdzikir. Apabila mereka menemu- kan sekolompok orang yang berdzikir kepada Allah, maka mereka saling menyeru :'Kemarilah kepada apa yang kamu semua hajatkan'. Lalu mereka mengelilingi orang-orang yang berdzikir itu dengan sayap-sayap mereka hingga kelangit. Apabila orang-orang itu telah berpisah (bubar dari majlis dzikir) maka para malaikat tersebut berpaling dan naik kelangit. Maka bertanyalah Allah swt. kepada mereka (padahal Dialah yan lebih mengetahui perihal mereka). Allah berfirman : Darimana kalian semua ? Malaikat berkata : Kami datang dari sekelompok hambaMu dibumi. Mereka bertasbih, bertakbir dan bertahlil kepadaMu. Allah berfirman : Apakah mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Tidak pernah ! Allah berfirman : Seandainya mereka pernah melihatKu ? Malaikat berkata: Andai mereka pernah melihatMu niscaya mereka akan lebih meningkatkan ibadahnya kepadaMu, lebih bersemangat memujiMu dan lebih banyak bertasbih padaMu. Allah berfirman: Lalu apa yang mereka pinta padaKu ? Malaikat berkata: Mereka minta sorga kepadaMu. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat sorga ? Malaikat berkata : Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihatnya? Malikat berkata: Andai mereka pernah melihanya niscaya mereka akan bertambah semangat terhadapnya, lebih bergairah memintanya dan semakin besar keinginan untuk memasukinya. Allah berfirman: Dari hal apa mereka minta perlindungan ? Malaikat berkata: Dari api neraka. Allah berfirman : Apa mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Tidak pernah! Allah berfirman: Bagaimana kalau mereka pernah melihat neraka ? Malaikat berkata: Kalau mereka pernah melihatnya niscaya mereka akan sekuat tenaga menghindarkan diri darinya. Allah berfirman: Aku persaksikan kepadamu bahwasanya Aku telah mengampuni mereka. Salah satu dari malaikat berkata : Disitu ada seseorang yang tidak termasuk dalam kelompok mereka. Dia datang semata-mata karena ada satu keperluan (apakah mereka akan diampuni juga ?). Allah berfirman : Mereka (termasuk seseorang ini) adalah satu kelompok dimana orang yang duduk bersama mereka tidak akan kecewa".

Dalam riwayat Muslim ada tambahan pada kalimat terakhir : 'Aku ampunkan segala dosa mereka, dan Aku beri permintaan mereka'.

Empat hadits terakhir ini jelas menunjukkan keutamaan kumpulan majlis dzikir, Allah swt.akan melimpahkan rahmat, ketenangan dan ridho-Nya pada para hadirin termasuk disini orang yang tidak niat untuk berdzikir serta majlis seperti itulah yang sering dicari dan dihadiri oleh para malaikat. Alangkah bahagianya bila kita selalu kumpul bersama majlis-majlis dzikir yang dihadiri oleh malaikat tersebut sehingga do’a yang dibaca ditempat majlis dzikir tersebut lebih besar harapan untuk diterima oleh Allah swt. Juga hadits-hadits tersebut menunjukkan mereka berkumpul berdzikir secara jahar, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !

Al-Baihaqiy meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik ra bahwa Rasul- Allah saw. bersabda:

لاَنْ اَقْعُدَنَّ مَعَ قَوْمٍ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى مِنْ بَعْدِ صَلاَةِ الْفَجْرِ ِالَى طُلُوْعِ الشَّمْسِ اَحَبُّاِلَيَّ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيْهَا (رواه البيهاقي)

“Sungguhlah aku berdzikir menyebut (mengingat) Allah swt. bersama jamaah usai sholat Shubuh hingga matahari terbit, itu lebih kusukai daripada dunia seisinya.”

Juga dari Anas bin Malik ra riwayat Abu Daud dan Al-Baihaqiy bahwa Nabi saw. bersabda: ‘Sungguhlah aku duduk bersama jamaah berdzikir menyebut Allah swt. dari salat ‘ashar hingga matahari terbenam, itu lebih kusukai daripada memerdekakan empat orang budak.’

Riwayat Al Baihaqy dari Abu Sa’id Al Khudrij ra, Rasul saw bersabda :

يَقُوْلُ الرَّبُّ جَلَّ وَعَلاَ يَوْمَ القِيَامَةِ سَيَعْلَمُ هَؤُلاَءِ الْجَمْعَ الْيَوْمَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ فَقِيْلَ مَنْ اَهْلُ الْكَرَمِ؟ قَالَ : اَهْلُ مَجَالِسِ الذِّكْرِ فِي الْمَسَاجِدِ (رواه البيهاقي)

“Allah jalla wa ‘Ala pada hari kiamat kelak akan bersabda: ’Pada hari ini ahlul jam’i akan mengetahui siapa orang ahlul karam (orang yang mulia). Ada yg bertanya: Siapakah orang-orang yg mulia itu? Allah menjawab, Mereka adalah orang-orang peserta majlis-majlis dzikir di masjid-masjid ”.

Ancaman bagi orang yang menghadiri kumpulan tanpa disebut nama Allah

dan Shalawat atas Nabi saw.

Hadits riwayat Turmudzi (yang menyatakan Hasan) dari Abu Hurairah, sabda Nabi saw :

مَا قَعَدَ قَوْمُ مَقْعَدًا لَمْ يَذْكُرُونَ اللهَ فِيهِ وَلَمْ يُصَلُّوْا عَلَى النَّبِيِّ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ (رواه الترمذي وقال حسن)

“Tiada suatu golonganpun yang duduk menghadiri suatu majlis tapi mereka disana tidak dzikir pada Allah swt. dan tak mengucapkan shalawat atas Nabi saw., kecuali mereka akan mendapat kekecewaan di hari kiamat”.

Juga diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dengan kata-katanya yang berbunyi sebagai berikut :

وَرَوَاهُ اَحْمَدُ بِلَفْظٍ مَا جَلَسَ قَوْمُ مَجْلِسًا لَمْ يَذْكُرُوْا اللهَ فِيهِ اِلاَّ كَانَ عَلَيْهِمْ تَرَةً

‘Tiada ampunan yang menghadiri suatu majlis tanpa adanya dzikir kepada Allah Ta’ala, kecuali mereka akan mendapat tiratun artinya kesulitan... “.

Dalam buku Fathul ‘Alam tertera : Hadits tersebut diatas menjadi alasan atas wajibnya (pentingnya) berdzikir dan membaca shalawat atas Nabi saw. pada setiap majlis.

