Beberapa tahun lalu, Indonesia juga membolehkan beredarnya ikon majalah porno dunia “Playboy”. Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara kedua di Asia setelah Jepang yang memberi izin resmi beredarnya majalah porno tersebut. Suatu prestasi yang sangat menyedihkan bagi bangsa yang mengaku-aku sebagai negeri muslim terbesar dunia.
Pertanyaannya, apakah semua serangan dari dunia porno ini ke Indonesia hanya kebetulan belaka atau memang ada grand scenario di baliknya, mengingat ZIonis-Yahudi ada di belakang semua industri seks dunia.
Mungkin ini kedengarannya terlalu konspiratif. Namun ketahuilah bila kita melacak sejarah segala hal yang berbau industri seks, maka kita akan menemukan jika kaum yang dilaknat Allah Swt tersebut memang senantiasa berada di belakangnya.
Talmud, Zionis-Israel, dan Industri Syahwat
Israel not the promised land for Russian sex slaves. Israel bukan tanah yang dijanjikan bagi pelacur Rusia. Demikian judul tulisan jurnalis Elisabeth Eaves, yang dimuat dalam situsnya, 23 Agustus 1998. Eaves yang bergiat di bidang pemberdayaan perempuan mengutip data yang dikeluarkan Israel Womens Network, sebuah lembaga nirlaba perempuan yang berpusat di Tel Aviv, yang menyatakan bahwa lebih dari 70% pelacuran di Tel Aviv datang dari negara-negara pecahan Uni Sovyet.
Menurut daa yang ada, setiap tahun, lebih dari 1.000 perempuan muda dari wilayah-wilayah tersebut membanjiri Tanah Palestina yang diduduki bangsa Zionis-Yahudi ini. Mereka bisa masuk ke Israel karena adanya kerjasama antara jaringan Mafia Rusia dengan Mafia Zionis-Israel, dan juga atas restu para pejabat, para pemuka agama, dan polisi setempat yang korup.
Menurut Eaves, para perempuan muda asal Rusia menganggap bahwa Zionis-Israel merupakan surga bagi kegiatan prostitusi. Secara resmi pejabat Zionis-Israel memang melarang keberadaan pelacuran di wilayah pendudukan tersebut. Namun dalam kenyataannya, banyak kalangan mengetahui bahwa rata-rata para perempuan muda itu malah digiring ke wilayah-wilayah yang dekat dengan pemukiman orang-orang Palestina, di mana ‘pemerintah’ Zionis-Israel banyak mendirikan bar, diskotik, dan rumah-rumah bordil. Pendirian tempat-tempat maksiat di daerah yang berdekatan dengan kamp-kamp pengungsi dan rumah-rumah orang Palestina ini disengaja oleh Zionis-Israel untuk menggoyahkan keimanan pemuda-pemuda Palestina dan menghancurkan moral anak-anak kecilnya.
Bukan hanya perempuan muda, Israel juga memperdagangkan anak-anak di bawah umur untuk dijadikan budak-budak pemuas syahwat, baik kepada orang-orang Yahudi sendiri maupun kepada orang-orang Arab. Di kota Tel Aviv saja, dalam jangka satu tahun, uang yang berputar dalam dunia prositusi mencapai 450 miliar dollar. Ini menurut Jewis Online Magazine, Social Action (Socialaction.com).
Sebuah laporan dari Harian Israel, Haaretz (22 Juni 2001), menyatakan, “Seorang pengemudi truk sampah yang bekerja sambilan sebagai penjaga sinagog di pusat kota Tel Aviv telah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Distrik Yerusalem atas tuduhan pelecehan seksual terhadap anak-anak di bawah umur yang mengunjungi sinagog itu. Sedikitnya, tiga anak-anak telah menjadi korban, termasuk seorang anak berusia 13 tahun yang merupakan putera dari salah seorang petinggi sinagog yang namanya tidak disebutkan tersebut.
Menurut harian Israel itu, pelaku mendekati korban awalnya dengan membujuk korban agar mencicipi narkotika. Ketika sang anak telah mencicipi, maka pelaku mengancam akan memberitahukan orangtua korban. Anak itu tentu ketakutan dan berharap pelaku tidak memberitahu kedua orangtuanya. Maka pelaku mulai memasang perangkap. Ia berjanji tidak akan melaporkan hal tersebut asal korban mau melayani hawa nafsunya. Modus yang lain adalah dengan memberi iming-iming berupa kembang gula kepada korban yang usianya masih belia.”
