Senin, 21/03/2011 12:19 WIB
Judul di atas penulis ambil dari buku karangan Abraham Geiger. Pendiri Yahudi Liberal dan Pelopor Studi Islam, dengan judul aseli, Was hat Mohammed aus dem Judenthue aufgenommen? pada tahun 1833.
Dalam buku tersebut, Geiger menunjukkan bahwa sebagian besar Al Quran diambil atau didasarkan pada literatur Keyahudian. Geiger merujuk pada kenyataan akan banyaknya kosa kata dalam al-Qur’an berasal dari bahasa Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And (Eden), Jahannam (Gehinnom), Ahbar (habher), darasa, Rabbani, Sabt, Sakinat (Shekinah), Taghut, Furqan, Ma’un, Mathani (mishna), Malakut, dan lain sebagainya. Geiger juga mengecam penyimpangan dan rekayasa Nabi Muhammad terhadap ayat-ayat Qur’an yang menyudutkan Yahudi.
Dan anda tahu berapa umur Geiger saat menulis buku tersebut? 23 tahun! Apa hasil dari ini semua? Geiger berhasil lolos seleksi ke Universitas Bonn dan kelak menjadi Doktor teologi terhebat abad 19, sekaligus ingin mengatakan pada dunia: siapakah Agama terhebat sesungguhnya selama ini?
Bayangkan dari umur tujuh belas tahun, ia sudah sudah konsisten mengkaji bahasa dan sastra Arab. Selama berjam-jam, Geiger tekun mengkaji Al Qur’an di dalam Universitas tua di Jerman tersebut. Kecintaan Geiger pada ilmu mengantarkannya menyelami tema-tema filologi, Syriac, Ibrani, namun sesekali ia juga menghadiri perkuliahan dalam bidang Perjanjian Lama dan arkeologi di Geidelberg.
Benih kritis Geiger, sudah tertangkap saat ia masih kecil. Kala itu Geiger sudah mulai meragukan pemahaman tradisional Yahudi ketika studinya dalam sejarah klasik menemukan bahwa ada pertentangan dalam klaim Alkitab tentang otoritas Tuhan. Selanjutnya, Geiger berhasil melakukan pembaharuan dalam agama Yahudi, dari agama doktriner, menuju dinamis dengan mengambil area sekularisme dan nilai-nilai budaya lokal (semacam kearifan lokal).
Tapi Geiger sendiri ternyata bukan seorang Rabbi tulen, ia politikus handal dengan menancapkan visi bagaimana Yahudi nanti mampu diterima di Eropa, dan klaim-klaim anti semitisme akan tersingkirkan dengan memasukkan sekulerisme ke wilayah Yahudi. Ia juga tidak murni saintis, sebab ia pernah memimpin gerakan Yahudi saat masih duduk di bangku perkuliahan pada Universitas Heidelberg.
Nah kerja-kerja yang dilakukan anak muda bernama Geiger itulah yang kini banyak diterjemahkan dan disebarkan orang modern dengan nama liberalisme. Banyak para mahasiswa muslim ikut-ikutan (kalau tidak mau disebut mem-plagiati) usaha Geiger untuk menelanjangi Agama. Ada yang menyatakan homoseksual halal, Al Qur’an tidak suci, budaya tidak boleh ditaklukan agama, bahkan mereka melakukan itu tanpa pernah bertemu muka dengan Geiger sekalipun.
Orientalisme dan Misi Politik
Menurut, Adnan M. Wizan, konstruksi studi orientalisme dalam Islam sekarang sudah semakin berkembang luas. Misi orientalisme tidak lagi berputar pada kajian-kajian Sitem Isra Mi’raj, juga bukan pula pada diskursus sistem waris (sekarang sudah mulai dilakukan oleh feminis muslim), tapi orientalisme sudah menjadi kajian ilmiah dan murni akademik, namun dengan tujuan perang wacana dan pemberangusan ideologi teologis.
