visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Tuesday, July 12, 2011

RIYA, ‘UJUB dan SUM’AH

Riya', 'ujub, sum'ah, dan semacamnya adalah penyakit-penyakit yang membahayakan. Bahaya karena sebenarnya penyakit itu akan menghancurkan kemerdekaan kita. Kita tidak merdeka karena dalam perilaku itu, hati kita terbelenggu oleh (pujian, applaus, dan sikap-sikap) orang lain. Kalau tidak mendapat pujian atau sedikitnya perhatian, kita tak mau (mungkin kurang semangat) melakukannya.

Puncak kemerdekaan kita adalah keikhlasan (dalam setiap amal perbuatan kita) kepada Allah Swt. Silahkan..., orang mau tahu atau tidak, mau memuji atau tidak, yang penting saya adalah saya, kokoh dengan tindakan dan pendirian saya. Inilah kemerdekaan.

Riya' itu satu tangga di bawah balas dendam. Karena riya' sumber kesalahannya melulu berasal dari diri kita sendiri. Tanpa ada orang lain mendahului. Sedangkan balas dendam didahului oleh tindakan orang lain. Kita membenci orang lain karena dia memulai membenci kita. Kita menyakiti orang lain karena dia telah menyakiti kita lebih dulu, dst.

Nah, jika balas dendam saja tidak dianjurkan, apalagi riya'. Riya' itu ibaratnya menjual (kemerdekaan) diri kita ditukar dengan (belenggu) pujian, penghormatan, atau sikap-sikap simpati lainnya dari orang lain. Betapa kerdilnya diri kita, jika demikian!!!

Kaitannya dengan hal ini, ada hadis yang sangat menarik: " Celakalah para materialis, [penghamba dinar, dirham, dan sutera]. Senang jika diberi, dan tak senang jika tak diberi. [Riwayat Imam Bukhari)

Pelajaran apa yang bisa diambil dari hadis tersebut? Sungguh, ia merupakan pelajaran akhlak yang amat agung. Penyebutan jenis-jenis materi di atas hanyalah sebatas contoh. Jadi, walaupun hadis itu hanya menyebut "dinar", "dirham", dan "sutera", tentu materi apapun jenisnya bisa disamakan. Bahkan tak terbatas pada materi saja, hal-hal yang berupa emosi (senang, benci, cinta, dan semacamnya). Sehingga bisa disamakan ke dalam pengertian hadis tersebut ungkapan seperti "tak senang karena tak diberi, senang karena diberi", "membenci karena dibenci", "mencintai karena dicintai", "memukul karena dipukul", "tak menghormati karena tidak dihormati", dan seterusnya.

Makanya puncak kemerdekaan kita adalah tindakan ikhlas karena Allah, tiada yang melebihi. Dalam segala tindakan kita harus bertekad "Saya tak perduli, orang mau benci atau tidak, mau suka atau tidak, mau tahu atau tidak, mau puji atau tidak, yang penting saya tetap pada tugas saya: mencintai, menghargai, memberi, menghormati, dll". Melepaskan segala macam ikatan duniawi untuk lepas landas menuju satu-satunya tujuan, Allah SWT, Sang Pencipta, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijak, Maha Pembalas, dst. Dalam taraf inilah seseorang, dalam ajaran sufi, mencapai makam tertinggi.

***

Berikut ini ada beberapa tip yang bisa membantu untuk sedikit-demi sedikit menghapus riya', 'ujub, sum'ah dan semacamnya:

1. Anda harus sadar dan tahu bahwa yang anda perbuat itu benar dan baik. Untuk itu, biasakan berfikir dan berupaya keras memutuskan dengan tepat setiap langkah Anda: apa (yang Anda lakukan), bagaimana (Anda melakukan), dan kenapa (Anda lakukan). Jangan berfikir sempit dan pendek, tapi usahakan selalu menggali dampak-dampak dan akibat-akibat perbuatan Anda jauh ke depan: manfaat dan madlarratnya. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak bersikap tegas dan berani. Jika sudah mampu demikian, maka anda akan penuh percaya diri dan mantap dalam setiap langkah. Jangan takut untuk berbeda, selama Anda yakin apa yang Anda perbuat itu benar. Namun, jangan lantas merasa benar sendiri, sehingga membenci orang lain yang Anda anggap salah. Dengan kata lain, ikhlas identik dengan kemantapan, percaya diri, ketenangan dan kekokohan jiwa, juga kecerdasan, sedangkan riya' (sum'ah, 'ujub) identik dengan keragu-raguan, keresahan, jiwa yang labil, dan juga kebodohan.

2. Upayakanlah dalam setiap waktu untuk mengingat Allah; sesering mungkin 'berbisik-bisik' dengan Allah (mengeluh dan mengadu hanya kepada Allah). Luangkan waktu, di pagi dan sore tiap hari, sekitar seperempat sampai setengah jam untuk dzikir dan instropeksi diri: apa yang telah dan mau dilakukan.

3. Sadarlah bahwa Allah senantiasa mengetahui gerak-gerik Anda. Bersamaan dengan itu, cukupkanlah kepuasan Anda dengan pengetahuan Allah akan segala tindakan Anda. Anda akan puas hanya dengan diketahui Allah jika Anda merasa takut dan berharap hanya kpadaNYA.

4. Ketahuilah hanya Allah yang akan mengganjar semua amal perbuatan kita semua.

5. Lakukan doa-doa dengan khusyuk. Senantiasa memohon agar dikaruniai hati yang tulus dan ikhlas (Allahummarzuqnaa al-ikhlaas wa al-istiqaamah wa hubba Allah wa hubba man ahabbah = Ya Allah, karuniailah kami keikhlasan, istiqaamah, mencintai Allah, dan orang-orang yang mencintaiNYA)

6. Kita senantiasa melihat orang lain lebih baik di sisi Allah dari diri kita sendiri. Sebagai contoh: jika kita melihat orang yang lebih muda daripada kita maka hendaklah kita berkata: Anak ini masih muda usia, belum banyak berbuat maksiat kepada Allah sedangkan aku sudah tua tentu telah banyak berbuat maksiat. Maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku di sisi Allah". Apabila kita melihat orang yang lebih tua daripada kita maka hendaklah kita berkata: Orang tua ini sudah beribadah kepaa Allah lebih dahulu daripada aku maka tidak syak lagi bahwa ia lebih baik daripada aku. Apabila kita melihat orang alim, maka hendaklah kita berkata: Orang alim ini telah dikurniakan kepadanya bermacam-macam pemberian yang tidak dikurniakan kepadaku dan ia telah sampai ke martabat yang aku tidak sampai kepadanya dan ia mengetahui berbagai masalah yang tidak aku ketahui, maka bagaimana aku bisa sepertinya?. Apabila kita melihat orang yang bodoh, maka hendaklah kita berkata: Orang ini bodoh lantas ia berbuat maksiat kepada Allah dengan kejahilannya, tetapi aku melakukan maksiat dengan ilmuku, maka bagaimana aku dapat menjawab di hadapan Allah nanti? Apabila kita melihat orang kafir, maka hendaklah kita berkata: “Aku tidak tahu, kemungkinan orang kafir ini akan beriman, memeluk agama Islam dan akhirnya mempunyai husnul khatimah, sedangkan aku tidak tahu apakah akan bisa menjaga keimanan ini hingga akhri hayat dan mendapatkan husnul khatimah?.

No comments:

Post a Comment