Kata taat secara umum selalu dikaitkan dengan kebaikan. Karena istilah ini biasanya diasosiasikan oleh kebanyakan masyarakat sebagai bukti baiknya keber-agama-an seseorang. Semakin beragama seseorang semakin ia disebut sebagai “orang yang taat”. Benarkah setiap orang yang disebut taat pasti merupakan bukti bagusnya ia dalam kehidupan beragama? Atau lebih khususnya lagi, benarkah orang yang disebut taat selalu merupakan seorang yang pasti bagus ketaqwaannya kepada Allah سبحانه و تعالى ?
Benarkah seorang karyawan yang selalu taat kepada pimpinan perusahaannya pasti seorang karyawan yang baik? Benarkah seorang anak yang selalu taat kepada orang-tuanya pasti merupakan seorang anak yang baik? Benarkah seorang anggota organisasi yang taat kepada pimpinan organisasinya pasti merupakan seorang anggota yang baik?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas sangat tergantung kepada pengertian “karyawan yang baik” menurut siapa? “Anak yang baik” menurut siapa? Dan “anggota yang baik” menurut siapa? Jika pengertian “karyawan yang baik” tersebut tergantung sepenuhnya kepada si pimpinan perusahaan, maka pastilah karyawan yang selalu taat kepadanya dipandang baik olehnya. Demikian pula, jika pengertian “anak yang baik” tersebut tergantung sepenuhnya kepada orang-tua si anak tadi, maka pastilah anak yang selalu taat kepadanya dipandang baik olehnya. Begitu pula, jika pengertian “anggota yang baik” tersebut tergantung sepenuhnya kepada si pimpinan organisasi, maka pastilah anggota yang selalu taat kepada dirinya dipandang baik olehnya.
Di sinilah rahasianya mengapa Islam memiliki pembahasan khusus mengenai ketaatan. Bahkan Islam menempatkan urusan ini ke dalam perkara paling fundamental dalam kehidupan seorang muslim. Urusan ketaatan sangat berkaitan erat dengan kejernihan aqidah seorang muslim. Makanya Islam memandang bahwa ada dua jenis ketaatan: (1) Ketaatan Terpuji dan (2) Ketaatan Tercela.
Ketaatan terpuji yaitu ketika seorang karyawan perusahaan, anak atau anggota organisasi mematuhi pimpinan atau orang-tuanya semata-mata karena ketaatannya kepada Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم . Artinya, ia hanya mau mentaati pimpinan atau orang-tuanya ketika ia yakin benar bahwa apa yang mereka suruh adalah benar-benar dalam rangka mentaati Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم . Orang yang ketaatannya terpuji sangat sensitif dan teliti terhadap setiap instruksi yang disampaikan pimpinan dan orang-tuanya. Kepercayaan dan rasa hormatnya kepada pimpinan atau orang-tua tidak menyebabkan dirinya menjadi harus taat secara membabi buta kepada apapun perintah pimpinan atau orang-tuanya. Sebab ia tahu benar bahwa siapapun bisa keliru dan digoda syetan sehingga mengeluarkan perintah yang ternyata bertentangan dengan ketentuan Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم .
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
“Dan jika keduanya (orang-tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik.” (QS Lukman 15)
Oleh karenanya di dalam Islam setiap muslim diharuskan untuk memiliki pengetahuan mengenai ajaran Islam sehingga dengan pengetahuan itulah ia dapat senantiasa menilai apakah sebuah instruksi patut ia segera laksanakan atau sebaliknya ia kritisi dan tidak taati. Malah idealnya, jika sanggup, ia justeru beri masukan atau menasehati pimpinannya, bahkan orang-tuanya, agar tidak memaksa dirinya melaksanakan perintah batil tersebut. Lebih baik lagi jika ia berhasil meyakinkan pimpinan atau orang-tuanya untuk meninjau-ulang sampai mencabut perintah batil tadi. Akhirnya si pimpinan atau orang-tua menjadi sadar dan bertaubat akan kekeliruannya.
