Tazkiyatun Nufus
20/8/2010
11 Ramadhan 1431 H
Hits: 2.359
Oleh: Tim Kajian Manhaj Tarbiyah
أركان الإسلام ومبادئ الأخلاق
dakwatuna.com – Rasulullah telah menjelaskan tujuan utama diutusnya beliau menjadi rasul dan minhaj yang jelas melalui sabdanya,
إِنَّمَا بُعِثْتُ لأُِتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia.” (HR. Malik).
Seolah-olah risalah yang alirannya telah ditentukan di dalam sejarah kehidupan, si pembawanya telah mengerahkan segenap tenaga untuk memancarkan sinarnya dan mengumpulkan orang di sekitarnya. Tidak lebih dari sekadar memberi dukungan terhadap kemuliaan mereka dan menyinari kesempurnaan yang telah berkibar di depan mereka agar mereka berjalan menuju risalah itu dengan jelas dan gamblang.
Dan sabdanya:
“الدين حسن الخلق”
“Agama adalah akhlaq yang baik.” (HR. Hakim).
Begitu pentingnya akhlaq dalam Islam seakan tidak ada ajaran agama kecuali akhlaq. Oleh karena itu akhlaq menjadi landasan hidup dan pijakan dalam berbicara, bersikap dan berperilaku, sebagai mana firman Allah:
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam)
Rukun Islam yang lima sangat erat kaitannya dengan akhlaq; dua kalimat syahadat, shalat, zakat, shaum, dan hajji tidak dapat dipisahkan dari prinsip-prinsip dan nilai-nilai akhlaq. Setiap rukun dari rukun Islam yang lima harus berdampak positif pada perubahan perilaku dan gaya hidup seorang muslim.
Dan ibadah yang disyariatkan Islam adalah sebagai pilar-pilar keimanan bukan sekadar ritual semu yang menghubungkan antara manusia dengan alam gaib yang misterius. Memberinya dengan berbagai amal serba samar dan gerak-gerik tanpa makna. Tidak, sekali lagi tidak, berbagai kewajiban yang dibebankan Islam kepada setiap muslim merupakan latihan yang berulang-ulang agar terbiasa dengan akhlaq yang benar dan senantiasa komitmen dengan akhlaq tersebut apapun kondisi yang dialaminya.
Ia tak ubahnya seperti senam yang sangat diminati orang. Dengan melakukannya secara kontinyu ia berharap agar badannya sehat dan hidupnya sejahtera.
1. Syahadatain dan akhlaq
Mengucapkan dua kalimat syahadat bukan kegiatan formalitas untuk menjadi muslim akan tetapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu adalah bukti keyakinan yang kuat dan kejujuran yang sempurna serta keikhlasan yang mendalam dalam menerima Islam sebagai system hidup. Oleh karena itu Rasulullah menegaskan barang siapa yang mengucapkan laa ilaaha illallah dengan hati yang jujur maka ia masuk surga.
مَا مِنْ عَبْدٍ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ ثُمَّ مَاتَ عَلَى ذَلِكَ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Tidak ada seorang hamba yang mengucapkan laa ilaaha illallah kemudian mati dengan komitmen padanya melainkan ia masuk surga” (HR. Bukhari)
وَمَنْ لَقِيَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ بِهِمَا غَيْرَ شَاكٍّ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Barang siapa yang menghadap Allah dengan dua kalimat syahadat tanpa meragukannya sedikit pun maka ia masuk surga” (HR. Ahmad)
Dari dua hadits di atas sangat jelas bahwa mengucapkan dua kalimat syahadat bukan hanya sekadar ucapan lisan akan tetapi disertai dengan keyakinan, kejujuran hati dan komitmen untuk menjalankan tuntutannya dengan benar dan ikhlas.
2. Shalat dan akhlaq
Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah Al-Muthahharah menyingkap hakikat ini. Shalat wajib misalnya, saat Allah memerintahkan melaksanakannya Dia juga menjelaskan hikmahnya.
Allah berfirman,
اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ [٢٩:٤٥]
Bacalah apa yang Telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan Dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-‘Ankabuut: 45)
Menjauhkan diri dari keburukan dan mensucikan diri dari semua perkataan serta amal buruk adalah hakikat shalat. Nabi meriwayatkan dari Rabbnya,
إِنَّمَا أَتَقَبَّلُ الصَّلاةَ مِمَّنْ تَوَاضَعَ بِهَا لِعَظَمَتِي ، وَلَمْ يَسْتَطِلْ عَلَى خَلْقِي ، وَلَمْ يَبِتْ مُصراً عَلَى مَعْصِيَتِي وَقَطَعَ النَّهَارَ فِي ذِكْرِي ، وَرَحِمَ الْمِسْكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ وَالأَرْمَلَةِ ، وَرَحِمَ المُصَابَ
“Sesungguhnya Aku menerima shalatnya seseorang yang tawadhu’ karena keagungan-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, tidak terus-menerus melakukan maksiat terhadap-Ku, menghabiskan siangnya untuk berdzikir kepada-Ku, menyayangi orang miskin, ibnu sabil, dan janda, serta menyantuni orang yang terkena musibah.” (Al-Bazzar).
3. Zakat dan Akhlaq
dakwatuna.com – Zakat wajib bukan pajak yang diambil dari kas. Namun, pertama-tama ia merupakan bentuk penanaman perasaan kasih sayang, penguat hubungan antar orang-orang yang saling mengenal, serta penyatuan lintas strata masyarakat.
Al-Qur’an menyebutkan tujuan dikeluarkannya zakat.
