visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Tuesday, May 31, 2011

26 Penyebab Merajalelanya Kesesatan di Indonesia (6-Habis)



Oleh Hartono Ahmad Jaiz

Haul setahun meninggalnya Gus Dur, di akhir tahun 2010 para tokoh berbagai agama menggelar doa bersama, tahlilan dan yasinan di Gereja GKJW Jombang Jawa Timur. (Doakan Gus Dur, Umat Berbagai Agama Gelar Yasinan & Tahlilan di Gereja, Voa-Islam.com)

***

Penyebab ke-25 telah kita bahas yakni: Media Massa Menyeret Manusia ke Arah Menjauhi Tuhannya.

Peran media massa sangat ampuh dalam menjauhkan manusia dari agamanya, dari Tuhannya. Hampir semua media massa, arahnya tidak mengingatkan adanya kehidupan akherat. Semua hidup ini dicurahkan hanya untuk di dunia ini. Hidup ini untuk dinikmati, bukan merupakan lahan untuk beramal demi mengumpulkan bekal untuk akherat.

Mari kita lanjutkan dengan penyebab ke-26.

26. Banyaknya upacara-upacara bikinan atas nama agama dengan mengerahkan massa atau jama’ah, pakai biaya besar.

Upacara-upacara itu kemudian dianggap sebagai ibadah, hingga orang yang menyumbangnya dianggap akan mendapatkan pahala. Padahal tidak ada contoh ataupun apalagi perintahnya dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kemudian ketika ada yang mengkritik upacara-upacara itu, baik upacara peringatan kematian yaitu tahlilan ataupun peringatan kelahiran yaitu maulidan (aneh, padahal yang diperingati hari lahirnya itu sudah wafat); apa yang mereka sebut dzikir akbar, dzikir nasional, Indonesia berdzikir, istighotsah kubro, istighotsah nasional, taubat nasional dan sebagainya, maka mereka ramai-ramai mencari-cari dalilnya untuk menguatkan apa yang mereka lakukan.

Di saat-saat tertentu, upacara bikinan semacam ini bisa jadi modal, misalnya untuk kampanye pilkada (pemilihan kepala daerah) gubernuran, kabupaten, bahkan tingkat desa yang disebut pilkades (pemilihan kepala desa). Lalu dikampanyekanlah suara-suara kepada pihak yang dianggap lawan, bahwa kalau calon si lawan itu menang maka kita tidak boleh lagi tahlilan, maulidan dan sebagainya.

Dibuatlah slogan untuk menguatkan acara bid’ah itu. Misalnya dilontarkan, kata-kata GAM (Gerakan Anti Maulid). Diteriakkanlah dalam pidato-pidato, misalnya dengan ucapan: “Hati-hati wahai saudara-saudaraku, kemungkinan ada di sekitar kita, GAM (Gerakan Anti Maulid) itu!”

Lalu pihak lawan yang merasa dikecam itu, karena dalam menjagokan calon gubernur juga, maka berupaya “mencuci diri”, agar tidak kehilangan massa. Maka mereka mengadakan acara yang sama, dan mengundang pula tokoh-tokoh yang telah biasa mengadakan upacara-upacara bikinan itu. Hingga terangkatlah apa yang sebenarnya bid’ah itu justru menjadi bahan dagangan yang laris. Astaghfirullaah…

Ini yang jadi korban adalah da’wah yang benar, ramai-ramai mereka pecundangi, dalam kepentingan yang sebenarnya mereka sendiri saling bertentangan, namun dalam melawan da’wah sunnah, baik disadari maupun tidak, mereka maju bersama. Itu terjadi di Jakarta, tahun 2007M/ 1428H.

Pengadaan berbagai upacara atas nama agama padahal tidak diajarkan oleh Islam itu mereka atasnamakan cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahkan cinta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pengakuan mereka itu sebenarnya sudah terbantah oleh ayat:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ(31)

“Katakanlah, ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali-‘Imran [3] : 31)

Terbukti apa yang mereka ada-adakan seperti upacara kematian yakni tahlilan, peringatan kelahiran yakni maulidan dan sebagainya itu sama sekali tidak dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Juga acara-acara bikinan seperti tersebut di atas, sama sekali tidak pula dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’it tabi’ien serta para imam madzhab yang empat serta yang mengikuti manhaj (pola pemahaman)nya yang sebenar.

Di samping tidak mencontoh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, masih ada kerugian lain lagi yang tidak menguntungkan pula bagi mereka kecuali orang-orang yang mendapatkan keuntungan sementara. Sering terjadi setelah mereka menyelenggarakan acara-acara bikinan itu kemudian ada saja orang yang tiba-tiba tidak pernah nongol (tampak) ke masjid. Ada gesekan yang sampai di bawa-bawa ke hati, hingga berseteru. Entah karena konsumsi, duit, atau apa yang berkaitan dengan kepanitiaan atau rangkaiannya, kemudian ada yang merasa tersinggung, maka terjadilah perseteruan.

Masjid yang tidak punya salah apa-apa ikut dijauhi. Kadang bisa berlangsung berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan ada yang sampai setahun atau lebih dan berkepanjangan. Padahal, sesama muslim tidak boleh saling memunggungi lebih dari 3 hari. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وعن أنس - رضي الله عنه - قَالَ : قَالَ رسولُ الله - صلى الله عليه وسلم - : (( لا تَقَاطَعُوا ، وَلاَ تَدَابَرُوا ، وَلاَ تَبَاغَضُوا ، وَلاَ تَحَاسَدُوا ، وَكُونُوا عِبَادَ اللهِ إخْوَاناً ، وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَث )) . متفق عَلَيْهِ .

Riwayat dari Anas ra, ia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Janganlah kamu sekalian saling memutuskan hubungan , jangan saling membelakangi, jangan saling marah, jangan saling dengki, dan jadilah kalian hamba-hamba Allah secara bersaudara; dan tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot tidak mau bicara dan bersalam) terhadap saudaranya (sesama Muslim tanpa uzur syar’i) lebih dari tiga malam (tiga hari). (Muttafaq ‘alaih—HR. Bukhari dan Muslim)

( وَعَنْ أَبِي أَيُّوبَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : { لَا يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثٍ يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا وَخَيْرُهُمَا الَّذِي يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ } مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ )

Dari Abi Ayub radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Tidak halal bagi seorang muslim untuk menghajr (memboikot tidak mau bicara dan bersalam) terhadap saudaranya (sesama Muslim tanpa uzur syar’i) lebih dari tiga malam (tiga hari)., keduanya saling bertemu lalu satu sama lain saling berpaling, dan yang terbaik dari keduanya adalah yang memulai dengan salam. (Muttafaq ‘alaih—HR. Bukhari dan Muslim)

Demikianlah ketika Islam didakwahkan bukan secara ajaran Islam yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walau mereka anggap sebagai dakwah dan syi’ar, namun ada dampak-dampak jeleknya, di samping tidak sesuainya dengan Islam itu sendiri yang telah mesti. Namun ketika hal ini sudah menjadi komoditi, dagangan, maka tentu saja dibela-bela sampai dicari-carikan dalil untuk mengabsahkannya. Dan satu strip lagi tinggal melangkah ke upacara yang lebih tinggi lagi, yaitu:

Bagaimana pula kalau yang jadi bahan komoditi itu di suatu daerah justru upacara kemusyrikan seperti larung laut, sesaji untuk syetan laut, upacara penyembelihan tumbal untuk syetan dan sebagainya?

Ternyata pemimpin uapacara dan do’anya juga tampak di dalam foto, kadang berpeci bahkan bersorban. Demikianlah, kalau sudah berani mencemplung ke bid’ah, maka langkah selanjutnya ada yang sangat rawan, bila sampai masuk ke kemusyrikan. Itulah puncak perusakan Islam. Dan itulah kemunkaran yang tertinggi. Masih juga dibela-bela? Tentu saja ya, bila itu sudah dirasa mendatangkan hasil dunia. Inilah yang amat sangat berbahaya, wahai saudara-saduaraku!

Masih banyak lagi faktor-faktor lain yang menambah rusaknya umat Islam dan memberi kesempatan tumbuh suburnya aneka kesesatan. Namun contoh-contoh tersebut di atas sudah terasa nyata. Dan barangkali saja akan menjadikan tidak enaknya berbagai pihak yang sebenarnya merasa berjuang namun di sini justru seakan dianggap sebagai perusak. Sehingga tulisan inipun justru kemungkinan dianggap sebagai faktor perusak. Tidak apalah. Yang jelas, kalau kerusakan itu dipertahankan, dan diterus-teruskan, maka sudah ada jalan keluarnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللَّهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ يُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوْمَةَ لَائِمٍ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ(54)

Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu'min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Maaidah [5] : 54).

(Selesai, Alhamdulillah)



26 Penyebab Merajalelanya Kesesatan di Indonesia (5)



Oleh Hartono Ahmad Jaiz

Penyebab ke 24 telah kita bahas yakni: Ta’mir masjid dan pengurus pengajian belum tentu faham tentang Islam, dan kadang manhajnya pun rancu. Ini sudah menjadi musibah di kebanyakan tempat. Ada semacam kecenderungan, orang yang punya modal ngomong atau punya harta, atau punya kedudukan, walau kosong ilmu agama, mereka dipilih untuk duduk bahkan memimpin masjid, musholla atau pengajian. Akibatnya, masjid ataupun pengajian pun diatur semau mereka, tanpa dilandasi ilmu agama.

Mari kita lanjutkan untuk penyebab ke 25.

25. Media Massa Menyeret Manusia ke Arah Menjauhi Tuhannya.[1]

Peran media massa sangat ampuh dalam menjauhkan manusia dari agamanya, dari Tuhannya. Hampir semua media massa, arahnya tidak mengingatkan adanya kehidupan akherat. Semua hidup ini dicurahkan hanya untuk di dunia ini. Hidup ini untuk dinikmati, bukan merupakan lahan untuk beramal demi mengumpulkan bekal untuk akherat.

Sifat umum media massa, baik televisi, radio, maupun media cetak rata-rata seperti itu, masih pula sering menjerumuskan kepada kerusakan. Dari kerusakan moral akhlaq sampai kerusakan aqidah.

