visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, March 31, 2011

MANHAJ AHLI SUNNAH TERHADAP PENGUASA

Oleh:
Ustadz Abu Ahmad Zainal Abidin


TUGAS NEGARA DAN PENGUASA DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Islam merupakan agama dari Allah yang mengatur seluruh aspek
kehidupan, baik pribadi maupun masyarakat, lahir maupun batin, dan
bahkan untuk kepentingan di dunia dan akhirat. Maka sistim politik
Islam, khususnya tentang kepemimpinan, merupakan amanat dari Allah
untuk melaksanakan aturan, undang-undang dan syari’at Islam.

Jadi kepemimpinan dalam Islam merupakan bentuk aktifitas politik, yang
bertujuan untuk menegakkan aturan Allah di muka bumi. Oleh karena itu,
pemimpin yang dipilih semata-mata hanya bertugas untuk menegakkan
syari’at dan menerapkan hukum Allah, sehingga negara dan rakyat meraih
kedamaian, penguasa dan rakyat memperoleh hak-hak secara adil, serta
kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kondisi yang tenteram dan
makmur.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menegaskan: Tujuan pokok kepemimpinan,
ialah memperbaiki agama umat. Sebab, jika jauh dari Dinul Islam,
(maka) bangsa akan hancur, nasib rakyat akan terlantar dan
nikmat-nikmat dunia yang mereka miliki akan sia-sia. Pemimpin juga
bertugas memperbaiki segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan
agama, meliputi dua macam:

Pertama, membagikan harta kekayaan secara merata dan adil kepada yang
berhak.

Kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan
undang-undang tanpa diskriminasi.

Prof. Dr. Salim bin Ghanim As Sadlan berkata,”Salah satu kewajiban dan
wewenang pemimpin dalam agama Islam, yaitu melaksanakan hukuman
setelah diproses secara syar’i oleh mahkamah agung atas terdakwa
pelaku kejahatan yang berhak mendapat hukuman.”

DEKAT DENGAN PENGUASA BUKAN BERARTI MENJILAT

Seorang muslim harus melakukan hubungan baik dengan para Ulil Amri,
baik dari kalangan pemimpin, para hakim penanggung jawab peradilan
ataupun tokoh-tokoh lembaga-lembaga penting dan kepala-kepala
penanggung jawab pemerintah. Kita tidak boleh merasa kaku serta
menganggap, bila dekat dengan penguasa akan menodai kehormatan diri
dalam beragama. Bukan pula berarti menjadi penjilat dan kacung bagi
para penguasa, bahkan syari’at memerintahkan kita untuk menjalin
hubungan erat dengan para Ulil Amri atau penguasa.

Sesungguhnya, salah satu yang menjadi penyebbab keberhasilan shahwah
(kebangkitan Islam) dan dakwah kepada Allah, yaitu apabila da’wah
memiliki dukungan dari penguasa dalam suatu negara. Karena, da’wah dan
kekuasaan merupakan dua pilar perbaikan terhadap umat. Penyair
berkata:

الْمُــــلْكُ بِالدِّيْنِ يَبْقَى وَالدِّيْنُ بِالْمُلْكِ يَقْوَى

Kekuasaan yang bersanding dengan agama akan menjadi stabil, dan agama
yang bersanding dengan kekuasaan akan menjadi kuat dan kokoh.

Bila keduanya bertemu dan bersatu, maka tujuan dan sasaran da’wah
tercapai. Cita-cita membangun umat akan teralisasi dengan izin Allah.
Namun, jika keduanya berpisah, apalagi saling berhadapan, maka segala
usaha akan sia-sia atau melemah sampai pada batas kehinaan, sehingga
muncul berbagai fitnah dan musibah bagi umat.

Setiap negara yang menginginkan kemuliaan hakiki dan kekuasaan di muka
bumi, memiliki kewajiban untuk mendukung da’wah kepada Allah,
mengerahkan segala perangkat kekuasaan dan pilar kekuatan negara yang
mampu memberikan peringatan dan bimbingan secara persuasif kepada
seluruh rakyat. Dengan demikian, penguasa akan mendapatkan legitimasi
dan dukungan penuh dari semua pihak. Sebab, seringkali Allah
menyadarkan lewat peguasa, apa yang tidak tergugah dengan Al Qur’an.
Karena, bila keimanan telah melemah dalam hati manusia, maka kekuatan
penguasa jauh lebih dapat menakut-nakuti mereka dari maksiat, dan
lebih meluruskan mereka kepada ibadah, hingga mereka dapat meraih
istiqamah dan keshalihan dalam hidup.