Hadits dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. bersabda:

.صَ. مَا مِنْ قَوْمٍ يَقُوْمُوْنَ مِنْ مَجْلِسٍ قَالَ رَسُوْلَ اللهِ

لاَ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالىَ فِيْهِ اِلاَّ قَامُوْا عَنْ مِثْلِ جِيْفَةِ حِمَارٍ وَكَانَ لَهُمْ حَسْرَةً (رواه ابو داود



“Tiada suatu kaum yang bangun (bubaran) dari suatu majlis dimana mereka tidak berdzikir kepada Allah dalam majlis itu, melainkan mereka bangun dari sesuatu yang serupa dengan bangkai himar/keledai, dan akan menjadi penyesalan mereka kelak dihari kiamat ”. (HR.Abu Daud)

Hadits-hadits diatas mengenai kumpulan atau lingkaran majlis dzikir itu sudah jelas menunjukkan adanya pembacaan dzikir bersama-sama dengan secara jahar, karena berdzikir sendiri-sendiri itu akan dilakukan secara lirih (pelan). Lebih jelasnya mari kita rujuk lagi hadits shohih yang membolehkan dzikir secara jahar.

Hadits dari Abi Sa’id Al-Khudri ra. dia berkata :

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولُ اِنَّهُ مَجْنُوْنٌ.

“Sabda Rasulallah saw. ‘Perbanyaklah dzikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat dan mendengar) akan berkata : Sesungguhnya dia orang gila’ " (HR..Hakim, Baihaqi dalam Syu’abul Iman , Ibnu Hibban, Ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunni)

Hadits dari Ibnu Abbas ra. dia berkata : Rasulallah saw. bersabda :

اَكْثِرُوْا ذِكْرَاللهَ حَتَّى يَقُولَ المُنَافِقُوْنَ اِنَّكُمْ تُرَاؤُوْنَ

“Banyak banyaklah kalian berdzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata : ’Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya’ (HR. Thabrani)

Imam Suyuthi dalam kitabnya Natiijatul Fikri fil jahri biz dzikri berkata : “Bentuk istidlal dengan dua hadits terakhir diatas ini adalah bahwasanya ucapan dengan ‘Dia itu gila’ dan ‘Kamu itu riya’ hanyalah dikatakan terhadap orang-orang yang berdzikir dengan jahar, bukan dengan lirih (sir).”

Hadits dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, dia berkata :

ِ اِنْطَلَقْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ(صَ) لَيْلَةً, فَمَرَّ بِرَجُلٍ فِي المَسْجِدِ يِرْفَعُ صَوْتَهُ فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ عَسَى اَنْ يَكُوْنَ هَذَا مُرَائِيًا فَقَالَ: لاَ وَلاَكِنَّهُ اَوَّاهُ. (رواه البيهاقي)

‘Aku pernah berjalan dengan Rasulallah saw. disuatu malam. Lalu beliau melewati seorang lelaki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata : Wahai Rasuallah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau berkata : “Tidak ! Akan tetapi dia itu seorang awwah (yang banyak mengadu kepada Allah)”. (HR.Baihaqi)

Lihat hadits ini Rasul saw. tidak melarang orang yang dimasjid yang sedang berdzikir secara jahar (agak keras). Malah beliau saw. mengatakan dia adalah seorang yang banyak mengadu pada Allah (beriba hati dan menyesali dosanya pada Allah swt.) Sifat menyesali kesalahan pada Allah swt itu adalah sifat yang paling baik !

Hadits dari Uqbah bahwasanya Rasulallah saw. pernah berkata kepada seorang lelaki yang biasa dipanggil Zul Bijaadain ‘Sesungguhnya dia orang yang banyak mengadu kepada Allah. Yang demikian itu karena dia sering berdzikir kepada Allah’. (HR.Baihaqi). (Julukan seperti ini jelas menunjukkan bahwa Zul- Bijaadain sering berdzikir secara jahar).

Hadits dari Amar bin Dinar, dia berkata : Aku dikabarkan oleh Abu Ma’bad bekas budak Ibnu Abbas yang paling jujur dari tuannya yakni Ibnu Abbas dimana beliau berkata :

اَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِيْنَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ المَكْتُوْبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ

‘Sesungguhnya berdzikir dengan mengeraskan suara ketika orang selesai melakukan shalat fardhu pernah terjadi dimasa Rasulallah saw.’.(HR.Bukhori dan Muslim)

Dalam riwayat yang lain diterangkan bahwa Ibnu Abbas berkata : ‘Aku mengetahui selesainya shalat Rasulallah saw. dengan adanya ucapan takbir beliau (yakni ketika berdzikir)’. (HR.Bukhori Muslim)

Ibnu Hajr dalam kitabnya Khatimatul Fatawa mengatakan: “Wirid-wirid, bacaan-bacaan secara jahar, yang dibaca oleh kaum Sufi (para penghayat ilmu tasawwuf) setelah sholat menurut kebiasaan dan suluh (amalan-amalan khusus yang ditempuh kaum Sufi) sungguh mempunyai akar/dalil yang sangat kuat”.

Sedangkan hadits-hadits Rasul saw. yang diriwayatkan oleh Muslim mengenai berdzikir secara jahar selesai sholat sebagai berikut :

Hadits nr. 357: Dari Ibnu Abbas, katanya: "Dahulu kami mengetahui selesainya sembahyang Rasulullah saw. dengan ucapan beliau "takbir".

Hadits nr. 358 : Dari Ibnu Abbas, katanya "Bahwa dzikr dengan suara lantang/agak keras setelah selesai sembahyang adalah kebiasaaan dizaman Nabi saw. Kata Ibnu Abbas. Jika telah kudengar suara berdzikir, tahulah saya bahwa orang telah bubar sembahyang".

Hadits nr. 366: Dari Abu Zubair katanya: "Adalah Abdullah bin Zubair mengucapkan pada tiap-tiap selesai sembahyang sesudah memberi salam:...." Kata Abdullah bin Zubair" Adalah Rasulullah saw. Mengucapkannya dengan suara yang lantang tiap-tiap selesai sembahyang"

Ketiga hadits terakhir ini dikutip dari kitab "Terjemahan hadits Shahih Muslim" jilid I, II dan III terbitan Pustaka Al Husna, I/39 Kebon Sirih Barat, Jakarta, 1980.

Al-Imam al-Hafidz Al-Maqdisiy dalam kitabnya ‘Al-Umdah Fi Al-Ahkaam’ hal.25 berkata:

“Abdullah bin Abbas menyebutkan bahwa berdzikir dengan meng- angkat suara dikala para jemaah selesai dari sembahyang fardhu adalah diamalkan sentiasa dizaman Rasullullah saw.. Ibnu Abbas berkata "Saya memang mengetahui keadaan selesainya Nabi saw. dari sembahyangnya (ialah dengan sebab saya mendengar) suara takbir (yang disuarakan dengan nyaring)." (HR Imam Al-Bukhari, Muslim dan Ibnu Juraij).

