Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Penyebab ke 21 telah kita bahas. Yaitu: Adat yang rawan bid’ah dan kemusyrikan. Ada saat-saat tertentu yang menjadi adat dan musim untuk diadakan perayaan atau peringatan ini dan itu yang tidak ada dasarnya dalam Islam. Juga ada musim-musim yang mereka jadikan hari-hari untuk beramai-ramai berdatangan ke kubur-kubur lebih-lebih kuburan yang mereka anggap sebagai kuburan wali atau kuburan keramat.
Mari kita lanjutkan penyebab berikutnya:
22. Oknum-oknum missionaries kesesatan.
Adanya kelompok tertentu yang oknum-oknumnya dikenal dan diakui sebagai missionaries aliran sesat Syi’ah. Ada kedekatan kepentingan dari oknum-oknum yang dibiarkan oleh kelompoknya itu untuk mendukung dan membiarkan merajalelanya aliran sesat Syi’ah di Indonesia.
Satu sisi untuk mempertahankan apa yang mereka klaim sebagai keturunan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu dengan Fathimah puteri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga memiliki jalur keturunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sementara itu aliran sesat Syi’ah yang orang-orang ghulatnya (ekstrimnya) sampai dihukum bakar oleh Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena mereka menganggap bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu itu adalah titisan Tuhan dengan sebutan “Anta, Anta” (Engkau, Engkau, maksudnya adalah jelmaan Tuhan), justru mengobarkan cintanya kepada Ali radhiyallahu ‘anhu dengan ghuluw (ekstrim) pula.
Contoh nyata, nyanyian ya Thaybah yang didendangkan penyanyi Hadad Alwi di Indonesia mengandung pujaan ghuluw terhadap Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini mari kita simak:
Mengenai nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang Penawar) itu juga nyanyian, hanya berbahasa Arab. Kalau nyanyian berbahasa Indonesia, Inggeris atau lainnya yang biasanya berkisar tentang cinta, pacaran dan sebagainya, misalnya dinyanyikan di masjid, orang sudah langsung faham bahwa itu tidak boleh.
Nyanyian cinta-pacaran seperti itu justru kesalahannya jelas. Orang langsung tahu. Sebaliknya, kalau nyanyiannya itu seperti Ya Thoybah, kalau itu mengandung kesalahan (dan memang demikian), justru orang tidak mudah untuk menyalahkannya. Karena dia berbahasa Arab, dan menyebut nama sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, menyebut Al-Quran dan sebagainya.
Padahal, nyanyian Ya Thoybah itu justru isinya berbahaya bagi Islam, karena ghuluw (berlebih-lebihan) dalam memuji Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
Berikut ini kutipan bait yang ghuluw dari nyanyian Ya Thoybah (wahai Sang Penawar):
Ya 'Aliyya bna Abii Thoolib Minkum mashdarul mawaahib.
Artinya: "Wahai Ali bin Abi Thalib, darimulah sumber keutamaan-keutamaan (anugerah-anugerah atau bakat-bakat)."
Bagaimanapun, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu adalah manusia biasa, bukan Tuhan. Di dalam nyanyian itu sampai disanjung sebegitu, dianggap, dari Ali lah sumber anugerah-anugerah atau bakat-bakat atau keutamaan-keutamaan. Ini sangat berlebihan alias ghuluw.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
َ إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فَإِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِي الدِّينِ
Artinya: "Jauhilah olehmu ghuluw (berlebih-lebihan), karena sesungguhnya rusaknya orang sebelum kalian itu hanyalah karena ghuluw –berlebih-lebihan-- dalam agama." (HR Ahmad, An-Nasaai, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Ibnu Abbas, Shahih).
