visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Tuesday, April 5, 2011

KIAT MENGGAPAI AKHLAQ YG MULIA


Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah, para pengikutnya, segenap sahabatnya dan orang-orang yang setia kepadanya. Amma ba’du.

Sesungguhnya kemuliaan akhlak itu terwujud dengan memberikan apa yang dipunyai kepada orang lain, menahan diri sehingga tidak menyakiti, dan menghadapi gangguan atau tekanan dengan penuh kesabaran. Hal itu akan bisa digapai dengan membersihkan jiwa dari sifat-sifat rendah lagi tercela dan menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji. Simpul kemuliaan akhlak itu adalah: kamu tetap menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan denganmu, memberikan kebaikan kepada orang yang tidak mau berbuat baik kepadamu, dan memaafkan kesalahan orang lain yang menzalimi dirimu.

Akhlak yang mulia memiliki berbagai keutamaan. Ia merupakan bentuk pelaksanaan perintah Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan kemuliaan akhlak seorang akan memperoleh ketinggian derajat. Dengan sebab kemuliaan akhlak pula berbagai problema akan menjadi mudah, aib-aib akan tertutupi dan hati manusia akan tunduk dan menyukai sang pemilik akhlak yang mulia ini. Dengan akhlak yang mulia juga, seorang akan terbebas dari pengaruh negatif tindakan jelek orang lain. Dia pandai menunaikan kewajibannya dan melengkapinya dengan hal-hal yang disunnahkan. Sebagaimana ia akan terjauhkan dari akibat buruk sikap tergesa-gesa dan serampangan. Dengan akhlak yang mulia pikiran akan tenteram dan kehidupan terasa nikmat.

Tidak diragukan bahwa mengubah kebiasaan memang perkara yang sangat berat dilakukan orang. Meskipun demikian, hal itu bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dan mustahil dilakukan. Terdapat banyak jalan dan sarana yang bisa ditempuh oleh manusia untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak. Sebagian di antara jalan-jalan tersebut adalah:

1. Memiliki Aqidah yang Selamat

Aqidah adalah urusan yang sangat agung dan mulia. Perilaku merupakan hasil dari pikiran dan keyakinan di dalam jiwa. Penyimpangan perilaku biasanya muncul akibat penyimpangan aqidah. Aqidah itulah iman. Sementara orang yang paling sempurna keimanannya adalah yang paling baik akhlaknya. Apabila aqidah seseorang baik maka akan baik pula akhlaknya. Sehingga aqidah yang benar akan menuntun pemiliknya untuk bisa memiliki akhlak yang mulia seperti: berlaku jujur, dermawan, lemah lembut, berani, dan lain sebagainya. Sebagaimana kemuliaan akhlak juga akan menghalangi dirinya dari melakukan perilaku-perilaku yang jelek seperti; berdusta, bakhil (pelit), bertindak bodoh, serampangan, dan lain sebagainya.

2. Senantiasa Berdoa Memohon Akhlak Mulia

Doa merupakan pintu (kebaikan) yang sangat agung. Apabila pintu ini telah dibukakan untuk seorang hamba maka berbagai kebaikan pasti akan dia dapatkan dan keberkahan akan tercurah kepadanya. Barangsiapa yang ingin memiliki kemuliaan akhlak dan terbebas dari akhlak yang jelek hendaknya dia mengembalikan urusannya kepada Rabbnya. Hendaknya dia ‘menengadahkan telapak tangannya’ dengan penuh ketundukan dan perendahan diri kepada-Nya agar Allah melimpahkan kepadanya akhlak yang mulia dan menyingkirkan akhlak-akhlak yang buruk darinya. Oleh karena itulah Nabi ‘alaihish shalatu was salam adalah orang yang sangat banyak memohon kepada Rabbnya untuk mengaruniakan kepada beliau kemuliaan akhlak. Beliau biasa memanjatkan permohonan di dalam doa istiftah, “Ya Allah tunjukkanlah aku kepada akhlak mulia. Tidak ada yang bisa menunjukkan kepada kemuliaan itu kecuali Engkau. Dan singkirkanlah akhlak yang jelek dari diriku. Tidak ada yang bisa menyingkirkan kejelekan akhlak itu kecuali Engkau.” (HR. Muslim: 771). Salah satu doa yang beliau ucapkan juga, “Ya Allah, jauhkanlah dari diriku kemungkaran dalam akhlak, hawa nafsu, amal, dan penyakit.” (HR. Al Hakim [1/532] dan disahihkan olehnya serta disepakati Adz Dzahabi). Beliau juga berdoa, “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari sikap lemah, kemalasan, sifat pengecut, pikun, sifat pelit. Dan aku berlindung kepada-Mu dari siksa kubur, dari fitnah kehidupan dan kematian.” (HR. Bukhari [7/159] dan Muslim [2706]).