Seterusnya, Wizan, dalam bukunya Akar Gerakan Orientalisme, menyatakan bahwa organisasi-organisasi politik semacam Departemen Pertahanan dan Departemen Luar negeri menjadi potret penyempurnaan yang membantu mendesain bagi peluang-peluang yang aman dan menjurus pada penghancuran Islam dan Masyarakatnya. Pernyataan tersebut dapat dilihat dengan didirikannya Fakultas Studi Ketimuran di Universitas Indiana di wilayah Bloomington Amerika. Fakultas ini secara spesifik tidak lagi obyektif mengkaji dialektika Arab, namun perkuliahan semata-mata dilaksanakan demi memuluskan misi-misi pertempuran bangsa Amerika.
Hal ini pernah dialami cendekiawan muslim yang menetap di Makkah tersebut. Niatnya untuk mendapatkan siraman yang pure akademik tentang kajian orientalisme, ternyata mengalami ganjalan. Klaim sikap objektifitas dalam mengkaji sesuatu yang selama ini didengung-dengungkan oleh Barat ternyata hanyalah isapan jempol belaka. Dengarlah curahan hatinya berikut ini:
“Kami berkeinginan mengikuti studi di Unversitas Indiana program linguistik ketika Universitas tersebut Populer pada zamannya. Kami telah mengajukan proposal pada pihak universitas, atas kehendak Allah, kami diterima dalam program studi magister. Tetapi kami keheranan karena diterima dengan bersyarat, harus mengikuti kuliah cabang-cabang linguistik dan studi ketimuran. Sudah tidak asing lagi, mayoritas mahasiswa yang mempelajari materi linguistik akan mempraktekkan perspektif lingustik, dalam bahasa induknya bukan dalam bahasa Inggris. Seseorang Arab harus mempraktekkan dalam bahasa Arab. Seorang Perancis dalam bahasa Perancis dan begitulah seterusnya. … (Pada akhirnya) Kami tidak berpartisipasi dengan hal-hal yang dapat membantu orientalisme yang wajib ditulis oleh mahasiswa untuk para dosen sebagaimana yang telah ditetapkan oleh mereka,maka kami pun enggan melakukan itu, karena kami tidak mau memerangi Islam dan Bahasa Qur’an”
Kegelisahan Wizan ini pula yang sempat melanda salah seorang mahasiswa di salah satu kampus Islam ternama di Jakarta baru-baru ini. Dalam pengakuannya kepada penulis, ia menuturkan keanehan pada ujian salah satu matakuliah S2-nya. Saat itu banyak para dosen meminta para mahasiswa menjunjung sikap obyektif dalam melihat Barat. Namun di sisi lain, sang dosen tidak memberlakukan hal sama pada materi-materi Keislaman. Mahasiswa tersebut diintruksikan untuk “menerima atau meninggalkan” fiqh klasik Imam syafi’i yang ditulis abad ke 9. Ia dituntut harus berani mengrkitik Imam Syafi’i terkait hukum-hukum fikihnya tersebut. Menariknya mahasiswa itu ternyata bukan kuliah di Fakultas Syariah, melainkan jurusan Studi Islam dan Perdamaian.
Lho apa hubungannya teks Imam Syafi’i dengan Perdamaian? Rupanya ada masalah terhadap teks selama ini yang menyebabkan persengkataan politik antara dunia Timur dan Barat tidak pernah berkesudahan. Pemahaman militansi beragama dituding banyak menghambat proses interaksi antara dunia Timur sebagai warna Islam, dengan representasi Barat yang dimainkan Yahudi.
Dosen tersebut, tidak beda dengan Montgomerry Watt, seorang pendeta sekaligus orientalis, ketika menyeru bahwa watak bangsa Arab adalah berperang dan menjadi semakin berkembang dan terorganisir ketika Nabi Muhammad SAW membawa risalahnya.
