Bagi kalangan buruh/pekerja swasta, UU Nomor 31/2003 tentang Ketenagakerjaan menjamin mereka untuk menjalankan agama ini dalam pasal 80. Bunyi pasal itu adalah pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan agamanya. Di bagian penjelasan, pasal itu menyangkut kewajiban menyediakan tempat ibadah.
Soal cuti untuk mengikuti acara keagamaan seperti haji, UU Ketenagakerjaan memang tak menyebut spesifik. Tetapi, hak untuk menjalankan ibadah ini dijamin secara tidak langsung. Pasal 93 ayat (2e) menegaskan, pengusaha harus tetap memberikan upah kepada pekerja/buruh yang “tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya”. Hak beribadah ini juga ditegaskan Kepala Dinas Tenaga Kerja (Kadisnaker) Jatim Gentur Prihantono (Jawa Pos, 29 Oktober halaman 5).
Pemecatan atas alasan “mangkir” menjalankan ibadah haji jelas menyalahi UU ini. Jangankan dipecat, bahkan mereka tetap harus dibayar selama menjalankan ibadah yang panjang itu. Untuk menegaskan tegaknya ketentuan pasal itu, pasal 186 menegaskan: pelanggaran atas pasal 93 ayat 2 (termasuk bagian e) di atas dikenai sanksi pidana penjara satu bulan sampai 4 tahun dan/atau denda Rp 10 juta-Rp 400 juta.
Di sisi lain, peraturan juga memperhatikan kepentingan pengusaha. Kepentingan pengusaha, agar pekerjanya tak mengolor-olor waktu ibadah, dicakup dalam PP Nomor 8/1981 tentang Perlindungan Upah. Dalam pasal 6 ayat (4) disebutkan: pengusaha wajib tetap membayar upah kepada buruh yang tidak dapat menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban ibadah menurut agamanya selama waktu yang diperlukan, tetapi tidak melebihi 3 (tiga) bulan.
Penjelasan pasal itu menguraikan: Dengan mengingat keuangan perusahaan, dalam hal buruh yang menjalankan ibadah tersebut lebih dari 1 (satu) kali, pengusaha tidak wajib membayar upahnya. Jadi, untuk pekerja/buruh yang berhaji untuk kali kedua atau lebih, pengusaha tak wajib membayar upahnya.
Pekerja memang tidak boleh sewenang-wenang, misalnya berhaji setiap tahun dan menuntut hak cuti. Lagi pula, bersering-sering haji juga merugikan hak pengantre haji yang ingin menjalankan haji untuk kali pertama (haji wajib). Karena makin banyaknya kaum muslim yang mampu, antrean haji dikabarkan sudah penuh sampai 2015.
Jalan Tengah
Di tengah upaya bangsa meningkatkan produktivitas, tentu hak-hak cuti menyangkut ibadah itu juga harus diterapkan dengan bijak. Apalagi, bekerja dengan produktif juga termasuk ibadah yang sangat penting. Agar pekerja tak sering meninggalkan kantor, hak cuti ibadah itu bisa diintegrasikan dengan hak istirahat (cuti) panjang.
Pasal 79 ayat (2 d) UU Ketenagakerjaan menyebutkan hak buruh/pekerja untuk mendapatkan istirahat (cuti) panjang, selain cuti tahunan yang 12 hari. Pasal itu menyebut, istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja 6 (enam) tahun terus-menerus pada perusahaan yang sama. Syaratnya, ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. Dalam penjelasan disebutkan, selama istirahat panjang ini buruh juga berhak atas kompensasi setengah bulan gaji.
Saya mau bertanya terhadap artikel di atas.
ReplyDeleteBagi pekerja proyek, bisakah mendapat hak cuti haji? Terima kasih.
Dedi