Hadits yang sama dikemukakan juga oleh Imam Abd Wahab Asy-Sya'rani dalam kitabnya Kasyf al-Ghummah hal.110; demikian juga Imam Al-Kasymiriy dalam kitabnya Fathul Baari hal. 315 dan As-Sayyid Muhammad Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya Nuzul Al-Abrar hal.97; Imam Al-Baghawiy dalam kitabnya Mashaabiih as-Sunnah 1/48 dan Imam as-Syaukani dalam Nail al-Autar.

Dalam shohih Bukhori dari Ibnu Abbas ra beliau berkata : ‘Kami tidak mengetahui selesainya shalat orang-orang di masa Rasulallah saw. kecuali dengan berdzikir secara jahar’.

Dan masih banyak lagi dalil mengenai keutamaan kumpulan berdzikir yang belum saya cantumkan disini tapi insya Allah dengan adanya semua hadits diatas cukup jelas bagi kita dan bisa ambil kesimpulan bahwa (kumpulan) berdzikir baik dengan lirih maupun jahar/agak keras itu tidaklah dimakruhkan atau dilarang bahkan didalamnya justru terdapat dalil yang menunjukkan ‘kebolehannya’, atau ‘kesunnahannya’.

Demikian juga dzikir dengan jahar itu dapat menggugah semangat dan melembutkan hati, menghilangkan ngantuk, sesuatu yang tidak akan didapatkan pada dzikir secara lirih (sir). Dan diantara yang membolehkan lagi dzikir jahar ini adalah ulama mutaakhhirin terkemuka Al-‘Allaamah Khairuddin ar-Ramli dalam risalahnya yang berjudul Taushiilul murid ilal murood bibayaani ahkaamil ahzaab wal-aurood mengatakan sebagai berikut : “Jahar dengan dzikir dan tilawah, begitu juga berkumpul untuk berdzikir baik itu di majlis ataupun di masjid adalah sesuatu yang dibolehkan dan disyari’atkan ber- dasarkan hadits Nabi saw : ‘Barangsiapa berdzikir kepadaKu dihadapan orang orang, maka Akupun akan berdzikir untuknya dihadapan orang-orang yang lebih baik darinya’ dan firman Allah swt. ‘Seperti dzikirmu terhadap nenek-moyangmu atau dzikir yang lebih mantap lagi’ (Al-Baqoroh: 200) bisa juga dijadikan sebagai dalilnya. “

Agama hanya memakruhkan dzikir jahar yang keterlaluan begitu juga jahar yang tidak keterlaluan bila sampai mengganggu orang yang sedang tidur atau sedang shalat atau menyebabkan dirinya riya’ serta mensyariatkan/mewajibkan dzikir jahar ini. Berapa banyak perkara yang sebenarnya mubah tapi karena diwajibkan pelaksanaanya dengan cara-cara tertentu padahal agama tidak mengajarkan demikian, maka ia akan berubah menjadi makruh sebagaimana dijelaskan oleh Al-Qori’ dalam Syarhul Miskat, Al-Hashkafi dalam Ad- Durrul Mukhtar dan beberapa ulama lainnya.

Kalau kita baca ayat-ayat al-Quran dan hadits diatas mengenai kumpulan dzikir dan pendapat ulama yang membolehkan dzikir secara jahar dengan berdalil pada hadits-hadits tersebut, bagaimana saudara kita yang tidak senang menghadiri majlis dzikir berani mencela dan mensesatkan majlis pembacaan tahlil/yasinan dan sebagainya yang mana disitu selalu dibacakan firman-firman Ilahi diantaranya; surat Yaasin, surat Al-Fatihah, sholawat pada Nabi saw. juga pembacaan Tasbih, Takbir dan lain sebagainya serta mendo’akan saudara muslimin baik yang masih hidup atau yang sudah wafat. Bacaan yang dibaca ini semuanya ini berdasarkan hadits Nabi saw. dan mendapat pahala bagi si pembaca dan pendengar serta tidak ada dalil yang melarang/ mengharamkannya ?

Memang ada hadits riwayat Baihaqi, Ibnu Majah dan Ahmad. : “Sebaik-baik dzikir adalah secara lirih (sir) dan sebaik-baik rizki adalah yang mencukupi ”. Menurut ulama’ diantaranya Imam as-Suyuthi, kata-kata Sebaik-baik dalam suatu hadits berarti Keutamaan bukan Yang lebih utama. Jadi hadits terakhir diatas ini bukan menunjukkan kepada jeleknya atau dilarangnya dzikir secara jahar, karena banyak riwayat hadits shohih yang mengarah pada bolehnya dzikir secara jahar.

Mari kita baca lagi perincian berdzikir dengan jahar yang lebih jelas menurut pendapat Imam Suyuthi dan lainnya.

Imam As Suyuthi didalam Natijatul /fikri Jahri Bidz Dzikri, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan padanya mengenai tokoh Sufi yang membentuk kelompok-kelompok dzikir dengan suara agak keras, apakah itu merupakan perbuatan makruh atau tidak ? Jawab beliau: Itu tidak ada buruknya (tidak makruh)! Ada hadits yang menganjurkan dzikir dengan suara agak keras (jahran) dan ada pula menganjurkan dengan suara pelan (sirran). Penyatuan dua macam hadits ini yang tampaknya berlawanan, semua tidak lain tergantung pada keada- an tempat dan pribadi orang yang akan melakukan itu sendiri.

Dengan merinci manfaat membaca Al-Qur’an dan berdzikir secara jahran dan sirran itu Imam Suyuthi berhasil menyerasikan dua hal ini kedalam suatu pengertian yang benar mengenai hadits-hadits terkait. Jika anda berkata bahwa Allah swt. telah berfirman:

وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيْفَةً وَدُوْنَ الجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُضُوِّ وَالآصَالِ وَلاَ تَكُنْ مِنَ الْغَافِلِيْنَ.

‘Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hati dengan merendahkan diri disertai perasaan dan tanpa mengeraskan suara’. (Al A’raf:205). Itu dapat saya (Imam Suyuthi) jawab dari tiga sisi:

1. Ayat diatas ini adalah ayat Makkiyah ( turun di Mekkah sebelum hijrah). Masa turun ayat (Al A’raf 205) ini berdekatan dengan masa turunnya ayat berikut ini :

وَلاَ تَجْهَرْ بصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِبَيْنَ ذَالِكَ سَبِيْلاً

‘Dan janganlah engkau (hai Nabi) mengeraskan suaramu diwaktu sholat, dan jangan pula engkau melirihkannya……..’ (Al Isra’:110).