Muatan politik dalam orientalisme ternyata bukan thesis baru. Profesor H. Ismail Jakub, dalam bukunya Orientalisme dan Orientalisten (1970), menyatakan bahwa tujuan dari misi politik dalam orientalisme hanya satu, yakni:
”Melemahkan Djiwa Persaudaraan (uchuwah Islamiyyah) diantara sesama kaum muslim, baik jang sebangsa, atau dari berbagai angsa. Tjaranya diantara lain, ialah dihidupkan semangat golongan jang ada sebelum Islam. Dan mengorbankan perbedaan dan perpetjahan di antara golongan-golongan kaum muslimin”
Apa yang dikatakan Profesor Ismail, hampir mirip dengan maksud Geiger dengan menggunting orisnilitas Islam dengan sisipan hegemoni Barat. Bedanya, Guru Besar IAIN Sunan Ampel tersebut kemudian menyatakan bahwa sisipan nilai-nilai Romawi menjadi rujukan para orientalis untuk menjelaskn dari mana ajaran Islam berasal.
Geopolitik Islam dan Zionisme
Keniscayaan politis ini membuat gerakan konspirasi melibatkan beberepa elemen fital dari kajian ketimuran. Perangkat segala aspek dalam Islam, seperti sosial, budaya, dan sejarah menjadi satu paket dalam misi-misi Zionisme ketika menginflitrasi Islam.
Alhasil, selangkah lebih maju dari diskusi ini, Edward Said dalam bukunya Orientalism (1978) akhirnya menuding bukan saja bermuatan politik, tapi orientalisme sudah mengandung sisi geopolitik dengan melibatkan berbagai hal seperti, naskah-naskah estetika, keilmuan, ekonomi, sosiologi, sejarah, dan filologi untuk melihat seluruh lapisan Islam. Siapakah yang bermain dibalik ini semua? Said mengatakan saham paling besar ada di tridente, Inggris-Prancis-Amerika. Adnan Wizan melihat orientalisme Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, Inggris, AS, Uni Soviet.
Tapi terlepas dari jumlah mereka, semuanya digerakkan oleh satu aktor sama: Yahudi. Dan disatukan oleh satu misi yang sama: menghancurkan Islam. Kenapa? Meminjam, narasi Said, karena sampai dengan abad 21 ini, bagi orang Eropa, Timur memang merupakan kawasan dengan sejarah kontinuitas demonansi Barat yang tak tertumbangkan.
Tak pelak lagi, dalam berbagai hal, Islam adalah provokasi nyata!
Oleh karena itu, nanti kita akan melihat mengapa para founding father Negara Israel, ternyata adalah para akademis. Mereka ternyata dosen sekaligus zionis. Mereka hafal dunia Arab dari mulai hal yang kecil sampai yang paling besar. Bahasa Arab mereka bahkan bisa lebih pandai dari kita. Bacaan Qur’an mereka fasih bagai imam shalat di Madinah.
Tuduhan Keji Al Qur'an Diambil Dari Apokrifa
Berbicara mengenai studi orientalisme tidak bisa terlepas pada motif politik kaum zionisme. Orientalisme dan misi-misi zionisme bagai dua sisi mata uang yang saling tersambung.
Kebencian kaum Yahudi dalam upayanya menaklukan Islam membuat mereka berpikir sangat panjang dan mendalam. Eksesnya wilayah kajian adalah cara empuk untuk mempreteli Islam satu demi satu.
Implikasi Politis dari Corak Kajian Orientalisme
Namun kendalanya, tidak jarang motif ini tertutup serapat mungkin. Orientalisme seakan-akan tampil manis dengan menyatakan diri terbebas pada misi apapun. Padahal sekalipun thesis itu benar, cepat atau lambat kajian orientalisme pasti akan berimplikasi politis.
