Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Qomar yang artinya:”Dan sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” Allah telah mengulang ayat ini dalam surat yang sama sebanyak empat kali, yakni ayat ke 17, 22, 32, dan 40. Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa Allah telah memudahkan al-Qur’an untuk dibaca, dihafal dan dipelajari maknanya sebagaimana yang telah di sebutkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya.
Dalam ayat yang lain Allah juga telah berfirman yang artinya: ”Maka sesungguhnya telah kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan Al-Qur’an itu kepada orang-orang yang bertakwa”. (Maryam: 97).
Namun dalam kenyataannya, tidak jarang kita mendapatkan sebagian dari kita mengalami kesulitan dalam menghafal Al-Qur’an, Pagi hari menghafal, sore harinya tidak jarang yang sudah lupa, begitu dan seterusnya. Maka setiap kita yang mengalami hal yang demikian harus senantiasa instropeksi diri (muhasabah). Sebab kalau kita perhatikan dengan seksama dan dengan penuh kejujuran dan kesadaran terhadap diri kita, maka akan kita dapatkan bahwa sulitnya kita dalam menghafal Al-Qur’an tidak akan terlepas minimal dari dua sebab berikut:
Kita belum mencurahkan seluruh potensi kita?.
Inilah pertanyaan pertama yang mesti kita jawab. Mari kita merenung sejenak, betapa banyak waktu yang sebenarnya masih kita sia-siakan tanpa aktifitas yang bermanfaat. Kita belum merealisasikan firman Allah dalam surat asy-syarh ayat 7 yang artinya:”Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain).”dan juga sebagaimana yang dikatakan oleh pepatah arab “Barang siapa yang bersungguh-sungguh pasti dapat”
Maka kita harus bakhil dan penuh perhitungan terhadap waktu, jangan sampai waktu kita lewatkan begitu saja tanpa berinteraksi dengan Al-Qur’an. Dan kita harus senantiasa menyadari bahwa semudah apa pun suatu pekerjaan -termasuk dalam hal ini menghafal Al-Qur’an- kalau tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh maka hasilnya pun tidak akan maksimal.
Maka solusi dari permasalahan yang pertama ini, tandzimul auqoot (manajemen waktu) menjadi suatu keharusan. karena pada hakikatnya menghafal Al-Qur’an tidak hanya bermodalkan kecerdasan otak semata, Tetapi yang lebih penting dari itu adalah pandainya seseorang dalam mengatur waktunya dan istiqomah.
Bagaimana kita saksikan Imam Syafi’i yang dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa beliau melaksanakan sholat subuh dengan memakai wudhu sholat isya’. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak tidur semalaman untuk menelaah ilmu. Lalu bagaimana dengan kita…..???? apakah kemudian pantas kita bersantai-santai, banyak bersenda gurau, banyak tidur, tapi ingin mendapatkan ilmu sebagaimana yang didapatkan oleh imam Syafi’I ???
Pengaruh dosa dan maksiat
Di antara dampak dosa dan maksiat yaitu terhalangnya ilmu syar’I- termasuk di dalamnya Al-Qur’an- dari diri kita. Padahal ilmu syar’ilah yang akan menghantarkan kita ke dalam golongan orang-orang yang bertakwa serta jalan yang paling cepat dan mudah untuk sampai kepada Allah. Sebagaimana perkataan Ibnu Rajab ketika menjelaskan hadist “barang siapa menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga” dia berkata: “ilmu itu menunjukkan jalan menuju kepada Allah dan merupakan salah satu jalan paling dekat dan paling mudah. Maka barang siapa menggunakan ilmu dan tidak menyimpang darinya, niscaya akan sampai kepada Allah dan surga melalui jalan paling dekat dan mudah”.
Salah seorang salaf berkata:” Bagaimana seseorang akan bertakwa, jika ia tidak mengerti apa yang harus dijauhi?”
Ibnu Rajab juga berkata: ”pangkal takwa adalah: hendaknya hamba mengetahui apa yang harus dijauhinya, kemudian menjauhinya”.
Beliau juga berkata: ”barang siapa menempuh suatu jalan yang dikiranya jalan menuju surga, tanpa mempunyai ilmu, maka benar-benar telah menempuh jalan yang sangat sukar dan berat, meski demikian tidak akan menyampaikannya kepada tujuan”.
