Bencana alam merupakan fenomena alam yang terjadi karena adanya aktifitas fisik dari berbagai benda-benda di alam. Lalu bagaimana mungkin terjadinya bencana alam dikaitkan dengan moralitas, kemaksiatan, kesyirikan, hal-hal yang bukan aktifitas fisik, bahkan abstrak? Bagi sebagian orang ini adalah hal yang mudah, namun bagi sebagian lagi ini menjadi hal yang sulit dicerna akal.
Islam bukan agama yang mengajarkan mistisme, supranatural, tahayul dan sejenisnya. Dimana dalam dunia semacam itu, keterputusan hubungan antara sebab dan akibat adalah hal biasa. Kena musibah karena mata berkedut, sulit mendapat jodoh karena berdiri di pintu, sakit bisul gara-gara duduk di meja, dan semacamnya. Ini bukan ajaran Islam bahkan Islam melarang mempercayai hal-hal tersebut. Bahkan Islam sangat memperhitungkan nalar dan ilmu pasti. Itu sangat jelas sehingga rasanya tidak perlu membawakan contoh untuk hal ini.
Namun bukan berarti percaya kepada hal yang tidak kasat mata, abstrak, gaib, itu tidak ada dalam Islam. Bahkan esensi dari iman adalah percara kepada yang gaib. Allah Ta’ala berfirman:
الم ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Alif Laam Miim. Al Qur’an adalah kitab yang tidak terdapat keraguan. Ia adalah petunjuk bagi orang yang bertaqwa, yaitu orang yang percaya kepada yang gaib..” (QS. Al Baqarah: 183)
Mulai dari dzat Allah, tidak kasat mata. Kita shalat sehari lima kali, melakukan gerakan-gerakan berdiri, menunduk, sujud, berdiri lagi apakah dalam rangka berolah raga atau apa? Tidak lain itu kita lakukan dalam rangka mengharap sesuatu yang tidak kasat mata, yaitu pahala. Kita pergi haji mengeluarkan uang puluhan juta rupiah dengan segala tatacaranya yang ‘rumit’, semua itu rela dilakukan untuk mengharap sesuatu yang masih kasat mata, yaitu surga. Dan hampir dalam semua ajaran Islam, keyakinan kita terhadap sesuatu yang gaib dan kasat mata sangat esensial perannya. Andai kita tidak percaya Allah itu ada, tidak percaya adanya pahala, tidak percaya adanya surga, karena tidak bisa dinalar dan tidak kasat mata, lalu apa gunanya anda shalat? Apa gunanya anda bersyahadat? Apa gunanya berpuasa? Apa gunanya? Semuanya akan terasa hampa. Dan kita pun melepas semua sendi keislaman kita.
Jika demikian perkara gaib ada yang diingkari oleh Islam, ada pula yang wajib diyakini oleh setiap muslim. Lalu apa pembedanya? Bagi yang merenungkan ayat yang kami sitir di atas, tentu sudah mendapat jawabannya. Ya, perkara gaib yang dikabarkan Al Qur’an dan juga tentunya dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam yang telah divalidasi oleh Allah sebagai penjelas Al Qur’an. Kabar gaib dari mereka berdua adalah harga mati untuk diyakini. Karena Al Qur’an memilki nilai ‘tanpa keraguan’ atau dengan kata lain ‘pasti benar’, 100% mutlak benar. Tentu lain masalahnya jika anda, pembaca, adalah orang yang tidak mempercayai bahwa Al Qur’an adalah kalam ilahi dan menilai Al Qur’an itu belum tentu benar. Jika anda demikian, silakan tutup halaman ini dan tidak ada yang perlu kita bahas lagi.
Inilah yang menjadi modal berpikir kita untuk menilai perkara yang kita bahas. Karena Allah Ta’ala berfirman dalam Al Qur’an:
وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
“Dan musibah apa saja yang menimpa kalian, maka disebabkan oleh perbuatan tangan kalian sendiri, dan Allah mema’afkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (Qs. Asy-Syuura: 30)
Dalam Al Qur’an, Allah Ta’ala menceritakan keadaan umat-umat terdahulu:
فَكُلًّا أَخَذْنَا بِذَنْبِهِ فَمِنْهُمْ مَنْ أَرْسَلْنَا عَلَيْهِ حَاصِبًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَخَذَتْهُ الصَّيْحَةُ وَمِنْهُمْ مَنْ خَسَفْنَا بِهِ الْأَرْضَ وَمِنْهُمْ مَنْ أَغْرَقْنَا وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيَظْلِمَهُمْ وَلَكِنْ كَانُوا أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu krikil, dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur (halilintar), dan di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara mereka ada yang kami tenggelamkan, dan Allah sekali-kali tidak hendak menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (Qs. Al-Ankabut: 40)
Keterkaitan antara bencana dengan maksiat adalah abstrak. Namun tinggal bagaimana sikap kita dengan ayat-ayat ini, percaya atau tidak? Renungkanlah, semoga Allah melimpahkan hidayah-Nya kepada kita semua.
