Minggu, 07/08/2011 16:33 WIB
Versi Cetak
Oleh AM. Waskito
Alhamdulillahi Rabbil ‘alamiin, was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashabihil kiram ajma’in. Amma ba’du.
Saudara kaum Muslimin rahimakumullah, alhamdulillah kini kita berada di bulan mulia, bulan Ramadhan Mubarak. Alhamdulillah. Lama nian kita nanti bulan ini, dan kini kita sedang berada di awal-awal menyusuri indahnya “rihlah ibadah” di bulan mulia ini. Alhamdulillah.
Oh ya, kali ini saya ingin mengisi momen-momen Ramadhan ini dengan menurunkan tulisan-tulisan yang bermakna, insya Allah dan atas pertolongan-Nya. Salah satunya ialah menjelaskan kepada Anda tentang “Filosofi Buah Kelapa“.
Anda pernah membaca atau mendengar Filosofi Buah Kelapa? Saya yakin, Anda belum pernah mendengar atau membacanya; karena istilah ini memang baru dikenalkan, di momen Ramadhan ini, alhamdulillah. Mungkin saja, dengan ijin Allah, istilah seperti itu sudah ada di masa lalu atau di tempat lain. Tetapi yang jelas, saya belum pernah mendengar atau membacanya.
Inilah Pesona Buah Legendaris
Sebagai gambaran, yang disebut Filosofi Buah Kelapa itu serupa dengan apa yang kita kenal, misalnya “Ibarat Ilmu Padi”, “Seperti Ikan di Laut”, “Ilmu Kepiting”, dan lain-lain. Intinya, kita menyampaikan suatu hikmah kebenaran dalam kehidupan manusia dengan melakukan analogi terhadap perilaku hewan atau tumbuhan dalam kehidupan di alam semesta. (Masih ingat kan, ketika putra Adam As mengubur saudaranya setelah melihat seekor gagak mengubur gagak lawannya yang sudah mati di tanah? Juga ilmu gravitasi yang diturunkan setelah seorang fisikawan melihat apel jatuh dari pohonnya). Ya, kira-kira domain Filosofi Buah Kelapa di ranah seperti itu.
Jangan dibayangkan kita akan mengupas filosofi-filosofi Yunani, Mesir, India, dan lain-lain. Tidak kesana arahnya. Istilah filosofi dipilih untuk menggantikan istilah ILMU atau HIKMAH. Karena bisa juga disini disebut “Ilmu Buah Kelapa” atau “Hikmah Buah Kelapa”. Tetapi dipilih istilah “Filosofi” agar ada nuansa keunikan tertentu.
Lalu mengapa kita harus membahas “Filosofi Buah Kelapa”?
Masya Allah, wahai Saudaraku… Ternyata konstruksi buah kelapa itu sangat unik sekali. Ia diciptakan oleh Allah Ta’ala dengan memiliki keunikan konstuksional. Dari bentuk dan susunan buah kelapa itulah, kita bisa mendapatkan hikmah yang dalam tentang KEKUASAAN POLITIK.
Apa, tentang kekuasaan politik? Iya, benar. Tentang kekuasaan, sulthan, imarah, daulah, dan sejenisnya. Ini serius. Dari konstruksi buah kelapa kita bisa mendapatkan ibrah besar tentang tabiat kekuasaan politik di tangan manusia. Ya, justru karena begitu besarnya makna urusan ini, ia sengaja saya sampaikan sebagai “menu istimewa” di bulan istimewa, Syahrur Ramadhan Syahrul Mubarak.
Lezatnya Masakan dengan Kelapa
Mari kita mulai penjelasan ini, dengan ijin dan memohon rahmat Allah Ta’ala…
[1]. Siapa yang tidak tahu buah kelapa? Pasti kita semua sudah tahu, alhamdulillah. Buah ini sangat digemari dan bermanfaat dalam kehidupan kita, bangsa Indonesia. Di bulan suci Ramadhan ini, rasanya hampir semua rumah kaum Muslimin, pasti pernah menggunakan kelapa. Ya untuk kolak, membuat kue, membuat kuah sayur, membuat serundeng (di Jawa), membuat rendang (di Padang), dll. Kalau orang Minang dijauhkan dari buah kelapa, ala maakk… menderito kito basamo (maaf kalau bahasa Minang-nya terlalu memaksakan diri).
Hikmah: Buah kelapa itu bisa diibaratkan sebagai kekuasaan (sulthan). Kekuasaan sangat besar artinya dalam kehidupan insan. Bila kekuasaan baik, lurus, dan amanah; maka sejahteralah kehidupan insan. Bila kekuasaan curang, zhalim, dan korup; maka menderitalah kehidupan insan. Sama halnya, ketika buah kelapa digunakan untuk masak-memasak secara layak, maka kenikmatan hasilnya, alhamdulillah. Tetapi ketika buah kelapa dibuang-buang, dibakar percuma, atau disiram zat-zat kimia berbahaya, maka hal itu seperti keadaan: menyia-nyiakan kekuasaan.