Media massa pada umumnya hanya mempertimbangkan uang, sehingga tidak menggubris manfaat dan madhorotnya. Bahkan cara pandang dalam pemberitaan misalnya, rata-rata memakai cara pandang sekuler, tanpa nilai Islam. Mereka berlagak obyektif, dengan cara apa yang mereka sebut keseimbangan, cover both side, kedua belah pihak dicari keterangannya dalam peliputan. Seakan itulah yang obyetif. Padahal, justru cara itulah yang berbahaya ketika penerapannya model sekuler tanpa menggubris agama. Karena akan mendudukkan suara syetan sama dengan suara Ar-Rahman. Pendapat model syetan ditampilkan, lalu untuk sekadar agar dikatakan obyektif, maka dikutip sedikit pendapat orang yang mengutip wahyu Allah, atau dianggap dekat dengan agama.

Ketika pendapat pro syetan ditampilkan panjang lebar, dan hanya ada diselingi sedikit pendapat yang pro Allah, bahkan kemudian ditutup dengan pendapat dari media massa itu yang kemungkinan sekali adalah pro syetan, maka sebenarnya yang dilakukan media massa sehari-harinya itu hanyalah melecehkan ajaran dari Allah Subhanahu wa ta’ala. Menggiring manusia ini untuk lebih jauh lagi lari dari Tuhannya. Dan itulah yang menjadi menu sehari-hari umat Islam Indonesia, sebagai ganti dari membaca dan menyimak Al-Qur’an kitab suci. Maka isi kepala dan memori jiwa manusia yang sudah digarap oleh media massa perusak sehari-hari ini adalah akherat itu mbuh ra weruh (tak tahulah), dan agama itu hanyalah embel-embel dalam hidup ini. Sehingga ketika ada da’i yang menyampaikan ayat-ayat dan hadist-hadits, maka tidak masuk ke otak manusia-manusia yang sudah terseret sehari-hari oleh arus media massa yang telah menjauhkannya dari ayat dan hadits itu. Sebaliknya, kalau ada da’i yang lucu-lucu, guyon-guyon, yang tidak membicarakan akherat, tak bicara neraka, tak bicara dosa, tak bicara tentang maksiat, tak bicara tentang taklif (beban-beban yang harus dilaksanakan) dalam agama; maka baru mereka dengarkan.

Dalam kasus ini, da’i-da’i yang bercerita mengenai kisah-kisah yang telah ditampilkan oleh media massa yang merusak itu, lalu dibumbui dengan gaya khasnya si da’i, misalnya, maka akan dianggap sebagai hiburan tambahan, dan menyenangkan. Terhadap dakwah yang lucu-lucu, goyon-guyon, dan menirukan televisi yang muatannya banyak merusak itu, maka masyarakat baru nyambung, karena arusnya sama. Itulah gambarannya. Bagaimana ketika mereka masuk kubur tiba-tiba, sedang selama hidupnya hanya terseret oleh gaya hidup yang pro syetan seperti ini?

Pers dan media massa, baik cetak maupun elektronik (televisi dan sebagainya), sebenarnya hanyalah alat untuk menyampaikan pesan. Sebagaimana telepon genggam bisa dijadikan alat untuk menyampaikan pesan lewat bicara atau lewat tulisan pesan singkat (sms). Hanya saja media massa itu ditujukan kepada masyarakat umum, sedang kalau kita menelepon atau sms hanya kepada orang-orang yang kita tuju. Karena sifatnya hanyalah alat sebagai penyampai pesan, maka tergantung pelaku-pelaku penyampai pesan itu, mau mengisi pesannya itu dengan apa.

Dalam hal pesan memesan ini, dalam Islam sudah jelas petunjuknya. Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالْعَصْرِ(1)إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2)إِلَّا الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (QS Al-‘Ashr: 1, 2, 3).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan:

{ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ } وهو أداء الطاعات، وترك المحرمات، { وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ } على المصائب والأقدار، وأذى من يؤذى ممن يأمرونه بالمعروف وينهونه عن المنكر. آخر تفسير سورة “العصر” ولله الحمد والمنة. (تفسير ابن كثير - (ج 8 / ص 480)

“…dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran”, yaitu melakukan ketaatan dan meninggalkan keharaman-keharaman. dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran” atas musibah-musibah dan taqdir-taqdir; dan gangguan dari orang yang mengganggu penegak amar ma’ruf nahi munkar.[2]



Media massa harus di barisan depan dalam memberantas kemunkaran

Dalam hal menghadapi kemunkaran atau keburukan, media massa seharusnya di barisan depan untuk memberantasnya. Karena merupakan apa yang sering jadi slogan bahwa statusnya adalah sebagai alat pengontrol masyarakat. Maka tugas utamanya adalah memberantas kemunkaran alias segala keburukan. Dalam hal memberantas kemunkaran.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ. (رَوَاهُ مُسْلِمٌ) .

Siapa di antara kalian yang melihat kemunkaran/ keburukan maka hendaknya ia mengubahnya dengan tangannya, maka apabila ia tidak mampu maka dengan lisannya, maka kalau tidak mampu maka dengan hatinya, dan hal itu adalah selemah-lemah iman. (HR Muslim).

Secara singkatnya, media massa itu sebenarnya adalah alat untuk amar ma’ruf nahi munkar, memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran/ keburukan. Tetapi ketika yang dipakai adalah teori ”keseimbangan berita” yaitu menampilkan suara pro keburukan dengan diimbangi suara pro kebaikan, maka yang terjadi adalah mengangkat keburukan itu sejajar dengan kebaikan. Ketika sudah seperti itu, jadi sama dengan berkata, jangan hanya meniru kebaikan tetapi tiru pula keburukan itu.

Selanjutnya ketika dalam kenyataan missi media massa itu memang sekuler, yang otomatis berhadapan dengan Islam, maka setelah menyejajarkan keburukan dengan kebaikan itu sudah terlaksana, maka pembaca atau pemirsa media massa itu digiring ke missi media massa itu, yang tentu saja untuk menjauh dari Islam. Otomatis keburukan yang sudah diangkat sejajar dengan kebaikan itu kemudian di angkat satu derajat lagi, menjadi agar dipilihlah keburukan itu, dan agar ditinggalkanlah kebaikan.

Itulah yang terjadi dalam permainan media massa di Indonesia bahkan di dunia ini. Karena mayoritas yang menguasai media massa di mana-mana adalah tangan-tangan orang yang tidak pro Islam walau mungkin mengaku beragama Islam kalau berada di negeri Islam. Dan itulah sebenar-benar kejahatan yang tinggi secara massal berskala nasional bahkan internasional.

Dan itulah bahaya besar yang telah diingatkan oleh AllahSubhanahu wa ta’ala dengan firman-Nya:

الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ(67)

Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma`ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah: 67).

Dalam melaksanakan misi buruknya itu, maka ketika materi yang mereka tampilkan itu berupa ajaran Islam, ditampilkanlah yang aneh-aneh, yang tak sesuai dengan Islam. Atau paling “toleran” bagi aturan mereka adalah Islam yang tanpa beban (tanpa taklif) apa-apa. Sehingga Islam yang jelas agama dari Allah Subhanahu wa ta’ala ini pun hanya menjadi bagian sasaran atau alat dari misi mereka belaka, sedang para pembaca dan pemirsa jadi korban dari kejahatan itu semua.

Secara massal telah sukses digiring oleh media massa ke arah sangat jauh dari agamanya, Islam. Namanya masih sebagai seorang Muslim, namun isi kepalanya sudah kosong dari kedekatan diri terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala. Dan lantaran penggiringan itu secara massal, maka secara seragam, tumbuhlah manusia-manusia yang mengaku Muslim tetapi sebenarnya benci terhadap ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.

Berikut ini satu contoh nyata:

Satu kejadian nyata, dialami teman, seorang da’i di Karawang Jawa Barat, yang bercerita langsung kepada saya tentang pengalaman pahitnya. Dia fasih bahasa Arabnya, baik lisan maupun tulisan. Dia faham ayat dan hadits karena memang belajar Islam sampai tingkat tinggi. Dia juga bisa bicara di depan umum, karena memang juga da’i. Suatu ketika, da’i yang tidak merokok ini harus bicara bergantian dengan da’i perokok yang model guyon-guyon lucu-lucu. Pengajian akbar pun dimulai di malam hari di daerahnya, Karawang.

Para pejabat hadir, pengunjung pun membludak. Setelah acara sambutan pejabat dan panitia, maka giliran da’i yang tak merokok dan fasih ayat dan haditsnya ini untuk tampil di depan umum. Baru bicara beberapa menit, dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, da’i yang tadi duduknya di samping para pejabat daerah di barisan depan itu, langsung diteriaki hadirin selapangan: “Turun…! Turun…! Turun…!” suasana pun ramai sekali, takkan terdengar apa yang da’i ini sampaikan. Maka terpaksa da’i yang membawakan ayat dan hadits ini pun turun, kembali ke tempat duduknya.

Kemudian tiba giliran da’i yang satunya, perokok dan pengobral lucu-lucu. Begitu tampil, dari gaya sampai bicaranya, dibuat lucu. Sehingga dari awal sampai akhir, hadirin ger geran tertawa-tawa sepanjang dia berdiri di depan mereka. Para pejabat dan masyarakat itu seakan menikmati hiburan yang ditunggu-tunggu, dan bagai menemu durian runtuh. Hanya satu orang lah yang di lapangan itu yang tak bisa tertawa, yaitu da’i yang teman saya itu tadi, yang telah mereka turunkan ramai-ramai itu. Padahal apa yang terjadi sebenarnya?

Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah memberi peringatan:

عَنْ بَهْزِ بْنِ حَكِيمٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ قَالَ سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ { وَيْلٌ لِلَّذِي يُحَدِّثُ بِالْحَدِيثِ لِيُضْحِكَ بِهِ الْقَوْمَ فَيَكْذِبُ , وَيْلٌ لَهُ , وَيْلٌ لَهُ } .

Rasulullah saw bersabda: “ Celaka bagi orang yang berkata dengan perkataan untuk membuat kaum tertawa dengannya maka dia berbohong, celaka baginya, celaka baginya.” (Hadits dikeluarkan oleh Abu Daud, At-Tirmidzi dan ia menghasankannya, An-Nasa’i, dan Baihaqi dari Bahz bin Hakim dari bapaknya dari kakeknya).

Cerita yang diada-adakan alias dusta untuk membuat orang-orang tertawa itulah yang dilakukan oleh para pelawak dalam kenyataan. Dan cara pelawak itupun dipakai pula oleh sebagian da’i. Padahal sudah jelas dikecam oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dengan ungkapan berkali-kali,wailun lahu, wailun lahu; celaka baginya, celaka baginya. Kalau keadaannya sudah seperti itu, maka majelis yang seharusnya mendapatkan rahmat dari Allah, dilingkupi oleh para malaikat yang memintakan rahmat kepada Allah itu tentu saja berubah total menjadi sebaliknya. Kemudian, pelajaran apa yang mereka bawa setelah pulang dari pengajian? Apakah mereka akan lebih bertaqwa kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala dibanding sebelumnya?