3. Bersungguh-Sungguh/Mujahadah Dalam Memperbaiki Diri

Kesungguh-sungguhan akan banyak berguna di dalam upaya untuk mendapatkan hal ini. Sebab kemuliaan akhlak tergolong hidayah yang akan diperoleh oleh seseorang dengan jalan bersungguh-sungguh dalam mendapatkannya. Allah ‘azza wa jalla berfirman yang artinya, “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami maka akan Kami mudahkan untuknya jalan-jalan menuju keridhaan Kami. Dan sesungguhnya Allah pasti bersama orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al ‘Ankabut: 69). Barangsiapa yang bersungguh-sungguh menundukkan hawa nafsunya untuk bisa berhias diri dengan sifat-sifat keutamaan, serta menundukkannya untuk menyingkirkan akhlak-akhlak yang tercela niscaya dia akan mendapatkan banyak kebaikan dan akan tersingkir darinya kejelekan-kejelekan. Akhlak ada yang didapatkan secara bawaan dan ada pula yang dimiliki setelah melatih diri dan membiasakannya. Mujahadah tidaklah cukup sekali atau dua kali, namun ia harus dilakukan sepanjang hayat hingga menjelang kematiannya. Allah tabaraka wa ta’ala berfirman yang artinya, “Sembahlah Rabbmu hingga datang kematian kepadamu.” (QS. Al Hijr: 99).

4. Introspeksi/Muhasabah

Yakni dengan cara mengoreksi diri ketika melakukan akhlak yang tercela dan melatih diri agar tidak terjerumus kembali dalam perilaku akhlak yang tercela itu. Namun hendaknya tidak terlalu berlebihan dalam mengintrospeksi karena hal itu akan menimbulkan patah semangat.

5. Merenungkan Dampak Positif Akhlak yang Mulia

Sesungguhnya memikirkan dampak positif dan akibat baik dari segala sesuatu akan memunculkan motivasi yang sangat kuat untuk melakukan dan mewujudkannya. Maka setiap kali hawa nafsu mulai terasa sulit untuk ditundukkan hendaknya ia mengingat-ingat dampak positif tersebut. Hendaknya dia mengingat betapa indah buah dari kesabaran, niscaya pada saat itu nafsunya akan kembali tunduk dan kembali ke jalur ketaatan dengan lapang. Sebab apabila seseorang menginginkan kemuliaan akhlak dan dia menyadari bahwa hal itu merupakan sesuatu yang paling berharga dan perbendaharaan yang paling mahal bagi jiwa manusia niscaya akan terasa mudah baginya untuk menggapainya.

6. Memikirkan Dampak Buruk Akhlak yang Jelek

Yaitu dengan memperhatikan baik-baik dampak negatif yang timbul akibat akhlak yang jelek berupa penyesalan yang terus menerus, kesedihan yang berkepanjangan, rasa tidak senang di hati orang lain kepadanya. Dengan demikian seorang akan terdorong untuk mengurangi perilakunya yang buruk dan terpacu untuk memiliki akhlak yang mulia.

7. Tidak Putus Asa untuk Memperbaiki Diri

Sebagian orang yang berakhlak jelek mengira bahwa perilakunya sudah tidak mungkin untuk diperbaiki dan mustahil untuk diubah. Sebagian orang ketika berusaha sekali atau beberapa kali untuk memperbaiki dirinya namun menjumpai kegagalan maka dia pun berputus asa. Hingga akhirnya dia tidak mau lagi memperbaiki dirinya. Sikap semacam ini benar-benar tidak layak dimiliki seorang muslim. Dia tidak boleh barang sedikit pun merasa senang dengan kehinaan yang sedang dialaminya lantas tidak mau lagi menempa diri karena menurutnya perubahan keadaan merupakan sesuatu yang mustahil terjadi pada dirinya. Namun semestinya dia memperkuat tekad dan terus berupaya untuk menyempurnakan diri, dan bersungguh-sungguh dalam mengikis aib-aib dirinya. Betapa banyak orang yang berhasil berubah keadaan dirinya, jiwanya menjadi mulia, dan aib-aibnya lambat laun menghilang akibat keseriusannya dalam menempa diri dan kesungguhannya dalam menaklukkan tabiat buruknya.

8. Memiliki Cita-Cita yang Tinggi

Cita-cita tinggi akan melahirkan kesungguhan, memompa semangat untuk maju dan tidak mau tercecer di barisan orang-orang yang rendah dan hina. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Barangsiapa yang memiliki cita-cita yang tinggi dan jiwanya memiliki kekhusyukan maka dia telah memiliki (sumber) segala akhlak mulia. Sedangkan orang yang rendah cita-citanya dan hawa nafsunya telah melampaui batas maka itu artinya dia telah bersifat dengan setiap akhlak yang rendah dan tercela.” Jiwa-jiwa yang mulia tidak merasa ridha kecuali terhadap perkara-perkara yang mulia, tinggi, dan baik dampaknya. Sedangkan jiwa-jiwa yang kerdil dan hina menyukai perkara-perkara yang rendah dan kotor sebagaimana halnya seekor lalat yang senang hinggap di barang-barang yang kotor. Jiwa-jiwa yang mulia tidak akan merasa ridha terhadap kezaliman, perbuatan keji, mencuri, demikian pula tindakan pengkhianatan, sebab jiwanya lebih agung dan lebih mulia daripada harus melakukan itu semua. Sedangkan jiwa-jiwa yang hina justru memiliki karakter yang bertolak belakang dengan sifat-sifat yang mulia itu.