Sebab dengan meninggalkan sisi tauhid dalam mengkaji Islam dengan dalih objektifitas, hal ini akan menjalar pada keseluruhan konsep Islam, termasuk pandangan Islam terhadap politik, relasi Islam terhadap Negara, relasi Islam terhadap kuasa, dan tak terkecuali cara pandang Islam terhadap non muslim.
Josef Von Hammer Purgstall (1774-1856) digadang-gadangkan sebagai peletak pertama corak kajian orientalisme seperti ini. Sarjana lulusan Vienna Oriental Academy ini terkenal atas kehebatannya sebagai dragoman atau ahli dalam menerjemahkan bahasa dan literatur Arab, Turki, dan Persia. Purgstall tercatat pernah berkiprah pada misi diplomatik pada tahun 1796 dan diangkat sebagai diplomat kedutaan Austria di Konstantinopel pada tahun 1799.
Crone Briton dalam catatan berjudul Romanticisme yang dimuat pada Encyclopedia of Philosophy (1972), menjelaskan ada beberapa ciri implikasi politik dari kajian orientalisme selama ini.
Sikap orientalisme yang negatif memandang Timur akan mengakibatkan bukan saja ketegangan masa silam antara Islam dan Yahudi, namun juga aroma kental konflik Islam dalam Perang Salib. Blunder ini setidaknya menurut Briton akan menekankan pada dua aspek berupa sikap kesewenang-wenangan sekaligus sikap konservatif.
Dengan menggambarkan Islam dalam imej negatif, para orientalis mengharapkan bahwa kelak akan timbul keraguan umat Islam terhadap agamanya dan dengan begitu Barat akan masuk untuk semakin memperkokoh kedudukan agama mereka atas Islam.
Muhammad Al Bahiy, seperti dikutip oleh Mohammad Natsir Mahmudi dalam bukunya Orientalisme Al Qur’an di Mata Barat, mengemukakan dua motivasi para orientalisme yang terkait erat pada misi politis.
Pertama, tidak terlepas pada dominasi untuk memperkokoh Imperialisme Barat atas Negara-negara Islam. Kedua, memperkuat semangat perang salib dengan mengatasnamakan kajian Ilmiah dan kemanusiaan.
Sejalan dengan itu, Tibawi kemudian menyederhanakan persoalan itu semua dengan menyebut nama kepentingan imperialisme sebagai muara dari kajian orientalisme semata-mata agar kelak Islam tunduk pada dominasi Barat.
Dari Kongres 1911 Sampai Tuduhan Al Qur’an Bersandar Pada Apokrifa
Ada sederetan nama para orientalis yang sangat terkait pada misi zionisme. Mereka-mereka memiliki reputasi dalam melucuti ajaran Islam sehelai demi sehelai.
Nama Orientalis Yahudi yang terhubung dalam melakukan misi itu salah satunya diemban oleh Gustave Von Grunebaum (1909-1972). Ketika Nazi Jerman datang ke Austria di tahun 1938, ia pergi ke Amerika Serikat.
Di AS dia mendapatkan posisi di Institut Asia di New York di bawah Arthur Upham Paus. Pada tahun 1943, ia pergi ke Universitas California, dan menjadi profesor bahasa Arab pada tahun 1949. Selanjutnya pada tahun 1957, ia menjadi profesor Sejarah Timur Dekat.
Pada seluruh karangannya terlihat gejolak permusuhan terpampang nyata terhadap prinsip-prinsip ajaran Islam, diantaranya ia pernah menulis:
1. Islam Abad Pertengahan, terbit pada tahun 1946. 2. Hari-hari Raya Muhammad, terbit tahun 1951. 3. Usaha-usaha menjelaskan Islam Modern, terbit pada tahun 1947. 4. Studi-studi tentang Sejarah Kebudayaan Isalm terbit tahun 1954, dan 5. Kesatuan dan Keberagamaan dalam Peradaban Islam terbit pada tahun 1955.