Itulah kenyataan masyarakat umum yang telah digarap oleh media massa buruk sehari-harinya, hingga sudah menjadi pembenci-pembenci ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hadits-hadits Nabishallallahu ‘alaihi wasallam. Sebaliknya menjadi penggemar-penggemar guyonan dusta yang telah dikecam keras oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. (bersambung, insya Allah).



________________________________________



[1] Dari buku Hartono Ahmad Jaiz, Nabi-nabi Palsu dan Para Penyesat Umat, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, cetakan pertama, Februari 2008, halaman 371-375.

[2] (Tafsir Ibnu Katsir juz 8 halaman 480).



Monday, May 30, 2011

Mengapa Tidak Mau Ingkar Kepada Thaghut?



Menjadi seorang muslim adalah menjadi seorang muwahhid (ahli Tauhid). Tauhid merupakan pesan abadi para utusan Allah سبحانه و تعالى kepada umat manusia dari zaman ke zaman.

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولاأَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ

Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu." (QS. An-Nahl [16] : 36)

Pesan ini dibawa oleh setiap Nabi dan Rasul Allah sepanjang masa. Setiap umat telah mendengar pesan abadi para Rasul Allah ini. Suatu pesan yang ibarat coin bersisi ganda. Ada sisi keharusan menyembah Allah سبحانه و تعالى semata dan sisi lainnya ialah menjauhi Thaghut.

Adapun menurut istilah syariat, definisi yang terbaik adalah yang disebutkan Ibnul Qayyim rahimahullah: "(Thaghut) adalah setiap sesuatu yang melampui batasannya, baik yang disembah (selain Allah Subhanahu wa Ta'ala), atau diikuti atau ditaati (jika dia ridha diperlakukan demikian)."

Definisi lain, thaghut adalah segala sesuatu yang diibadahi selain Allah (dalam keadaan dia rela). Menurut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullah di dalam kajiannya mengenai Tauhid bahwa Thaghut itu mencakup banyak hal. Namun pimpinannya ada lima, yaitu:

1. Iblis atau syetan

2. Penguasa yang zalim

3. Orang yang memutuskan perkara dengan aturan selain apa yang telah Allah سبحانه و تعالى turunkan

4. Orang yang mengaku mengetahui perkara yang ghaib selain Allah سبحانه و تعالى

5. Orang yang diibadati selain Allah dan dia rela dengan peribadatan itu.

Orang tidak dikatakan beriman kepada Allah sehingga dia kufur (ingkar) kepada thaghut, sebab kufur kepada thaghut adalah separuh dari kalimat Tauhid لآ إله إلا الله. Dan ingkar kepada thaghut harus mencakup segala jenis thaghut, bukan sebagian saja. Bila seorang muslim beriman kepada Allah سبحانه و تعالى seraya mengingkari segala bentuk thaghut yang ada, niscaya sempurnalah imannya. Ia disebut seorang muwahhid (ahli Tauhid) sejati.

مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُوَكَفَرَ بِمَا يُعْبَدُمِنْ دُونِ اللَّهِ حَرُمَ مَالُهُوَدَمُهُ وَحِسَابُهُ عَلَى اللَّهِ

Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Barangsiapa mengucapkan Laa ilaha illa Allah dan ingkar terhadap penghambaan kepada selain Allah, maka terpeliharalah hartanya, darahnya dan hisabnya (perhitungan amalnya) terserah Allah.” (HR. Muslim 1/119)

Jadi, utuhnya Tauhid seorang muslim adalah ketika berpadu di dalam dirinya keimanan akan Allah سبحانه و تعالى dibarengi dengan berlepas dirinya dari penghambaan kepada apapun atau siapapun selain Allah سبحانه و تعالى alias thaghut. Inilah yang sering disebut dengan pasangan al-wala’ (loyalitas/kesetiaan) dan al-bara’ (disasosiasi/berlepas diri). Tidak dikatakan beriman seorang yang mengaku muslim bila ia hanya wala’ kepada Allah سبحانه و تعالى namun tidak bersedia untuk bara’ dari thaghut. Perumpamaannya seperti seorang yang ingin sehat dan bugar tetapi dengan jalan memakan makanan yang menyehatkan, bergizi lagi mengandung nutrisi tinggi sambil tetap membiarkan diri mengkonsumsi makanan-makanan yang mengandung racun, toxic dan merusak tubuh. Bagaimana ia akan benar-benar menjadi sehat dan bugar? Mustahil.

Demikian pula dengan seorang muslim yang ingin diterima Allah سبحانه و تعالى . Mustahil hal itu akan bisa terwujud bila di satu sisi ia menyerahkan wala’-nya kepada Allah سبحانه و تعالى , mengaku meyakini kebenaran ajaran dienullah Al-Islam serta menjadikan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم sebagai teladan namun pada saat yang sama ia tetap menyerahkan wala’-nya juga kepada pihak thaghut, meyakini kebenaran ideologi, aturan dan hukum thaghut serta menokohkan para sosok pemimpin thaghut dalam kehidupan sehari-hari. Mustahil keinginannya untuk diterima Allah سبحانه و تعالى sebagai seorang muslim alias hamba yang menyerahkan diri kepada Allah سبحانه و تعالى bakal tercapai....! Itulah rahasianya mengapa setiap khutbah jumat para khotib dari atas mimbar senantiasa mewasiatkan jamaah untuk bertaqwa dengan sebenar-benarnya taqwa kepada Allah سبحانه و تعالى . Karena hanya dengan itulah seorang manusia berpeluang untuk menemui ajal dalam keadaan menjadi seorang muslim.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّتُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah sebenar-benar taqwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan sebagai muslim.” (QS. Ali-Imran [3] : 102)

Seorang muslim yang di satu sisi ber-wala’ kepada Allah سبحانه و تعالى namun di lain sisi juga ber-wala’ kepada thaghut adalah seorang muslim yang berdusta. Sebab pihak yang ber-wala' kepada thaghut berarti menjadikan thaghut tersebut menjadi wali-nya (pemimpin, pelindung dan penolongnya). Dan itu berarti ia tidak bisa disebut seorang yang beriman. Padahal ia tidak mau disebut sebagai seorang kafir. Di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa yang ber-wala’ kepada Allah سبحانه و تعالى berarti menjadikan Allah سبحانه و تعالى sebagai Wali-nya (pemimpin, pelindung dan penolongnya). Dan mereka itulahlah orang-orang yang beriman. Sedangkan yang ber-wala’ kepada thaghut adalah kaum kafir. Bagaimana mungkin di dalam diri satu orang ada dua identitas yang bertolak-belakang? Mustahil.

اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آمَنُوايُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِإِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُالطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَالنُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ

“Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran).” (QS. Al-Baqarah [2] : 257)

Manusia yang bersikap ganda dalam menyerahkan wala’-nya berarti telah mendustakan pengakuan dirinya sebagai seorang yang beriman. Bagaimana bisa ia di satu sisi ber-Wali-kan Allah سبحانه و تعالى tetapi pada saat yang bersamaan ber-wali-kan thaghut? Bagimana mungkin di satu sisi ia ingin hidup dalam cahaya (iman) yang terang benderang padahal setiap saat ia justeru semakin menuju kepada kegelapan (kekafiran)? Sungguh, ia adalah seorang pendusta...! Inilah sebabnya Allah سبحانه و تعالى tidak membiarkan manusia sekadar mengaku kalau dirinya beriman lalu tidak mengalami ujian lebih lanjut. Ujian di dalam kehidupan di dunia merupakan sarana untuk menyingkap siapa yang jujur dalam pengakuan keimanannya dan siapa yang berdusta.

أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُواأَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَهُمْ لا يُفْتَنُونَوَلَقَدْ فَتَنَّا الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْفَلَيَعْلَمَنَّ اللَّهُ الَّذِينَصَدَقُوا وَلَيَعْلَمَنَّ الْكَاذِبِينَ

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut [29] : 2-3)

Dewasa ini kita sedang menjalani era penuh fitnah (ujian). Belum pernah ummat Islam mengalami era yang lebih pahit daripada era sekarang. Bayangkan...! Allah سبحانه و تعالى menguji kaum beriman dengan mengizinkan kepemimpinan dunia secara global diserahkan kepada kaum kuffar. Berarti perjalanan dunia dewasa ini sedang disetir oleh para thawaghit (bentuk jamak dari kata thaghut). Aturan dan hukum yang diberlakukan juga merupakan aturan thaghut hasil rumusan para thaghut. Sementara aturan dan hukum Allah سبحانه و تعالى tidak diizinkan untuk diberlakukan, malah dilabel sebagai aturan yang kuno, tidak sesuai dengan zaman modern dan dipandang zalim. Na’udzubillaaahi min dzaalika...!

Hampir setiap hari kita dengar kabar bahwa di Amerika serta Eropa kaum kuffar dan para pemimpinnya menolak the Shariah Law(syariat hukum Allah سبحانه و تعالى). Kalau itu hanya terjadi di negeri-negeri mereka, kita masih bisa maklumi. Tetapi pahitnya, hal ini sudah menjadi trend (kecenderungan umum) di negeri-negeri berpenduduk mayoritas muslim juga. Tidak sedikit kaum muslimin yang terang-terangan menolak diberlakukannya syariat hukum Allah سبحانه و تعالى . Dia mengaku ber-Wali-kan Allah سبحانه و تعالى tetapi ia lebih rela tunduk kepada hukum thaghut..! Kondisi dan derajat ujian yang ummat Islam hadapi dewasa ini sudah sangat mirip dengan gambaran hadits Nabi صلى الله عليه و سلم sebagai berikut:

لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْشِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍحَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِيجُحْرِ ضَبٍّلَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِآلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: "Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak pun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (HR. Muslim 4822)

Kita tidak bisa pungkiri bahwa kepemimpinan global dunia sedang di tangan masyarakat barat. Mereka tidak lain merupakan the Judeo-Christian Civilization (peradaban Yahudi-Nasrani). Kemudian kita saksikan begitu banyak kaum muslimin beserta para pemimpinnya mengekor kepada peradaban mereka dalam hampir segenap aspek kehidupan di dunia. Padahal sikap demikian sama saja dengan sikap wala’ ganda. Di satu sisi ingin ber-Wali-kan Allah سبحانه و تعالى tetapi di lain sisi membiarkan diri juga menjadikan thaghut sebagai wali pula. Allah سبحانه و تعالى jelas-jelas melarang hal ini. Malah Allah سبحانه و تعالى menggambarkan mereka yang bersikap demikian sama saja telah menjadi bahagian dari golongan mereka, yang berarti keluar dari identitas sebagai kaum muslimin....!