MENASIHATI PENGUASA BUKAN MEMBANGKANG

Islam memiliki etika tersendiri dalam menasihati pemimpin, bahkan
mempunyai kaidah-kaidah dasar yang tidak boleh dilecehkan; sebab,
pemimpin tidak sama dengan rakyat. Apabila menasihati kaum muslimin,
secara umum memerlukan kaidah dan etika, maka menasihati para pemimpin
lebih perlu memperhatikan kaidah dan etikanya.

Dari Ibnu Hakam meriwayatkan, bahwa Nabi bersabda,”Barangsiapa yang
ingin menasihati pemimpin, maka jangan melakukannya secara
terang-terangan. Akan tetapi, nasihatilah dia di tempat yang sepi.
Jika menerima nasihat, itu sangat baik. Dan bila tidak menerimanya,
maka kamu telah menyampaikan kewajiban nasihat kepadanya.” [HR Imam
Ahmad].

Sangat tidak bijaksana mengoreksi dan mengkritik kekeliruan para
pemimpin melalui mimbar-mimbar terbuka, tempat-tempat umum ataupun
media massa, baik elektronik maupun cetak. Yang demikian itu
menimbulkan banyak fitnah. Bahkan terkadang disertai dengan hujatan
dan cacian kepada orang per orang. Seharusnya, menasihati para
pemimpin dengan cara lemah lembut dan di tempat rahasia, sebagaimana
yang dilakukan oleh Usamah bin Zaid tatkala menasihati Utsman bin
Affan, bukan dengan cara mencaci-maki mereka di tempat umum atau
mimbar.

Imam Ibnu Hajar berkata, bahwa Usamah telah menasihati Utsman bin
Affan dengan cara yang sangat bijaksana dan beretika tanpa menimbulkan
fitnah dan keresahan.

Imam Syafi’i berkata,”Barangsiapa yang menasihati temannya dengan
rahasia, maka ia telah menasihati dan menghiasinya. Dan barangsiapa
yang menasihatinya dengan terang-terangan, maka ia telah mempermalukan
dan merusaknya.”

Imam Fudhail bin Iyadh berkata,”Orang mukmin menasihati dengan cara
rahasia; dan orang jahat menasihati dengan cara melecehkan dan
memaki-maki.”

Syaikh bin Baz berkata,”Menasihati para pemimpin dengan cara
terang-terangan melalui mimbar-mimbar atau tempat-tempat umum, bukan
(merupakan) cara atau manhaj Salaf. Sebab, hal itu akan mengakibatkan
keresahan dan menjatuhkan martabat para pemimpin. Akan tetapi, (cara)
manhaj Salaf dalam menasihati pemimpin yaitu dengan mendatanginya,
mengirim surat atau menyuruh salah seorang ulama yang dikenal untuk
menyampaikan nasihat tersebut.”

MEMBUAT KEKACAUAN BERKEDOK JIHAD DAN AMAR MA’RUF

Dakwah kepada agama Allah merupakan tugas utama para rasul dan imam
agama. Dan pada zaman sekarang, hukumnya bisa wajib bagi setiap
individu sesuai kemampuan masing-masing. Allah berfirman, yang
artinya: Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik. [An Nahl:125].

Adapun memecah-belah kaum muslimin menjadi berkelompok–kelompok,
sehingga masing-masing mengklaim kelompoknyalah yang benar, sementara
yang lain sesat -sebagaimana realita sekarang ini- jelas bukan
merupakan manhaj dakwah yang benar. Setiap orang yang memiliki ilmu
dan kemampuan yang cukup, wajib berdakwah kepada agama Allah atas
dasar ilmu, walaupun hanya seorang diri. Antara yang satu dengan yang
lain, hendaklah berkerja sama berlandaskan manhaj yang satu, yaitu
manhaj yang ditempuh Rasulullah dan para sahabat.

Dakwah merupakan cara dan proses Islami dalam membimbing umat manusia
menuju perubahan hidup yang hakiki, penuh dengan kesadaran serta
merupakan bentuk sentuhan lembut yang mengetuk hati nurani, sehingga
bangkit dan memiliki kemauan untuk berbuat kebaikan, meninggalkan
berbagai macam pelanggaran.