Seorang sahabat bernama Saad bin Abi Waqqas radhiyallahu ‘anhu masuk Islam ketika usianya masih remaja belia. Saat itu tahapan da’wah di kota Mekkah masih dalam tahapan sirriyyatud-da’wah (da’wah sembunyi-sembunyi). Setiap yang masuk Islam masih harus menyembunyikan keIslamannya. Demikian pula halnya dengan Saad. Namun, ketika ia sampai rumah ternyata ibunya yang merupakan seorang wanita musyrik fanatik, telah mendapat bocoran bahwa puteranya menjadi pengikut Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم . Langsung ibunya menginterogasi Saad: “Benarkah berita yang kuterima bahwa kau, Saad, sudah menjadi pengikut agama Muhammad dan meninggalkan agama nenek moyang kita, yaitu menyembah berhala?!” Maka Saad tidak dapat bersembunyi lagi. Iapun menjawab: “Benar, wahai ibu.” Maka ibunya menjadi sangat murka. “Kalau begitu, Saad, sekarang juga ibu perintahkan kau agar segera meninggalkan agama Muhammad yang sesat itu dan kembali kepada agama nenek-moyang kita...! Jika tidak mau, maka ibu akan mogok makan hingga kau mentaatiku...!” Laa haula wa laa quwwata illa billaah...!
Maka Saad segera konsultasi kepada Rasulullah صلى الله عليه و سلم menceritakan apa yang ia alami. “Bagaimana nasibku ini, ya Rasulullah?” Maka Nabi صلى الله عليه و سلم balik bertanya: “Engkau sendiri bagaimana Saad? Apa pendapatmu mengenai keadaan ini?” Saadpun menjawab: “Demi Allah, hatiku sudah mantap dalam iman dan islam, ya Rasulullah. Dan akalku mengatakan bahwa mustahil bagiku untuk harus kembali menyembah berhala yang tidak dapat sedikitpun memberi manfaat atau mudharat bagi hidupku...!” Maka Nabipun berkata: “Jika demikian, Saad, berdoalah kepada Allah سبحانه و تعالى semoga ibumu mendapat hidayah dari-Nya. Namun, ingat, wahai Saad, birrul-walidain (berbuat baiklah kepada orang-tuamu)...”
Maka sejak saat itu Saad-pun menampilkan dirinya sebagai seorang anak yang berbakti sebaik mungkin kepada orang-tuanya. Apapun yang disuruh orang-tuanya pasti ia kerjakan. Bahkan hal-hal yang belum disuruhpun, asalkan itu dapat menyenangkan hati orang-tuanya, juga ia kerjakan segera. Hanya satu hal yang tidak mau ia kerjakan: memenuhi permintaan ibunya agar ia murtad kembali kepada agama kemusyrikan.
Setelah berlalu beberapa waktu, ibunyapun akhirnya memanggil Saad: “Bagaimana Saad, apakah kau sudah memenuhi permintaan ibu? Meninggalkan agama Muhammad صلى الله عليه و سلم dan kembali kepada agama nenek-moyang kita?” Maka, pada saat itu Saad memperoleh ilham dari Allah سبحانه و تعالى . Ia lalu menjawab: “Demi Allah, yang jiwaku di dalam genggamanNya. Jika ibu mogok makan hingga nyawa ibu melayang lalu mati, lalu diganti Allah سبحانه و تعالى dengan nyawa baru dan itupun melayang, lalu diganti Allah سبحانه و تعالى dengan nyawa baru dan itu juga melayang, bahkan berratus nyawa keluar masuk tubuh ibu, aku tidak akan tinggalkan agama Muhammad صلى الله عليه و سلم yang sudah kuyakini kebenarannya itu...!” Mendengar jawaban tegas puteranya seraya mengenang bahwa semenjak menjadi muslim, Saad telah berubah menjadi anak yang luar biasa baiknya dan berbaktinya kepada orang-tua, maka hati ibunyapun luluh sehingga ia berkata: “Jika demikian, Saad, tolong ajarkan ibu bagaimana caranya menjadi seorang muslim?” Subhaanallah...!
Adapun ketaatan tercela ialah ketika seorang karyawan perusahaan, anak atau anggota organisasi mematuhi pimpinan atau orang-tuanya semata-mata karena ia meyakini prinsip bahwa mereka harus ditaati, apapun isi perintahnya, bagaimanapun keadaannya, suka maupun tidak suka. Bahkan mereka membanggakan ketaatan membabi-buta tersebut. Barangsiapa selalu mentaati pimpinan atau orang-tuanya, baik dalam urusan yang benar ataupun batil di mata Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم , maka si karyawan, anak atau anggota tersebut dipandang sebagai “orang yang taat” dan patut dihormati bahkan diberikan penghargaan, pujian dan hadiah. Dan untuk menyempurnakan penilaian tadi, si karyawan atau anak atau anggota tersebut menyerahkan penghormatan dan kepercayaannya kepada pimpinan atau orang-tua sampai ke derajat dimana jika suatu keraguan muncul di dalam akal atau hatinya terhadap suatu perintah, maka ia berkata kepada dirinya sendiri: “Sudahlah, tidak usah diperdebatkan lagi, para pimpinan kita kan jauh lebih tahu daripada kita, kita kan jauh di bawah mereka. Sudahlah, kita taat dan tsiqoh (percaya) sajalah kepada mereka! Tentu mereka jauh lebih faham daripada kita. Tidak mungkin apa yang mereka suruh itu buruk buat kita, mereka pasti sudah mempertimbangkannya masak-masak. Kalau ketaatan kita harus selalu dilandasi pemahaman, maka itu hal biasa. Tapi kalau kita tetap taat dan tsiqoh tanpa memahami landasan perintah pimpinan, barulah itu istimewa.”