Selain itu ada nama Samuel Zwemmer. Tentu kita tidak lupa tokoh ini. Zwemer-lah yang menggebu-gebu mengatakan dalam Persidangan Misi Zionis di Jerusalem pada 1935 terkiat taktik melumpuhkan Islam. Ia berkata,
“Misi utama kita bukanlah menjadikan orang-orang Islam bertukar agama menjadi Kristian atau Yahudi, tetapi cukuplah dengan menjauhkan mereka dari Islam...Kita jadikan mereka sebagai generasi muda Islam yang jauh dari Islam, malas bekerja (untuk Islam), suka berfoya-foya, senang dengan segala kemaksiatan, memburu kenikmatan hidup dan orientasi hidupnya semata-mata untuk menuaskan hawa nafsunya...”.
Zwemmer terkenal sebagai orientalis yang senantiasa menancapkan permusuhannya terhadap Islam. Ia pernah terlibat dalam mendirikan majalah Al Islam Tahadda lil Aqidatain pada tahun 1908 yang tidak lain sebuah majalah corong zionisme dalam melemahkan Islam ini terbit pada awal-awal abad 20.
Zwemmer pula yang menerbitkan buku berjudul Al Islam. Buku ini berisikan makalah-makalahnya yang dipersiapkan untuk muktamar misionaris kedua tahun 1911 di Lucknow, India. Menariknya, setelah muktamar itu, semua peserta mendapat sebuah plak sebagai cenderamata.
Pada satu muka plak itu tertulis: "Kenang kenangan dari Lucknow tahun 1911 ". Pada muka sebelahnya pula tertulis: "Ya Tuhan! Dunia lslam bersujud kepada-Nya lima kali dalam sehari semalam penuh khusuk. Pandanglah orang-orang lslam itu dengan penuh kasih. llhamilah mereka berkat kedamaian Jesus Christ."
Akhirnya, untuk menghargai usaha-usaha Samuel Zwemmer, sampai-sampai warga Amerika mendirikan studi teologi dan persiapan menjadi misonaris dengan mengambil namanya.
Selain itu ada pula Abraham I. Katsch (1908-1998). Ia adalah direktur Institute of Hebrew Studies di Universitas New York. Ia juga terkenal gigih dalam mengkaji Islam. Selama berhari-hari ia sangat telaten dalam menelusuri sumber-sumber keIslaman. Ia juga memperdalam gramatika Qur’an mengingat bidangnya selama ini berada pada wilayah studi Bahasa Ibrani.
Hasil dari kegigihannya melunturkan dominasi keilmuan Islam, akhirnya membuahkan hasil. Ia menelurkan karya monumentalnya di bidang studi Islam lewat sebuah buku kontroversial berjudul ‘Judaisme and Koran’ (Yahudi dan Al Qur’an) yang terbit tahun 1943 di Dropise College of Hebrew.
Buku ini kemudian menjadi titik tolak permusuhannya terhadap Islam. Ia menyatakan persetujuannya terhadap thesis Abraham Geiger bahwa Al Qur’an tidak lain hanyalah hasil colongan dan curian dari Yahudi. Dengan tegas Katsch mengungkapkan,
"Muhammad, borrowed extensively from Jewish sources. He was fully aware of the Importance of the jewish religion and leaned heavly upon it. He used all sources, the bible, the Talmud, as well as the Apocrypha."
Katsch menyatakan alasan dibalik sikap Muhammad meniru kitab suci Yahudi didasari oleh sikap Muhammad sendiri yang tidak pernah menyatakan diri akan mendirikan sebuah agama baru.
Bagi Katsch, Muhammad tidak pernah berusaha membatalkan Perjanjian lama dan Baru melainkan hanya sekedar mengangkatnya dalam sebuah kitab suci baru bernama Al Qur’an. Kastch sendiri menyandarkan pendapatnya tidak lain pada dua surat dalam Al Qur’an yaitu surat Al Baqarah dan Ali Imran.