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوالا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىأَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍوَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْإِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi wali-walimu (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Maidah [5] : 51)

Dan mereka yang mengekor kepada kaum kuffar —baik dari kalangan ahli Kitab maupun kaum musyrikin— berarti telah menyediakan kehidupannya untuk diatur berdasarkan hukum thaghut padahal mereka mengaku beriman....!

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَأَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَوَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِوَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِوَيُرِيدُ الشَّيْطَانُأَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 60)

Sungguh, setelah memperhatikan berbagai peringatan dan penjelasan Allah سبحانه و تعالى di atas yang begitu terang, hanya satu pertanyaan yang menggelayut di fikiran seorang muslim-muwahhid sejati: mengapa gerangan masih ada orang yang mengaku dirinya muslim namun tidak mau mengingkari thaghut? Wallahu a’lam bish-showwaab.







Ketaatan Terpuji Versus Ketaatan Tercela


Kata taat secara umum selalu dikaitkan dengan kebaikan. Karena istilah ini biasanya diasosiasikan oleh kebanyakan masyarakat sebagai bukti baiknya keber-agama-an seseorang. Semakin beragama seseorang semakin ia disebut sebagai “orang yang taat”. Benarkah setiap orang yang disebut taat pasti merupakan bukti bagusnya ia dalam kehidupan beragama? Atau lebih khususnya lagi, benarkah orang yang disebut taat selalu merupakan seorang yang pasti bagus ketaqwaannya kepada Allah سبحانه و تعالى ?

Benarkah seorang karyawan yang selalu taat kepada pimpinan perusahaannya pasti seorang karyawan yang baik? Benarkah seorang anak yang selalu taat kepada orang-tuanya pasti merupakan seorang anak yang baik? Benarkah seorang anggota organisasi yang taat kepada pimpinan organisasinya pasti merupakan seorang anggota yang baik?

Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas sangat tergantung kepada pengertian “karyawan yang baik” menurut siapa? “Anak yang baik” menurut siapa? Dan “anggota yang baik” menurut siapa? Jika pengertian “karyawan yang baik” tersebut tergantung sepenuhnya kepada si pimpinan perusahaan, maka pastilah karyawan yang selalu taat kepadanya dipandang baik olehnya. Demikian pula, jika pengertian “anak yang baik” tersebut tergantung sepenuhnya kepada orang-tua si anak tadi, maka pastilah anak yang selalu taat kepadanya dipandang baik olehnya. Begitu pula, jika pengertian “anggota yang baik” tersebut tergantung sepenuhnya kepada si pimpinan organisasi, maka pastilah anggota yang selalu taat kepada dirinya dipandang baik olehnya.

Di sinilah rahasianya mengapa Islam memiliki pembahasan khusus mengenai ketaatan. Bahkan Islam menempatkan urusan ini ke dalam perkara paling fundamental dalam kehidupan seorang muslim. Urusan ketaatan sangat berkaitan erat dengan kejernihan aqidah seorang muslim. Makanya Islam memandang bahwa ada dua jenis ketaatan: (1) Ketaatan Terpuji dan (2) Ketaatan Tercela.

Ketaatan terpuji yaitu ketika seorang karyawan perusahaan, anak atau anggota organisasi mematuhi pimpinan atau orang-tuanya semata-mata karena ketaatannya kepada Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم . Artinya, ia hanya mau mentaati pimpinan atau orang-tuanya ketika ia yakin benar bahwa apa yang mereka suruh adalah benar-benar dalam rangka mentaati Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم . Orang yang ketaatannya terpuji sangat sensitif dan teliti terhadap setiap instruksi yang disampaikan pimpinan dan orang-tuanya. Kepercayaan dan rasa hormatnya kepada pimpinan atau orang-tua tidak menyebabkan dirinya menjadi harus taat secara membabi buta kepada apapun perintah pimpinan atau orang-tuanya. Sebab ia tahu benar bahwa siapapun bisa keliru dan digoda syetan sehingga mengeluarkan perintah yang ternyata bertentangan dengan ketentuan Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم .

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ

بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا

“Dan jika keduanya (orang-tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS Lukman 15)

Oleh karenanya di dalam Islam setiap muslim diharuskan untuk memiliki pengetahuan mengenai ajaran Islam sehingga dengan pengetahuan itulah ia dapat senantiasa menilai apakah sebuah instruksi patut ia segera laksanakan atau sebaliknya ia kritisi dan tidak taati. Malah idealnya, jika sanggup, ia justeru beri masukan atau menasehati pimpinannya, bahkan orang-tuanya, agar tidak memaksa dirinya melaksanakan perintah batil tersebut. Lebih baik lagi jika ia berhasil meyakinkan pimpinan atau orang-tuanya untuk meninjau-ulang sampai mencabut perintah batil tadi. Akhirnya si pimpinan atau orang-tua menjadi sadar dan bertaubat akan kekeliruannya.

Seorang sahabat bernama Saad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu masuk Islam ketika usianya masih remaja belia. Saat itu tahapan da’wah di kota Mekkah masih dalam tahapan sirriyyatud-da’wah (da’wah sembunyi-sembunyi). Setiap yang masuk Islam masih harus menyembunyikan keIslamannya. Demikian pula halnya dengan Saad. Namun, ketika ia sampai rumah ternyata ibunya yang merupakan seorang wanita musyrik fanatik, telah mendapat bocoran bahwa puteranya menjadi pengikut Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Langsung ibunya menginterogasi Saad: “Benarkah berita yang kuterima bahwa kau, Saad, sudah menjadi pengikut agama Muhammad dan meninggalkan agama nenek moyang kita, yaitu menyembah berhala?!” Maka Saad tidak dapat bersembunyi lagi. Iapun menjawab: “Benar, wahai ibu.” Maka ibunya menjadi sangat murka. “Kalau begitu, Saad, sekarang juga ibu perintahkan kau agar segera meninggalkan agama Muhammad yang sesat itu dan kembali kepada agama nenek-moyang kita...! Jika tidak mau, maka ibu akan mogok makan hingga kau mentaatiku...!” Laa haula wa laa quwwata illa billaah...!

Maka Saad segera konsultasi kepada Rasulullah صلى الله عليه و سلم menceritakan apa yang ia alami. “Bagaimana nasibku ini, ya Rasulullah?” Maka Nabi صلى الله عليه و سلم balik bertanya: “Engkau sendiri bagaimana Saad? Apa pendapatmu mengenai keadaan ini?” Saadpun menjawab: “Demi Allah, hatiku sudah mantap dalam iman dan islam, ya Rasulullah. Dan akalku mengatakan bahwa mustahil bagiku untuk harus kembali menyembah berhala yang tidak dapat sedikitpun memberi manfaat atau mudharat bagi hidupku...!” Maka Nabipun berkata: “Jika demikian, Saad, berdoalah kepada Allah سبحانه و تعالى semoga ibumu mendapat hidayah dari-Nya. Namun, ingat, wahai Saad, birrul-walidain (berbuat baiklah kepada orang-tuamu)...”

Maka sejak saat itu Saad-pun menampilkan dirinya sebagai seorang anak yang berbakti sebaik mungkin kepada orang-tuanya. Apapun yang disuruh orang-tuanya pasti ia kerjakan. Bahkan hal-hal yang belum disuruhpun, asalkan itu dapat menyenangkan hati orang-tuanya, juga ia kerjakan segera. Hanya satu hal yang tidak mau ia kerjakan: memenuhi permintaan ibunya agar ia murtad kembali kepada agama kemusyrikan.

Setelah berlalu beberapa waktu, ibunyapun akhirnya memanggil Saad: “Bagaimana Saad, apakah kau sudah memenuhi permintaan ibu? Meninggalkan agama Muhammad صلى الله عليه و سلم dan kembali kepada agama nenek-moyang kita?” Maka, pada saat itu Saad memperoleh ilham dari Allah سبحانه و تعالى . Ia lalu menjawab: “Demi Allah, yang jiwaku di dalam genggamanNya. Jika ibu mogok makan hingga nyawa ibu melayang lalu mati, lalu diganti Allah سبحانه و تعالى dengan nyawa baru dan itupun melayang, lalu diganti Allah سبحانه و تعالى dengan nyawa baru dan itu juga melayang, bahkan berratus nyawa keluar masuk tubuh ibu, aku tidak akan tinggalkan agama Muhammad صلى الله عليه و سلم yang sudah kuyakini kebenarannya itu...!” Mendengar jawaban tegas puteranya seraya mengenang bahwa semenjak menjadi muslim, Saad telah berubah menjadi anak yang luar biasa baiknya dan berbaktinya kepada orang-tua, maka hati ibunyapun luluh sehingga ia berkata: “Jika demikian, Saad, tolong ajarkan ibu bagaimana caranya menjadi seorang muslim?” Subhaanallah...!

Adapun ketaatan tercela ialah ketika seorang karyawan perusahaan, anak atau anggota organisasi mematuhi pimpinan atau orang-tuanya semata-mata karena ia meyakini prinsip bahwa mereka harus ditaati, apapun isi perintahnya, bagaimanapun keadaannya, suka maupun tidak suka. Bahkan mereka membanggakan ketaatan membabi-buta tersebut. Barangsiapa selalu mentaati pimpinan atau orang-tuanya, baik dalam urusan yang benar ataupun batil di mata Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم , maka si karyawan, anak atau anggota tersebut dipandang sebagai “orang yang taat” dan patut dihormati bahkan diberikan penghargaan, pujian dan hadiah. Dan untuk menyempurnakan penilaian tadi, si karyawan atau anak atau anggota tersebut menyerahkan penghormatan dan kepercayaannya kepada pimpinan atau orang-tua sampai ke derajat dimana jika suatu keraguan muncul di dalam akal atau hatinya terhadap suatu perintah, maka ia berkata kepada dirinya sendiri: “Sudahlah, tidak usah diperdebatkan lagi, para pimpinan kita kan jauh lebih tahu daripada kita, kita kan jauh di bawah mereka. Sudahlah, kita taat dan tsiqoh (percaya) sajalah kepada mereka! Tentu mereka jauh lebih faham daripada kita. Tidak mungkin apa yang mereka suruh itu buruk buat kita, mereka pasti sudah mempertimbangkannya masak-masak. Kalau ketaatan kita harus selalu dilandasi pemahaman, maka itu hal biasa. Tapi kalau kita tetap taat dan tsiqoh tanpa memahami landasan perintah pimpinan, barulah itu istimewa.”