Maka kepada para penghafal Al-Qur’an hendaknya ia bermujahadah dalam meninggalkan dan menjauhi kemaksiatan, sebab dosa dan kemaksiatan adalah faktor utama terhalangnya ilmu syar’I (Al- Qur’an) dari hati kita. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik.
Ketika Imam Syafi’i duduk di hadapan Imam Malik dan membacakan kitab Muwatho’, maka Imam Malik terheran-heran terhadap cahaya dan sinar kecerdasan dan kesempurnaan pemahaman Imam Syafi’i, maka Imam Malik berkata: ”Sesungguhnya aku melihat bahwa Allah telah menanamkan cahaya dalam hatimu maka janganlah kamu padamkan cahaya itu dengan gelapnya kemaksiatan”.
Dan sungguh para salafussholih mengetahui bahwa meninggalkan maksiat adalah prinsip utama yang harus dimiliki untuk mendapatkan ilmu. Bisyr bin Harits berkata: ”jika engkau ingin mendapatkan ilmu maka janganlah bermaksiat”.
Al-Qosim bin Abdurrahman berkata:“ Abdullah berkata; saya kira orang yang lupa akan ilmunya itu disebabkan kesalahan yang ia kerjakan“.
Dan di antara dampak positif kemaksiatan terhadap ilmu adalah apa yang diriwayatkan bahwa Imam Syafi’i Rahimahullahu, dan beliau adalah orang yang terkenal dengan kecerdasan otaknya serta cepatnya dalam menghafal. Baliau mengadu kepada gurunya, Waqi’, bahwa suatu hari beliau mengalami kekacauan dalam menghafal. Maka gurunya menunjukkan obatnya, yaitu meninggalkan maksiat, dan mengosongkan hati dari hal-hal yang dapat menjauhkannya dari Allah. Sebagaimana perkataan beliau yang sangat terkenal; aku mengadu kepada Waqi’ terhadap kacaunya hafalanku, maka beliau menasihatiku agar meninggalkan kemaksiatan. Dan ia memberitahuku bahwasanya ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada ahli maksiat.
Memang manusia tidak akan ada yang terlepas dari dosa sama sekali. Setiap manusia pasti pernah terjatuh di dalam perbuatan dosa, akan tetapi bagi kita para penghafal Al-Qur’an dan para penuntut ilmu syar’i senantiasa berusaha menjauhi kemaksiatan baik yang kecil apalagi yang besar, serta senantiasa memperbanyak istighfar. Sebagaimana sabda Rasulullaah sholallahu `alaihi wa salam yang artinya ”setiap anak keturunan adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang berbuat salah adalah orang-orang yang senantiasa bertaubat“.
Ibunda Aisyah rodhiyallahu ‘anha juga berkata: “maka beruntunglah orang-orang yang nanti di akhirat mendapatkan shohifah (lembaran catatan amal)nya penuh dengan istighfar“
Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing lisan kita untuk senantiasa basah dengan banyaknya istighfar kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, amiin yaa mujibas saailin.....
Itulah dua hal minimal yang semestinya senantiasa menjadi perhatian para penghafal Al-Qur’an, senantiasa memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang bernilai ibadah di sisi Allah. Dan seharusnya setiap muslim apalagi para pembawa bendera islam (Al-Qur‘an) menjadikan hadits:
من حسن إسلام المرء تركه مالا يعنيه
Sebagai mizan di dalam beramal, sehingga setiap hendak melakukan sesuatu amal dia senantiasa melihat dan menimbang dengan hadits tersebut, apakah ada manfaat dunia atau akhiratnya. Kalau ada manfaat baik dunia atau pun akhirat maka dia kerjakan namun jika tidak ada manfaat dunia apalagi akhirat dia tinggalkan. Dan juga senantiasa bertaubat dan beristighfar kepada Allah subhaanahu wa ta’alaa……..
Mudah-mudahan Allah senantiasa membimbing kita untuk tetap hidup bersama Al-Qur’an sampai akhir hayat kita amiiiiin ya rabbal ‘alamiin
Oleh : Abu Idris Al-Awwab
No comments:
Post a Comment