9. Bersabar

Sabar merupakan fondasi bangunan kemuliaan akhlak. Kesabaran akan melahirkan ketabahan, menahan amarah, tidak menyakiti, kelemahlembutan dan tidak tergesa-gesa, dan tidak suka bersikap kasar.

10. Menjaga Kehormatan/Iffah

Sifat ini akan membawa pelakunya untuk senantiasa menjauhi perkara-perkara yang rendah dan buruk, baik yang berupa ucapan ataupun perbuatan. Dia akan memiliki rasa malu yang itu merupakan sumber segala kebaikan. Sikap ini akan mencegah dari melakukan perbuatan keji, bakhil, dusta, ghibah maupun namimah/adu domba.

11. Keberanian

Hal ini akan membawa pelakunya untuk memiliki jiwa yang tangguh dan mulia. Selain itu keberanian akan menuntun untuk senantiasa mengutamakan akhlak mulia, berusaha untuk mengerahkan kebaikan yang bisa dilakukannya dalam rangka memberikan manfaat kepada orang lain. Keberanian juga akan menggembleng jiwa untuk rela meninggalkan sesuatu yang disukai dan menyingkirkannya. Keberanian akan menuntun kepada sifat suka menahan amarah dan berlaku lembut.

12. Bersikap Adil

Sikap adil akan menuntun kepada ketepatan perilaku. Tidak melampaui batas dan tidak meremehkan. Adil akan melahirkan kedermawanan yang berada di antara sikap boros dan pelit. Adil akan melahirkan sikap tawadhu’ (rendah hati) yang berada di antara sikap rendah diri dan kesombongan. Adil juga akan melahirkan sikap berani yang berada di antara sikap pengecut dan serampangan. Adil pun akan melahirkan kelemahlembutan yang berada di antara sikap suka marah dengan sifat hina dan menjatuhkan harga diri.

13. Bersikap Ramah dan Menjauhi Bermuka Masam

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Senyummu kepada saudaramu (sesama muslim) adalah sedekah untukmu.” (HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani dalam Ash Shahihah: 272). Beliau juga bersabda, “Janganlah kamu meremehkan kebaikan meskipun ringan. Walaupun hanya dengan berwajah yang ramah ketika bertemu dengan saudaramu.” (HR. Muslim). Senyuman akan mencairkan suasana dan meringankan beban pikiran. Orang yang murah senyum akan ringan dalam menunaikan tanggung jawabnya. Kesulitan baginya merupakan tantangan yang harus dihadapi dengan tenang dan pikiran positif. Berbeda dengan orang yang suka bermuka masam. Dia akan menghadapi segala sesuatu dengan penuh kerepotan dan pandangan yang sempit. Apabila menemui kesulitan maka nyalinya mengecil dan semangatnya menurun. Akhirnya dia mencela kondisi yang ada dan merasa tidak puas dengan ketentuan (takdir) Allah lantas dia pun melarikan diri dari kenyataan.

14. Mudah Memaafkan

Mudah memaafkan dan mengabaikan ketidaksantunan orang lain merupakan akhlak orang-orang besar dan mulia. Sikap inilah yang akan melestarikan rasa cinta dan kasih sayang dalam pergaulan. Sikap inilah yang akan bisa memadamkan api permusuhan dan kebencian. Inilah bukti ketinggian budi pekerti seseorang dan sikap yang akan senantiasa mengangkat kedudukannya.

15. Tidak Mudah Melampiaskan Amarah

Hilm atau tidak suka marah merupakan akhlak yang sangat mulia. Akhlak yang harus dimiliki oleh setiap orang yang memiliki akal pikiran. Dengan akhlak inilah kehormatan diri akan terpelihara, badan akan terjaga dari gangguan orang lain, dan sanjungan akan mengalir atas kemuliaan perilakunya. Hakikat dari hilm adalah kemampuan mengendalikan diri ketika keinginan untuk melampiaskan kemarahan bergejolak. Bukanlah artinya seorang yang memiliki sifat ini sama sekali tidak pernah marah. Namun tatkala perkara yang memicu kemarahannya terjadi maka ia bisa menguasai dirinya dan meredakan emosinya dengan sikap yang bijaksana.

16. Meninggalkan Orang-Orang Bodoh

Berpaling dari tindakan orang-orang jahil akan menyelamatkan harga diri dan menjaga kehormatan. Jiwanya akan menjadi tenang dan telinganya akan terbebas dari mendengarkan hal-hal yang menyakitkannya. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al A’raaf: 199). Orang Arab mengatakan, “Menjauhi kejelekan adalah bagian dari upaya untuk mencari kebaikan.”