Ayat itu (Al A’raf :205) turun pada saat Nabi saw. sholat dengan suara agak keras (jahran), kemudian didengar oleh kaum musyrikin Quraisy, lalu mereka memaki Al Qur’an dan yang menurunkannya (Allah swt). Karena itulah beliau saw. diperintah meninggalkan cara jahar guna mencegah terjadinya kemungkinan yang buruk (saddudz-dzari’ah). Makna ini hilang setelah Nabi saw. hijrah ke Madinah dan kaum Muslimin mempunyai kekuatan untuk mematahkan permusuhan kaum musyrikin. Demikian juga yang dikatakan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya.

2. Jama’ah ahli tafsir (Jama’atul Mufassirin), diantaranya Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dan Ibnu Jarir, menerapkan makna ayat diatas tentang dzikir pada masalah membaca Al-Quran. Nabi saw menerima perintah jahran membaca Al-Quran sebagai pemuliaan (ta’dziman) terhadap Kitabullah tersebut., khususnya diwaktu sholat tertentu. Hal itu diperkuat kaitannya dengan turunnya ayat: ‘Apabila Al-Qur’an sedang dibaca maka hendaklah kalian mendengarkan- nya...’ (Al A’raf:204). Dengan turunnya perintah ‘mendengarkan’ maka orang yang mendengar Al-Quran yang sedang dibaca, jika ia (orang yang beriman) tentu takut dalam perbuatan dosa. Selain itu ayat tersebut juga menganjurkan diam (tidak bicara) tetapi kesadaran berdzikir dihati tidak boleh berubah, dengan demikian orang tidak lengah meninggalkan dzikir (menyebut) nama Allah. Karena ayat tersebut diakhiri dengan: ‘Dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai’.

3. Orang-orang Sufi mengatakan berdzikir sirran (lirih) itu hanya khusus dapat dilakukan dengan sempurna oleh Rasulullah saw. karena manusia yang disempurnakan oleh Allah swt. Manusia-manusia selain beliau saw. sangat repot sekali melakukan dengan sempurna sering diikuti was-was, penuh ber- bagai angan-angan perasaan, karena itulah mereka disuruh berdzikir secara agak keras/jahran. Dzikir jahran semua was-was, angan-angan dan perasaan lebih mudah dihilangkan, serta akan mengusir setan-setan jahat.

Pendapat demikian ini diperkuat oleh sebuah hadits yang diketengah- kan oleh Al- Bazzar dari Mu’adz bin Jabal ra. bahwa Rasulallah saw. bersabda:

‘Barangsiapa diantara kamu sholat diwaktu malam hendaklah bacaannya diucapkan dengan jahran (agak keras). Sebab para malaikat turut sholat seperti sholat yang dilakukannya, dan mendengarkan bacaan-bacaan sholat- nya. Jin-jin beriman yang berada di antariksa dan tetangga yg serumah dengannya, merekapun sholat seperti yang dilakukannya dan mendengarkan bacaan-bacaannya. Sholat dengan bacaan keras akan mengusir Jin-jin durhaka dan setan-setan jahat’. Demikianlah pendapat Imam Suyuthi.

Pendapat Ibnu Taimiyyah yang dijuluki Syaikhul Islam oleh sebagian ulama mengenai majlis dzikir didalam kitab Majmu 'al fatawa edisi King Khalid ibn 'Abd al-Aziz. Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir, membaca al-Qur’an berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun membanggakan diri tetapi hanyalah karena hendak mendekatkan diri kepada Allah s.w.t. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab: ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semuanya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (mustahab) untuk berkumpul dan membaca al-Quran dan berdzikir serta berdo’a....’ "

Jawaban pertanyaan Ibnu Taimiyyah mengenai kelompok-kelompok dzikir dimasjid-masjid yang dilakukan kaum Sufi Syadziliyyah. Ibnu Hajr mengatakan bahwa pembentukan jamaah-jamaah seperti itu adalah sunnah, tidak ada alasan untuk menyalah-nyalahkannya. Sebab berkumpul untuk berdzikir telah diungkapkan pada hadits Qudsi Shohih: ‘Tiap hambaKu yang menyebutKu di tengah sejumlah orang, ia pasti Kusebut (amal kebaikannya) di tengah jamaah yang lebih baik’.

Dengan kumpulnya orang bersama untuk berdzikir ini sudah tentu menunjukkan dzikir tersebut dengan suara yang bisa didengar sesamanya (agak keras). Bila tidak demikian, apa keistimewaan hadits tentang kumpulan (halaqat) dzikir yang dibanggakan oleh Malaikat dan Rasul saw ?, karena berdzikir secara sirran/pelahan sudah biasa dilakukan oleh perorangan !

Imam An-Nawawi menyatukan dua hadits (jahar dan lirih) itu sebagaimana katanya: Membaca Al-Quran maupun berdzikir lebih afdhol/utama secara sirran/lirih bila orang yang membaca khawatir untuk riya’, atau mengganggu orang yang sedang sholat ditempat itu, atau orang yang sedang tidur. Diluar situasi seperti ini maka dzikir secara jahran/agak keras adalah lebih afdhol/baik. Karena dalam hal itu kadar amalannya lebih banyak daripada membaca Al-Qur’an atau dzikir secara lirih/sirran.

Selain itu juga membaca Qur’an dan dzikir secara jahran/keras ini manfaatnya berdampak pada orang-orang yang mendengar, lebih konsentrasi atau memusatkan pendengarannya sendiri, membangkitkan hati pembaca sendiri, hasrat berdzikir lebih besar, menghilangkan rasa ngantuk dan lain lain. Menurut sebagian ulama bahwa beberapa bagian Al Quran lebih baik dibaca secara jahran, sedangkan bagian lainnya dibaca secara sirran. Bila membaca secara sirran akan menjenuhkan bacalah secara jahran dan bila secara jahar melelahkan maka bacalah secara lirih.

Imam Syafi’i dalam kitabnya Al-Umm berkata sebagai berikut :

“Aku memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir pada Allah sesudah salam dari shalat dari keduanya melakukan dzikir secara lirih kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai dia yakin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi”.

Dengan demikian tidak diketemukan dikalangan ulama Syafi’iyah pernyataan-pernyataan yang melarang atau mengharamkan dzikir secara jahar apalagi sampai memutuskannya dengan bid’ah !

Mari kita rujuk riwayat hadits bahwa setan akan lari bila mendengar suara adzan atau iqamah, karena yang dibaca dalam adzan/iqamah kalimat dzikir dan sekaligus mencakup kalimat-kalimat tauhid juga, sebagaimana yang dibaca dalam kumpulan majlis-majlis dzikir (tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan sebagai- nya).

Hadits nomer 581 riwayat Muslim sabda Rasul saw.: “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan untuk sholat ia pergi menjauh sampai ke Rauha’, berkata Sulaiman; ‘Saya bertanya tentang Rauha’ itu, jawab Nabi saw. jaraknya dari Madinah 36 mil’ “.

