Setelah memahami kekeliruan mereka yang membagi bid’ah persis dengan pembagian hukum syar’i (wajib, mandub, mubah, makruh dan haram). Ada baiknya kalau di sini kami jelaskan klasifikasi bid’ah yang benar, yang tidak bertentangan dengan sabda Nabi: “wa kullu bid’atin dholalah”. Yaitu dengan meninjau dari segi hubungannya dengan syari’at, atau dari kadar bahayanya.
Ditinjau dari hubungannya dengan syari’at, bid’ah terbagi menjadi dua:
1. Bid’ah Haqiqiyyah.
2. Bid’ah Idhafiyyah.
Dalam kitabnya yang sangat monumental, Imam Asy Syathiby mendefinisikan bid’ah haqiqiyyah sebagai berikut:
اَلْبِدْعَةُ الحَقِيْقِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَمْ يَدُلَّ عَلَيْهَا دَلِيْلٌ شَرْعِيٌّ لاَ مِنْ كِتَابٍ وَلاَ سُنَّةٍ وَلاَ إِجْمَاعٍ وَلاَ اسْتِدْلاَلٍ مُعْتَبَرٍ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ لاَ فِي الْجُمْلَةِ وَلاَ فِي التَّفْصِيْلِ, وَلذَلِكَ سُمِّيَتْ بِدْعَةً لأَِنَّهَا شَيْءٌ مُخْتَرَعٌ عَلىَ غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ (مختصر الاعتصام, ص 71).
Bid’ah haqiqiyyah ialah bid’ah yang tidak ada dalil syar’inya sama sekali. Baik dari Al Qur’an, Sunnah, Ijma’, maupun istidlal yang mu’tabar[1]) menurut para ulama. Ia sama sekali tak memiliki dalil baik secara umum maupun terperinci, karenanya ia dinamakan bid’ah berangkat dari hakekatnya yang memang diada-adakan tanpa ada contoh sebelumnya.
Contoh bid’ah haqiqiyyah yang akrab dengan masyarakat Indonesia misalnya: puasa mutih, puasa pati geni, padusan (mandi) menjelang datangnya bulan Ramadhan, peringatan bagi orang yang telah meninggal; 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan seterusnya
Sedangkan bid’ah idhafiyyah menurut Imam Asy Syathiby definisinya ialah:
البِدْعَةُ الإِضَافِيَّةُ: هِيَ الَّتِي لَهَا شَائِبَتَانِ: إِحْدَاهُمَا: لَهَا مِنَ الأَدِلَّةِ مُتَعَلَّقٌ, فَلاَ تَكُونُ مِنْ تِلْكَ الْجِهَةِ بِدْعَةً. وَالأُخْرَى: لَيْسَ لَهَا مُتَعَلَّقٌ إِلاَّ مِثْلَ مَا لِلْبِدْعَةِ الحَقِيْقِيَّةِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُمَا مِنْ جِهَةِ الْمَعْنَى: أَنَّ الدَّلِيْلَ عَلَيْهَا مِنْ جِهَةِ الأَصْلِ قَائِمٌ, وَمِنْ جِهَةِ الْكَيْفِيَّاتِ أَوِ الأَحْوَالِ أَوِ التَّفْصِيْلِ لَمْ يَقُمْ عَلَيْهَا, مَعَ أَنَّهَا مُحْتَاجَةٌ إِلَيْهِ لِأَنَّ الْغَالِبَ وُقُوْعُهَا فِي التَّعَبُّدِيَّاتِ لاَ فِي الْعَادِيَّاتِ الْمَحْضَةِ (مختصر الاعتصام, ص 71)
Bid’ah Idhafiyyah: ialah bid’ah yang mengandung dua unsur. Salah satunya memiliki kaitan dengan dalil syar’i, sehingga dari sisi ini ia tidak termasuk bid’ah. Sedang unsur kedua tidak ada kaitannya, namun persis seperti bid’ah haqiqiyyah. Jadi beda antara kedua bid’ah tadi dari segi maknanya ialah: bahwa (bid’ah idhafiyyah) asal-usulnya merupakan sesuatu yang dianjurkan menurut dalil syar’i; akan tetapi dari segi cara pelaksanaan, keadaan, dan detail-detailnya tidak bersandarkan pada dalil. Padahal hal-hal semacam ini amat membutuhkan dalil, karena sebagian besar berkaitan dengan praktik ibadah dan bukan sekedar adat kebiasaan (Mukhtasar Al I’tisham, hal 71).
Contoh kongkrit dari bid’ah idhafiyyah terlalu banyak untuk disebutkan satu persatu. Tapi yang paling akrab dengan masyarakat Indonesia seperti yasinan, tahlilan, shalawatan, membaca wirid bersama selepas shalat dengan dikomandoi oleh Imam, membaca shalawat sebelum adzan dan iqamah, mengkhususkan malam nisfu Sya’ban untuk melakukan ibadah tertentu, maulidan dan lain sebagainya. Bahkan sebagian besar bid’ah yang kita jumpai saat ini rata-rata termasuk bid’ah idhafiyyah. Meski demikian, bahaya yang ditimbulkannya tidak lebih kecil dari bid’ah haqiqiyyah; bahkan lebih besar, mengapa? Karena sepintas ia merupakan taqarrub kepada Allah, hingga banyak orang tertipu dengan ‘penampilan luarnya’, padahal sesungguhnya itu merupakan bid’ah yang dibenci syari’at.
Pembagian bid’ah lainnya yang dibenarkan ialah yang didasarkan pada bahaya yang ditimbulkannya. Ditinjau dari kadar bahayanya, bid’ah juga terbagi menjadi dua:
1. Bid’ah Mukaffirah.
2. Bid’ah Ghairu Mukaffirah.
Bid’ah mukaffirah ialah setiap bid’ah yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, keluar dari Islam. Bid’ah ini biasanya berkaitan dengan keyakinan; seperti bid’ahnya orang-orang Jahmiyyah[2]), bid’ahnya Syi’ah Imamiyyah Al Itsna ‘Asyariah[3]), bid’ahnya mereka yang mengingkari takdir Allah (Qadariyyah)[4]), dan lain-lain.
Sedangkan bid’ah ghairu mukaffirah, ialah bid’ah yang tidak menyebabkan pelakunya menjadi kafir, akan tetapi terhitung berdosa. Dan tentunya dosa satu bid’ah tidak sama dengan dosa bid’ah lainnya, akan tetapi tergantung dari bentuk bid’ah itu sendiri dan keadaan pelakunya. Namun bagaimanapun juga bid’ahnya tetap tertolak, meski orang tersebut melakukannya dengan ikhlas dan berangkat dari kejahilan.
-bersambung insya Allah-
Penulis: Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc
Mahasiswa Magister ‘Ulumul Hadits wad Dirosah Islamiyah Univ. Islam Madinah
Artikel www.muslim.or.id
No comments:
Post a Comment