17. Tidak Suka Mencela

Hal ini menunjukkan kemuliaan diri seseorang dan ketinggian cita-citanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang bijak, “Kemuliaan diri yaitu ketika kamu dapat menanggung hal-hal yang tidak menyenangkanmu sebagaimana kamu sanggup menghadapi hal-hal yang memuliakanmu.” Diriwayatkan bahwa suatu ketika Khalifah Umar bin Abdul Aziz sedang pergi berangkat ke masjid pada waktu menjelang subuh (waktu sahur, suasana masih gelap). Ketika itu dia berangkat dengan disertai seorang pengawal. Ketika melewati suatu jalan mereka berdua berpapasan dengan seorang lelaki yang tidur di tengah jalan, sehingga Umar pun terpeleset karena tersandung tubuhnya. Maka lelaki itu pun berkata kepada Umar, “Kamu ini orang gila ya?”. Umar pun menjawab, “Bukan.”Maka sang pengawal pun merasa geram terhadap sang lelaki. Lantas Umar berkata kepadanya, “Ada apa memangnya! Dia hanya bertanya kepadaku, ‘Apakah kamu gila?’ lalu kujawab bahwa aku bukan orang gila.”

18. Mengabaikan Orang yang Berbuat Jelek Kepada Kita

Orang yang suka menyakiti tidak perlu ditanggapi. Ini merupakan bukti kemuliaan pribadi dan ketinggian harga diri. Suatu ketika ada orang yang mencaci maki Al Ahnaf bin Qais berulang-ulang namun sama sekali tidak digubris olehnya. Maka si pencela mengatakan, “Demi Allah, tidak ada yang menghalanginya untuk membalas celaanku selain kehinaan diriku dalam pandangannya.”

19. Melupakan Kelakuan Orang Lain yang Menyakiti Dirinya

Yaitu dengan cara anda melupakan orang lain yang pernah melakukan perbuatan buruk kepada anda. Agar hati anda menjadi bersih dan tidak gelisah karena ulahnya. Orang yang terus mengingat-ingat perbuatan jelek saudaranya kepada dirinya maka kecintaan dirinya kepada saudaranya tidak akan bisa bersih (dari kepentingan dunia). Orang yang senantiasa mengenang kejelekan orang lain kepada dirinya niscaya tidak akan bisa merasakan kenikmatan hidup bersama mereka.

20. Mudah Memberikan Maaf dan Membalas Kejelekan Dengan Kebaikan

Hal ini merupakan sebab untuk meraih kedudukan yang tinggi dan derajat yang mulia. Dengan sikap inilah akan didapatkan ketenangan hati, manisnya iman, dan kemuliaan diri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Allah akan menambahkan kepada seorang hamba dengan sifat pemaaf yang dimilikinya kecuali kemuliaan.” (HR. Muslim). Ibnul Qayyim menceritakan, “Tidaklah aku melihat orang yang lebih bisa memadukan sifat-sifat ini -berakhlak mulia, pemaaf, dan suka berbuat baik kepada orang lain- daripada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah -semoga Allah menyucikan ruhnya- ketika itu sebagian para sahabatnya yang senior mengatakan, ‘Aku sangat ingin bersikap kepada para sahabatku sebagaimana beliau bersikap kepada musuh-musuhnya.’ Aku tidak pernah melihat beliau mendoakan kejelekan kepada salah seorang di antara musuhnya itu. Bahkan beliau biasa mendoakan kebaikan bagi mereka.” [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]

21. Dermawan

Kedermawanan merupakan sifat yang dicintai dan terpuji. Sebagaimana sifat bakhil (pelit) adalah sifat yang tercela dan mengundang kebencian orang lain. Sifat dermawan akan menumbuhkan kecintaan dan menyingkirkan permusuhan. Dengan sifat itulah nama baik akan terjaga dan aib-aib akan tertutupi. Apabila seseorang telah menghiasi dirinya dengan sifat dermawan maka akan sucilah jiwanya. Dengan demikian akan mengangkat dirinya untuk bisa menggapai kemuliaan akhlak, keutamaan yang tinggi. Maka orang yang dermawan amat sangat dekat dengan segala kebaikan dan kebajikan.

22. Melupakan Perbuatan Baiknya Kepada Orang Lain

Ini merupakan tingkatan yang tinggi serta mulia. Yaitu dengan cara melupakan kebaikan yang pernah anda lakukan kepada orang lain hingga sepertinya hal itu tidak pernah anda lakukan. Barangsiapa yang ingin meraih kemuliaan akhlak hendaknya dia berusaha melupakan kebaikan yang pernah dilakukannya kepada orang lain. Hal itu supaya dia terbebas dari perasaan berjasa dan memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan orang lain. Dan juga supaya dia semakin meningkat menuju kemuliaan akhlak yang lebih tinggi lagi.

23. Merasa Senang Dengan Perlakuan Baik Orang Lain Meski Hanya Sedikit

Yaitu dengan menerima kebaikan orang lain meskipun hanya sepele. Dan tidak menuntut mereka untuk membalas kebaikannya dengan persis serupa. Sehingga dia tidak akan menyulitkan orang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Berikanlah maaf, perintahkanlah yang ma’ruf dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199). Abdullah bin Az-Zubair mengatakan, “Allah memerintahkan Nabinya untuk suka memberikan maaf dan toleransi terhadap kekurangan akhlak orang lain.”