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ ۖ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ﴿١٠٣﴾
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. At Taubah: 103)
Membersihkan dari daki-daki kekurangan dan mengangkat masyarakat ke tingkat keluhuran merupakan hikmah utama zakat.
Oleh sebab itu Nabi memperluas pemahaman sedekah agar seorang muslim berusaha untuk melakukannya,
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ ، وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوْفِ وَنَهْيُكَ عَنِ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ ، وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِي أَرْضِ الضَّلاَلِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِمَاطَتُكَ الأَذَى وَالشَّوْكَ وَالْعَظْمَ عَنِ الطَّرِيْقِ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيْكَ لَكَ صَدَقَةٌ ، وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِيْءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyum untuk saudaramu adalah sedekah, kamu memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar adalah sedekah. Kamu membimbing seseorang di tempat tersesatnya adalah sedekah, serta kamu menunjukkan jalan bagi orang yang lemah penglihatannya adalah sedekah. Kamu menyingkirkan duri, tulang dari jalan adalah sedekah. Mengosongkan embermu dengan mengisi ember saudaramu adalah sedekah. Menuntun orang buta adalah sedekah “ (Bukhari)
Ajaran semacam ini bagi masyarakat gurun pasir yang selama berabad-abad berada dalam permusuhan dan pertikaian mengisyaratkan tujuan yang dipaparkan oleh Islam, yang membimbing masyarakat Arab jahiliyah yang gelap gulita itu.
4. Puasa dan Akhlaq
Islam juga mensyariatkan puasa. Ibadah ini tidak dipandang sebagai larangan makan dan minum untuk rentang waktu tertentu. Namun ia dianggap sebagai tahapan larangan bagi jiwa manusia untuk memenuhi syahwatnya yang berbahaya serta keinginannya yang bejat.
Untuk menegaskan pengertian ini, Rasulullah saw bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ ، وَالْعَمَلِ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan persaksian palsu dan tidak meninggalkan perbuatan (karena persaksian palsu itu) maka Allah tidak punya kepentingan apapun ketika ia meninggalkan makanan dan minumannya.” (Bukhari).
لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ فَإِذَا سَابَكَ أَحَدٌ ، أَوْ جَهِلَ عَلَيْكَ ، فَقُلْ إِنِّي : صَائِمٌ
“Bukanlah puasa itu hanya sekadar tidak makan dan minum. Puasa itu adalah meninggalkan ucapan sia-sia dan kata-kata jorok. Jika seseorang mencacimu atau berbuat jahil kepadamu katakan saja, ‘Aku sedang puasa.’” (Ibnu Khuzaimah).
Al-Qur’an juga menyebutkan buah puasa seperti halnya firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
﴿١٨٣﴾
“Diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.” (QS. Al-Baqarah: 183).
5. Haji dan Akhlaq
Mungkin seseorang mengira bahwa bepergian ke tempat suci, yang diwajibkan bagi siapa yang mampu dan dijadikan sebagai salah satu kewajiban Islam kepada pengikutnya, hanya sebagai wisata dan jauh dari pesan-pesan moral dan nilai-nilai luhur yang kadang dimiliki oleh berbagai agama melalui ritual gaibnya.
Tentu ini tidak benar. Sebab Allah telah berfirman,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ ۚ فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ ﴿١٩٧﴾
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertaqwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197).
Inilah paparan ringkas tentang sebagian ibadah populer dalam Islam dan dikenal sebagai rukun-rukun utamanya. Jelaslah kiranya sejauh mana kuatnya hubungan antara agama dengan akhlaq.
Ibadah yang berbeda inti dan tampilannya. Namun ia bertemu pada tataran tujuan sebagaimana yang digambarkan Rasulullah saw melalui sabdanya,
“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq mulia.”
Shalat, puasa, zakat, haji dan ibadah ketaatan lainnya yang ada pada ajaran Islam merupakan tangga menuju kesempurnaan ideal dan sarana mensucikan jiwa untuk memelihara dan meninggikan kualitas hidup. Perilaku yang mulia dan berkaitan erat dengan ibadah itu atau muncul akibat itu akan membuat seseorang memiliki tempat tertinggi dalam agama Allah.
Jika seseorang tidak mendapatkan apapun untuk mensucikan hatinya, membersihkan otaknya serta mengeratkan hubungannya dengan Allah dan dengan manusia maka orang itu gagal. Allah berfirman,
إِنَّهُ مَن يَأْتِ رَبَّهُ مُجْرِمًا فَإِنَّ لَهُ جَهَنَّمَ لَا يَمُوتُ فِيهَا وَلَا يَحْيَىٰ ﴿٧٤﴾ وَمَن يَأْتِهِ مُؤْمِنًا قَدْ عَمِلَ الصَّالِحَاتِ فَأُولَٰئِكَ لَهُمُ الدَّرَجَاتُ الْعُلَىٰ ﴿٧٥﴾ جَنَّاتُ عَدْنٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ وَذَٰلِكَ جَزَاءُ مَن تَزَكَّىٰ ﴿٧٦﴾
“Sesungguhnya barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan berdosa, Maka Sesungguhnya baginya neraka jahanam. ia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Dan barangsiapa datang kepada Tuhannya dalam keadaan beriman, lagi sungguh-sungguh Telah beramal saleh, Maka mereka Itulah orang-orang yang memperoleh tempat-tempat yang Tinggi (mulia), (yaitu) surga ‘Adn yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. dan itu adalah balasan bagi orang yang bersih (dari kekafiran dan kemaksiatan).” (QS. Thaha: 74-76)
No comments:
Post a Comment