Anggapan, bahwa praktek-praktek agitasi, kampanye, pengungkapan aib
penguasa dan pengerahan massa untuk menekan penguasa sebagai metode
yang berhasil dan bermanfaat, adalah anggapan yang keliru, jauh dari
kebenaran dan menyalahi nash-nash syar’i. Kalau kita tengok penjelasan
para ulama, seperti yang tertuang dalam buku Asy Syari’ah karya Al
Ajurri, As Siayasah Asy Syar’iyah Ibnu Taimiyah dan buku Ath Thuruqul
Hukmiyah Fis Siyasah Asy Syar’iyah karya Ibnu Qayyim, maka cara-cara
seperti di atas sangat keliru dan sesat.

Asumsi, bahwa cara-cara seperti ceramah-cermah yang transparan,
membukakan kebobrokan penguasa kepada masyarakat luas dan memprovokasi
mereka untuk melawan penguasa sebagai cara yang efisien dan berguna,
merupakan asumsi yang salah dan sangat jauh dari kebenaran, serta
bertentangan dengan nash agama. Bahkan, semacam merupakan bentuk
justifikasi terhadap aqidah dan pemikiran Khawarij.

BEKAL BAGI ORANG YANG MENASIHATI PEMIMPIN

Bagi setiap individu yang ingin memberikan nasihat kepada pemimpin,
maka ia harus memperhatikan hal-hal berikut:

Pertama : Ikhlas dalam memberi nasihat.

Nabi Muhammad bersabda kepada Abdullah bin Amr: “Wahai, Abdullah bin
Amr. Jika engkau berperang dengan sabar dan ikhlas, maka Allah akan
membangkitkanmu sebagai orang yang sabar dan ikhlas. Dan jika engkau
berperang karena riya, maka Allah akan membangkitkanmu sebagai orang
riya dan orang yang ingin dipuji” . [HR Abu Dawud].

Imam Ibnu Nahhas berkata,”Orang yang menasihati pemimpin atau
penguasa, hendaknya mendahulukan sikap ikhlas untuk mencari ridha
Allah. Barangsiapa yang mendekati pemimpin untuk mencari popularitas
atau jabatan atau sanjungan, maka ia telah berbuat kesalahan yang
besar dan melakukan perbuatan sia-sia.”

Kedua : Menjauhi segala macam ambisi pribadi.

Seseorang yang menasihati sebaiknya menanggalkan segala ambisi dan
keinginan pribadi untuk mendapatkan sesuatu dari pemimpin atau
penguasa. Para ulama salaf telah banyak memberikan contoh dan suri
tauladan, seperti Sufyan Ats Atsauri. Beliau sering menolak pemberian
para penguasa, karena khawatir pemberian tersebut menghalanginya untuk
mengingkari kemungkaran.

Tiga : Mendahulukan sikap kejujuran dan kebenaran.


Seorang yang ingin menasihati pemimpin atau penguasa, hendaknya
bersikap jujur dan pemberani; sebagaimana sabda Nabi,”Jihad yang
paling utama adalah menyampaikan kebenaran kepada pemimpin yang
zhalim.” [HR Abu Dawud]

Keempat : Berdo’a kepada Allah dengan do’a-do’a yang ma’tsur.


Dari Ibnu Abbas, beliau berkata,”Jika kamu mendatangi penguasa yang
kejam, maka berdo’alah:

Allah Maha Besar, Allah Maha Tinggi, dari semua makhlukNya, Allah Maha
Tinggi dari semua yang saya takutkan dan khawatirkan. Saya berlindung
kepada Allah yang tiada Sesembahan yang haq selainNya, Dialah yang
menahan langit yang tujuh sehingga tidak jatuh ke bumi dengan izinNya,
(dari) kejahatan hambaMu dan para pengikutnya, bala tentaranya dan
para pendukungnya, baik dari jin atau manusia. Ya Allah, jadilah
Engkau pendampingku dari kejahatan mereka, Maha Tinggi kekuasaan Allah
dan Maha Agung serta Maha Berkah NamaNya, tiada Sesembahan yang berhaq
disembah selain Engkau.” (Dibaca tiga kali). [HR Ibnu Abu Syaibah].