24. Mengharapkan Pahala Dari Allah

Perkara ini merupakan salah satu sebab utama untuk bisa menggapai akhlak yang mulia. Dengan hal ini orang akan mudah untuk bersabar, beramal dengan sungguh-sungguh, dan tabah dalam menghadapi gangguan orang lain. Apabila seorang muslim meyakini bahwa Allah pasti akan membalas kebaikan akhlaknya, niscaya dia akan bersemangat untuk memiliki akhlak-akhlak yang mulia, dan rintangan yang dijumpainya akan terasa ringan.

25. Menjauhi Sebab-Sebab Marah

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, suatu ketika ada seorang lelaki yang datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengatakan, “Wahai Rasulullah! Berikanlah wasiat kepadaku.” Maka beliau mengatakan, “Jangan marah!.” (HR. Bukhari)

26. Menjauhi Perdebatan

Perdebatan akan memunculkan permusuhan serta menyisakan perpecahan. Bahkan perdebatan juga terkadang menyebabkan kedustaan. Kalaupun memang terpaksa harus berdebat maka hendaknya berdebat dengan cara yang santun serta didasari niat untuk mencari kebenaran dan menggunakan cara yang lebih baik dan lebih lembut. Allah berfirman yang artinya, “Dan debatlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku menjamin sebuah rumah di surga bagian bawah bagi orang yang meninggalkan perdebatan meskipun dia berada di pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bergurau. Dan aku menjamin sebuah rumah di surga yang tinggi bagi orang yang berakhlak baik.” (HR. Abu Dawud)

27. Saling Menasihati Agar Berakhlak Baik

Yaitu dengan mengingat-ingat keutamaan akhlak mulia dan memberikan peringatan keras dari keburukan akhlak. Dan juga memberikan nasihat kepada orang yang berakhlak buruk agar menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia. Akhlak yang mulia termasuk kebenaran yang harus dipesankan kepada yang lain. Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Dan mereka saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam kesabaran.” (QS. Al-’Ashr: 3).

28. Menerima Nasihat yang Sopan dan Kritikan yang Membangun

Hal ini termasuk sebab yang dapat memudahkan untuk bisa memiliki akhlak yang mulia dan mengikis akhlak yang jelek. Bagi orang yang diberi nasihat maka hendaknya dia menerimanya dengan lapang dada. Bahkan sudah semestinya bagi orang-orang yang merindukan kesempurnaan -apalagi yang berkedudukan sebagai pemimpin- untuk meminta saran kepada orang-orang tertentu yang dia percayai untuk mengetahui dan mengoreksi kesalahan dan kekurangan dirinya. Dan hendaknya dia menyambut nasihat dan koreksi yang mereka berikan dengan perasaan senang dan gembira.

29. Menunaikan Tugasnya Dengan Sebaik-Baiknya

Dengan melakukan yang demikian dia akan terbebas dari celaan dan kehinaan diri akibat suka mencari-cari alasan demi menutupi kekeliruannya.

30. Mengakui Kesalahan

Ini merupakan salah satu ciri akhlak yang mulia dan karakter orang yang memiliki cita-cita yang tinggi. Dengan mengakui kesalahan maka dirinya akan bersih dari tindakan dusta dan suka mengobarkan pertikaian. Karena itulah mengakui kesalahan adalah sebuah keutamaan yang akan mengangkat derajat pelakunya.

31. Senantiasa Bersikap Lemah Lembut dan Tidak Tergesa-Gesa

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan pasti akan memperindahnya. Dan tidaklah dia dicabut dari sesuatu melainkan dia akan memperburuknya.” (HR. Muslim). Beliau juga bersabda, “Sesungguhnya Allah Maha Lembut dan menyukai kelembutan dalam segala urusan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

32. Rendah hati

Kerendahan hati merupakan tanda kebesaran jiwa seseorang, cita-citanya yang tinggi dan merupakan jalan untuk menggapai kemuliaan-kemuliaan. Hal itu merupakan akhlak yang akan mengangkat kedudukan pemiliknya dan membuahkan keridaan orang-orang yang baik dan memiliki keutamaan kepada dirinya. Sehingga hal itu akan memudahkan dan memotivasi dirinya untuk bisa mengambil pelajaran dari siapapun. Dan sifat itulah yang akan menghalangi dirinya dari karakter sombong dan tinggi hati.