Hadits nomer 582 riwayat Muslim dari Abu Hurairah : “Sesungguhnya apabila setan mendengar adzan sholat ia bersembunyi mencari perlindungan sehingga suara adzan itu tidak terdengarnya lagi. Tapi apabila setan itu mendengar iqamah, ia menjauh (lagi) sehingga suara iqamah tidak terdengar lagi. Namun apabila iqamah berakhir, setan kembail (lagi) melakukan waswasah, yaitu membisikkan bisikan jahat “.

Lihat hadits dari Mu’adz bin Jabal dan dua hadits diatas bahwa dengan baca Al-Qur’an waktu sholat malam secara jahar akan didengar oleh malaikat, jin-jin beriman dan lainnya, serta bisa mengusir setan-setan yang jahat dan durhaka. Walaupun hadits ini berkaitan dengan bacaan Al-Quran pada waktu sholat malam hari serta bacaan adzan dan iqomah, tapi inti/pokok bacaannya ialah sama yaitu pembacaan ayat Al-Quran dan bacaan kalimat-kalimat tauhid secara jahar.

Perbedaannya adalah satu didalam keadaan sholat membacanya yang lain diluar waktu sholat, yang mana kedua-duanya bisa didengar oleh malaikat, jin dan mengusir setan. Juga berdasarkan hadits-hadits yang telah tercantum pada halaman sebelum ini, maka tidak ada saat bagi setan untuk memperdayai manusia selama manusia itu sering berdzikir karena dzikirnya itu bisa didengar oleh setan-setan tersebut. Maka dari itu Allah swt. sering memperingatkan dalam Al-Qur’an agar kita selalu berdzikir padaNya.

Orang dianjurkan berdzikir setiap waktu dan pada setiap tempat baik dalam keadaan junub atau haid (kecuali baca ayat Al-Qur’an), sedang sibuk atau lenggang waktu, sedang berbaring atau duduk dan lain-lain. Itulah yang dimaksud ayat Allah swt. (An-Nisa:103) karena dzikir semacam ini boleh dilaksanakan terus menerus..

Lain halnya dengan sholat ada syarat dan waktu-waktu tertentu yang tidak boleh melakukan sholat, umpama: orang yang sedang haid, nifas, junub ( harus mandi dulu), sholat sunnah yang tidak ada maksudnya setelah sholat ashar/shubuh dan sebagainya. Begitu juga ibadah puasa akan batal bagi orang yang sedang haid, nifas atau junub dan hal-hal lain yang bisa membatalkan puasa.

Masih banyak lagi hadits mengenai kumpulan majlis dzikir yang diamalkan kaum muslimin setelah usai sholat shubuh atau waktu-waktu lainnya. Amalan ini berasal dari sunnah yang benar ! Mereka berdzikir dengan suara yang jahar tapi bila ditempat mereka dzikir terdapat orang yang merasa terganggu umpama orang sedang sholat, atau ada orang tidur maka mereka akan melirihkan suaranya. Sebagian orang senang berdzikir secara agak keras untuk dapat memerangi bisikan busuk (was-was), godaan hawa nafsu, lebih konsentrasi tidak mudah lengah, dan langsung menyatukan ucapan lisan dengan hatinya, lebih khusyu’ apalagi dengan irama yang enak, menghilangkan ngantuk dan lain-lain. Masjid-masjid yang dijadikan tempat dzikir oleh kaum Sufi ini diantaranya masjid Ar Ribath .

Bagi juga bagi yang memilih dzikir secara sirran (lirih, pelan) untuk memudahkan perjuangan melawan hawa nafsu, melatih diri agar tidak berbau riya’ (mengharap pujian-pujian orang) dan menahan nafsu agar tidak menjadi orang yang terkenal. Terdapat riwayat Umar bin Khattab ra. berdzikir secara jahar/agak keras sedangkan sahabat Abubakar ra dengan suara lirih (sirran). Waktu mereka berdua ditanya oleh Rasul saw. mereka menjawab dengan penjelasan seperti diatas ini. Ternyata Rasul saw membenarkan mereka berdua ini !

Dengan adanya keterangan-keterangan diatas ini kita bisa menarik kesimpulan ada ulama yang senang berdzikir secara lirih dan ada yang lebih senang secara jahar, tergantung situasi sekitarnya dan pribadi masing-masing, bila situasi mengizinkan maka secara jahar itu lebih baik/afdhol.

Aturan (paling baik/tidak wajib) dalam dzikir menurut Syaikh ‘Ali Al-Marshafy rh dalam kitabnya Manhajus Shalih mengatakan diantaranya sebagai berikut :

A. Kita selalu dalam keadaan bersih yakni mandi dan berwudu’, menghadap kiblat (kalau bisa), duduk ditempat yang suci (bukan najis).

B. Orang agar sepenuhnya konsentrasi (penuh perhatian) dengan hatinya mengenai dzikir yang dibaca itu.

C. Tempat dzikir tersebut ditaburi dengan minyak wangi.

D. Berdzikir dengan ikhlas karena Allah swt.

Dan masih banyak yang beliau anjurkan cara yang terbaik untuk berdzikir tapi empat diatas itu cukup buat kita agar tercapainya dzikir itu, sehingga kita bisa menikmatinya dan menenangkan jiwa. Yang dimaksud Syaikh ‘Ali Al Marshafy ditaburi minyak wangi pada tempat dzikir ialah agar tempat dzikir tersebut semerbak wangi baunya. Dalam hal ini dibolehkan semua jenis bahan yang bisa menimbulkan bau harum umpama minyak wangi, sebangsa kayu-kayuan (gahru dan sebagainya) atau menyan Arab yang kalau dibakar asapnya berbau wangi, karena disamping bau-bauan ini lebih mengkhusyukkan/ mengkonsentrasikan, menyegarkan pribadi orang itu atau para hadirin, juga menyenangkan malaikat-malaikat dan jin-jin yang beriman yang hadir di majlis dzikir ini. Bau harum ini malah lebih diperlukan bila berada diruangan yang banyak dihadiri oleh manusia agar berbau semerbak ruangan tersebut. Gahru, uluwwah atau menyan ini banyak dijual baik di Indonesia, Mekkah, Medinah maupun dinegara lainnya. Yang paling mahal harganya adalah Gahru kwaliteit istemewa.

Mari kita baca hadits Nabi saw mengenai wangi- wangian diantaranya:

Hadits dari Abu Hurairah ra, Rasul saw bersabda: ‘Siapa yang diberi wangi-wangian janganlah ditolak, karena ia mudah dibawa dan semerbak harumnya”. (HR.Muslim, Nasa’I dan Abu Dawud)

Ada hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dan Nasa’i: “Adakalanya Ibnu Umar ra.membakar uluwwah tanpa campuran, dan adakalanya kapur barus yang dicampur dengan uluwwah seraya berkata: ‘Beginilah Rasulullah saw. mengasapi dirinya’.”