MENYEBUT PENGUASA DENGAN VONIS KAFIR

Pada masa sekarang timbul berbagai macam penyimpangan manhaj dan
fitnah pemikiran, terutama dalam soal sikap kepada para penguasa yang
zhalim dan tidak berhukum dengan hukum Allah. Sebagian orang yang gila
popularitas dan ambisius, dengan gampang menebarkan pemikiran takfir
(mengkafirkan) kepada para penguasa, para pemuda dan orang awam; dan
dengan mengesampingkan manhaj Ahli Sunnah serta fatwa para ulama.
Mereka kurang menyadari dampak dan akibat dari langkah yang mereka
tempuh, sehingga keinginan mengajak umat manusia kepada kebaikan
berbalik menjadi musibah dan fitnah yang mendatangkan banyak keburukan
dan kesesatan. Mereka bersikap kerdil, picik, pengecut, emosional,
keras kepala dan tidak kenal kompromi, kurang mempertimbangkan antara
maslahat dan madharat.

Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan dalam kitab Muntaqa
berkata,”Masalah pengkafiran terhadap orang per orang, terutama kepada
para penguasa sangat berbahaya. Tidak semua orang boleh mengucapkan
atas orang lain. Masalah ini merupakan wewenang hakim syar’i dan ahli
ilmu yang mumpuni, yang mengetahui Dinul Islam dan
pembatal-pembatalnya mengetahui situasi dan kondisi, serta keadaan
manusia dan masyarakat. Merekalah yang berhak menjatuhkan vonis kafir.
Adapun orang jahil, orang awam, pemula dalam menuntut ilmu, tidaklah
berhak menjatuhkan vonis kafir.”

Syaikh Shalih bin Ghanim As Sadlan menegaskan, bahwa masalah
pengkafiran terhadap orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah,
membutuhkan penjelasan secara rinci. Tidak boleh menjatuhkan hukum
kafir atas penguasa atau hakim yang tidak berhukum dengan hukum Allah
secara mutlak, sehingga mengetahui keadaan dan kondisinya dalam
masalah ini.

Perlu diketahui, bahwa berhukum dengan hukum selain hukum Allah ada
dua sebab.
Pertama. Menghalalkan hukum selain Allah dan meyakini,
bahwa syari’at Islam tidak layak diterapkan selamanya. Kedua.
Meyakini, bahwa syari’at Islam layak diterapkan dan sudah sempurna,
namun keputusan terakhir bukan di tangannya dan bukan pula di bawah
kuasa seseorang.

Mengenai firman Allah “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa
yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”.
[Al Maidah: 44].

Apakah dalam ayat di atas terdapat perintah untuk membangkang dan
memberontak penguasa? Karena memberontak dan membangkang kepada
penguasa yang divonis kafir -bila tidak memiliki kekuatan yang
berimbang- justru akan membahayakan kelangsungan dakwah dan
keselamatan para da’i.

BERSABAR TERHADAP PEMIMPIN YANG ZHALIM

Pemimpin yang zhalim dan jahat, adalah sosok pemimpin yang hanya
berambisi terhadap kekuasaan belaka. Perbuatan mereka tidak pernah
sepi dari penganiayaan dan kezhaliman, dan tidak segan-segan melibas
siapapun yang mencoba menggoyang kekuasaannya, meskipun dia melanggar
syari’at. Dia juga tidak adil dalam memberikan hak-hak umat serta
boros terhadap harta negara.

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab rusaknya para pemimpin.

1. Lemahnya pengamalan prinsip agama.
2. Senang mengikuti hawa nafsu dan kesenangan dunia belaka.
3. Sikap kolusi dan nepotisme yang berlebihan.
4. Teman dan penasihat (orang kepercayaannya) yang tidak baik, atau
menjadikan orang-orang kafir sebagai pembantu (kepercayaannya).
5. Menyerahkan kekuasaan dan jabatan kepada orang-orang yang tidak
berjiwa patriot dan ikhlas.
6. Diktator dalam mengendalikan kekuasaan.
7. Tekanan internasional terhadap para pemimpin Islam.
8. Terpengaruh dengan sisitim negara-negara kafir dan meninggalkan sistim Islam.

Barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menasihati pemimpin
yang zhalim, maka sebaiknya berdiam diri dan bersabar, sebagaimana
sabda Rasulullah,”Barangsiapa yang mendapatkan dari pemimpin(nya)
sesuatu yang tidak menyenangkan, maka hendaklah bersabar. (Karena)
sesungguhnya, barangsiapa yang keluar dari pemimpin, maka meninggal
dalam keadaan jahiliyah.” [HR Al Bukhari].