33. Mudarah/bersikap ramah

Umat manusia diciptakan untuk berkumpul bukan untuk saling mengasingkan diri. Mereka diciptakan untuk saling mengenal bukan untuk saling memusuhi. Dan mereka juga diciptakan untuk saling menolong bukan untuk mengurusi segala keperluan hidupnya sendirian. Salah satu kebijaksanaan aturan Allah yang dapat menjaga manusia dari sikap saling memutuskan hubungan dan kasih sayang adalah adanya ajaran mudarah yaitu menyikap orang dengan tetap ramah dan sopan. Karena mudarah akan menumbuhkan kedekatan dan kecintaan. Dengannya pendapat yang saling berseberangan akan bisa disatukan dan hati yang saling menjauhi bisa direkatkan. Bentuk mudarah ialah dengan menjumpai orang dalam kondisi yang baik, ucapan yang lembut serta menjauhi sebab-sebab terpicunya kemarahan dan kebencian kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu yang menuntut hal itu memang harus ditampakkan. Di antara bentuk mudarah yaitu anda bersikap ramah dan mau duduk bersama orang yang sebenarnya anda musuhi, anda berbicara dengannya dengan santun dan menghormati keberadaannya. Bahkan terkadang dengan mudarah itulah permusuhan akan padam dan berubah menjadi persahabatan. Al-Hasan mengatakan, “Pertanyaan yang bagus adalah separuh ilmu. Bersikap mudarah kepada orang lain adalah separuh akal…”

34. Jujur

Kejujuran akan mengantarkan kepada kemuliaan dan membebaskan manusia dari nistanya kedustaan. Selain itu kejujuran pula akan membentengi dirinya dari kejelekan orang lain kepadanya. Sebagaimana ia akan membuatnya memiliki harga diri dan kewibawaan yang tinggi, keberanian dan percaya diri. Sesungguhnya dengan kejujuran itulah orang akan terbimbing menuju kebaikan dan salah satu bentuk kebaikan itu adalah akhlak yang mulia.

35. Menjauhi Sikap Terlalu Banyak Mencela Orang yang Berbuat Jelek

Sudah selayaknya orang yang berakal menjauhi sikap berlebihan dalam mencaci orang lain yang berlaku buruk kepadanya. Apalagi jika dia adalah orang yang masih belum mengerti apa-apa. Atau dia adalah orang yang jarang sekali berbuat jelek. Terlalu banyak mencaci akan mengobarkan kemarahan dan mengeraskan tabiat. Orang yang pandai tentu tidak akan mudah mencela setiap kali saudaranya melakukan kekeliruan baik yang kecil ataupun besar. Bahkan sudah semestinya dia mencari alasan untuk bisa memaklumi dan menutupi aibnya tersebut. Kalaupun memang ada sebab yang mengharuskan celaan maka hendaknya dia mencela dengan cara yang baik dan lembut.

36. Tidak Suka Mencaci Maki Orang Lain

Sikap suka mencaci orang akan memicu permusuhan dan membuat gelisah hati dan pikiran. Dan secara otomatis akhlaknya akan memburuk akibat kebiasaan yang dilakukannya itu.

37. Memosisikan Diri Sebagaimana Lawannya

Dengan pandangan seperti ini maka kita akan mudah memberikan toleransi atas kesalahan orang lain, sehingga kita akan lebih kuat menahan luapan amarah, dan jauh dari berprasangka buruk kepadanya. Hendaknya kita menyikapi orang lain sebagaimana sikap yang kita sukai dilakukan oleh orang lain kepada kita.

38. Menjadikan Orang Lain Sebagai Cerminan Bagi Dirinya Sendiri

Hal ini sangat layak untuk dilakukan oleh setiap individu. Segala ucapan dan perbuatan yang tidak disukainya dari orang lain maka hendaknya dia jauhi. Dan apa saja yang disukainya dari perkara-perkara itu hendaknya dia lakukan.

39. Bersahabat Dengan Orang Baik-Baik yang Berakhlak Mulia

Hal ini termasuk sebab terbesar yang akan bisa menempa seseorang agar bisa berakhlak mulia. Persahabatan banyak memberikan pengaruh kepada diri seseorang. Maka sudah semestinya setiap orang mencari teman yang baik dan dapat membantu dirinya dalam berbuat kebaikan dan menghalanginya dari kejelekan.

40. Sering-Sering Mengunjungi Orang yang Berakhlak Mulia

Diriwayatkan dari Al-Ahnaf bin Qais, dia mengatakan, “Dahulu kami bolak-balik mengunjungi Qais bin ‘Ashim dalam rangka mempelajari sikap lembut (hilm) sebagaimana halnya kami belajar ilmu fikih.” Walaupun bisa jadi orang yang berakhlak mulia itu bukan orang yang berilmu tinggi dan hanya orang biasa saja, hendaknya sering mengunjunginya untuk mempelajari akhlaknya. [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]

41. Memetik Pelajaran dari Orang-Orang yang Bergaul Dengannya

Orang yang memiliki ketajaman berpikir dan cita-cita yang mulia tentunya selalu berusaha untuk bisa memetik pelajaran dari setiap orang yang bergaul dengannya. Banyak orang yang dapat mempelajari tentang bagaimana seharusnya menjaga kehormatan dan berakhlak mulia ketika dia menjumpai orang-orang yang justru memiliki perilaku yang buruk dan tercela. Bahkan terkadang orang akan bisa belajar dari perilaku hewan yang dilihatnya.