Begitu juga zaman sekarang di masjid Madinah setiap usai sholat Isya’ terutama pada bulan suci Ramadhan di tempat Raudhah (antara Rumah dan Mimbar Rasul saw.) dan disekitar Mimbar Rasul saw. selalu diasapi kayu gahru. Bagi orang-orang yang pernah hadir di tempat ini pada waktu tertentu itu insya Allah bisa menyaksikan serta menikmati bau-bauan harum tersebut. Padahal kalau kita lihat negara Saudi Arabia banyak disana golongan wahabi/ salafi yang sering mengeritik dan membuat ceritera atau mengisukan yang tidak-tidak terhadap golongan muslimin yang membakar dupa/gahru waktu mengadakan majlis dzikir. Diantara golongan wahabi dan pengikutnya ini ada yang mengatakan pembakaran dupa/gahru dan sebagainya waktu sedang berkumpul berdzikir maupun sendirian untuk mendatangkan setan-setan dan lain-lain !

Tetapi kalau kita baca hadits Nabi saw. setan malah lari mendengar bacaan dzikir itu, dan senang bersemayam dirumah dan diri orang yang tidak mengadakan majlis dzikir. Lihatlah, karena kedengkian golongan tertentu pada majlis dzikir ini , mereka membuat fitnah dan mengadakan khurafat-khurafat (tahayul) yang dikarang-karang sendiri, agar manusia mengikuti faham mereka dan tidak menghadiri majlis dzikir tersebut. Mengapa mereka tidak berkata pada sipenjual Gahru, menyan arab di Mekkah dan Medinah bahwa itu haram, khurafat karena bisa mendatangkan setan-setan?

Dalil mereka yang melarang dzikir secara jahar

Buat golongan majlis dzikir sudah cukup hadits-hadits dan wejangan ulama-ulama pakar mengenai dibolehkannya dzikir secara jahar seperti yang penulis kutip dibuku ini tetapi bagi golongan pengingkar majlis (kumpulan) dzikir secara jahar selalu mengajukan dalil-dalil yang menurut mereka dalil tersebut sebagai larangan/haramnya orang berkumpul berdzikir secara jahar. Mari kita baca dalil mereka untuk masalah ini :

Firman Allah swt (Al ‘Araf : 204) : ‘Dan apabila dibacakan (kepadamu) ayat-ayat suci Al-Qur’an, maka dengarkanlah dia dan perhatikan agar kamu diberikan rahmat’. Ayat ini dibuat dalil oleh mereka untuk melarang pembacaan Al-Qur’an secara bersama, yang di amalkan orang-orang pada majlis dzikir (Istighothah, tahlilan, yasinan dan lain lain).

Sudah tentu pemikiran seperti ini tidak bisa dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Makna atau yang dimaksud firman Allah swt. itu ialah: Bila ada orang membaca Al-Qur’an sedangkan orang lainnya tidak ikut membaca bersama orang tersebut, maka yang tidak ikut membaca ini di anjurkan untuk mendengarkan serta memperhatikan bacaan Al Qur’an tersebut agar mereka juga mendapat pahala dan rahmat dari Allah swt. Jadi bukan berarti ayat ini melarang orang bersama-sama membaca Al-Quran dalam kumpulan majlis dzikir ! Karena cukup banyak hadits yang menjanjikan pahala bagi orang yang membaca Al-Quran baik membacanya secara berkelompok maupun perorangan, serta tidak ada nash baik dalam Al-Quran maupun Sunnah yang melarang membaca Al-Quran secara bersama-sama ! Malah justru mendapat pahala bagi yang membacanya !.

Mereka berdalil juga pada firman Allah Al-A’raf :205 yang berbunyi : ‘Dan ingatlah Tuhanmu didalam hatimu sambil merendahkan diri dan merasa takut serta tidak dengan suara keras (yang berlebihan) dipagi maupun sore hari’.

Ayat diatas juga tidak bisa dibuat dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar sebenarnya yang dimaksud ayat ini adalah untuk orang-orang yang sedang mendengarkan Al-Quran yang sedang dibaca oleh orang lain sebagaimana ditunjukkan oleh ayat sebelumnya yaitu surat Al-A’raaf : 204.

Dengan demikian, makna surat Al-A’raf : 205 adalah : ‘Berdzikirlah kepada Tuhanmu didalam hati (wahai orang yang memperhatikan dan mendengarkan bacaan Al-Qur’an) dengan merendahkan diri serta rasa takut’.

Seperti ini pula makna yang dikehendaki oleh ulama pakar diantaranya : Ibnu Jarir, Abu Syaikh dari Ibnu Zaed. Sedangkan Imam Suyuthi dalam kitabnya Natijatul Fikri berkata: Ketika Allah swt. memerintahkan untuk inshot (memperhatikan bacaan Al Qur’an) dikhawatirkan terjadinya kelalaian dari mengingat Allah swt. Maka dari itu disamping perintah inshot dzikir didalam hati tetap dibebankan agar tidak terjadi kelalaian mengingat Allah swt. Karenanya ayat tersebut diakhiri dengan ‘Dan janganlah kamu termasuk diantara orang-orang yang lalai’. (baca keterangan pada halaman sebelum ini)

Menurut Imam Ar-Rozi bahwa ayat Al A’raf : 205 justru menetapkan dzikir dengan jahar yang tidak berlebihan, bukan malah mencegahnya karena disitu disebut juga ‘...dan bukan dengan jahar yang berlebihan...’ Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa tuntutan ayat itu adalah ’melakukan dzikir antara sir dan jahar yang berlebihan’ makna yang demikian sesuai dan dikuatkan oleh firman Allah swt dalam surat Al-Isro’: 110 yang berbunyi : ‘Janganlah kamu mengeraskan suara dalam berdo’a dan janganlah pula kamu melirihkannya melainkan carilah jalan tengah diantara yang demikian itu’.

Golongan pengingkar ini juga berdalil pada hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, Ahmad bin Hambal, Ibnu Marduwaih dan Al-Baihaqi dari Abu Musa Al-Asy’ari ra yang berkata :

“Kami pernah bersama Rasulallah saw. dalam sebuah peperangan, maka terjadilah satu keadaan dimana kami tidaklah menuruni lembah dan tidak pula mendaki bukit kecuali kami mengeras kan suara takbir kami. Maka mendekatlah Rasulallah saw. kepada kami dan bersabda: ‘Lemah lembutlah kalian dalam bersuara karena yang kalian seru bukanlah zat yang tuli atau tidak ada. Hanyalah yang kalian seru adalah zat Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Sesungguhnya yang kalian seru itu lebih dekat kepadamu ketimbang leher-leher onta tungganganmu’“.

Hadits ini tercantum dalam kitab-kitab hadits yang enam. Imam Turmudzi dalam bab Fadhlut Tasbih menyebutkan juga hadits dari Abu Musa al-Asy’ari yang senada tapi sedikit berbeda dan ditambah dengan sabda Rasul saw. “Wahai Abdullah bin Qais, maukah kamu aku beritahukan sebagian dari perbendaharaan sorga...? Dialah : ‘Laa Haulaa Walaa Quwwata Illa Billah’ “. Turmudzi berkata : Ini adalah hadits yang shohih.

Golongan ini berkata: Mengapa kita harus mengeraskan suara dalam berdzikir ..?, padahal hadits diatas memerintahkan untuk merendahkan suara diketika berdzikir karena Zat yang didzikirkan yakni Allah swt. bukan Zat yang tuli, bukan Zat yang tidak ada bahkan ilmu dan kekuasanNya ada dihadapan kita ! Dia lebih dekat kepada kita dibanding leher-leher onta tunggang an kita !

Alasan inipun tidak tepat untuk dijadikan dalil melarang atau mengharamkan semua bentuk dzikir jahar, perintah irba’uu dihadits tersebut bukanlah hukum wajib sehingga berakibat haramnya berdzikir secara jahar. Hal ini karena perintah dengan menggunakan kata ar-rab’u adalah semata-mata untuk memberikan kemudahan kepada mereka. Berdasarkan inilah maka Syeikh Ad-Dahlawi dalam Al-Lama’aat Syarhul Misykat mengatakan bahwa irba’uu adalah satu isyarat dimana larangan jahar hanyalah untuk memudahkan, bukan karena jahar itu tidak disyariatkan !

Kalau sekiranya Rasul saw. tidak mencegah para sahabat berdzikir secara keras pada waktu peperangan menaiki dan menuruni bukit, maka mereka jelas akan menyangka bahwa mengeraskan suara dzikir yang berlebihan itu sewaktu dalam perjalanan adalah disunnatkan, karena perbuatan mereka itu didiamkan/diridhoi oleh Rasul saw.. Padahal kesunnatan yang seperti itu tidaklah dikehendaki oleh beliau saw. karena pada saat itu sedang dalam perjalanan perang menuju Khaibar dan mengeraskan dzikir seperti itu tidak ada mashlahatnya/ kebaikannya, bahkan bisa menimbulkan bencana kalau sampai didengar oleh musuh orang-orang kafir. Terlebih-lebih ada hadits mengatakan ‘Perang itu adalah satu tipu daya’.

Begitupun juga beliau saw. melarang mereka supaya nantinya tidak merasa lebih lelah dan kesulitan dalam menghadapi peperangan. Beginilah juga yang diterangkan oleh Al-Bazzaazi makna pelarangan pengerasan suara pada waktu itu. Pengarang kitab Fathul Wadud Syarah Sunan Abi Daud mengatakan bahwa kata-kata rofa’uu ashwaatahum menunjukkan bahwa mereka itu terlalu berlebihan dalam menjaharkan dzikir. Maka hadits itu tidaklah menuntut terlarangnya menjaharkan dzikir secara mutlak ! Jadi dzikir jahar yang dilakukan oleh para sahabat itu adalah jahar yang berlebihan sebagaimana ditunjukkan oleh kaitan larangan itu dalam beberapa riwayat.

Begitu juga bila hadits dari Abu Musa Al-Asy’ari diatas ini dipakai sebagai dalil untuk melarang semua bentuk dzikir secara jahar maka akan berlawanan dengan hadits-hadits yang berkaitan dengan dzikir secara jahar (silahkan baca keterangan sebelumnya).

Sebelum ini sudah saya kutip sebagian fatwa seorang ulama yang diandalkan oleh golongan ini yaitu Ibnu Taimiyah didalam kitabnya Majmu’at fatawa edisi Raja Saudi Arabi Malik Khalid bin ‘Abdul ‘Aziz sebagai berikut:

“Ibnu Taimiyyah telah ditanya mengenai pendapat beliau mengenai perbuatan berkumpul beramai-ramai berdzikir (secara jahar), membaca al-Quran berdo’a sambil menanggalkan serban dan menangis sedangkan niat mereka bukanlah karena ria’ ataupun menunjuk-nunjuk tetapi hanyalah karena hendak mendekat- kan diri kepada Allah swt. Adakah perbuatan-perbuatan ini boleh diterima? Beliau menjawab, ‘Segala puji hanya bagi Allah, perbuatan-perbuatan itu semua- nya adalah baik dan merupakan suruhan didalam Shari'a (agama) untuk berkumpul dan membaca al-Quran dan berdzikir serta berdo’a’."

Sebagian golongan ini juga melarang kumpulan majlis dzikir dengan berdalil suatu riwayat bahwa Umar bin Khattab ra. mencambuk suatu kaum yang berkumpul karena kaum ini berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin ! Dengan demikian mereka melarang semua bentuk berdzikir secara jahar.

Umpama riwayat tersebut benar-benar ada dan shohih, kita harus meneliti dahulu apa sebab Umar bin Khattab ra melarang mereka berkumpul untuk berdo’a kebaikan tersebut, sehingga tidak langsung menghukum semua berkumpulnya manusia untuk do’a kebaikan itu dilarang. Dengan demikian nantinya riwayat ini berlawanan dengan firman Allah swt (hadits Qudsi) dan hadits-hadits Rasul saw mengenai keutamaan berdo’a dan halaqat (kumpulan dzikir) ! Dzikir dan do’a itu termasuk amalan ibadah yang sangat dianjurkan baik oleh Allah swt. maupun Rasul saw.. Tidak ada penentuan/ kewajiban dalam syariat tentang cara-cara berdzikir dan berdo’a boleh dilakukan secara berkumpul ataupun secara individu !

Penafsiran mereka seperti itu adalah sangat sembrono sekali, karena ini bisa mengakibatkan orang akan merendahkan sifat Umar bin Khattab, sehingga orang-orang non muslim maupun muslim akan mensadiskan beliau karena mencambuk (tanpa alasan yang tepat) orang yang berkumpul hanya karena berdo’a kebaikan untuk muslimin dan pemimpinnya. Hati-hatilah!

Juga golongan ini mengatakan ada riwayat dari Bukhori yang berkata ada suatu kaum/kelompok setelah melaksanakan sholat Magrib seorang dari mereka berkata: “Bertakbirlah kalian semua pada Allah seperti ini…. bertasbihlah seperti ini….dan bertahmidlah seperti ini…maka Ibnu Mas’ud ra mendatangi orang ini dan berkata:….sungguh kalian telah datang dengan perkataan bid’ah yang keji atau kalian telah menganggap lebih mengetahui dari sahabat Nabi.”