Sehingga bisa terjadi bahwa seorang pemimpin organisasi da’wah menyuruh para anggotanya untuk memilih orang fasik menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Kemudian para anggotanya mentaati sepenuhnya perintah batil tersebut. Padahal track record (jejak-rekam) orang fasik tersebut sudah jelas memusuhi Islam dan da’wah selama ini. Tetapi karena para anggota organisasi sedemikian terbiasa dengan ketaatan membabi-buta, merekapun memenuhi permintaan pimpinan organisasi. Ini merupakan contoh ketaatan tercela yang sangat jelas.

Jadi, akhirnya mereka tidak pernah mengasah otaknya untuk bertanya, adakah sebenarnya perintah pimpinan atau orang-tuanya selaras atau tidak dengan perintah Allah سبحانه و تعالى dan rasulNya صلى الله عليه و سلم ? Sebab itu sudah tidak menjadi persoalan lagi. Yang menjadi persoalan ialah bagaimana memperoleh penilaian positif, pengakuan, penghargaan, pujian dari pimpinan atau orang-tua dengan jalan selalu mentaati apapun yang mereka suruh. Akhirnya, orang-orang seperti ini telah mengabaikan mengejar ridha Allah سبحانه و تعالى sebagai tujuan utama kehidupan. Sebab bagi mereka yang penting adalah mengejar ridha pimpinan atau ridha orang-tua, dengan keyakinan bahwa jika pimpinan atau orang-tua sudah ridha pastinyalah Allah سبحانه و تعالى juga meridhai ketaatannya tersebut. Memang benar terdapat hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم yang berbunyi:

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

"Ridha Allah terdapat pada ridha seorang bapak, dan murka Allah juga terdapat pada murkanya seorang bapak." (TIRMIDZI - 1821)

من أطاعني فقد أطاع الله و من عصاني فقد عصى الله

و من يطع الأمير فقد أطاعني و من يعص الأمير فقد عصاني

Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Barangsiapa mentaati aku, ia mentaati Allah سبحانه و تعالى dan barangsiapa mendurhakaiku, maka ia telah mendurhakai Allah سبحانه و تعالى . Barangsiapa mentaati pemimpin, maka ia mentaati aku dan barangsiapa mendurhakai pemimpin, maka ia mendurhakaiku.” (HR Ibnu Khuzaimah)

Kedua hadits di atas merupakan hadits shahih. Namun tentunya kita tidak boleh melihatnya secara terpisah dari ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى dan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه و سلم lainnya. Sehingga Allah سبحانه و تعالى berfirman:

وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي

مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا

Dan jika keduanya (orang-tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS Lukman 15)

Ketika orang-tua sudah memerintahkan anak agar menjadi hamba yang musyrik sudah barang tentu si anak tidak lagi wajib mentaati orang-tuanya, bahkan si anak menjadi haram mentaati orang-tuanya. Sebab Allah سبحانه و تعالى tidak pernah ridha kepada orang yang mempersekutukan diriNya dengan apapun. Bahkan dosa syirik merupakan dosa yang tidak terampuni..!

إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ

لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisa 48)

Jadi, walaupun Nabi صلى الله عليه و سلم menyatakan bahwa ridha Allah سبحانه و تعالى terdapat pada ridha orang-tua, tetapi mustahil seorang anak akan diridhai Allah سبحانه و تعالى ketika ia mentaati perintah orang-tuanya untuk berbuat dosa syirik..!

Demikian pula dengan ketaatan kepada pimpinan. Kita harus selalu bersikap kritis dan teliti jangan sampai ketaatan kepada pimpinan menyebabkan hilangnya keridhaan Rasulullah صلى الله عليه و سلم bahkan keridhaan Allah سبحانه و تعالى ? Mungkinkah itu terjadi? Mungkin sekali. Karena itulah Rasulullah صلى الله عليه و سلم sampai bersabda:

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ

وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ

قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya.Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya, tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa). Para sahabat langsung menyelak: "Bagaimana jika kita perangi saja?" Nabi صلى الله عليه و سلم menjawab: "Tidak! Selama mereka masih shalat."” (MUSLIM 3445)

Bayangkan, dengan kriteria “masih shalat” berarti mereka adalah pemimpin yang berstatus resmi muslim. Tetapi Nabi صلى الله عليه و سلم malah mengatakan “Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya, tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa).” Jadi, jangankan tidak mentaatinya, malah Nabi صلى الله عليه و سلم justeru menjamin kebaikan jika kita membenci dan tidak menyetujui pemimpin seperti itu. Sedangkan orang yang malah rela dan mematuhi pemimpin seperti itu berarti Nabi صلى الله عليه و سلم malah berlepas diri dari tanggungan dosa yang dipikul karena mentaatinya secara taqlid (membabi-buta).

Pantas bila Allah سبحانه و تعالى ketika menyuruh orang-orang beriman agar mentaati para pemimpin hendaknya memperhatikan apakah pemimpin tersebut senantiasa menjadikan Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم sebagai rujukan utama dalam penyelesaian berbagai perselisihan. Sebab, hanya dengan memenuhi kriteria itu sajalah seorang pemimpin layak ditaati oleh ummat Islam. Namun jika tidak, maka sudah sepantasnya pemimpin itu tidak ditaati lagi. Mengapa? Karena itu berarti bahwa pemimpin tersebut menghendaki untuk menyelesaikan masalah dengan menjadikan selain Allah سبحانه و تعالى dan rasulNya صلى الله عليه و سلم sebagai rujukan utama. Dan itu berarti pemimpin tersebut mengarahkan ummat yang ia pimpin untuk mengabaikan alias mendurhakai Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم dan bahkan menyuruh pengikutnya untuk mentaati selain Allah سبحانه و تعالى yang tidak lain adalah thaghut...! Demikianlah Allah سبحانه و تعالى jelaskan di dalam KitabNya. Jika tidak kembali kepada aturan dan hukum Allah سبحانه و تعالى berarti kembalinya kepada hukum thaghut. Pilihan hanya dua: kembali kepada Allah سبحانه و تعالى atau kepada thaghut.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (para pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.(QS An-Nisa 59-60)

Dan jika seseorang mentaati pemimpin semata karena meyakini bahwa mentaati pemimpin merupakan kebaikan yang harus dilakukan tanpa peduli apapun landasan perintahnya, tanpa sikap kritis dan teliti, tanpa sadar bahwa ternyata pemimpin malah mengajak untuk mendekati bahkan mentaati thaghut, maka orang tersebut sungguh berada dalam bahaya. Bahaya bukan sekedar di dunia, tetapi bahaya di akhirat. Itulah bahaya yang sejati dan abadi. Wa na’udzu billaahi min dzaalika...!

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ

يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا

وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا

فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آَتِهِمْ

ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (AS Al-Ahzab 66-68)



Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya Maju?


Pertanyaan di atas merupakan judul sebuah buku terkenal karya Amir Syakib Arsalan yang ditulis pada awal abad ke dua puluh. Beliau menulisnya sebagai hasil analisanya terhadap kondisi terpuruk dan terpecah-belahnya ummat Islam pada masa itu. Sesudah hampir satu abad sejak ditulis, ternyata isi bukunya masih cukup relevan dengan realitas ummat Islam dewasa ini.

Beliau menjadi saksi sejarah keruntuhan Kesultanan Turki Utsmani serta semakin mencengkeramnya fihak imperialis penjajah Eropa di berbagai negeri Islam. Beliau mencatat bagaimana negeri-negeri Islam tidak berdaya dijajah oleh aneka penjajah, seperti Inggris, Perancis, Itali, Belanda dan beliau sangat risau serta prihatin dengannya. Akhirnya beliau menjadi heran sehingga mengajukan pertanyaan di atas“Mengapa Kaum Muslimin Mundur Dan Kaum Selainnya Maju?”

Secara garis besar Syakib Arsalan berkesimpulan bahwa kaum muslimin menjadi mundur dikarenakan mereka meninggalkan agama mereka dienullah Al-Islam. Sedangkan pihak Eropa barat kafir justeru menjadi maju karena mereka meninggalkan agama mereka, yaitu agama Nasrani atau Kristen. Mengapa bisa demikian? Karena Islam adalah agama yang benar, sempurna dan saling menyempurnakan antara satu bagian dengan bagian lainnya. Sedangkan agama para penjajah merupakan agama yang telah kehilangan keasliannya. Agama Nasrani telah mengalami banyak penyimpangan serta kontaminasi nilai akibat ulah tangan-tangan jahil para rahib, pendeta dan pastornya. Mereka telah sengaja merubah isi Al-Kitab Bible di sana-sini. Perubahan tersebut dilakukan karena berbagai kepentingan duniawi dan hawa nafsu. Oleh sebab itu Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم pernah bersabda:

لَا تُصَدِّقُوا أَهْلَ الْكِتَابِ وَلَا تُكَذِّبُوهُمْ وَقُولُواآمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ الْآيَةَ

“Jangan kalian benarkan ahli kitab, dan jangan pula kalian mendustakannya, dan katakan saja ‘Kami beriman kepada Allah, dan apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepadamu’.”(HR. Bukhari 6816)

Sedangkan sumber utama ajaran Al-Islam, yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah, keduanya memperoleh jaminan terpelihara keasliannya dari Allah سبحانه و تعالى :

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ

“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al-Hijr [15] : 9)

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى

“...dan tiadalah yang diucapkannya (Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم ) itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya),” (QS. An-Najm [53] : 3-4)

Selain itu, kaum muslimin menjadi mundur saat meninggalkan agamanya karena Islam dan ilmu pengetahuan berjalan seiring. Sehingga begitu kaum muslimin meninggalkan Islam secara otomatis juga meninggalkan ilmu pengetahuan, maka akibatnya mereka menjadi mundur. Sebaliknya, kaum kafir Eropa memiliki agama yang diwakili oleh pihak gereja pada abad kegelapan. Dan bukan rahasia lagi bahwa pada masa itu banyak doktrin dan ajaran fihak gereja alias agama Nasrani bertolak belakang dengan ilmu pengetahuan. Sehingga ketika masyarakat kafir Eropa berontak terhadap belenggu gereja mereka secara otomatis mendekat kepada ilmu pengetahuan dan itu menyebabkan mereka menjadi maju.