Katsch juga menuding bahwa Nabi Muhammad mengambil rujukan Kitab Apokrifa sebagai rujukan Al Qur’an. Jika ada yang belum kenal mengenai kitab ini, Apokrifa tidak lain sejumlah kitab suci yang tidak dimasukan dalam bibel Protestan karena asal-usulnya diyakini sudah tidak lagi asli. Kitab-kitab Apokrifa terutama sekali mencakup Kitab-Kitab Perjanjian Lama yang dimasukan dalam Alkitab Katolik Roma.
Dari upaya-upayanya melakukan dekonstruksi Islam, Katsch tercatat dalam melobi pemerintahan Uni Soviet untuk memperbanyak ribuan dokumen Yahudi yang sempat ditahan oleh fihak Uni Soviet selama perang dingin. (pz/bersambung)
Demokrasi dan Matinya Agama
Imbas dari hegemoni orientalisme dan gerakan mereka dalam bidang politik juga menjalar ke dunia Islam. Kita masih ingat bagaimana kaum liberal mendekatkan fahamnya dengan kekuasaan, dari mulai berkiprah di partai politik sampai berupaya menjebolkan misinya lewat jalur undang-undang. Adalah omong kosong jika organisasi seperti Jaringan Islam Liberal, hanya berdalih ingin memisahkan Islam dari Negara. Klaim-klaim kajian liberalisasi Islam murni itikad tanpa tendensi politik patut dipertanyakan. Sebab dalam faktanya, tidak ada ideologi zionis apapun yang mampu menunjang peradaban tanpa ditopang relasi kuasa. Baik itu demokrasi, komunisme, kapitalisme dan lain sebagainya.
Uniknya, berbeda dengan ideologi Islam, ideologi zionisme selalu didirikan lewat serangkain aksi manipulasi, tipudaya, dan juga rekayasa. Ini amat dimungkinkan, karena tidak ada patokan benar dan salah secara tetap. Mereka didesakkan oleh faktor kebencian dan menjadikan kepentingan lebih utama daripada segalanya. Kita masih ingat bagaimana komunisme memecah Syarikat Islam (SI) menjadi dua warna antara putih dan merah. Adalah Ordo Illuminati berjubah Komunis yang disebut-sebut Ad El Marzdedeq dalam bukunya “Freemasonry Melanda Dunia Islam” (1993) secara diam-diam bergerilya ke SI dan berhasil mengkader Semaoen dan Darsono.
Demokrasi Politik dan Ilusi Zionis
Setelah Abad Pertengahan gagal membangun kekuatan, Barat selalu berupaya mencari formulasi pengganti. Dominasi gereja dalam abad pertengahan dianggap menahan laju ilmu dan kebebasan manusia-manusia. Inilah yang kemudian membuat teologi abad pertengahan hancur dan kemudian Barat memunculkan nama baru berupa modernisasi lewat aksi renaisans.
Modernisasi kemudian diisukan sebagai akhir dari penantian selama ini. Mereka menyebut modernisasi adalah edisi pamungkas dari sejarah pencarian Barat terhadap Peradaban dimana keran ilmu pengetahuan mengalir deras mengucur membasahi setelah sebelumnya ditahan klaim Kristen.
Namun uniknya, ditengah secercah harapan atas laju kehidupan yang dicita-citakan itu, modernisasi juga tidak mampu membuat perubahan secara lama. Konsep kebenaran dalam modernisasi yang tidak sesuai perkembangan zaman lagi, membuat Barat merevisi faham mereka dan kemudian menggantinya dengan postmodernisme. Dalam postmodernisme, tidak ada lagi kebenaran pasti, semuanya menjadi relatif. Benar secara agama, belum tentu benar di Masyarakat. Bahkan kebenaran agama bisa dibatalkan oleh mufakat. Nah di titik inilah para orientalis menggam-gemborkan Demokrasi di dunia Islam.