Andai tidak maksiat, bencana tetap terjadi?
Orang-orang yang bermodalkan dengan nalarnya, mengatakan: “Fenomena alam ini tetap terjadi walau tanpa atau dengan adanya maksiat”. Lalu mereka pun mempertanyakan bukti ilmiah, hasil penelitian, data statistik yang menunjukkan adanya keterkaitan antara bencana alam dengan maksiat.
Anggap saja belum pernah ada orang yang meneliti secara statistik, atau penelitian ilmiah bahwa bencana alam memiliki hubungan dengan adanya maksiat. Namun pernyataan “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” pun merupakan sebuah hipotesa yang perlu pembuktian ilmiah. Dan untuk membuktikan hipotesa ini sendiri pun hampir tidak mungkin. Karena maksiat, kecilnya maupun besarnya, tersebar di seluruh dunia, di setiap waktu dan tempat. Hari ini saja, sudah berapa maksiat yang anda lakukan? Jawablah dengan jujur. Hampir tidak ada waktu dan tempat di dunia ini yang kosong dari maksiat. Saya, anda dan seluruh manusia tidak bisa lepas dari salah dan dosa. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
كل بني آدم خطاء وخير الخطائين التوابون
“Setiap manusia itu banyak berbuat salah, dan orang terbaik di antara mereka adalah yang bertaubat” (HR. At Tirmidzi no.2687. Dihasankan Al Albani dalam Shahih Sunan At Tirmidzi)
Jadi ternyata, orang yang mengatakan: “bencana alam tidak memiliki hubungan dengan adanya maksiat” hanya berlandaskan pada hipotesa yang lemah.
Jika ada hubungannya, mengapa kaum terbejat masih aman saja?
Mereka memiliki alasan lain: “andai bencana dengan maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak maksiat, bahkan negeri kafir, banyak yang jarang terkena bencana”.
Jika anda menginginkan setiap orang yang ketika berbuat maksiat tiba-tiba disambar petir dari langit lalu mati, tentulah semua orang serta-merta akan menjadi shalih semua. Tidak akan ada lagi maksiat, tidak ada ujian keimanan, tidak ada lagi taubat, tidak ada lagi amar ma’ruf nahi mungkar, tidak akan ada lagi istilah ‘maksiat’ di dalam kamus, dan mungkin bumi ini sudah bisa disebut surga.
Inilah bagian dari misteri ilahi. Allah Ta’ala terkadang menimpakan musibah pada kaum bejat saja, sebagaimana kaum Ad dan kaum Tsamud, dikarena kebejatan mereka. Dan terkadang Allah menimpakan musibah kepada kaum yang di dalamnya terdapat orang shalih juga. Allah Ta’ala berfirman:
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Takutlah pada musibah yang tidak hanya menimpa orang zhalim di antara kalian saja. Ketahuilah bahwa Allah memiliki hukuman yang pedih” (QS. Al Anfal: 25)
عن أم سلمة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت: سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: “إذا ظهرت المعاصي في أمتي، عَمَّهم الله بعذاب من عنده” . فقلت: يا رسول الله، أما فيهم أناس صالحون؟ قال: “بلى”، قالت: فكيف يصنع أولئك؟ قال: “يصيبهم ما أصاب الناس، ثم يصيرون إلى مغفرة من الله ورضوان“
“Dari Ummu Salamah, istri Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: Jika maksiat telah menyebar diantara umatku, Allah akan menurunkan adzab secara umum”. Ummu Salamah bertanya: Wahai Rasulullah, bukankah di antara mereka ada orang shalih? Rasulullah menjawab: Ya. Ummu Salamah berkata: Mengapa mereka terkena juga? Rasulullah menjawab: Mereka terkena musibah yang sama sebagaimana yang lain, namun kelak mereka mendapatkan ampunan Allah dan ridha-Nya” (HR. Ahmad no.27355. Al Haitsami berkata: “Hadits ini ada 2 jalur riwayat, salah jalurnya diriwayatkan oleh para perawi yang shahih”, Majma Az Zawaid, 7/217 )
Dan inilah sebijak-bijaknya kebijakan dari Dzat Yang Paling Bijak. Karena dari kebijakan ini ribuan bahkan jutaan hikmah yang dapat dipetik oleh manusia, diantaranya adalah kesempatan bagi pelaku maksiat untuk bertaubat dan kesempatan untuk orang shalih untuk menuai pahala dan mempertebal keimanannya.
