Selain kesaksian seorang pengelana Muslim dari Andalusia bernama Ibnu Jubayr, kisah-kisah mengenai kelakuan para ksatria pasukan Salib ketika berada di wilayah pendudukan Yerusalem dan sekitarnya, juga dicatat oleh Usamah ibn Munqidz. Siapa Usamah?
Profesor Carole Hillenbrand dalam The Crusade; Islamic Perpective (1999) menulis: “Usamah adalah seorang bangsawan Arab dengan hubungan kekerabatan yang membanggakan. Lahir pada 488 H/1095 M, tahun ketika Paus Urbanus II menyeru umat Kristen untuk mengangkat Salib menuju Tanah Suci untuk menyelamatkan dari orang kafir. Usamah wafat pada 584 H/1188 M, tak lama setelah Saladin (Salahuddin al-Ayyubi) merebut kembali Yerusalem untuk umat Islam. Usamah mengenal kaum Frank sejak masa kecil di rumahnya di puri Syayzar yang terletak di tepi Sungai Orontez di utara Suriah.
Ia mulai memerangi kaum Frank ketika remaja dan kemudian mengenal mereka secara lebih dekat sepanjang sisa masa hidupnya yang penting, dalam masa damai dan perang. Karena kedudukan sosial dan pendidikannya yang tinggi, Usamah dihormati oleh kaum Frank. Bahkan Usamah berteman dengan ksatria kaum Frank dan dikirimkan dalam misi diplomatik ke kerajaan tentara Salib di Yerusalem.”
Usamah menyusun sebuah buku berjudul ‘Memoirs’ yang menjadi salah satu acuan utama para peneliti tentang pandangan kaum Muslim terhadap tentara Salib. Salah satu kisah laporan pandangan mata yang ditulis Usamah, yang paling banyak dikutip para peneliti sejarah, adalah tentang apa yang dialami Salim—salah satu pelayannya dari Maa’rat al-Nu’man—yang ketika itu tengah bekerja di sebuah tempat pemandian umum milik ayah Usamah. Lokasi pemandian ini berada di Timur Dekat, dan termasuk tempat pemandian yang mewah karena pelanggannya adalah para ksatria kaum Frank. Dalam laporannya Salim menulis:
“Saya bekerja di pemandian di al-Ma’arrat untuk nafkah saya. Suatu hari datang seorang ksatria kaum Frank ke tempat pemandian itu. Ksatria kaum Frank itu tidak suka jika seseorang memasang penutup yang mengelilingi pinggang saat berada di pemandian. Maka ksatria kaum Frank itu mengulurkan tangannya dan menarik lepas penutup yang ada di pinggang saya dan melemparkannya jauh-jauh. Dia menatap saya dan melihat bahwa saya baru saja mencukur bulu kemaluan saya. Kemudian dia berseru, “Salim!” Ketika saya mendekatinya dia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bulu kemaluan saya dan berkata, “Salim, Bagus! Demi kebenaran agamaku, lakukan hal yang sama padaku.”
Usai berkata, dia bersandar dan saya melihat rambut kemaluannya sama seperti janggutnya. Saya kemudian mencukurnya. Lalu dia meraba bagian tersebut. Begitu mengetahui bahwa bagian itu telah bersih, dia berkata, “Salim, demi kebenaran agamaku, lakukan juga pada nyonya (al-dama, merujuk pada isteri).
Ksatria itu kemudian berkata kepada pelayannya, “Beritahu nyonya agar datang ke sini.” Pelayan itu pergi lalu kembali bersama nyonya dan membawanya masuk ke dalam pemandian. Di nyonya juga berbaring. Ksatria itu mengulangi, “Lakukan seperti yang telah kau lakukan padaku.” Maka saya kemudian mencukur semua bulu kemaluannya sementara suaminya duduk sambil memperhatikan. Akhirnya dia mengucapkan terima kasih dan membayar pelayanan yang telah saya berikan.”
Tentang kisah ini, Hillenbrand menyampaikan pandangannya, “Di dalam masyarakat yang kaum prianya melindungi kaum wanita, dan yang kaum wanitanya dilarang memperlihatkan wajah mereka tanpa tutup kecuali kepada sejumlah kerabat pria tertentu, kelakuan ksatria Salib tersebut dengan isterinya, …memperlihatkan titik kesalahan dan kebejatan kaum Frank dan tidak adanya rasa cemburu yang memang “pantas” serta memperkuat nilai-nilai masyarakat Muslim.”
Yang dikisahkan oleh Usamah adalah sikap seorang ksatria kaum Frank, salah satu pemimpin pasukan tentara Salib, yang seperti itu. Masyarakat Muslim akan berpikir, jika seorang tokoh masyarakatnya yang konon berpendidikan saja seperti itu, maka apatah lagi orang-orang yang strata sosialnya berada di bawahnya.
Buas, Jorok, dan Seks Bebas
Dari beberapa literatur yang ada, kaum Muslim menggambarkan sifat dan tabiat orang-orang Frank, termasuk para ksatrianya, adalah jorok (tidak mengerti kebersihan, baik kebersihan pribadi maupun lingkungan), buas, dan sangat permisif terhadap hubungan antara laki-laki dan perempuan.
Walau tentara Salib ini menyatakan diri berperang atas dasar agama dan dilepas oleh Paus Urbanus yang menjadi wakil tuhan mereka di bumi, namun apa yang terjadi di lapangan ternyata mengkhianati dasar-dasar keyakinan mereka sendiri. Untuk memenuhi hasrat seksualnya, mereka mendatangkan sejumlah wanita muda Eropa yang bertindak bagaikan pelacur. Selain itu, ada banyak kaum Muslimah yang juga menjadi korban pemerkosaan.
Bahkan mereka ini tak segan-segan memakan bangkai kaum Muslim yang menjadi tawanannya seperti yang terjadi saat tentara Salib mengepung Marr’at al-Nu’man sebelum masuk ke Yerusalem di awal perang Salib.
Walau demikian, perang Salib yang berjalan lama ini, agaknya juga menyadarkan orang-orang Eropa jika kaum Muslimin dan peradabannya ternyata tidak rendah seperti yang awalnya mereka sangka. Pada awalnya, orang Eropa menyebut orang Muslim sebagai Barbarian. Namun akibat kontak yang intensif dari perang Salib, Lambat laun mereka menyadari bahwa yang barbar sesungguhnya adalah kaum mereka, bukan Muslim. Banyak dari para sarjana mereka mengakui jika kaum Muslimin tinggi peradabannya dan mereka harus banyak belajar dari kaum yang mengesakan tuhan ini. Mulailah terjadi transfer berbagai bidang ilmu, dari Jazirah Arabia ke daratan Eropa. Sayangnya, kondisi sekarang telah berbalik seratus delapan puluh derajat. [tamat/rizki]
No comments:
Post a Comment