42. Melatih Diri untuk Tetap Bersikap Adil Ketika Mengalami Sesuatu yang Menyenangkan

Sudah semestinya bagi orang yang berakal dan mendambakan akhlak yang mulia untuk berusaha untuk tetap bersikap adil dalam kondisi senang maupun susah. Sebab salah satu adab yang harus dipunyai oleh orang yang terhormat adalah senantiasa berbuat adil dalam kondisi senang ataupun susah.

43. Memahami Kondisi Orang Lain dan Menyesuaikan Dengan Akal Mereka

Hal ini merupakan bukti kecermatan orang dalam menilai dan mengatur urusan yang dihadapinya. Dan hal ini juga menunjukkan tentang baiknya sikap yang dia tempuh dalam memilih sarana kebaikan yang dia gunakan. Dengan sikap semacam ini maka seorang akan mudah menggapai keluhuran akhlak dan akan disenangi oleh orang lain. Manusia yang dihadapi itu beraneka ragam, oleh sebab itu masing-masing perlu disikapi dengan sikap yang tepat dan sesuai dengan kondisi orang yang bersangkutan. Tentu saja dengan batasan, selama hal itu tidak menyebabkan kebenaran dicampakkan dan kebatilan dipertahankan.

44. Menjaga Adab Berbicara dan Adab Majelis

Di antara adab yang harus diperhatikan adalah mendengarkan dengan baik ketika orang lain berbicara. Jangan memotong pembicaraannya sebelum selesai, langsung mendustakannya, atau meremehkannya, atau terburu-buru melengkapi ucapannya yang dianggap kurang sempurna. Selain itu hendaknya juga dijauhi membicarakan tentang diri sendiri dalam rangka membangga-banggakan dirinya di hadapan orang. Hendaknya juga tidak mudah-mudah melontarkan komentar terhadap pembicaraan orang lain. Atau memberikan celaan secara merata kepada setiap orang. Atau mengulang-ulang pembicaraan tanpa ada faktor yang menuntut hal itu harus dilakukan. Termasuk sikap yang harus dijauhi adalah bertanya berlebihan atau terlalu berdalam-dalam dalam menanyakan suatu perkara tanpa keperluan. Selain itu hendaknya berbicara dengan menyesuaikan kondisi atau konteks pembicaraan. Hendaknya bersikap rendah hati terhadap orang yang diajak bicara. Begitu pula hendaknya mengucapkan salam ketika masuk ke dalam majelis atau ketika meninggalkannya. Tidak menyuruh orang lain yang sedang duduk untuk berdiri kemudian dia duduk di tempat tersebut. Tidak duduk di antara dua orang yang berdekatan kecuali dengan izin keduanya. Dan adab-adab yang lainnya.

45. Menjaga Shalat

Memelihara shalat adalah sebab yang sangat agung untuk menggapai akhlak yang mulia, wajah yang berseri-seri dan jiwa yang tenang serta akan menjauhkan dari sifat-sifat rendah dan hina. Sebagaimana shalat juga dapat menghalangi pelakunya dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar. Dengan melakukan shalat secara benar maka akhlak yang buruk akan dapat dikendalikan. Shalat akan dapat menyembuhkan penyakit-penyakit hati semacam: pelit, dengki, suka mengeluh dan mencela, dan lain sebagainya.

46. Berpuasa

Melakukan puasa akan menyucikan jiwa. Puasa akan memperbaiki perilaku. Puasa akan menumbuhkan berbagai akhlak yang mulia dan terpuji semacam: penyayang, dermawan, suka berbuat baik, menyambung persaudaraan, bermuka ramah, dan lain sebagainya. Puasa akan meningkatkan cita-cita di dalam hati dan mengokohkan tekad serta mewujudkan ketenteraman. Puasa merupakan ajang untuk melatih diri menanggung sesuatu yang tidak disenangi oleh nafsu. Sebuah media untuk memanajemen diri. Puasa juga akan menggerakkan diri menuju kebaikan dan mengekang pelakunya dari perbuatan buruk.

47. Membaca Al-Qur’an Dengan Merenungkan Isinya

Al-Qur’an mengandung petunjuk dan cahaya. Ia merupakan pedoman akhlak yang paling utama. Ia akan menuntun kepada kebenaran dan kebaikan. Kemuliaan akhlak merupakan bagian dari kebaikan yang ditunjukkan oleh al-Qur’an. Bahkan di dalamnya terdapat ayat yang merangkum berbagai macam akhlak yang mulia yaitu firman-Nya yang artinya, “Jadilah pemaaf, perintahkan yang ma’ruf, dan berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. Al-A’raaf: 199). Al-Qur’an akan mendorong jiwa manusia untuk memiliki berbagai sifat kesempurnaan dan mengisinya dengan cita-cita yang agung.

48. Menyucikan Jiwa Dengan Melakukan Ketaatan

Menyucikan jiwa dengan senantiasa melakukan ketaatan kepada Allah adalah sarana terbesar untuk meraih akhlak yang mulia. Allah berfirman yang artinya, “Sungguh beruntung orang-orang yang membersihkan jiwanya.” (QS. Asy-Syams: 9).