Ali ra sendiri pernah disikapi seperti itu. Abdullah bin Saba', pendeta Yahudi dari Yaman yang pura-pura masuk Islam, bekata kepada Ali: "Engkau lah Allah". Maka Ali bermaksud membunuhnya, namun dilarang oleh Ibnu Abbas. Kemudian Ali cukup membuangnya ke Madain (Iran). Dalam riwayat lain, Abdullah bin Saba' disuruh bertaubat namun tidak mau. Maka ia lalu dibakar oleh Ali (dalam suatu riwayat). (lihat Rijal Al-Kusyi, hal 106-108, 305; seperti dikutip KH Drs Moh Dawam Anwar, Mengapa Kita Menolak Syi'ah, LPPI Jakarta, cetakan II, 1998, hal 5-6).
Rupanya antek-antek Abdullah bin Saba' kini berleluasa menyebarkan missinya.
Kelompok yang oknum-oknumnya diakui sebagai para pendukung tersebarnya aliran sesat di Indonesia itu juga merupakan kelompok yang ghuluw dalam menyanjung Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya adalah nyanyian mereka dalam pengajian-pengajian yang dikenal dengan nyanyian Ya Robbi bil Mushtofaa.
Nyanyian yang satu ini dikhawatirkan menjurus kepada syirik (kemusyrikan, menyekutukan Allah subhanahu wa ta’ala), kalau lafal bil (dari Yaa Robbi bil-Mushtofaa) itu dimaksudkan untuk sumpah, artinya demi (Rasul) pilihan (Mu). Sebab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللَّهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ. (الترمذي)
"Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah maka sungguh ia telah musyrik (menyekutukan Alah)." (HR At-Tirmidzi dalam bab iman dan nadzar, kata Abu Isa, hadits ini hasan).
Terlarang pula bila lafal bil (dari Yaa Robbi bil-Mushtofaa) itu dimaksudkan untuk sababiyah atau perantara, karena berarti menjadikan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sudah wafat sebagai perantara (wasilah) kepada Allah. Itu terlarang. Karena hal itu termasuk ibadah. Sedang ibadah harus tauqifi, berdasarkan dalil. Karena tak ada dalilnya yang membolehkan, maka para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertawassul dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau sudah wafat.
Adapun minta didoakan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ketika orang yang diminta itu masih hidup atau tawassul ketika orangnya masih hidup, maka tidak terlarang.
Kalau ada yang minta hadits larangan bertawassul dengan dzat makhluk, dalam hal ini isi dari syair Ya Robbibil, sebenarnya sudah jelas dalam keterangan di atas. Namun agar lebih jelas, kami kutipkan hadits:
رَوَى الطبراني فِي مُعْجَمِهِ الْكَبِيرِ { أَنَّهُ كَانَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنَافِقٌ يُؤْذِي الْمُؤْمِنِينَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ : قُومُوا بِنَا لِنَسْتَغِيثَ بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُنَافِقِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إنَّهُ لَا يُسْتَغَاثُ بِي وَإِنَّمَا يُسْتَغَاثُ بِاَللَّهِ }
Thabrani meriwayatkan di dalam kitabnya, Mu’jam Al-Kabir: Bahwa dulu pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ada seorang munafiq (Abdullah bin Ubay) menyakiti/ mengganggu orang-orang mukmin, maka Abu Bakar berkata: Bangkitlah dengan kami, kami akan minta tolong kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari (gangguan) munafiq ini. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya aku tidak (boleh) dimintai tolong, dan sesungguhnya hanya Allah lah yang dimintai tolong.” (Disebutkan oleh al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaaid 10/159 dan ia berkata: Diriwayatkan oleh Thabrani sedang para periwayatnya shahih selain Ibnu Lahi’ah dan hadits ini hasan).
Dalam kitab Fathul Majid dikomentari, Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu adalah nash/ teks bahwasanya tidak (boleh) minta tolong kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga orang lainnya. Beliau membenci perbuatan ini sebenarnya, walaupun beliau termasuk mampu mengerjakannya (memberi pertolongan) dalam hidupnya (tetapi ini) sebagai penjagaan akan terjauhnya Tauhid, dan menutup jalan ke arah bahaya syirik, dan adab serta tawadhu’ kepada Tuhannya, dan memberikan peringatan kepada ummatnya tentang sarana-sarana kemusyrikan dalam ucapan dan perbuatan.
