visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Monday, July 11, 2011

LIMA PENTOLAN THOGHUT (2)

Maka pada tulisan kali ini kita akan membahas pentolan thaghut yang ke TIGA, yaitu “Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah سبحانه و تعالى”. Inilah thaghut yang sangat berpengaruh di masa penuh fitnah dewasa ini. Dan ini adalah fihak yang tidak mau merujuk kepada hukum Allah سبحانه و تعالى semata. Padahal Allah سبحانه و تعالى jelas-jelas hanya menawarkan dua pilihan jenis hukum, yaitu hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum jahiliyah. Tidak ada hukum jenis yang ketiga. Tidak ada “hukum Allah yang kejahiliyah-jahiliyahan”. Sebagaimana tidak ditemukan pula “hukum jahiliyah yang ke-Islam-Islaman”. Pilih salah satu: hukum Allah سبحانه و تعالى atau hukum jahiliyah..!

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

“Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5] : 50)

Dan secara tegas Allah سبحانه و تعالى memvonis orang-orang yang tidak mau memutuskan perkara berlandaskan wahyu yang datang dari Allah سبحانه و تعالى sebagai kaum yang kafir. Artinya mereka dipandang tidak beriman, sekalipun mereka mengaku diri sebagai seorang muslim.

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Maidah [5] : 44)

Oleh karena itu ulama tafsir Ibnu Katsir rahimahullah menulis sebagai berikut:

“Siapa yang meninggalkan aturan baku yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah صلى الله عليه و سلم penutup para Nabi dan dia justru merujuk pada aturan-aturan (hukum) yang sudah dinasakh (dihapus), maka dia telah kafir. Apa gerangan dengan orang yang merujuk hukum Ilyasa (Yasiq) dan lebih mendahulukannya daripada aturan Muhammad صلى الله عليه و سلم maka dia kafir dengan ijma kaum muslimin” (Al Bidayah: 13/119)

Yang dimaksud dengan hukum Ilyasa (Yasiq) adalah hukum buatan Genghis Khan yang berisi campuran hukum yang bersumber dari Taurat, Injil, Al-Qur’an dan hukum adat bangsa Mongol. Barangkali Genghis Khan mengira bila ia dapat mengkombinasikan hukum yang diberlakukan dengan mengambil sebagian sumber hukum dari Taurat, Injil, Al-Qur’an serta adat Mongol, maka ia dapat menghasilkan suatu hukum yang adil serta akomodatif terhadap keaneka-ragaman aspirasi masyarakat yang dipimpinnya. Padahal dalam pandangan Islam, itu sama saja dengan mencampakkan hukum Allah سبحانه و تعالى dan mengambil selainnya, walaupun di dalamnya terdapat sebagian hukum Allah سبحانه و تعالى .

Termasuk di negeri ini. Alangkah anehnya bahwa selama 350 tahun dijajah oleh kaum kafir Belanda telah banyak pejuang (baca: mujahidin) yang berjihad mengusir mereka mengorbankan jiwa dan raga mereka. Namun setelah hampir 70 tahun mengaku merdeka, hukum kafir Belanda masih tetap saja diberlakukan dan dilestarikan di Indonesia. Pantas bila ada seorang veteran anggota Hizbullah (organisasi tentara masa lalu sebelum adanya TNI) yang sudah tua ketika ditanya pendapatnya soal kondisi Indonesia, ia menjawab: “Semakin memburuk. Kami dahulu mengusir penjajah Belanda dengan niat dan semangat ber-jihad fii sabilillah. Dan tujuan kami hanya satu. Bila berhasil mengusir Belanda dari sini, kami akan menghapus pemberlakuan hukum Belanda dan menegakkan hukum Allah سبحانه و تعالى . Dan tujuan itu sampai hari ini belum terwujud...!”

Di zaman penuh fitnah dewasa ini, praktis tidak ada lagi negeri yang memberlakukan hukum Allah سبحانه و تعالى . Semua negara membanggakan hukum bikinan manusia atau hukum adat setempat yang jelas bukan hukum Allah سبحانه و تعالى . Sehingga urusan halal dan haram (baca: legal dan ilegal) dapat ditentukan oleh manusia, tidak mesti oleh Allah سبحانه و تعالى . Celakanya lagi, tidak jarang kesepakatan halal-haram itu diperoleh melalui voting sejumlah orang yang di tengah masyarakat telah dipercaya untuk merumuskannya. Kalaupun ada peraturan-peraturan yang mengacu kepada syariat Islam, maka peraturan itu bersifat sangat parsial tidak komprehensif, sebab pemberlakuannya masih saja di dalam kerangka sebuah konstitusi yang bukan berupa Al-Qur’an atau Al-Islam. Dengan kata lain peraturan-peraturan itu terbit sebagai hasil sebuah proses tarik-menarik antara kaum Islamis dengan kaum sekularis. Padahal semestinya kaum muslimin hidup dan tunduk kepada hukum Allah سبحانه و تعالى dalam segenap urusan kehidupan mereka, baik urusan kecil maupun besar, dan dengan ketundukan yang sepenuh hati. Sehingga Allah سبحانه و تعالى berfirman:

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa [4] : 65)

Sungguh ironis jika ada yang menyangka bahwa sudah berlaku hukum Islam di suatu masyarakat berpenduduk muslim padahal dalam menerbitkannya diperlukan suatu proses tarik-menarik atau voting. Itupun baru sebagian kecil saja dari hukum Islam yang diberlakukan. Sedangkan jelas sekali Allah سبحانه و تعالى di dalam ayat di atas menyatakan bahwa “belum bisa disebut beriman” selagi di dalam menjadikan Rasulullah صلى الله عليه و سلم (ajaran Islam) sebagai hakim tetap masih merasa ada keberatan di dalam hati terhadap putusan yang diberikan, dan tidak menerima dengan sepenuhnya.