Sehingga bisa terjadi bahwa seorang pemimpin organisasi da’wah menyuruh para anggotanya untuk memilih orang fasik menjadi pemimpin di tengah masyarakat. Kemudian para anggotanya mentaati sepenuhnya perintah batil tersebut. Padahal track record (jejak-rekam) orang fasik tersebut sudah jelas memusuhi Islam dan da’wah selama ini. Tetapi karena para anggota organisasi sedemikian terbiasa dengan ketaatan membabi-buta, merekapun memenuhi permintaan pimpinan organisasi. Ini merupakan contoh ketaatan tercela yang sangat jelas.
Jadi, akhirnya mereka tidak pernah mengasah otaknya untuk bertanya, adakah sebenarnya perintah pimpinan atau orang-tuanya selaras atau tidak dengan perintah Allah سبحانه و تعالى dan rasulNya صلى الله عليه و سلم ? Sebab itu sudah tidak menjadi persoalan lagi. Yang menjadi persoalan ialah bagaimana memperoleh penilaian positif, pengakuan, penghargaan, pujian dari pimpinan atau orang-tua dengan jalan selalu mentaati apapun yang mereka suruh. Akhirnya, orang-orang seperti ini telah mengabaikan mengejar ridha Allah سبحانه و تعالى sebagai tujuan utama kehidupan. Sebab bagi mereka yang penting adalah mengejar ridha pimpinan atau ridha orang-tua, dengan keyakinan bahwa jika pimpinan atau orang-tua sudah ridha pastinyalah Allah سبحانه و تعالى juga meridhai ketaatannya tersebut. Memang benar terdapat hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم yang berbunyi:
رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الْوَالِدِ وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ
"Ridha Allah terdapat pada ridha seorang bapak, dan murka Allah juga terdapat pada murkanya seorang bapak." (TIRMIDZI - 1821)
من أطاعني فقد أطاع الله و من عصاني فقد عصى الله
و من يطع الأمير فقد أطاعني و من يعص الأمير فقد عصاني
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Barangsiapa mentaati aku, ia mentaati Allah سبحانه و تعالى dan barangsiapa mendurhakaiku, maka ia telah mendurhakai Allah سبحانه و تعالى . Barangsiapa mentaati pemimpin, maka ia mentaati aku dan barangsiapa mendurhakai pemimpin, maka ia mendurhakaiku.” (HR Ibnu Khuzaimah)
Kedua hadits di atas merupakan hadits shahih. Namun tentunya kita tidak boleh melihatnya secara terpisah dari ayat-ayat Allah سبحانه و تعالى dan hadits-hadits Nabi صلى الله عليه و سلم lainnya. Sehingga Allah سبحانه و تعالى berfirman:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي
مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
“Dan jika keduanya (orang-tuamu) memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya.” (QS Lukman 15)
Ketika orang-tua sudah memerintahkan anak agar menjadi hamba yang musyrik sudah barang tentu si anak tidak lagi wajib mentaati orang-tuanya, bahkan si anak menjadi haram mentaati orang-tuanya. Sebab Allah سبحانه و تعالى tidak pernah ridha kepada orang yang mempersekutukan diriNya dengan apapun. Bahkan dosa syirik merupakan dosa yang tidak terampuni..!
إِنَّ اللَّهَ لا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ
لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisa 48)
Jadi, walaupun Nabi صلى الله عليه و سلم menyatakan bahwa ridha Allah سبحانه و تعالى terdapat pada ridha orang-tua, tetapi mustahil seorang anak akan diridhai Allah سبحانه و تعالى ketika ia mentaati perintah orang-tuanya untuk berbuat dosa syirik..!