49. Senantiasa Menyimpan Rasa Malu

Rasa malu akan menjaga diri agar tidak melakukan perbuatan buruk dan mendorongnya untuk senantiasa melakukan kebaikan. Apabila seseorang menghiasi diri dengan sifat ini maka dia akan terpacu untuk meraih keutamaan-keutamaan dan terhambat dari perbuatan-perbuatan yang rendah dan hina. Rasa malu akan senantiasa melahirkan kebaikan. Ia merupakan bagian penting dari keimanan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rasa malu tidaklah memunculkan kecuali kebaikan.” (HR. Bukhari dan Muslim). Beliau juga menyatakan, “Rasa malu adalah cabang keimanan.” (HR. Ibnu Majah). Beliau juga bersabda, “Salah satu ucapan pertama kali yang diperoleh manusia dari ajaran para nabi terdahulu adalah jika kamu tidak malu berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

50. Menebarkan Salam

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan sempurna) kecuali kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian, sesuatu yang apabila kalian lakukan maka kalian akan saling mencintai, yaitu sebarkanlah salam di antara sesama kalian.” (HR. Muslim). Umar bin Khattab mengatakan, “Salah satu sebab yang akan memurnikan rasa suka saudaramu kepadamu ialah kamu selalu berusaha memulai mengucapkan salam kepadanya apabila bersua. Hendaknya kamu memanggilnya dengan panggilan yang paling disukai olehnya. Kamu lapangkan tempat duduk untuk menyambut kehadirannya.”

51. Selalu Memperhatikan Perjalanan Hidup Nabi

Kisah perjalanan hidup Nabi akan menyajikan di hadapan pembacanya suatu gambaran yang indah mengenai petunjuk yang paling baik dan akhlak yang paling mulia untuk diterapkan oleh segenap umat manusia.

52. Selalu Memperhatikan Perjalanan Hidup Para Sahabat

Para sahabat adalah orang-orang yang mewarisi petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga akhlaknya. Dengan melihat kisah perjalanan hidup mereka akan dapat memacu jiwa untuk meneladani dan meniru kebaikan-kebaikan mereka.

53. Membaca Sejarah Hidup Orang-Orang yang Memiliki Keutamaan

Betapa sering orang terpacu dan bertekad kuat untuk memperbaiki akhlaknya karena membaca teladan perjalanan hidup orang-orang yang mulia. Karena dengan membaca biografi dan kisah perjalanan hidup mereka akan menggerakkan jiwa untuk meniru dan meneladani kebaikan mereka.

54. Membaca Buku-Buku Tentang Sifat-Sifat Baik dan Akhlak

Dengan membaca buku-buku semacam itu maka orang akan selalu teringat dan terpacu untuk berakhlak mulia. Begitu pula sebaliknya, dia akan berusaha untuk menjauhi akhlak-akhlak yang tercela. Buku-buku seperti ini banyak sekali, di antaranya adalah:

1. Syama’il Muhammadiyah karya At-Tirmidzi

2. Kitab Adab yang ada di dalam kitab-kitab Sahih dan Sunan

3. Adabu Dunya wa Din karya Al-Mawardi

4. Raudhatul ‘Uqala’ wa Nuzhatul Fudhala’ karya Ibnu Hiban

5. Dan lain-lain

55. Membaca Kata-Kata Bijak dari Ulama Terdahulu

Hikmah/kata-kata bijak adalah ucapan yang diriwayatkan dari ulama terdahulu, singkat akan tetapi membawa pengaruh yang dalam. Kata-kata bijak (hikmah) akan mendorong untuk berakhlak yang mulia dan memandunya dalam melangkah. Qais bin ‘Ashim suatu ketika pernah ditanya, “Apa yang mendorong kaummu menjadikanmu sebagai pemimpin?”. Beliau menjawab, “Karena tidak suka menyakiti, suka memberi, dan berjuang membela (agama) Allah.”

56. Mengenal Ungkapan dan Perumpamaan yang Indah

Ungkapan dan perumpamaan-perumpamaan yang indah memiliki pengaruh kuat terhadap jiwa manusia. Ia akan membangkitkan semangat untuk beramal dan memperhalus perilakunya. Perumpamaan tidak susah untuk dihafal dan mudah untuk dipahami. Ia mudah untuk diselipkan dalam suasana serius dengan sedikit bercanda. Dengan kata-kata yang ringkas orang lain akan mudah mengambil pelajaran dan terpacu untuk memperbaiki diri. [Diangkat dari Al Asbab Al Mufidah li Iktisab Al Akhlaq Al Hamidah karya Muhammad bin Ibrahim Al Hamd]

Alhamdulillahilladzi bini’matihi tatimmush shalihaat

Selesai disarikan dari teks aslinya, Yogyakarta 17 Sya’ban 1429 H

***

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi

Artikel www.muslim.or.id



No comments:

Post a Comment