Tempat yang banyak orang shalih pun terkena bencana
Mereka beralasan lagi: “andai bencana dengan maksiat ada hubungannya, mengapa tempat yang banyak orang shalih pun terkena bencana?”.
Ini pun salah satu misteri ilahi yang memiliki banyak hikmah. Salah satu hikmahnya adalah pentingnya dakwah dan menasehati untuk meninggalkan maksiat. Keshalihan tidak hanya dimiliki individu namun juga masyarakat. Ketika maksiat terjadi, sekecil apapun, ketika orang-orang shalih enggan menasehati dan mencegah maksiat tersebut, bukan tidak mungkin bencana akan datang. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
والذي نفسي بيده، لتأمرن بالمعروف، ولتنهون عن المنكر، أو ليوشكن الله أن يبعث عليكم عِقابا من عنده، ثم لتَدعُنّه فلا يستجيب لكم
“Demi Allah, hendaknya kalian mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Atau Allah akan menimpakan hukuman kepada kalian, lalu kalian berdo’a namun tidak dikabulkan” (HR. At Tirmidzi no.2323, Ia berkata: “Hadits ini hasan”)
Korban bencana adalah ahli maksiat?
Alasan mereka yang lain lebih sosialis. Yaitu jika kita mengaitkan bencana di suatu daerah dengan maksiat yang dilakukan penduduknya, sama saja menganggap korban-korban bencana adalah para ahli maksiat.
Dan hadits tersebut di atas jelas bahwa orang yang terkena bencana, bisa jadi benar ahli maksiat, atau bisa jadi orang shalih yang ikut terkena bencana yang disebabkan maksiat. Sehingga tidak ada yang bisa memastikan seseorang termasuk yang mana kecuali Allah Ta’ala. Dan tidak ada kepentingan sama sekali bagi kita untuk mengetahui apakah para korban itu termasuk golongan ahli maksiat atau orang shalih? Namun penting bagi kita untuk menyadari bahwa bencana ini karena sebab maksiat. Karena inilah yang membuat kita tersadar, bergegas untuk menyerahkan diri kepada-Nya, bersimpuh dan bertaubat kepada-Nya.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar Ruum: 41)
Dari pada kita merasa sombong, tak merasa punya andil dalam menyebabkan bencana ini, merasa tidak berdosa dan congkak. Yang tentunya kesombongan itu akan berbalas, di dunia atau kelak di akhirat.
وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
“Orang yang enggan bertaubat, mereka termasuk orang-orang yang zhalim” (QS. Al Hujurat: 11)
Allahlah Rabb alam semesta
Ya memang, bencana alam ini adalah fenomena alam yang dapat dijelaskan oleh ilmu fisika atau ilmu alam. Dengan ilmu tersebut bisa diketahui penyebab fisiknya, atau mungkin bisa diramal kejadiannya dari tanda-tanda dan pola-pola yang ada. Namun ingatlah, jauh dibalik itu semua, semua yang terjadi di alam ini adalah kekuasan Allah, yang Maha Mengatur Alam Semesta. Ilmu manusia manapun tidak ada yang bisa melawan dan meramal kehendak Allah. Andai teori dan data menyatakan tidak akan terjadi bencana, jika Allah berkehendak pun tetap terjadi. Allah lah pengatur alam yang sebenarnya.
رَبُّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا الْعَزِيزُ الْغَفَّارُ
“Ialah Allah, Rabb langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun” (QS. Shaad: 66).
Oleh karena itu sungguh sangat logis, jika ingin menghindari bencana atau menghentikan bencana kita memohon, menuruti keinginan serta menjauhi larangan dari Yang Maha Mengatur Alam yang sebenarnya.
وَهُوَ الَّذِي يُحْيِي وَيُمِيتُ وَلَهُ اخْتِلَافُ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dialah Allah yang menghidupkan dan mematikan, Dialah yang membolak-balikan siang dan malam, tidakkah engkau berpikir?” (QS. Al Qashas: 28 )
Penulis: Yulian Purnama
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment