visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Friday, December 9, 2011

Berdzikirlah Seorang Diri


Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. Hal itu, merupakan tingkat tertinggi dari kecintaan manusia terhadap sesama manusia. Dan itu, termasuk salah satu sifat yang disebutkan Rasulullah shallahu alaihi wassalam dalam sabdanya,

"Tiga perkara yang bila seseorang menetapi salah satunya, niscaya ia akan menemukan manisnya keimanan. Diantaranya, adalah mencintai seseorang hanya karena Allah semata".

Apabila Anda mencintai seseorang hanya karena Allah, dan bukan karena bisnis, kepentingan tertentu, atau harta, maka berbahagialah dan berbahagialah! Masalahnya, anda akan termasuk orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan lain selain naungannya.

Adapun yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah shallahu alaihi wassalam, "Berkumpul karena Allah", dalam hadist tadi, adalah berkumpulnya kedua orang itu disebabkan oleh kecintaan mereka berdua terhadap Allah.

Demikian yang dimaksud dengan, "Berpisah karena Allah". Yakni, salah satunya pergi dan meninggalkan yang lain, atau meninggal dunia, dalam keadaan keduanya tetap mencintai karena Allah. Karena itu, maka Rasulullah shallahu alaihi wassalam dahulu seringkali mempersaudarakan antara dua orang shahabat dan menjadikan mereka semua saudara.

Tercatat, beliau shallahu alaihi wassalam telah mempersaudarakan Salman al-Farisi dengan Abu Darda, Sa'ad ibn al-Rabi' dengan Abdurrahman bin Auf, dan sebagainya. Rasulullah shallahu alaihi wa ssalam juga telah mempersaudarakan Salman dengan Abdullah ibn Salam. Arkian, Abdullah ibn Salam berkata kepada Salman, "Sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah. Maka aku meminta kepadamu atas izin Allah, agar bila engkau kelak mati sebelumku, atau aku mati sebelummu, hendaklah bila kita bertemu dalam mimpi nanti, engkau selalu mewasiatkan suatu kebaikan untu menunjukkan kepadaku jalan menuju Allah."

Perlu digaris bawahi, bahwasanya arwah orang-orang beriman itu akan saling kunjung-kunjungi dalam mimpi. Ini adalah keyakinan Ahlussunah Waljamaah, dan bukan doktrin pokok tauhid. Meskipun sempat diramaikan oleh Ibnu Taimiyah.

Karenanya, tidak mengherankan bila dalam mimpinya, seorang Muslim kadang-kadang bertemu dengan saudaranya seiman yang kemudian memberitahukan suatu perkara, mengatakan beberapa persoalan penting dan mewasiatkan perlbagai macam wasiat.

Demikianlah, akhirnya Abdulan ibn Salam dan Salman menyepakati perjanjian. Kemudian, Abdullah ibn Salam meninggal dunia terlebih dahulu sebelum Salman al-Farisi. Dan benar, Salampun bertemu dengannya dalam sebuah mimpi.

Syahdan, Salman pun menyapanya, "Bagaimana keadaanmu?" Abdullah menjawab, "Alhamdulillah, aku berada dalam kehidupan yang amat menyenangkan dan aku selalu melihat Allah setiap Jum'at". Salman berkata, "Lalu, apakah yang kau temukan tentang sebaik-baik amal yang harus kuperbuat?" Abdullah menjawab, "Aku mendapatkan, bahwa sebaik-baik amal adalah bertawakal kepada Allah. Karena itu, aku wasiatkan kepadamu agar senantiasa bertawakal kepada Allah". Itulah wasiat Abdullah kepada Salman.

Ali ra berkata, "Berbekallah dengan teman-teman akrab, sebab mereka adalah tabungan di dunia dan tabungan di akhirat". Para shahabat yang mendengar itu berkata, "Wahai Amirul Mukminin, adapun yang di dunia, kami mempercayainya. Lantas, bagaimana dengan yang diakhirat?" Ali ra menjawab, "Bukankah kalian sudah mendengar firman Allah yang berbunyi,

الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ ﴿٦٧﴾

"Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi yang lain, kecuali orang-orang yang bertakwa". (QS. Az-Zukhruf [43] : 67)

Artinya, barangsiapa mengasihi temannya karena Allah Ta'ala niscaya temannya itu akan menjadi temannya di akhirat. Hahkan, ia akan bisa menjadi perantara bila Allah menghendaki dan mengizinkannya.

Pada hari kiamat kelak, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadist, Allah akan mengundang orang-orang yang saling mencintai karena Allah untuk berkumpul dalam naungan-Nya. Disebutkan kelak Allah akan berkata, "Manakah orang-orang yang saling mencintai karena kebesaran-Ku? Hari ini, aku akan menaungi mereka dalam naungan-Ku, sedang hari ini tidak ada naungan lain selain naungan-Ku. Mereka berdiri satu persatu dan kemudian berkumpul dibawah naungan Allah. Mereka dikumpulkan bukan atas dasar persamaan derajat, pangkat, kedudukan, keturunan, akan tetapi mereka saling mencintai karena Allah. Mereka berasal dari berbagai golongan, suku, ras, dan status sosial. Kecintaan mereka karena Allah lah yang membuat mereka bisa bertemu dalam satu naungan Allah."

Dalam sebuah hadist disebutkan, ada seseorang yang senantiasa pergi dari satu kampung ke kampung lain untuk mengunjungi saudaranya seiman. Maka, Allah mengutus seorang malaikat untuk menghadangnya di tengah perjalanan. Lalu, ketika orang itu muncul, malaikat yang diutus Allah menyapanya, "Hendak ke manakah engkau?" Ia menjawab, "Aku hendak mengunjungi saudaraku seiman". Malaikat itu bertanya, "Apakah ia memiliki seuatu kenikmatan yang bisa engkau harapkan?" Ia menjawab, "Tidak. Sebab aku mencintainya karena Allah".

Maka malaikat itu berkata, "Ketahuilah, aku ini seorang Malaikat yang diutus Allah kepadamu untuk mengabarkan, bahwa sesungguhnya Allah benar-benar mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu karena-Nya". Artinya, orang itu mengunjungi saudaranya adalah karena terdorong oleh kecintaannya terhadap Allah. Dalam sebuah hadist disebutkan, Rasulullah shallahu alaihi wassalam menuturkan, Allah Ta'ala, berfirman,

"Adalah keniscayaan untuk memberikan kecintaan-Ku kepada orang-orang yang saling mencintai karena Allah dan orang-orang yang saling mencintai karena Aku dan orang-orang yang bersahabat karena Aku".

Salah satu tanda orang yang beriman, adalah tetap mencintai orang-orang beriman, meskipun tidak pernah meniru amal-amal mereka, dan membenci orang-orang yang berbuat maksiat. Adapun orang-orang munafik, membenci dan memusuhi orang-orang yang taat kepada Allah, dan menyukai (mencintai) orang-orang yang senang berbuat maksiat, serta ikut meniru perbuatan mereka. Itulah perbedaan antara orang yang mencintai karena Allah dan orang yang mencintai bukan karena Allah.

Ibnu Katsir mengatakan, syahdan, tak lama setelah ia meningal dunia, beberapa ulama bertemu dengannya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, mereka melihatnya memiliki dua sayap dari cahaya dan terbang di Surga dari satu ke pohon ke pohon yang lain. Lalu mereka bertanya, "Benarkah engkau si Fulan?". Ia menjawab, "Benar". Dengan penuh penasaran mereka bertanya, "Bukankah amal perbuatanmu di dunia seperti itu?" Maksud mereka, ia sering berbuat dosa. Ia menjawab, "Bukankah kalian pernah mendengar hadist yang menyatakan, 'Sesungguhnya orang itu akan bersama orang yang dicintainya?'." Mereka berkata, "Benar, kami pernah mendengarnya".

Al-Hasan menasehatkan, janganlah seseorang berkata, "Seseorang akan dikumpullkan dengan orang yang mencintainya", dan kemudian ia berbuat semena-mena, tetapi ingin tetap dikumpulkan bersama orang dicintainya itu. Umat Nasrani, misalnya, mereka sangat mencintai Isa as. Bahkan, mereka sampai menuhankannya. Namun, mereka akan tetap masuk Neraka. Sedangkan Isa as, dia akan tetap di surga.

Ada sementara orang yang menangis dalam berdzikir di depan orang banyak, dan tidak menangis manakala berdzikir sendirian.

Karena itu, para ulama mengatakan, waspadalah terhadap kemunafikan dan riya' (berbuat untuk dipuji orang lain) dalam tiga tempat, pertama, saat anda berdzikir dan menangis di depan manusia, kedua, ketika anda berdzikir dan menangis di depan manusia. Sesungguhnya hal itu merupakan fitnah bagi orang yang tergoda, ketiga, ketika anda bersedekah di depan manusia.

Dalam sejarah hidup al-Auzai disebutkan, setiap kali berdzikir kepada Allah sendirian, ia menangis sampai para tetangganya menjadi sayang padanya. Namun, bila berdzikir di depan orang lain, ia sama sekali tidak menangis. Yang dimaksud dengan sendirian itu, adalah jauh dari kesamaran dan terlepas dari sifat riya' dan pamer.

Ibnu Qayyim menuturkan, Taqiyudin ibn Syatir mengisahkan, suatu ketika, aku pergi membuntuti Ibnu Taimiyah selama berhari-hari. Sementara ia berjalan, aku terus mengamatinya dari kejauhan dan kemudian mengikutinya dari belakang tanpa sepengetahuannya.

Akhirnya, dia berhenti pada suatu tempat, terlihat olehku, ia menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata, "Tiada Tuhan selain Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya. Miliki-Nya seluruh kekuasaan da segala puji. Dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu". Sesaat kemudian, ia terlihat menangis bersedih dengan air mata bercucuran. Lalu berkat, "Aku sengaja tinggalkan rumah, demi berbicara dengan-Mu secara pribadi dan dalam kesendirian".

Berdzikir kepada Allah tidak harus dengan membaca lafazh tasbih, takbir, tahmid dan tahlil dalam seuatu penyepian diri. Bukan demikian. Sebab, para ulama pernah mengatakan, "Barangsiapa melihat orang yang terkena musibah (ujian Allah), lalu air mata bercucuran, niscaya ia termasuk orang-orang yang sedang berdzikir kepada Allah."

Tidak sedikit pula orang yang berdzikir kepada Allah dalam kesendirian dan bisa benar-benar meneteskan air matanya. Yakni, manakala ia teringat dengan segala dosa da kesalahannya, atau teringat pada orang-orang yang dicintainya dan sanak kerabat yang telah mendahuluinya. Dalam keadaan seperti ini, maka ia sudah termasuk orang-orang berdzikir kepada Allah. Wallahu'alam.



No comments:

Post a Comment