Bagaimana kiranya Allah سبحانه و تعالى memandang dan menilai sekumpulan orang yang menyelenggarakn sebuah majelis untuk mem-voting layak atau tidak layaknya pemberlakuan hukum Allah سبحانه و تعالى ? Padahal Allah سبحانه و تعالى sesungguhnya merupakan pencipta langit dan bumi serta Maha Kuasa atas segala sesuatu. Mengapa manusia berani mempertanyakan lalu menyelenggarakan voting untuk memberlakukan atau tidak memberlakukan hukumNya? Pantas jika Allah سبحانه و تعالى berfirman:

أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ وَلَوْلا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

“Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zalim itu akan memperoleh azab yang amat pedih.” (QS. Asy-Syuura [42] : 21)

Dalam ajaran Tauhid, seseorang lebih baik kehilangan jiwa dan hartanya daripada dia mengajukan perkaranya kepada selain hukum Allah سبحانه و تعالى alias hukum thaghut. Sebab mengajukan perkara kepada hukum thaghut berarti sudah terlibat di dalam kekafiran bahkan perbuatan syirik. Allah سبحانه و تعالى berfirman:

وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ

“Dan fitnah itu lebih bahaya dari pada pembunuhan.” (QS. Al-Baqarah [2] : 191)

Penulis kitab tafsir Fathul Qadir menjelaskan ayat di atas dengan mengartikan bahwa kata fitnah di situ berarti (1) kembali kepada kekafiran alias murtad dan (2) syirik sebagaimana keyakinan kaum musyrikin. Artinya, lebih baik seseorang terbunuh dalam keimanan daripada ia tetap hidup namun kembali kepada kekafiran sesudah beriman atau ia menjadi syirik sebagaimana kaum musyrikin padahal ia mengaku dirinya muslim.

Di era penuh fitnah seperti sekarang hegemoni Sistem Dajjal di bidang hukum sangat terasa. Sedemikian hebatnya hegemoni nilai-nilai kekafiran di bidang hukum sehingga kita menyaksikan sendiri bagaimana kaum muslimin dengan mudahnya masuk ke dalam perangkap meyakini bahwa selain hukum Allah سبحانه و تعالى dapat menjamin keadilan dan kebenaran. Padahal tidak ada sumber kebenaran dan keadilan kecuali dengan menjadikan Kitabullah Al-Qur’an sebagai pemutus perkara yang timbul di antara manusia.

وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلا لا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

Telah sempurnalah kalimat Rabbmu (Al-Qur'an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-An’aam [6] : 115)

Semua orang pasti mendambakan kebenaran dan keadilan. Tetapi tahukah kita sebenarnya apa itu yang disebut dengan kebenaran dan keadilan? Yang pasti, Allah سبحانه و تعالى menyatakan bahwa kebenaran dan keadilan itu hanya pada kalimat Allah سبحانه و تعالى yang sempurna, yakni Al-Qur’anul Karim. Termasuk menegakkan hukum Al-Qur’an itulah yang menjamin masyarakat berada di atas kebenaran dan menjamin hadirnya keadilan, bukan yang lainnya. Di era penuh fitnah dimana hukum thaghut yang ditegakkan dimana-mana, maka hanya sedikit orang saja yang dapat tetap konsisten meyakini hukum Allah سبحانه و تعالى sajalah yang menjamin keadilan. Sedangkan yang kebanyakan berada di dalam posisi ikut arus saja. Padahal dengan mengikuti arus hukum thaghut itu, sesungguhnya mereka membiarkan diri berada di dalam kesesatan dan kezaliman, bukan kebenaran apalagi keadilan.

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الأرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلا يَخْرُصُونَ

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah سبحانه و تعالى . Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).” (QS. Al-An’aam [6] : 116)

Kebenaran dan keadilan bukan ditentukan oleh ramai-sepinya pendukungnya. Tetapi ia ditentukan oleh sesuai atau tidaknya dengan petunjuk Allah سبحانه و تعالى. Walaupun sedikit pendukungnya, namun bila mengikuti petunjuk Allah سبحانه و تعالى maka mereka itulah orang-orang yang berada di atas kebenaran dan sejatinya memperjuangkan keadilan. Sehingga Allah سبحانه و تعالى memerintahkan Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم dan semua ummatnya untuk bersikap sebagai berikut:

أَفَغَيْرَ اللَّهِ أَبْتَغِي حَكَمًا وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ إِلَيْكُمُ الْكِتَابَ مُفَصَّلا وَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَعْلَمُونَ أَنَّهُ مُنَزَّلٌ مِنْ رَبِّكَ بِالْحَقِّ فَلا تَكُونَنَّ مِنَ الْمُمْتَرِينَ

“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah سبحانه و تعالى , padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur'an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al Qur'an itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (QS. Al-An’aam [6] : 114)

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ

“Ya (Allah) Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agamamu.” (Hadits Shahih Riwayat Tirmidzi No. 2066)



No comments:

Post a Comment