Riwayat diatas ini dibuat juga oleh golongan pengingkar sebagai dalil untuk melarang semua kumpulan majlis dzikir, alasan seperti ini juga tidak tepat sama sekali. Pertama kita harus mengetahui dahulu kalimat takbir, tasbih atau tahmid apa yang diperintahkan orang tersebut pada sekelompok muslimin itu. Kedua umpama bacaan takbir, tasbih, tahmid serta cara pemberitahuan sesuai yang dianjurkan oleh Nabi saw. maka tidak mungkin Ibnu Mas’ud ra akan melarangnya, karena Rasul saw. sendiri meridhoi dan menganjurkan dzikir berkelompok. Ketiga, kelompok tersebut belum melakukan dzikir yang diperintahkan oleh orang itu, oleh karenanya Ibnu Mas’ud bukan tidak menyenangi kumpulan dzikir dan bacaannya tapi beliau tidak menyenangi cara pemberitahuan orang tersebut kepada kelompok itu, yang seakan-akan mewajibkan kelompok tersebut untuk mengamalkan hal tersebut, karena dzikir adalah amalan-amalan sunnah/bukan wajib !!

Jadi janganlah kita main pukul rata mengharamkan semua jenis kelompok dzikir secara jahar karena larangan sebagian sahabat pada kelompok manusia tertentu, tapi kita harus meneliti motif atau sebab apa dzikir tersebut pada waktu itu dilarang oleh sahabat. Dengan demikian kita tidak akan kebingungan atau kesulitan untuk mengamalkan hadits Rasul saw. lainnya yang membolehkan untuk berdzikir secara jahar dan berkelompok, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh ulama-ulama pakar Imam Nawawi, Ibnu Hajr , Imam Suyuthi serta lain-lainnya dan hadits-hadits yang telah saya kutip dibuku ini.

Berdzikir baik secara jahar maupun lirih kedua-duanya mempunyai dalil dan semuanya mustahab/baik. Begitu juga bila ada sebagian ulama pakar tidak menyenangi berdzikir secara jahar atau secara lirih itu tidak berarti semua dzikir secara jahar atau lirih itu haram diamalkan ! Tidak lain hal tersebut tergantung pada pribadi ulama itu masing-masing atau tergantung pada situasi lokasi dan tempat untuk berdzikir tersebut.

Saya tambahkan lagi hadits yang shohih menganjurkan manusia untuk membaca Talbiyah dan Tahlil secara jahar pada waktu musim haji, yang mana Talbiyah dan Tahlil juga termasuk dzikir pada Allah swt. Hadits dari Khalad bin Sa’id Al Anshori dari Bapaknya bahwa Nabi saw bersabda:

“Jibril datang kepadaku lalu menyuruhku untuk memerintahkan kepada sahabatku atau kepada orang-orang yang bersamaku agar mengeraskan suara dengan Talbiyah dan tahlil”. ( Riwayat Abu Dawud nr.1797, Tirmidzi nr.829, Nasa’i dalam bab mengeraskan suara ketika berihram, Ibnu Majah nr.2364, Imam Malik dalam Al Muwattha hadits nr.34). Menurut Imam Syafii Takbir dan Tahlil dalam haji ini boleh diamalkan secara jahar baik dimasjidil Haram atau dilapangan.

Kalau dzikir Talbiyah dan Tahlil secara jahar yang dilakukan oleh berjuta-juta jamaah haji secara berkelompok-kelompok malah dianjurkan dan tidak dilarang, apalagi dzikir secara jahar yang hanya dilakukan oleh kelompok lebih sedikit jumlahnya dari itu, apa salahnya dalam hal ini..?. Wallahu a'lam.

Contoh zaman sekarang yang bisa kita dengar dan beli kaset-kaset al-Qur’an, qosidah-qosidah (bacaan sholawat Nabi saw. dan lain-lain) semuanya termasuk dzikir yang dijual dan dikumandangkan diseluruh dunia Saudi Arabia, Indonesia, Malaysia, Pakistan, Marokko, Mesir dan lain lain baik di negara yang anti maupun yang senang bacaan dzikir secara jahar. Kalau semua ini misalnya mungkar dan dilarang maka akan ditegur atau dikecam oleh ulama-ulama pakar di negara tersebut. Tapi sampai detik ini tetap berjalan dan malah lebih banyak lagi toko-toko yang jual kaset-kaset tersebut karena banyak peminatnya.

Insya Allah dengan beberapa firman Allah swt. serta hadits-hadits diatas kita dapat mengambil manfaatnya dan mengerti serta jelas apa yang dianjurkan oleh Allah swt. melalui perantara junjungan kita Nabi besar Muhammad saw. Dengan demikian insya Allah saudara-saudara kita muslimin yang belum pernah menghadiri atau mendapat kesalahan informasi mengenai kumpulan dzikir, baca tahlil/yasinan dan sebagainya ini akan diberi taufiq oleh Allah swt. serta bisa menghadiri majlis dzikir yang penuh berkah atau setidaknya tidak akan mencela, mensyirikkan dan mensesatkan orang yang mengamalkan ini, tidak lain hanya akan menambah dosa saja.Dengan demikian hubungan silatorrohmi dengan saudara-saudara muslimin lainnya tidak akan terputus.

Tambahan... Dalil Tentang Hadits Dzikir (Termasuk yg Jahar)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah memiliki malaikat yang berkeliling, mereka mengikuti majelis-majelis dzikir. Apabila mereka menemui majelis yang didalamnya ada dzikir, maka mereka duduk bersama-sama orang yang berdzikir, mereka mengelilingi para jamaah itu dengan sayap-sayap mereka, sehingga memenuhi ruangan antara mereka dengan langit dunia, jika para jamaah itu selesai maka mereka naik ke langit (HR Bukhari no. 6408 dan Muslim no. 2689)

Abdullah Ibnu Abas r.a berkata: “semasa zaman kehidupan Rosulullah(SAW) adalah menjadi kebiasaan untuk orang ramai berdzikir dengan suara yang kuat selepas berakhirnya sholat berjamaah(HR.Bukhori)

Abdullah Ibnu Abas r.a berkata:”Apabila aku mendengar ucapan dzikir, aku dapat mengetahui bahwa sholat berjamaah telah berakhir(HR.Bukhori)

Abdullah Ibnu Zubair r.a berkata:”Rasululloh(SAW) apabila melakukan salam daripada solatnya, mengucap doa/zikir berikut dengan suara yang keras-”La ilaha illallah…”(Musnad Syafi’i)

Sahabat Umar bin Khattab selalu membaca wirid dengan suara lantang, berbeda dengan Sahabat Abu Bakar yang wiridan dengan suara pelan. Suatu ketika nabi menghampiri mereka berdua, dan nabi lalu bersabda: Kalian membaca sesuai dengan yang aku sampaikan. (Lihat al-Fatâwâ al-hadîtsiyah, Ibnu Hajar al-Haitami, hal 56)...jazaakumullah sahabatku Fillah.