‘Pemerintah’ Israel dalam kebijakan resminya memang melarang segala bentuk pelacuran dan kemaksiatan lainnya. Peraturan dan perundang-undangan juga telah dikeluarkan untuk itu. Namun yang harus kita cermati, definisi pelacuran dan kemaksiatan bagi orang-orang Yahudi itu ternyata berbeda sekali dengan apa yang sudah menjadi pemahaman umum dunia. Kebijakan Zionis-Israel seluruhnay bersandar pada Talmud. Inilah basis ideologis mereka dalam setiap tindakan dan sikapnya. Talmud dianggap lebih suci dan lebih tinggi ketimbang Torah.
Dalam Talmud, kejahatan seksual hanya bisa dikategorikan perbuatan kriminal jika itu dilakukan lelaki Yahudi terhadap perempuan Yahudi lainnya. Atau terhadap sesama orang Yahudi. Karena hanya orang Yahudilah yang dianggap sebagai manusia. Sedang jika seorang lelaki Yahudi memperkosa perempuan non-Yahudi (Ghoyim), atau jika ia seorang pedofili Yahudi ‘menggarap’ bocah non-Yahudi, maka perbuatan itu bukanlah dosa, malah memberinya “rahmat Tuhan”.
Dasar pemikiran ini berangkat dari ayat-ayat Talmud yang menyatakan bahwa hanya orang-orang Yahudi saja yang manusia, sedangkan orang-orang non-Yahudi (Gentiles atau Ghoyim) bukanlah manusia melainkan sederajat dengan binatang. Jadi, melakukan kejahatan terhadap ‘binatang’ itu sama sekali tidak berdosa.
Talmud adalah kumpulan pandangan dan pemikiran para rabbi Zionis-Yahudi yang amat sangat rasis. Talmud inilah salah satu sumber ajaran Nazi-isme yang juga sangat rasialis. Talmud bahkan diyakini Zionis-Yahudi sebagai kitab suci yang jauh lebih suci ketimbang Taurat Musa. Oleh sebagian rabbi bahkan dikatakan jika Talmud merupakan perintah Tuhan yang sengaja disembunyikan Musa, atau tidak ditulis Musa, namun diketemukan oleh para Rabbi Yahudi. Talmud inilah yang menjadi dasar ideologi kaum Zionis Yahudi sejak dahulu hingga sekarang.
Agar kita memahami pandangan Zionis-Yahudi terhadap bangsa-bangsa non-Yahudi, ada baiknya di sini dikutip sebagian kecil ayat-ayat Talmud. Inilah di antaranya:
“Hanya orang-orang yahudi yg manusia, sedangkan orang-orang non yahudi bukanlah manusia, melainkan binatang,” (Kerithuth 6b hal 78)
“Orang-orang non yahudi diciptakan sebagai budak untuk melayani orang-orang yahudi,” (Midrasch Talpioth 225)
“Tuhan (Yahweh) tidak pernah marah kepada orang-orang yahudi, melainkan hanya (marah) kepada orang-orang non yahudi,” (Talmud 1V/8/4a)
“Terhadap orang non yahudi, tidak menjadikan orang yahudi berzina, bisa terkena hukuman bagi orang yahudi hanya bila berzina dengan yahudi lainnya, yaitu istri seorang yahudi. Istri non yahudi tidak termasuk,” (Talmud 1V/4/52b)
“Tidak ada istri bagi non yahudi, mereka sesungguhnya bukan istrinya,” (Talmud 1V/4/81 dan 82ab)
“Orang-orang yahudi harus selalu berusaha untuk menipu daya orang-orang non yahudi,” (Zohar 1, 168a)
Inilah cara pandang kaum Zionis-Yahudi terhadap bangsa-bangsa di luar mereka, yang disebut mereka sebagai Ghoyim atau Gentiles, sehingga mereka merasa memiliki kewenangan penuh terhadap bangsa-bangsa lain di luar mereka, termasuk menjadikan bangsa-bangsa lain sebagai budak dan pelayan bagi kepentingan mereka.
Yahudi dan Industri Porno
Tidak diketahui secara pasti kapan awal mula industri pelacuran dan pornografi terjadi. Juga tidak ada informasi atau literatur yang bisa dipegang keshahihanya tentang bagaimana kaum Sodom dan Gomorrah—misalkan—saling berhubungan dan menjalankan praktek penyimpangannya secara massif. Termasuk bagaimana orang-orang Pompeii yang sangat permisif mengumbar nafsu rendahnya berbisnis secara komprehensif.