Kalau dalam hal yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mampu mengerjakannya ketika hidupnya saja (beliau tidak membolehkan), maka bagaimana beliau akan membolehkan untuk minta tolong (diperantarakan kepada Allah, misalnya) setelah beliau wafat, dan dimintai untuk mengerjakan hal-hal yang beliau tidak mampu atasnya kecuali Allah saja yang mampu mengerjakannya? Sebagaimana telah dilakukan oleh lisan-lisan sebagian banyak penyair seperti Al-Bushiri, Al-Bara’i dan lainnya, yang beristighotsah (minta tolong) kepada orang yang tidak memiliki manfaat dan mudhorot pada dirinya sendiri...( Fathul Majid, hal. 196-197).
Secara pasti, ibadah itu harus ada dalilnya (ayat Al-Quran atau Hadits yang shahih) atau ada contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (kesepakatan Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Dalam kasus ini, sya’ir itu tidak sesuai dengan dalil, seperti uraian tersebut di atas, dan tidak pernah ada contoh dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ataupun para sahabatnya.
Ibadah saja mesti ada dalilnya atau contohnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedang sya’ir Ya Rabbi bil Musthofaa... itu menyangkut aqidah, maka dalilnya untuk membolehkannya harus jelas. Ternyata tidak ada dalil yang membolehkan secara jelas, yang ada justru isi dan bentuk sya’ir itu bertentangan dengan dalil aqidah yang benar.
Jadi pertanyaan yang mestinya diajukan adalah: Mana hadits yang membolehkan atau membenarkan isi sya’ir itu, bukan mana haditsnya yang melarang. Karena isi sya’ir itu menyangkut aqidah, yang dalam hal aturannya justru lebih ketat dibanding ibadah. Apalagi isi sya’ir itu sudah tidak sesuai dengan aqidah yang benar.
Masalah ulama tidak tahu atau tahu tetapi tidak menyatakan bahwa itu salah, ini hal yang sering diungkapkan orang dalam berbagai kesempatan. Namun yang jelas, agama itu landasannya adalah dalil (ayat Al-Quran atau Hadits yang shahih) dengan pemahaman yang sesuai dengan penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabatnya, tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Di sinilah pentingnya mempelajari agama, agar tidak hanya mengikuti apa kata orang, walau disebut ulama. Insya Allah kalau menempuh jalan seperti ini, kita akan selamat. Amien.
Demikian pula sholawat Badar, di sana ada lafal bil haadii Rasuulillaah. Itu sama dengan keterangan tersebut di atas. (lebih jelasnya, baca buku Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, 1422H, atau Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 2002, atau Tarekat Tasawuf Tahlilan dan Maulidan, WIP Solo, 2007).
Dalam kasus ini antara pendukung Syi’ah dan orang Syi’ah ada kesamaan dalam hal ghuluw (melampaui batas) dan sama-sama dalam hal nyanyian yang mereka nyanyikan di masjid-masjid dan tempat-tempat pengajian mereka. Yang kelompoknya ada oknum-oknum pendukung Syi’ah menggemakan Ya Rabbi bil, sedang yang orang Syi’ahnya menyanyikan Ya Thaiba.
Kalau dibentuk peta, maka bisa digambarkan: Syi’ah dalam hal menyelewengkan aqidah Islam dan merusak Islam berteman atau didukung oleh kelompok-kelompok sesat di mana saja yang merusak Islam. Dalam kasus ini, kelompok pengusung bid’ah menjadi pendukung Syi’ah. Dan di tempat lain gambaran jelasnya seperti ini:
Yahudi dan Syi’ah
Para peneliti Syi‘ah menyimpulkan, bahwa jika diperas doktrin Syi‘ah, maka sisa ampasnya adalah Yahudi. Prof. H.M.Rasjidi dalam terjemahannya terhadap buku ”Hakikat Akidah Syi‘ah” (‘Aqa’idus-Syi‘ah fil-Mizan) karya Dr. Muhammad Kamil al-Hasyimi, menulis: ”Orang-orang Majusi Persia dan orang-orang Yahudi, sepanjang sejarah selalu merupakan kelompok yang memfitnah ummat Islam. Tak ada satu bencana yang menimpa ummat Islam, kecuali di belakangnya ada Yahudi dan Syi’ah.” (Al-Hasyimi, Jakarta:1989,hal.176).