Abdullah Ibnu Abbas berkata,”Pemimpin adalah ujian bagi kalian.
Apabila mereka bersikap adil, maka dia mendapatkan pahala dan kamu
harus bersyukur. Dan apabila dia zhalim, maka dia mendapatkan siksa
dan kamu harus bersabar.”

Imam Nawawi berkata,”Barangsiapa yang mendiamkan kemungkaran seorang
pemimpin, tidaklah dia berdosa, kecuali (jika) dia menunjukan sikap
rela, setuju atau mengikuti kemungkaran itu.”

BATASAN HUBUNGAN ANTARA PEMIMPIN DENGAN RAKYAT

Syaikh Abdul Aziz bin Baz t menjelaskan kepada Majalah Syarq Al Ausath
seputar manhaj Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam masalah amar ma’ruf nahi
munkar, metodologi menyampaikan nasihat, serta batasan-batasan
hubungan secara syar’i antara penguasa dengan rakyat. Ulasan dan
penjelasan beliau dapat disimpulkan sebagai berikut.

1. Beliau menjelaskan batasan-batasan hubungan antara penguasa dengan
rakyat menurut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang wajib ditempuh seluruh
umat sekarang ini.

2. Beliau juga mengajak kaum muslimin mengikuti manhaj Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah dan tidak mencontoh faham Khawarij maupun Mu’tazilah.
Beliau berkata,”Mereka semestinya mengikuti madzhab Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah sesuai dengan dalil-dalil syar’i yang ada. Mereka semestinya
memegang teguh nash-nash Al Qur’an dan As Sunnah sebagaimana adanya.
Mereka tidak diperkenankan memberontak kepada penguasa, hanya karena
penguasa itu jatuh dalam perbuatan maksiat. Mereka semestinya
menasihati penguasa dan berdakwah dengan cara yang penuh hikmah, serta
dengan pengajaran yang baik.

3. Beliau menjelaskan, bahwa kaum muslimin wajib mentaati waliyul amri
dalam perkara-perkara yang ma’ruf. Berdasarkan firman Allah, yang
artinya: Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan ta’atilah dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan
Rasul (Sunnahnya) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu adalah lebih baik akibatnya. [An
Nisa’:59].

4. Jika penguasa memerintahkan kepada perkara yang munkar, maka tidak
wajib dipatuhi, namun tidak berarti dibolehkan memberontak mereka,
sebab Rasulullah bersada:

مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيرِهِ شَيْئًا يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ
فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْرًا فَمَاتَ إِلَّا مَاتَ
مِيتَةً جَاهِلِيَّةً.

Barangsiapa melihat sebuah perkara yang membuat ia benci pada
pemimpinya, maka hendaknya ia bersabar dan janganlah ia membangkang
kepada pemimpinnya. Sebab, barangsiapa melepaskan diri dari jama’ah,
lalu mati, maka ia mati secara jahiliyah. [HR Bukhari dan Muslim]

Sabda beliau:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ

وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ

فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Seorang muslim wajib patuh dan taat (kepada umara) ketika lapang
maupun sempit pada perkara yang disukainya ataupun yang dibencinya,
selama tidak diperintah berbuat maksiat. Jika diperintah berbuat
maksiat, maka tidak boleh patuh dan taat. [HR Bukhari dan Muslim].

5. Tidak boleh memberontak kepada penguasa kecuali dengan dua syarat.
Pertama, telah tampak kekafiran secara nyata pada penguasa itu, dan
memiliki keterangan yang jelas (tentang kekafirannya itu) dari Allah
(Al Qur’an) dan As Sunnah.
Kedua, memiliki kemampuan untuk
menggantikan penguasa tersebut, tanpa harus merugikan rakyat banyak.

6. Jika tidak memiliki kemampuan, maka tidak boleh memberontak,
meskipun telah terlihat kekafiran yang nyata. Hal ini demi menjaga
kemaslahat bersama.

7. Kaidah syar’i yang harus disepakati bersama, bahwa tidak boleh
menghilangkan kejahatan dengan kejahatan yang lebih buruk dari
sebelumnya, namun mestinya perkara yang benar menghilangkan kejahatan
itu atau menguranginya.

8. Tidak boleh memberontak penguasa jika akan menimbulkan kerusakan
yang lebih besar, stabilitas keamanan terguncang, kesewenang-wenangan
terhadap hak-hak asasi manusia dan pembunuhan orang-orang yang
semestinya tidak boleh dibunuh.

9. Wajib bersabar, patuh dan taat dalam perkara yang ma’ruf, serta
memberi nasihat kepada pemerintah, mendo’akan kebaikan bagi mereka,
berusaha sekuat tenaga meminimalkan kejahatan dan menyebarkan
sebanyak-banyaknya nilai-nilai kebaikan.

10. Barangsiapa beranggapan bahwa pemikiran semacam ini merupakan
kekalahan dan kelemahan, maka sesungguhnya angapan seperti itu
menunjukkan kekeliruan dan kedangkalan pemahamannya. Artinya, mereka
tidak memahami dan tidak mengenal Sunnah Nabi sebagaimana mestinya.

Dalam menghilangkan kemungkaran, mereka hanya dibakar oleh semangat
dan emosi untuk menghilangkannya saja, sehingga (kemudian) mereka
melanggar rambu-rambu syari’at, sebagaimana Khawarij dan Mu’tazilah.

11. Siapapun orangnya, baik pemuda atau bukan, tidaklah layak
mencontoh Khawarij dan Mu’tazilah. Mereka harus meniti madzhab Ahlu
Sunnah Wal Jama’ah.

12. Bagi yang memiliki semangat membela agama Allah dan para da’i,
wajib untuk mengikatkan diri dengan ketentuan-ketentuan syari’at.
Wajib memberi nasihat kepada para penguasa dengan perkataan yang bagus
dan dengan cara yang baik.

13. Tidak dibolehkan membunuh kafir musta’min (orang kafir yang
mendapat perlindungan pemerintah Islam) yang diterima oleh pemerintah
yang berdaulat secara damai. Tidak boleh pula menghukum pelaku maksiat
dan berbuat aniaya terhadap mereka. Namun kejahatan mereka diangkat ke
mahkamah syari’at. Jika tidak ada, maka cukup dengan nasihat saja.

14. Wajib hukumnya mematuhi dan mentaati peraturan-peraturan
pemerintah yang tidak bertentangan dengan syari’at, seperti: peraturan
lalu-lintas dan imigrasi (seperti kewajiban SIM pengendara dan
paspor). Barangsiapa mengangggap dirinya memiliki hak untuk
melanggarnya, maka perbuatannya itu bathil dan mungkar.

15. Diantara konsekuensi bai’at, yaitu menasihati waliyul amri
(penguasa). Dan diantara wujud nasihat, yaitu mendo’akan kepada
penguasa supaya mendapatkan taufiq dan hidayah.

16. Setiap individu rakyat wajib bekerja sama dengan pemerintah dalam
mengadakan perbaikan dan menumpas kejahatan.

17. Maksud didirikan pemerintah, ialah untuk merealisasikan maslahat
syar’i dan mencegah mafsadat. Maka setiap tindakan yang diinginkan
darinya adalah kebaikan. Adapun yang dapat menimbulkan kerusakan yang
lebih besar, maka hal itu dilarang.

18. Mendo’akan kebaikan bagi penguasa merupakan ibadah yang paling
agung dan ketaatan yang paling utama. Al Fudhail bin Iyadh
berkata,”Bila aku punya do’a yang terkabulkan, maka aku akan
memanjatkan untuk penguasa. Karena baiknya mereka akan menentukan
kebaikan orang banyak.”

Maraji:

- Al Ahkamus Sulthaniyah, karya Imam Abu Hasan Al Mawardi.
- As Siyasah Asy Syar’iyah, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
- Ath Thuruqul Hukmiyah Fi Siyasah Asy Syar’iyah, karya Ibnu Qayyim.
- Ash Shahwah Islamiyah, karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
- Al Muntaqa Fi Fatawa, Syaikh Fauzan.
- Hakiqatul Amr Bil Ma’ruf Wan Nahyu ‘Anil Munkar, karya Dr. Hamd bin
Nasir Al Ammar.
- Muraja’at Fi Fiqhil Waqi Asy Syiyasi Wal Fikri, Syaikh Bin Baz,
Syaikh Fauzan dan Syaikh Shalih Sadlan.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VII/1424H/2004M
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km. 8 Selokaton Gondangrejo Sol

No comments:

Post a Comment