Dunia hanya mengetahui kelakuan bejat kaum Sodom dan Gomorrah lewat berita-berita yang tertulis di kitab suci, dan tabiat jelek warga kota Pompeii lewat ‘warisannya yang aneh’ berupa mummi-mummi utuh yang muncul dari timbunan abu Gunung Vesuvius.
Hanya saja, ada beberapa kisah menarik terkait hal ini. Misal kisah pembangunan Piramida Giza yang dilakukan Raja Khufu, 2560 tahun sebelum masehi. Menurut catatan Herodotus, seorang sejarahwan Yunani Kuno, Raja Khufu dari dinasti keempat Pharaoh Mesir, mengumpukan dana untuk pembangunan Piramida Giza dengan mengkomersilkan puterinya sendiri sebagai pelacur. Mungkin inilah pertama kali kisah komersialisasi perempuan demi imbalan materi.
Bangsa-bangsa kuno seperti Yunani, Mesopotamia, Romawi, dan sebagainya juga memiliki kisahnya tersendiri mengenai hal ini. Namun untuk mengindustrialisasikannya, tidak ada yang mampu mengalahkan kaum Zionis-Yahudi seperti saat ini.
Dalam dunia modern sekarang, kita mengenal Hollywood sebagai pusat industri perfilman dunia. Sebab itu banyak sekali pusat-pusat produksi film di berbagai negara menirukan istilah ini seperti Bollywood (India), Nollywood (Nigeria), Cholywood (Peru), Lollywod (Pakistan), Wellywood (Selandia Baru), dan sebagainya. Nama Hollywood telah menjadi satu-satunya legenda dalam hal produksi film dunia. Semua orang kenal dengan Hollywood, semua orang tahu Hollywood.
Namun bagaimana kesan Anda jika mendengar San Fernando Valley?
Nama ini masih terdengar asing di telinga orang kebanyakan. Hanya orang-orang dari kalangan tertentu yang mengetahuinya. San Fernando Valley, seperti namanya, merupakan wilayah seluas 670 kilometer persegi yang terletak di sebuah lembah di California Selatan, Los Angeles. Lokasinya bertetanggaan dengan Hollywood. Di sana ada kota Burbank, Glendale, San Fernando, Hidden Hills, dan Calabasas. Lebih dari setengah kota metropolitan Los Angeles ada di wilayah San Fernando Valley. Ada beberapa lembah di sekitarnya, namun ketika orang menyebut ‘The Valley’ maka bisa dipastikan yang dimaksud mereka sesungguhnya adalah San Fernando Valley.
Kisah tentang orang-orang Yahudi yang membuka lahan di sekitar daerah itu yang kemudian sekarang kita kenal dengan nama Hollywood, bisa dilihat di dalam Eramuslim Digest edisi 3: “Hollywood Undercover”. Bagaimana dengan San Fernando Valley?
Pembangunan San Fernando Valley tidak bisa dipisahkan dari Hollywood. Pada tahun 1850-an, ketika para penjelajah Spanyol yang kebanyakan berdarah Yahudi pertama kali membuka wilayah yang sekarang dikenal sebagai Hollywood, penduduk asli Amerika (Indian) telah hidup di sekitar lembah pegunungan Santa Monica. Namun warga asli ini terdesak keluar dan Yahudi Spanyol menguasai wilayah tersebut.
Di era 1870-an, para petani Yahudi-Spanyol mulai menggarap wilayah tersebut. Antara lain dengan tanaman pisang dan nanas. Di tahun 1886, H. H. Wilcox membeli daerah Rancho La Brea yang mana isterinya menyebut wilayah itu sebagai "Hollywood", sebuah nama yang diambil dari kitab suci yang berarti “Kayu Suci”. Bagi kalangan peneliti esoteris, istilah ‘Hollywood’ juga identik dengan dengan nama tongkat sihir atau Kayu Suci. Tahun 1911, Nestor Company membuka studio film pertama di di Hollywood. Dalam waktu yang tidak lama kemudian, Cecil B. DeMille dan D. W. Griffith mulai membuat film di wilayah tersebut.
Pertumbuhan Hollywood bagaimana pun juga diikuti wilayah tetangganya, San Fernando.
No comments:
Post a Comment