23. Dakwah dan ilmu disampaikan bukan oleh ahlinya, masih pula dengan aneka kerawanan yang melingkupinya.
Kelompok yang sudah dinyatakan sesat oleh ulama, atau secara ilmu memang sesat, justru seringkali propagandanya disebarkan dengan gencar secara sistematis. Dirancang dan didanai, masih pula dengan sarana-sarana yang memadai, bahkan sampai media massa pun dikuasai atau dimiliki. Itu satu jenis yang tentu saja merusak Islam, karena propagandanya itu sendiri adalah kesesatan.
Jenis lain, kelompok yang semangat dakwahnya tinggi, bahkan ke mana-mana, namun tidak memiliki ilmu yang memadai, bahkan manhaj (sistem pemahaman)nya pun rancu. Hingga ketika mereka melakukan apa yang mereka maksud yaitu mendakwahkan Islam, apa yang terjadi? Ibarat menanam pohon singkong tetapi menancapkannya terbalik-balik. Tidak tahu mana ujung yang di atas, dan mana yang harus ditancapkan ke tanah.
Akibatnya, tanah yang ditanami itu sudah jadi padat karena dia injak-injak, sedang pohon singkong yang ditanamnya itupun tak berguna karena terbalik-balik. Kalau diulangi oleh orang yang tahu, maka dua kali kerja, lebih sulit dan menyesakkan dada, karena harus meneliti satu persatu pohon, kemudian menancapkannya lagi ke tanah dengan betul. Seandainya dia tidak usah ikut-ikut menanam, dan mengetahui lebih dulu cara menanam, baru setelah faham betul maka baru praktek menanam, maka tidak merepotkan. Tetapi karena caranya adalah praktek tanpa ilmu, maka merugikan aneka pihak. Anehnya, kalau diingatkan, malah bisa-bisa lebih galakan mereka, menurut bahasa Betawi Jakarta. Inilah yang menyedihkan.
Semangat dakwah yang tidak dilandasi ilmu, dan modal pengertian yang rancu tetapi ditularkan kepada umat, sedang umat ini kebanyakan awam agama, maka bisa dibayangkan. Betapa carut marutnya. Orang yang mengetahui petanya secara persis, akan mengelus dada. Kalau diingatkan, mereka malah memusuhi. Kalau didiamkan, mereka tetap berjalan dalam kerusakan. Sementara itu pihak-pihak yang sesat tadi secara gencar mencari mangsa. Maka bertabrakanlah antara tiga pihak.
Pihak yang mengerti agama secara baik, dan jumlahnya sangat sedikit, berhadapan dengan pihak aliran sesat dengan aneka aliran yang macam-macam, masih pula berhadapan dengan pihak-pihak yang bersemangat dakwah namun tanpa ilmu dan manhaj yang benar. Kemudian umat yang akan diselamatkan ini justru karena aneka kondisi keawamannya, tidak tahu atau bahkan tak mau tahu bahwa mereka akan dibantu diselamatkan oleh orang yang faham agama dengan manhaj yang benar itu. Akibatnya, pihak yang satu ini (faham agama dan manhajnya benar) justru dilawan oleh aneka pihak itu plus orang-orang awam. Bahkan tempo-tempo digerakkan oleh pihak-pihak tertentu untuk dilawan ramai-ramai. (bersambung, insya Allah).
No comments:
Post a Comment