Dalam situasi seperti itu Amir Syakib Arsalan membedah persoalan kaum muslimin. Dengan piawai beliau berhasil merumuskan secara tertib rangkaian sebab mundurnya kaum muslimin dan majunya kaum selainnya. Ada lima sebab menurutnya. Dan kelima sebab tersebut memiliki hubungan sebab-akibat satu sama lainnya. Uniknya lagi, kelima sebab tersebut jika kita perhatikan baik-baik, masih sangat relevan dengan keadaan kaum muslimin hingga saat ini. Kelima sebab tersebut ialah sebagai berikut:

1. Jauh dari Kitabullah Al-Qur’anul Karim dan As-Sunnah An-Nabawiyyah

2. Hilangnya tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam—inhizamun dakhily (inferior/rendah diri)

3. At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta)

4. At-Tafriqoh (perpecahan)

5. Tertinggal dalam berbagai urusan dunia

Pertama, kaum muslimin pada umumnya jauh dari dua sumber utama kemuliaan mereka, yakni Kitabullah Al-Qur’an dan As-Sunnah An-Nabawiyyah. Padahal Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم secara gambalang mewasiatkan agar kita senantiasa berpegang teguh kepada kedua warisan suci tersebut. Hanya dengan bersikap demikianlah kita tidak bakal menjadi tersesat dari jalan lurus yang Allah سبحانه و تعالى telah bentangkan bagi orang-orang beriman.

تَرَكْتُ فِيكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِ

Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda, "Telah aku tinggalkan untuk kalian, dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya." (HR. Malik 1395)

Semestinya kedua perkara ini menjadi rujukan utama kaum muslimin, baik dalam urusan kecil maupun besar, baik urusan pribadi maupun bermasyarakat. Kedua perkara ini merupakan sumber kemuliaan dan kebanggaan kaum muslimin. Jika mereka akrab dengannya, niscaya mereka menjadi mulia. Jika mereka jauh dari keduanya, niscaya mereka akan dihinggapi kehinaan sebagaimana yang tampak dewasa ini.

وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَاوَاتُ وَالأرْضُوَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ

“Andai kata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS. Al-Mukminun [23] : 71)

Realitasnya, dewasa ini hubungan kaum muslimin umumnya jauh dari kedua sumber utama ajaran Islam tersebut. Kalaupun ada hubungan biasanya hanya hubungan parsial. Ada yang hubungannya dengan Al-Qur’an hanya sebatas tilawah (membacanya). Atau kalaupun ada yang lebih daripada itu ialah hubungan tahfizh (menghafalkannya). Ini bukan berarti kita tidak menganggap penting aktifitas tilawah dan tahfizh Al-Qur’an. Tetapi masalahnya ini tidaklah cukup. Allah سبحانه و تعالى tidak menurunkan Al-Qur’an dengan maksud sebatas itu. Allah سبحانه و تعالى menurunkan Al-Qur’an agar menjadi petunjuk, pedoman hidup bagi ummat Islam, bahkan segenap ummat manusia. Allah سبحانه و تعالى menghendaki agar dengan berpedoman kepada Al-Qur’an ummat manusia keluar dari kegelapan jahiliyah menuju terangnya hidayah cahaya Islam. Maka sepatutnya kaum muslimin juga tadabbur (memahami) dan tathbiq (mengamalkan) Al-Qur’anul Karim.

Tetapi hal di atas tidak terjadi. Malah banyak muslim yang lebih bangga hidup berpedoman kepada berbagai sumber kebanggaan selain daripada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi صلى الله عليه و سلم . Mereka bangga dengan berbagai kitab karya manusia. Ada yang lebih bangga dengan kitab warisan nenek moyangnya yang bukan Islam. Ada yang membanggakan kitab produk kaum kuffar Eropa. Ada yang membanggakan kitab lokal-tradisional suku atau bangsanya yang bukan berpedoman kepada Kitabullah. Dan banyak lagi lainnya. Padahal Allah سبحانه و تعالى sudah memperingatkan apa yang bakal terjadi jika mereka meninggalkan sumber kebanggaan yang berasal dari Allah سبحانه و تعالى dan Sunnah Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم .

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلا تَتَّبِعُواالسُّبُلَفَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“...dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-An’aam [6] : 153)

Kedua, Hilangnya tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam—inhizamun dakhily (inferior). Dikarenakan kaum muslimin jauh dari sumber kebanggaan dan kemuliaannya, maka mulailah tumbuh sikap minder atau malu menjadi seorang muslim. Mulailah kaum muslimin terjangkiti penyakit inferior (rendah diri) untuk menampilkan nilai-nilai Islam dalam kesehariannya. Mereka tidak ingin dianggap terbelakang dan ketinggalan zaman. Sedangkan agama Islam sudah terlanjur di-asosiasi-kan dengan segala sesuatu yang mengindikasikan keterbelakangan dan ketinggalan zaman. Hilang sudah kebanggaan diri sebagai seorang muslim. Padahal di dalam Al-Qur’an justeru Allah سبحانه و تعالى muliakan orang-orang beriman dengan menamakan mereka kaum muslimin.

هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ مِلَّةَأَبِيكُمْ إِبْرَاهِيمَ هُوَ سَمَّاكُمُ الْمُسْلِمِينَ مِنْ قَبْلُ وَفِي هَذَا

“Dia (Allah سبحانه و تعالى ) telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian muslimin dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al-Qur'an) ini.” (QS. Al-Hajj [22] : 78)

Karena jauh dari Al-Qur’an, maka kaum muslimin menjadi seolah tidak pernah membaca ayat di atas. Mereka tidak sadar bahwa justeru tampil dengan identitas Islam merupakan tuntutan dari Allah سبحانه و تعالى dan barangsiapa bangga dengan nilai-nilai Islam berarti ia sedang mengejar ridha Allah سبحانه و تعالى . Dan ini berarti mereka belum benar-benar beriman. Sebab Allah سبحانه و تعالى berjanji bahwa barangsiapa yang beriman dengan benar, niscaya hilanglah rasa rendah diri dan kesedihan hidupnya.

وَلا تَهِنُوا وَلا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الأعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS. Ali-Imran [3] : 139)

Ketiga, At-Taqlid (mengekor secara mambabi buta). Karena sudah tidak memiliki tsiqoh (kepercayaan) terhadap Islam sebagai jalan hidup, maka mulailah kaum muslimin melirik berbagai ajaran selain agama Allah سبحانه و تعالى .

Karena mereka minder menyebut diri sebagai muslim, minder bila tampil dengan identitas Islam semata, tidak yakin bakal diterima di tengah masyarakat modern bila hanya mengkampanyekan Islam saja, maka mulailah mereka mencari alternatif lain yang diyakini bakal lebih “laku” di tengah zaman penuh fitnah ini. Mulailah mereka mencari alternatif lain yang mereka yakini bakal secara cepat mendatangkan dukungan luas masyarakat. Sambil melupakan pentingnya dukungan Allah سبحانه و تعالى sebelum segala sesuatunya. Apalah artinya mendapat dukungan luas masyarakat bila Allah سبحانه و تعالى tidak ridha. Jauh lebih penting dan sudah semestinya kaum muslmin selalu mengutamakan dukungan atau ridha Allah سبحانه و تعالى daripada dukungan masyarakat luas. Walaupun sudah barang tentu ideal bila dapat memperoleh dukungan Allah سبحانه و تعالى sekaligus dukungan masyarakat luas. Tetapi di zaman penuh fitnah seperti sekarang ini, pilihan yang ada seringkali sangat pahit. You can”t win them all...!

Masing-masing diri dan kelompok mencari seruan, jalan hidup, ideologi, pandanganhidup, nilai-nilai selain Islam yang dia lebih tsiqoh kepadanya. Lalu mereka mengikutinya dengan semangat taqlid alias membabi-buta. Mereka tidak mengkritisi ajaran baru yang mereka pandang menjadi solusi lebih baik dari Islam, baik mengikutinya secara murni maupun dengan mengkombinasikannya bersama ajaran Islam. Biasanya sebelum mereka taqlid dengan ajaran baru tersebut mereka mengaku sudah meneliti dan mempelajarinya secara mendalam. Dan kesimpulannya mereka katakan bahwa ajaran baru tersebut sejalan alias tidak bertentangan dengan Islam. Itulah sebabnya mereka menganutnya.

Mereka lupa bahwa kalaupun ajaran baru itu tampak sejalan dengan Islam, namun ia merupakan produk manusia yang sudah barang tentu tidak sempurna bebas-cacat dan penyimpangan, serta tidak pantas disetarakan, apalagi ditinggikan lebih daripada ajaran produk Allah سبحانه و تعالى . Subaahanallahi ‘amma yusyrikun (Maha Suci Allah سبحانه و تعالى dari apa-apa yang mereka persekutukan/asosiasikan). Dan lagi, kalaupun ada ajaran selain Islam yang “sejalan” dengan Islam, mengapa tidak merasa cukup dengan menganut Islam saja? Mengapa harus lebih mengedepankan ajaran selain Islam-nya? Mengapa tidak Islam-nya saja yang dikedepankan? Bukankah Allah سبحانه و تعالى sudah mengarahkan kita untuk senantiasa menampilkan Islam dan mengaku muslim dalam berbagai kiprah saat kita mengajak manusia menuju Allah سبحانه و تعالى alias saat sedang terlibat dalam aktifitas mengajak manusia yang biasa dikenal dengan istilah ad-da’wah..?

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِوَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru (mengajak) kepada Allah سبحانه و تعالى , mengerjakan amal yang saleh dan berkata, ‘Sesungguhnya aku termasuk kaum muslimin (orang-orang yang berserah diri)?’" (QS. Fushilat [41] : 33)

Mulailah penyakit taqlid alias mengekor secara membabi buta menjadi fenomena di tengah kaum muslimin. Yang terlalu kagum dengan asal-usul identitas bangsa dan nenek moyangnya mengambil nasionalisme. Yang over-kagum dengan tatanan sosial masyarakat barat mengambil sekularisme dan demokrasi. Yang berlebihan mengutamakan toleransi dan perdamaian mengambil pluralisme. Yang tidak kuasa mengendalikan hawa nafsunya dan terlena dengan kesenangan dunia fana mengambil liberalisme dan hedonisme. Yang mendewakan akalnya sibuk berlomba mengejar ketertinggalan di bidang materi, sains dan teknologi, tanpa melihat halal-haramnya. Yang mengutamakan aspek spiritual modern mengambil new age religion. Yang mengutamakan spiritual tradisional mengambil paham kearifan lokal alias mistik-klenik.



Pendek kata, masing-masing telah memiliki alternatif lain ajaran yang diikuti selain Islam. Ada yang terang-terangan mengaku mengikutinya tanpa menyertakan Islam dalam identitasnya. Tetapi yang kebanyakan adalah yang malu-malu untuk mengaku bahwa ia telah menganut ajaran selain Islam dan meninggalkan Islam. Sehingga akhirnya mereka cenderung mengkombinasikannya dengan Islam sebagai identitas. Artinya ajaran barunya itu biasanya “dicantolkan” bersama dengan identitas Islam yang -kata mereka- masih mereka anut. Akhirnya muncullah istilah-istilah asing seperti Islam-nasionalis, Islam-demokrat, Islam-liberalis, Islam-modernis, Islam-pluralis, Islam-progressif, Islam-universalis, Islam-humanis, Islam-spiritualis dan lain sebagainya. Pada prakteknya justeru ajaran selain Islam yang ditempelkan kepada identitas Islam itulah yang lebih diutamakan daripada Islamnya itu sendiri. Perlu diingat bahwa Islam-plus atau Islam-minus atau apapun namanya dia bukanlah Islam. Sebab Islam adalah Islam. Ia adalah agama Allah سبحانه و تعالى yang telah sempurna. Tidak memerlukan tambahan dan tidak sepatutnya dikurangi atau ditawar-tawar...!

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُعَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah 3)

Keempat, At-Tafriqoh (perpecahan). Karena masing-masing kelompok tenggelam di dalam kebanggaan ajaran selain Islam, maka otomatis merebaklah perpecahan di dalam tubuh ummat Islam. Masing-masing kelompok membanggakan seruan kelompoknya. Padahal seruannya sudah tidak murni ajaran Allah سبحانه و تعالى . Lalu apa yang mereka harapkan? Apakah mereka mengira jika manusia menyambut seruan mereka berarti itu pertanda benarnya seruan mereka? Inilah dua pasal yang dibahas dengan tajam oleh Syakib Arsalan: (1) Dalam Berjuang jangan Membanggakan Jumlah Pengikut dan (2) Kemenangan Suatu Ummat Tidak Bergantung Kepada Kuantitas Tetapi Kualitas.

Mereka menjadi sibuk mengutamakan kuantitas pengikut, kohesitas kelompok, daya konsolidasi dan kemampuan mobilisasi anggotanya daripada memfokus kepada substansi ajaran yang mereka serukan. Padahal sudah jelas di dalam Al-Qur’an Allah سبحانه و تعالى menyuruh ummat Islam untuk memastikan komitmen kepada agama Allah سبحانه و تعالى sebelum membangun soliditas kebersamaan. Bahkan komitmen murni dan konsekuen kepada agama Allah سبحانه و تعالى itulah syarat lahirnya sebuah jama’ah yang solid, mumpuni, tidak terpecah dan selamat di dunia-akhirat.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلا تَفَرَّقُوا

“Dan berpegang-teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai.” (QS. Ali-Imran [3] : 103)

Ayat ini sering disalah-fahami sebagai ayat yang memerintahkan pentingnya جَمِيعًا (berjamaah). Padahal berjamaah merupakan hasil dari pelaksanaan perintah utama di dalam ayat ini, yakni وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ (berpegang-teguhlah kamu kepada tali (agama) Allah). Bila sekumpulan muslim berpegang-teguh secara murni dan konsekuen kepada agama Allah, niscaya kesatuan hati di antara mereka Allah سبحانه و تعالى tumbuhkan. Mereka menjadi akrab satu sama lain, baik secara resmi berada di dalam satu kelompok maupun tidak. Tapi sebaliknya, berbagai pengelompokan yang berlandaskan selain agama Allah, baik secara eksplisit maupun tersamar alias malu-malu, maka ia tidak akan dijamin kesatuan hatinya, Kalaupun tampak solid, ia hanya akan solid sebatas tampilan luar saja dan sebatas di dunia saja, sedangkan di akhirat mereka pasti akan bercerai-berai bahkan saling mencela satu sama lain.

الأخِلاءُ يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلا الْمُتَّقِينَ

Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zukhruf [43] : 67)

Bahkan kepatuhan mereka kepada pimpinan kelompok masing-masing yang sewaktu di dunia dibanggakan sebagai bukti kedisiplinan dan kemuliaanan komitmen, justru menjadi penyesalan di akhirat.

يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولاوَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا فَأَضَلُّونَا السَّبِيلارَبَّنَا آتِهِمْ ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا

Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, "Alangkah baiknya, andai kata kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul." Dan mereka berkata, "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (QS. Al-Ahzab [33] : 66-68)

Masing-masing kelompok yang berjuang dengan aneka seruan selain Islam salingmembanggakan seruan dan kelompoknya. Sehingga berpecah-belahlah ummat Islam. Solusi yang tiap-tiap kelompok tawarkan bukanlah kembali kepada kemurnian Islam, tetapi malah semakin bersemangat mempromosikan kehebatan dan keutamaan masing-masing kelompoknya. Akhirnya group values menjadi lebih utama daripada Islamic values. Apa saja yang berasal dari kelompoknya dia bela dan apa saja yang datang dari luar kelompknya dia curigai. Akhirnya tolok-ukur benar-salah bukan lagi Islam tetapi kelompoknya dan apa saja yang bersumber dari pimpinan kelompoknya.

وَلا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْوَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“...dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (QS. Ar-Ruum [30] : 31-32)

Kelima, tertinggal dalam berbagai urusan dunia. Akhirnya, menurut Syakib Arsalan, tenggelamnya kaum muslimin dalam perpecahan secara otomatis melemahkan ummat Islam secara keseluruhan. Dan Allah سبحانه و تعالى jelas telah menegaskan bahwa ketidak-kompakkan ummat dalam mentaati Allah سبحانه و تعالى dan Rasul-Nya صلى الله عليه و سلم pasti melahirkan kelemahan dan menghilangkan kekuatan ummat Islam.

وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُواوَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ وَاصْبِرُوا إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfaal [8] : 46)

Semua bersumber dari lebih bangganya kaum muslimin terhadap seruan selain Islam, baik sendirian maupun bersama Islam. Apakah itu dengan cara menampilkan seruan Islam-plus atau Islam-minus, maka apapun seruannya jika kaum muslimin tidak menerima Islam secara utuh dan apa adanya dari Allah سبحانه و تعالى , niscaya mereka bakal menjadi hina di dunia dan merugi di akhirat.

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍفَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلا خِزْيٌفِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

“Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian dari padamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat.” (QS. Al-Baqarah [2] : 85)

Walaupun ayat di atas turun berkenaan dengan kaum yahudi, namun Allah سبحانه و تعالى menyuruh ummat Islam untuk mengambil pelajaran dari kisah ummat-ummat terdahulu. Sebab bila ummat Islam mengikuti kekeliruan kaum Yahudi, niscaya nasib yang sama bakal menimpa mereka. Hina di dunia dan azab di akhirat....! Wa na’udzu billaahi min dzaalika.....



Sunday, May 29, 2011

SYUKUR

Tanbihun.com – Sifat syukur dalam kehidupan seseorang sangatlah penting karena hidup dengan mengedepankan sifat syukur, akan melahirkan kekuatan yang luar biasa dalam hidupnya, dan dapat membentuk sumber daya manusia yang arif lagi bijaksana serta menjadi syifa ul-linnas(sebagai penawar bagi manusia), yang kekuatan itu tidak mesti dimiliki oleh benda-benda lain, seperti makan-makanan, dan minuman apapun yang kita konsumsi. Sifat syukur hanya lahir dari hati nurani dan kesadaran seseorang yang sudah terbentuk sejak dini dan biasa merealisasikan dalam tradisi yang baik kapan dan dimana pun berada. Sifat syukur dapat memotivasi seseorang dalam memperoleh keberhasilan baik di dunia maupun di akhirat, Mengapa? Sebab dengan mengedepankan sifat syukur, seseorang akan punya sportivitas, profesionalitas yang proporsional dan pada akhirnya akan melahirkan sifat solidaritas/kesetiakawanan amal shalih dan akhlak yang mulia.       Secara bahasa syukur adalah gembira (suka cita), adapun secara istilah maksudnya adalah mengetahui segala kenikmatan itu datangnya dari Allah SWT, baik berupa nikmat iman, taat akan ajaran-Nya, dengan selalu memuji ke atas Dzat sang Pemberi semua keperluan hidup, dengan wujud berbakti kepada-Nya yaitu melakukan kewajiban dan meninggalkan segala perbuatan maksiyat, secara zahir ataupun bathin.[2]
Dalam surah Fathir ayat 3 Allah berfirman:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اذْ كُرُوْا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ يَرْزُقُكُمْ مِّنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ

لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ فَأَنَّى تُؤْفَكُوْنَ

Artinya:
Hai Manusia, ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?
Tiga dimensi Syukur
Syukur bisa dikatakan sempurna apabila telah memenuhi 3 kriteria[3],yaitu:
1.     Mengetahui semua nikmat yang Allah berikan, seperti nikmat Iman, Islam dan ketaatan dalam menjalankan perintah-Nya sehingga benar-benar menjadikan Allah sebagai pelindung dan senantiasa hadir dalam hatinya, dengan meyakini bahwa kesuksesan dan segala bentuk kemewahan semua berasal dari Allah, kita hanya di beri pinjaman sementara di dunia.
2.     Mengungkapkan rasa syukurnya dalam bentuk puji-pujian seperti alhamdulillah, asy-Syukrulillah atau ucapan lainnya yang mempunyai arti yang sama.
3.     Nikmat Allah yang ada, bukan untuk dirasakan sendiri melainkan untuk berbagi dengan orang lain, seperti sedekah, infaq dan menolong fakir  miskin, itu semua kita lakukan supaya kita selamat dari ujian dan amanah yang kita hadapi di dunia sehingga kelak harta, tahta dan kekayaan kita menjadi penolong besok pada hari penghitungan amal di yaum mahsyar nanti.
Ada sebuah dialog menarik antara laki-laki dengan Abu Hazm:
Apa syukurnya kedua mata?
“Apabila engkau melihat sesuatu yang baik, engkau akan menceritakannya.  Tetapi apabila engkau melihat keburukan, engkau menutupinya”.
Bagaimana syukurnya telinga?
“Jika engkau mendengar sesuatu yang baik, peliharalah. Manakala engkau mendengar sesuatu yang buruk, cegahlah”.
Bagaimana syukurnya tangan?
“Jangan mengambil sesuatu yang bukan milikmu, dan janganlah engkau menolak hak Allah yang ada pada kedua tanganmu”.
Bagaimana syukurnya perut?
“Bawahnya berisi makanan, sedang atasnya penuh dengan ilmu”.
Syukurnya kemaluan?
“Abu Hazm kemudian membacakan Al-Quran surah Al-Mukminun ayat 1-7”.
Bagaimana syukurnya kaki?
“Jika engkau mengetahui seorang shalih yang mati dan engkau bercita-cita dan berharap seperti dia, dimana dia melangkahkan kakinya untuk taat dan beramal shalih semata, maka Contohlah dia. Dan apabila engkau melihat seorang mati yang engkau membencinya, maka bencilah amalnya. Maka engkau menjadi orang yangbersyukur.”
Abu Hazm menutup jawabannya, “Orang yang bersyukur dengan lisannya saja tanpa dibuktikan dengan amal perbuatan dan sikap, maka ia ibarat seorang punya pakaian, lalu ia pegang ujungnya saja, tidak ia pakai. Maka sia-sialah pakaian tersebut.”
Keutamaan bersyukur:
1.     Allah akan ingat kepada orang yang senantiasa bersyukur.
2.     Akan terhidar dari sifat-sifat ingkar kepada Allah SWT.
Syukur adalah keterbukaan hati, lahir dari kegembiraan, karena melihat kemurahan, kebaikan, kasih sayang, karunia dan semua nikmat-Nya. Shalat merupakan perwujudan syukur, sebagaimana yang terdapat dalam hadist shahih bahwa Rasul SAW melakukan shalat malam sampai kakinya yang diberkahi itu bengkak, itu semua beliau lakukan sebagai wujud tanda syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT. Dalam riwayat lain disebutkan satu contoh bentuk syukur yang di lakukan oleh Nabi Idris AS, bahwa suatu ketika malaikat mendatangi Nabi Idris, kemudian menyampaikan kabar bahwa Allah SWT telah ridha kepadanya. Kemudian Nabi Idris menangis mendengar berita itu, dan beliau meminta kepada Allah supaya membiarkannya tetap hidup, kemudian ditanya alasannya,
beliau menjawab: “Sebelumnya aku beramal untuk diriku sendiri, kini aku ingin tetap hidup, supaya aku bisa beramal untuk-Nya sebagai rasa syukurku atas keridhaan-Nya padaku”. Kemudian malaikat pun membentangkan sayapnya dan berkata: ‘Duduklah! Idris AS pun duduk diatas sayap malaikat, lalu malaikat membawanya naik ke langit.” Dari kedua riwayat shahih itu, tercermin bahwa syukur sebagai perwujudan amaliyah apabila Allah telah meridhainya.
Dilihat dari sudut lain, lawan syukur adalah kufur. Orang yang kufur terhadap nikmat-nikmat Allah menjadikan murka-Nya. Demikian pula bila dilihat dari quantitas, bahwa sesuatu yang jumlahnya sedikit akan jauh lebih baik dari yang jumlahnya banyak. Dari seluruh manusia, jumlah orang yang beriman tentu lebih sedikit, yang berpangkat wali lebih sedikit dari yang mukmin, dan jumlah para nabi lebih sedikit dari para wali, lalu jumlah rasul lebih sedikit dari jumlah nabi. Begitu pula bahwa orang yang bersyukur itu sangat sedikit jumlahnya, oleh sebab itu baginya kedudukan yang teramat mulia disisi Tuhannya, sebagaimana firman-Nya :

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيْهِ مِنْ رُّوْحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيْلًا مَّا تَشْكُرُوْنَ

Artinya:
Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati;(tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur.
Dalam surah Al-Mukminun ayat 78 Allah berfirman:

وَهُوَ الَّذِىْ أَنْشَأَ خَلَقَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَ بْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ الْقُلُوْبَ قَلِيْلاً مَّا تَشْكُرُوْنَ

Artinya:
“Dan Dialah yang telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur”.[4]
Berbicara tentang syukur, Allah memberikan satu jaminan kepada kita sebagaimana dalam firmannya surah Ibrahim ayat 7:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيْدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِىْ لَشَدِيْدٌ

Artinya:
“Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”.
Ayat tersebut memberikan satu mesej yang cukup jelas, yakni apabila kita bersyukur dengan pemberian Allah pastinya Allah akan menambahkan lagi kenikmatan kepada kita, lalu berbahagialah hidup kita.
Namun, seandainya kita mengkufuri nikmat Allah yakni dengan cara tidak mensyukurinya atau menyalahgunakannya, maka kita akan mendapat pembalasan yang berat dan pedih daripada Allah. Mungkin sahaja pada hari ini kita melihat ramai orang yang mengucapkan lafaz syukur tetapi kehidupannya masih juga tidak bahagia, rezeki datang dan pergi. Ada juga orang yang mengucapkan lafaz syukur, hidup mewah dengan harta, tetapi masih tidak berakhlak dengan perilaku dan sifat sebenar seorang Muslim. Akhirnya, ia juga akan mendapat balasan daripada Allah.
Atas sebab itu, konsep syukur yang sebenarnya harus kita fahami dengan jelas. Imam Ghazali, seperti dalam karya tulisnya Ihya’ Ulum al-Diin menyatakan bahawa syukur itu harus ada tiga elemen. Elemen pertama adalah ilmu, elemen kedua adalah perasaan dan elemen ketiga adalah amal.
Untuk seseorang itu benar-benar bersyukur, perkara pertama yang perlu ada adalah ilmu. Ilmu yang perlu ada itu terbagi kepada tiga bagian. Pertama, seseorang itu perlu ada ilmu tentang nikmat itu sendiri. Hakikat tentang nikmat itu perlu diketahui. Ilmu tentang nikmat ini akan membolehkan seseorang untuk memahami nilai nikmat tersebut dan seterusnya menghargai nikmat itu.
Kedua, seseorang itu perlu ada ilmu tentang siapa yang memberi nikmat. Dalam soal ini, pastinya Yang Maha Memberi Rezeki, Yang Maha Pemurah, adalah Allah SWT. Seseorang itu perlu mempunyai ilmu Tauhid yang kukuh. Dengan mengenali Allah, seseorang itu akan memahami bahawa setiap sesuatu itu datangnya daripada Allah, dan adalah merupakan hak milik Allah semata-mata. Setiap satu kejadian itu adalah datangnya daripada Allah. Justru  setiap nikmat dan rezeki itu datangnya daripada Allah, walaupun mungkin saja nikmat itu disampaikan melalui perantaraan makhluk-Nya.
Ketiga, seseorang itu perlu ada ilmu tentang siapa yang mendapat nikmat tersebut. Dalam konteks ini, yang menerima nikmat adalah diri kita sendiri sebagai hamba Allah. Memahami hakikat bahawa kita ini adalah hamba dan makhluk Allah, kita pasti akan merasa hina dan sangat rendah di hadapan Allah.
Elemen yang kedua untuk bersyukur pula adalah perasaan. Apabila menerima sesuatu nikmat itu, seseorang itu haruslah mempunyai perasaan gembira, bahagia. Bagaimana mungkin seseorang itu hendak bersyukur seandainya ia tidak mengalami apa-apa rasa apabila menerima sesuatu nikmat itu? Perlu difahami juga bahwa perasaan bahagia dan gembira ini bukan berpusat kepada kesenangan atas nikmat yang kita peroleh, tetapi lebih kepada perasaan bahagia dan gembira kerana mendapat satu nikmat daripada Tuhan Yang Maha Agung! Perasaan ini hanya mungkin timbul apabila ilmu tentang tiga perkara yang disebutkan tadi telah dimiliki.
Yang terakhir, elemen ketiga dalam bersyukur pula adalah amal, yakni perbuatan. Setelah seseorang itu mempunyai ilmu dan kefahaman tentang perkara yang disebutkan tadi, seterusnya mengalami perasaan bahagia, gembira dan berterima kasih, syukur tersebut perlulah dimanifestasikan melalui perbuatan. Dalam hal ini, seseorang  perlu menggunakan nikmat yang telah diperolehnya untuk mendekatkan dirinya dengan Allah, yakni zat yang telah memberikan nikmat tersebut.
Bagi memahami adunan elemen-elemen dalam syukur ini, Imam Ghazali telah turut memberikan satu analogi. Bagaimanapun, analogi yang diceritakan seterusnya ini telah digubah agar sesuai dengan pemahaman masyarakat masa kini.
Analogi rasa syukur itu begini; bayangkan kita sebagai rakyat Malaysia, tiba-tiba mendapat hadiah sebuah kereta BMW daripada Perdana Menteri Malaysia. Sekarang perhatikan, seseorang yang mendapat hadiah tersebut pastinya tidak akan dapat berterima kasih dan bersyukur kepada Perdana Menteri itu seandainya ia tidak mengetahui nilai BMW. Seandainya seseorang itu tidak mengetahui bahawa BMW itu adalah sebuah kereta yang mahal dan ternama, pastinya ia tidak akan menganggap pemberian itu sebagai sesuatu yang sangat istimewa. Kemudian, pastinya seseorang itu juga tidak akan dapat berterima kasih dengan sahabatnya seandainya ia tidak mengenali bahwa yang memberikan kereta itu adalah Perdana Menteri Malaysia. Ia juga mungkin tidak mampu untuk berterima kasih seandainya ia tidak mengenali dan menyedari bahawa dirinya cuma seorang rakyat biasa yang berdepan dengan pemimpin nomor satu negara. Namun, apabila ia menyedari ketiga-tiga perkara tersebut, maka pastinya ia akan mempunyai perasaan yang sangat-sangat gembira. Ia pasti akan memuji-muji Perdana Menteri itu. Seterusnya, ia pasti akan menggunakan kereta yang telah diberikan itu dengan sebaiknya untuk terus mendekati Perdana Menteri, mengucapkan terima kasih kepadanya dan memuji-mujinya. Ia pasti tidak akan menggunakan kereta itu untuk perkara yang dilarang oleh Perdana Menteri. Begitulah analogi rasa syukur yang sebenar.
Maka, tidak hairanlah pada hari ini jika ramai di antara kita yang hanya sekadar melafazkan syukur di bibir, tetapi tidak bersyukur dengan sebenar-benarnya. Firman Allah:

وَإِنَّ رَبَّكَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَهُمْ لاَ يَشْكُرُوْنَ

“Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mempunyai kurnia yang besar (yang diberikan-Nya) kepada manusia, tetapi kebanyakan mereka tidak mensyukuri(nya).” (Surah An-Naml, ayat 73)
Setiap nikmat, rezeki, kegembiraan, kebahagiaan dan kesenangan yang kita peroleh haruslah dihargai dan disyukuri dengan hakikat kesyukuran yang sebenarnya, supaya Allah akan semakin menambah segala kenikmatan yang telah kita rasakan.
Wallahu A’lam