Francis Fukuyama dalam bukunya The End of History and The Last Man nyaris meniru peralihan sistem dari mulai abad pertengahan sampai dominasi postmodernisme. Orientalis keturunan Jepang itu mengatakan demokrasi adalah sistem terbaik dan pemenang ketika komunisme Soviet tumbang.
Padahal dalam perkembangannya, demokrasi penuh dengan dosa. Seperti dikutip Farid Wajdi, pengkritik Demokrasi seperti Gatano Masco, Clfrede Pareto, dan Robert Michels cenderung melihat demokrasi sebagai topeng ideologis yang melindungi tirani minoritas atas mayoritas. Dalam praktiknya, yang berkuasa adalah sekelompok kecil atas kelompok besar (Ilusi Negara Demokrasi: Al Azhar Press 2009)
Konteks tirani minoritas atas mayoritas inilah apa yang kita sebut sebagai permainan Zionis dalam mencengkaram umat saat ini. Kaum Zionis, yang disebut Paul Findley, memiki masa tak lebih dari angka 20 juta, mampu menguasai lobi-lobi, tidak hanya di Amerika, tapi juga Negara muslim lainnya.
Kita masih ingat kasus Mesir. Isu-isu yang dihembuskan para orientalis dan zionis tentang cita-cita demokrasi sebagai prasyarat Negara maju sudah bermain sejak lama jauh sebelum Revolusi Timur Tengah melanda. Freedom House, misalnya, lembaga mantel zionis ini aktif menyebarkan keniscyaan demokrasi sebagai ideologi yang kelak sebagai “pilihan terakhir” bagi rakyat Mesir.
Freedom House sendiri berawal ketika Wendell Willkie, Eleanor Roosevelt, George Field, Dorothy Thompson, Herbert Bayard Swope bersatu untuk menentang paham Nazi. Pada tahun 1940-an, Freedom House mendukung Marshall Plan dan pendirian NATO yang kini tercatat sebagai salah satu kekuatan zionis dalam meluluhlantahkan Libya. Sedangkan pada tahun-tahun 1950-1960-an mereka sudah terlibat akfif dalam mendukung gerakan hak asasi manusia di AS.
Selain nama Freedom House, nama lain yang menjadi penggerak demokratisasi di Negara-negara muslim adalah National Endowment For Democracy (NED). NED sendiri adalah sebuah yayasan swasta nirlaba yang berbasis di Amerika Serikat. Ia berfungsi untuk memberikan hibah dalam rangka mendukung proyek-proyek LSM di seluruh dunia untuk pertumbuhan dan penguatan lembaga-lembaga demokratis.
Yayasan ini didirikan pada tahun 1983 dan menyediakan lebih dari 1000 dana bantuan per tahun untuk LSM dalam rangka mempromosikan demokrasi di lebih dari 90 negara. Tidak hanya itu, NED juga tercatat aktif dalam menawarkan beasiswa dan melakukan penelitian dan pertukaran internasional bagi para aktivis demokrasi, hak asasi manusia advokat, jurnalis, dosen dan peneliti.
Demokrasi dan Matinya Agama: Ujung Dari Protocol of Zion
Sebelum NED dan Freedom House mendefinisikan apa yang disebut standar negara sukses dengan demokrasinya di Timur Tengah, Steve Bruce lewat bukunya “God is Dead: Secularization in West” (Blackwell: 2002) menguraikan perihal karakteristik negara modern. Seperti dikutip oleh Syamsudin Arif, Bruce sebagai sosiolog agama kemudian menerjemahkannya pada tiga ciri.
Pertama, adanya diferensiasi fungsi dan struktur sosial, ditandai dengan munculnya sistem birokrasi dan profesionalisme, menggantikan hirarki, dominasi dan pretensi kelompok tertentu. Namun Bruce memberi syarat khusus bahwa hal ini akan sukses ketika dibarengi oleh maraknya tren Pluralisme Agama dan relativisme bahwa tidak ada lagi kebenaran tunggal dalam monopoli kebenaran.
