Seekor kuda unggulan jenis Lusiano tampak berlari santai menelusuri jalan setapak. Postur tubuhnya yang tegap dan langsing menjadikannya begitu ringan dan mantap ketika berlari. Nyaris, tak satu pun hewan di kawasan hutan lindung itu yang mampu menandingi larinya.
Setiap kali ada kuda-kuda lain yang tampak berlari, Lusiano selalu memacu larinya untuk bisa sejajar. Ia pun menoleh ke arah kuda itu dan mengajaknya untuk berlomba. Tapi, tak satu pun yang tertarik. Soalnya, ujungnya selalu sama: kalah.
Yang menyakitkan dari kekalahan oleh Lusiano, bukan pada kalahnya. Tapi, dari kesombongan Lusiano yang begitu menyakitkan lawan. ”Payah, lari kok mundur!” ucap Lusiano sambil tertawa.
Suatu kali, Lusiano melalui seekor kuda tua yang tampak berlari lambat dari arah yang berlawanan. Ia pun menghentikan larinya ketika Lusiano tiba-tiba memalangi jalan dengan tubuhnya yang tegap.
”Ada apa, Lusiano?” ucap si kuda tua dengan tetap menampakkan wajah tenang.
”Hei, Kakek. Apa kau tahu di mana tempat yang menarik kukunjungi? Aku sedang mencari lawan tanding yang sepadan?” ungkap Lusiano masih dengan penampilan sombongnya.
”Oh itu,” ujar sang kuda tua. ”Kamu bisa berlari ke arah utara, di sana akan ada tempat yang menarik untuk berlomba dengan siapa pun yang kau suka,” jawab sang kuda tua sambil kemudian berlalu meninggalkan Lusiano yang masih tampak bingung.
”Apa masih jauh?” ucap Lusiano.
”Bagiku jauh sekali, Lusiano. Entah menurutmu?” kata-kata pancingan itu kian membangkitkan kesombongan Lusiano untuk sesegera mungkin tiba di tempat itu. Dan ia pun memacu larinya menuju tempat yang disebut si kuda tua.
Lusiano berlari dan terus berlari. Hingga, ia menemukan sebuah tempat yang baru kali ini ia jumpai. Sebuah tepian pantai yang begitu landai. Sepanjang mata memandang, hanya ada sebuah garis lurus yang memisahkan bumi dan langit.
Lusiano tampak bingung dengan tempat itu. Tak satu pun kuda yang ia harapkan muncul di tempat itu. Dan pandangannya pun hanyut dalam garis lurus yang tak bertepi itu.
”Ah, betapa kecilnya aku. Ternyata, tak ada yang tinggi di bumi ini, kecuali langit di atas sana,” gumam Lusiano sambil terus menatap garis lurus itu.
**
Ketika seseorang memandang suatu yang sangat tinggi dalam dirinya, bahkan melampaui orang-orang di sekitarnya; sebenarnya ia sedang memandang dunia dari sisi yang teramat sempit.
Betapa kecilnya bumi dan dunia ini jika khazanah alam raya menjadi pembandingnya. Saat itu, siapa pun dan bagaimana pun kelebihan dan keunggulannya, akan menemukan bahwa dirinya tak lebih dari sebuah titik yang terlihat samar. (muhammadnuh@eramuslim.com)
No comments:
Post a Comment