Demikian pula dengan ketaatan kepada pimpinan. Kita harus selalu bersikap kritis dan teliti jangan sampai ketaatan kepada pimpinan menyebabkan hilangnya keridhaan Rasulullah صلى الله عليه و سلم bahkan keridhaan Allah سبحانه و تعالى ? Mungkinkah itu terjadi? Mungkin sekali. Karena itulah Rasulullah صلى الله عليه و سلم sampai bersabda:
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ
وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ
قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan muncul pemimpin-pemimpin yang kalian kenal, tetapi kalian tidak menyetujuinya.Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya, tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa). Para sahabat langsung menyelak: "Bagaimana jika kita perangi saja?" Nabi صلى الله عليه و سلم menjawab: "Tidak! Selama mereka masih shalat."” (MUSLIM 3445)
Bayangkan, dengan kriteria “masih shalat” berarti mereka adalah pemimpin yang berstatus resmi muslim. Tetapi Nabi صلى الله عليه و سلم malah mengatakan “Orang yang membencinya akan terbebaskan (dari tanggungan dosa). Orang yang tidak menyetujuinya akan selamat. Orang yang rela dan mematuhinya, tidak terbebaskan (dari tanggungan dosa).” Jadi, jangankan tidak mentaatinya, malah Nabi صلى الله عليه و سلم justeru menjamin kebaikan jika kita membenci dan tidak menyetujui pemimpin seperti itu. Sedangkan orang yang malah rela dan mematuhi pemimpin seperti itu berarti Nabi صلى الله عليه و سلم malah berlepas diri dari tanggungan dosa yang dipikul karena mentaatinya secara taqlid (membabi-buta).
Pantas bila Allah سبحانه و تعالى ketika menyuruh orang-orang beriman agar mentaati para pemimpin hendaknya memperhatikan apakah pemimpin tersebut senantiasa menjadikan Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم sebagai rujukan utama dalam penyelesaian berbagai perselisihan. Sebab, hanya dengan memenuhi kriteria itu sajalah seorang pemimpin layak ditaati oleh ummat Islam. Namun jika tidak, maka sudah sepantasnya pemimpin itu tidak ditaati lagi. Mengapa? Karena itu berarti bahwa pemimpin tersebut menghendaki untuk menyelesaikan masalah dengan menjadikan selain Allah سبحانه و تعالى dan rasulNya صلى الله عليه و سلم sebagai rujukan utama. Dan itu berarti pemimpin tersebut mengarahkan ummat yang ia pimpin untuk mengabaikan alias mendurhakai Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم dan bahkan menyuruh pengikutnya untuk mentaati selain Allah سبحانه و تعالى yang tidak lain adalah thaghut...! Demikianlah Allah سبحانه و تعالى jelaskan di dalam KitabNya. Jika tidak kembali kepada aturan dan hukum Allah سبحانه و تعالى berarti kembalinya kepada hukum thaghut. Pilihan hanya dua: kembali kepada Allah سبحانه و تعالى atau kepada thaghut.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلا أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلالا بَعِيدًا
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (para pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.(QS An-Nisa 59-60)
Dan jika seseorang mentaati pemimpin semata karena meyakini bahwa mentaati pemimpin merupakan kebaikan yang harus dilakukan tanpa peduli apapun landasan perintahnya, tanpa sikap kritis dan teliti, tanpa sadar bahwa ternyata pemimpin malah mengajak untuk mendekati bahkan mentaati thaghut, maka orang tersebut sungguh berada dalam bahaya. Bahaya bukan sekedar di dunia, tetapi bahaya di akhirat. Itulah bahaya yang sejati dan abadi. Wa na’udzu billaahi min dzaalika...!
يَوْمَ تُقَلَّبُ وُجُوهُهُمْ فِي النَّارِ يَقُولُونَ
يَا لَيْتَنَا أَطَعْنَا اللَّهَ وَأَطَعْنَا الرَّسُولَا
وَقَالُوا رَبَّنَا إِنَّا أَطَعْنَا سَادَتَنَا وَكُبَرَاءَنَا
فَأَضَلُّونَا السَّبِيلَا رَبَّنَا آَتِهِمْ
ضِعْفَيْنِ مِنَ الْعَذَابِ وَالْعَنْهُمْ لَعْنًا كَبِيرًا
“Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata: "Alangkah baiknya, andaikata kami ta`at kepada Allah dan ta`at (pula) kepada Rasul". Dan mereka berkata: "Ya Rabb kami, sesungguhnya kami telah menta`ati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Rabb kami, timpakanlah kepada mereka azab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar". (AS Al-Ahzab 66-68)
No comments:
Post a Comment