[2]. Perhatikan betapa kokohnya konstruksi buah kelapa! Buah ini termasuk buah dengan “sistem pertahanan” paling kuat. Bahkan buah durian saja, kalah sempurna dari sisi pertahanan dirinya. Buah kelapa tak akan bisa dibuka dengan pisau, dengan palu, bahkan sulit dibuka dengan gergaji. Alat yang lazim digunakan untuk membuka buah kelapa ialah golok, kapak, atau tonggak tajam yang ditancap di atas tanah. Alat standarnya golok, baik untuk menghilangkan bagian sabut maupun membuka batok kelapanya.
Hikmah: Kekuasaan itu bukan sesuatu yang mudah diraih. Ia tak akan bisa didapat dengan usaha ecek-ecek, dengan santai-santai, dengan angan-angan, hanya ceramah atau diskusi, atau sekedar membuat demo dimana-mana. Tidak akan semudah itu meraih kekuasaan. Siapapun yang berhajat pada kekuasaan ini, harus “menyediakan golok”, harus memiliki “tenaga kuat”, dan sekaligus “pengalaman membuka buah kelapa”. Urusan kekuasaan tidak bisa diatasi dengan sekali dua kali mengaji, seminggu dua minggu ikut training, lalu kekuasaan pun terhidang di tangan. Tidak demikian Saudaraku… Anda bisa melihat bagaimana proses Rasulullah Saw mencapai kekuasaan…
[3]. Buah kelapa memiliki lapisan-lapisan kulit yang tebal. Lapisan terluar adalah “kulit terluar” atau mungkin disebut epidermis. Kulit terluar ini keras, tebalnya sekitar 1-2 mm. Ia tidak bisa diiris dengan pisau, tetapi harus dihantam dengan golok. Setelah itu ada bagian kulit yang cukup tebal, yaitu sabut kelapa. Sabut ini juga cukup sulit membersihkannya, apalagi kalau kelapanya masih muda. Setelah sabut kelapa, ada batok kelapa, merupakan bagian paling keras dari buah kelapa. Batok kelapa saat ini banyak dimanfaatkan untuk membuat arang, sebagai ganti bahan bakar minyak tanah dan kayu bakar. Setelah batok kelapa, masih ada lagi lapisan kulit yang menyelimuti buah kelapa. Sangat tipis, dan warnanya coklat. Kalau masih muda coklat muda, kalau sudah tua coklat tua. Setelah semua lapisan itu, barulah diperoleh buah kelapa yang putih bersih, kenyal, dan siap dibuat…rendang.
Memecah Kelapa (dengan Golok Kekuatan)
Hikmah: Perhatikan, hikmahi semua ini dengan ketajaman akal dan nuranimu! Untuk sampai ke titik kekuasaan, kita harus menyingkirkan banyak penghalang. Penghalang-penghalang itu adalah segala kekuatan yang selama ini menjaga suatu sistem kekuasaan. Secara riil kekuasaan itu selalu dilindungi oleh kekuatan dengan segala bentuknya, apakah berupa jaringan, konstruksi politik, UU, alat negara, modal, dll. Bahkan kesadaran masyarakat juga termasuk penjaga dari suatu sistem politik yang berlaku. Tanpa menyingkirkan penjaga-penjaga kekuasaan itu…jelas singkirkan mimpi Anda untuk “membuat rendang”… Lihatlah betapa jenius Rasulullah Saw ketika menyingkirkan kaum Yahudi dari Madinah, dan melindungi Madinah dari serangan kaum musyrikin Makkah.
[4]. Ketika kita sudah mendapat buah kelapa, ternyata buah kelapa itu keras juga (maksudnya yang sudah tua). Kita harus memakai pisau dan parutan untuk mendapatkan santan kelapa. Di banyak tempat, proses pemarutan bahkan dilakukan dengan parutan mesin. Ya, intinya buah kelapa itu keras juga. Kalau buah kelapa masih muda, sangat lembek, akhirnya hanya bisa dimakan sebagai dissert (pencuci mulut).