Kedua, lahirnya privatisasi agama sebagai konsekuensi dari kehidupan yang lebih terorganisir dan terjamin, sehingga agama dirasakan tidak lagi relevan jika tidak berpengaruh sama sekali dalam konteks sosial. Agama hanya menjadi lahan privat dan pribadi tanpa diperbolehkan ikut campur dalam masalah agama. Ucapan Bruce ini kemudian bisa kita paralelkan dengan statement Ulil tentang Ahmadiyah.
Ketiga, bagi Bruce, Negara harus memberi ruang untuk masuknya rasionalisasi dimana sains tampil dominan menggantikan mitologi, mistisisme, dan sihir. (Kemodernan, Sekularisasi, dan Agama: Jurnal Islamia 2007)
Pertanyaannya, apakah yang sebenarnya didefinisikan mistisme dan mitologi dalam termin Bruce? Jawabannya sudah terlebih dahulu diambil oleh August Comte, seorang Yahudi konspiratif yang menaruh konsentrasi untuk meruntuhkan Khilafah Islamiyah dan kemudian terlaksana pada tahun 1924 oleh Kemal Ataturk.
August Comte menggariskan bahwa perkembangan pemikiran manusia terdiri atas tiga tahapan yaitu Tahap Teologik, tahap metafisik, dan kemudian mencapai titik akhir pada tahap positif. Menariknya Comte mendefiniskan zaman penuh kelam, hancur, dan tidak keruan ketika zaman teologik atau agama tampil dominan menguasai sendi kehidupan.
Sebaliknya zaman positif, menurut maksud Comte adalah zaman penuh kemajuan karena orang berusaha untuk menemukan hukum segala sesuatu dari berbagi eksperimen yang akhirnya menghasilan fakta-fakta ilmiah, yang terbukti dan dapat dipertanggung jawabkan. Dan bagi Comte, hal itu tidak bisa terjadi ketika agama turut campur dalam kehidupan. Rupanya perkataan Comte inilah yang serupa di Protocol of Zion nomor 5:
“Ada suatu langkah yang mampu membikin opini umum, yaitu kita harus mengajukan berbagai pandangan yang dapat menggoyahkan keyakinan-keyakinan sebelumnya yang sudah tertanam di hati dan pikiran masyarakat. Kalau usaha ini belum mendapatkan perhatian, maka masyarakat harus diberikan pandangan lagi yang secara sosial dapat diterima.
Dengan cara ini, keyakinan lama yang sudah tertanam di hati manusia akan tergoyahkan, dan pada akhirnya akan tumbang, lantaran terdepak oleh perkembangan zaman. Pada akhirnya pendapat dan pandangan yang tidak searah dengan tujuan Yahudi akan musnah, dan di dunia akan jatuh ke dalam perangkap kesesatan.”
Dan doktrin Comte ini menjalar ke seluruh dunia Islam, mulai dari Asia hingga Afrika. Makanya ketika kasus Ahmadiyah meneyeruak, Ulil meminta Negara tidak boleh ikut campur, karena agama wilayah privat dan tidak boleh terjadi relasi kuasa disana. Menariknya Ulil justru kini masuk ke Partai Politik dan memperjuangkan pengesahan pemikiran-pemikiran nyelenehnya tentang Islam lewat jalur undang-undang.
Namun apakah kaum liberalis masuk ke wilayah politik untuk mengangkat agama? Jawabannya tidak, karena mereka ingin “membunuh” agama seperti lonceng kematian Tuhan yang bergema di seluruh Eropa dan Amerika setelah Frederich Nietszche memploklamirkannya. Dan kita tidak perlu berperang dengan mereka di sana, karena justru demokrasi lah yang sebenarnya membuka peluang untuk liberalisasi. Karena benar dan salah bukan lagi milik Allah. (Pz)
No comments:
Post a Comment