Hikmah: Begitulah hakikat kekuasaan di tangan manusia. Kekuasaan bukan urusan yang lembek, lembut, atau lunak. Ia adalah urusan yang keras, kuat, tangguh. Dalam istilah Islam, ia dikenal dengan sebutan: SULTHAN (yang artinya awalnya kekuatan). Maka untuk memegang kekuasaan ini tidak dibutuhkan manusia yang terlalu banyak toleransi, terlalu banyak memberi maaf, terlalu sering ragu-ragu, terlalu banyak pertimbangan, atau terlalu penakut. Para pemegang kekuasaan haruslah manusia yang pemberani, berkarakter, tegas, jelas, dan tidak ragu-ragu. Pemimpin itu tidak harus sangat pintar, sangat banyak ibadah, tampan, atau kutu buku. Tidak harus seperti itu. Tetapi wajib baginya memiliki ketegasan, keberanian, dan karakter kuat. Terkait dengan masalah kehidupan di Indonesia, sampai ada yang mengatakan: “Indonesia ini membutuhkan seorang diktator yang shalih.” Sejujurnya, saya setuju itu! Jika kekuasaan berada di tangan orang berhati lemah, terlalu toleran, banyak bersolek, dan ragu-ragu, maka hasilnya adalah: kita akan makan “es kelapa muda” terus-menerus, baik saat pagi, siang, atau malam.
Batok: Penjaga Terkuat Buah Kelapa
[5]. Buah kelapa itu juga memiliki air. Ia dikenal sebagai “air kelapa”. Dalam sejarah manusia yang membuka buah kelapa, pasti dan pasti akan menumpahkan airnya. Tidak mungkin kita mendapatkan buah kelapa, tanpa menumpahkan airnya. Ada yang berkata: “Tapi kan air kelapa itu bisa disimpan di teko, di wadah, atau gelas besar.” Ya tetap saja, air kelapa itu akan keluar dari tempatnya, baik berceceran atau bisa dituang rapi ke gelas. Soal kemudian air itu mau disimpan dimana, tidak masalah. Yang jelas, air itu tetap keluar dari tempatnya.
Hikmah: Urusan kekuasaan adalah urusan besar. Ia bukan urusan kecil, remeh, atau ecek-ecek. Ia benar-benar besar, dan memiliki dampak kehidupan secara luas. Untuk meraih kekuasan, untuk mengganti sistem kekuasaan, untuk memperbaiki kondisi kekuasaan; semua itu mengharuskan kita membayar resikonya. Siapapun yang ingin mengubah kekuasaan, dengan berharap tidak “jatuh korban”, adalah sangat mustahil. Hampir seluruh sejarah peristiwa peralihan sistem kekuasaan, disana selalu memakan korban. Memang peralihan kekuasaan yang mulus, bisa memininalisir korban; seperti menampung air kelapa di gelas. Tetapi peralihan kekuasaan yang kasar, seperti muncratnya air kelapa kemana-mana. Ada yang mengatakan, “Revolusi akan memakan anaknya sendiri.” Ya, kalau revolusinya liar bisa seperti itu. Kalau terkendali, bisa diminimalisir jatuhnya korban.
[6]. Setiap orang kalau ditawari makan buah kelapa, atau makan masakan-masakan yang dimasak dengan buah kelapa, rata-rata akan suka dan sangat senang. Saya hampir tak pernah mendengar ada orang alergi buah kelapa. Tetapi kalau kita katakan kepada mereka: “Siapa mau membantu saya membuka buah kelapa ini?” Rata-rata mereka akan geleng-geleng kepala. Mereka tak mau, malas, atau tak ingin mendapat resiko.
Hikmah: Begitulah karakter umumnya manusia. Sebagian besar manusia enggan untuk diajak membangun kekuasaan, memperbaiki kekuasaan, atau mengganti sistem kekuasaan. Sebagian besar akan “angkat tangan”. Tetapi bilamana kekuasaan itu sudah di tangan, sudah “terhidang di meja”, sudah “tinggal disantap”, mereka akan berebut mendapatkannya. Kalau perlu mereka akan berkilah: “Saya paling berhak. Saya tokoh Reformasi. Saya paling berjasa. Saya dulu yang menggulingkan Soeharto. Saya sosok yang adil, bijaksana, tidak haus kekuasaan, mengabdi 200 % untuk rakyat, tidak korupsi, tidak terlibat selingkuh, tidak cacat hukum,…dan lagi pula saya cakep.” Begitulah, manusia berebut ingin menikmati kekuasaan, tetapi tidak mau berjuang memperbaiki kekuasaan.
Demikianlah Saudaraku rahimakumullah…penjelasan seputar “Hikmah Buah Kelapa”. Masya Allah, walhamdulillah, Allah Ta’ala mengajarkan kita tabiat kekuasaan politik itu melalui sifat makhluk-Nya, yaitu: Buah Kelapa. Walhamdulillah, wa laa haula wa laa quwwata illa billah.
Bagi siapapun yang sering berbicara tentang politik Islam, kekuasaan Islam, daulah wa khilafah, dan sebagainya, silakan ilmui, renungkan, dan pahami secara jelas tentang sifat buah kelapa. Apabila Anda tidak memahaminya, jangan terlalu berharap akan bisa menikmati “lezatnya santan kelapa”.
Semoga bermanfaat. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin. Wallahu a’lam bisshawaab.
Bumi Allah, Ramadhan1432 H.
No comments:
Post a Comment