visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Tuesday, August 3, 2010

PRIORITAS UTAMA, AKHLAQ KEPADA ALLAH





Dari An Nawas bin Sam’an radhiyallahu anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

البر حسن الخلق

“Kebajikan itu keluhuran akhlaq”[1]

Hadits ini memiliki beberapa kandungan sebagai berikut:

• Hadits ini menunjukkan urgensi akhlak dalam agama ini, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa seluruh kebajikan terdapat dalam keluhuran akhlak. Dengan demikian, seorang yang baik adalah seorang yang luhur akhlaknya.

• Imam Ibnu Rajab al Hambali rahimahullah menjelaskan makna kata al birr (kebajikan) yang terdapat dalam hadits di atas. Beliau berkata,

من معنى البر أن يراد به فعل جميع الطاعات الظاهرة والباطنة كقوله تعالى ولكن البر من آمن بالله واليوم الآخر والملائكة والكتاب والنبيين وآتى المال على حبه ذوي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل والسائلين وفي الرقاب وأقام الصلاة وآتى الزكاة والموفون بعهدهم إذا عاهدوا والصابرين في البأساء والضراء وحين البأس أولئك الذين صدقوا وأولئك هم المتقون

[Diantara makna al birr adalah mengerjakan seluruh ketaatan, baik secara lahir maupun batin. (Makna seperti ini) tertuang dalam firman Allah ta'ala,

لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَالْمَلائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ (١٧٧)

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. MerekaiItulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Al Baqarah: 177).][2]

Dari penjelasan Ibnu Rajab dan teks ayat dalam surat Al Baqarah tersebut, kita dapat memahami dengan jelas bahwa yang dinamakan kebajikan (al birr) turut mencakup keimanan yang benar terhadap Allah, mengerjakan perintah-Nya (dan tentunya meninggalkan larangan-Nya), serta berbuat kebajikan terhadap sesama makhluk Allah.

Kita juga bisa menyatakan, – berdasarkan hadits An Nawwas radhiallahu ‘anhu di atas-, bahwa seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, mengerjakan perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, dan berbuat kebajikan terhadap sesama adalah seorang yang berakhlak luhur, karena nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendefinisikan al birr dengan keluhuran akhlak, dan pada ayat 177 surat Al Baqarah di atas Allah menjabarkan berbagai macam bentuk al birr.

Dengan kata lain, seorang yang berakhlak luhur adalah seorang yang mampu berakhlak baik terhadap Allah ta’ala dan sesamanya. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

حُسْن الْخُلُق قِسْمَانِ أَحَدهمَا مَعَ اللَّه عَزَّ وَجَلَّ ، وَهُوَ أَنْ يَعْلَم أَنَّ كُلّ مَا يَكُون مِنْك يُوجِب عُذْرًا ، وَكُلّ مَا يَأْتِي مِنْ اللَّه يُوجِب شُكْرًا ، فَلَا تَزَال شَاكِرًا لَهُ مُعْتَذِرًا إِلَيْهِ سَائِرًا إِلَيْهِ بَيْن مُطَالَعَة وَشُهُود عَيْب نَفْسك وَأَعْمَالك .

وَالْقِسْم الثَّانِي : حُسْن الْخُلُق مَعَ النَّاس .وَجَمَاعَة أَمْرَانِ : بَذْل الْمَعْرُوف قَوْلًا وَفِعْلًا ، وَكَفّ الْأَذَى قَوْلًا وَفِعْلًا

[Keluhuran akhlak itu terbagi dua. Pertama, akhlak yang baik kepada Allah, yaitu meyakini bahwa segala amalan yang anda kerjakan mesti (mengandung kekurangan/ketidaksempurnaan) sehingga membutuhkan udzur (dari-Nya) dan segala sesuatu yang berasal dari-Nya harus disyukuri. Dengan demikian, anda senantiasa bersyukur kepada-Nya dan meminta maaf kepada-Nya serta berjalan kepada-Nya sembari memperhatikan dan mengakui kekurangan diri dan amalan anda. Kedua, akhlak yang baik terhadap sesama. kuncinya terdapat dalam dua perkara, yaitu berbuat baik dan tidak mengganggu sesama dalam bentuk perkataan dan perbuatan].[3]

• Terdapat persepsi yang berkembang di masyarakat bahwa makna keluhuran akhlak (akhlakul karimah) terbatas pada interaksi sosial yang baik dengan sesama. Hal ini kurang tepat, karena menyempitkan makna akhlakul karimah, silahkan anda lihat kembali penjelasan di atas.

Bahkan, terkadang terdapat selentingan perkataan yang terkadang terucap dari seorang muslim, yang menurut kami cukup fatal, seperti perkataan, “Si fulan yang non muslim itu lebih baik daripada fulan yang muslim” atau ucapan semisal. Ucapan ini terlontar tatkala melihat kekurangan akhlak pada saudaranya sesama muslim, kemudian dia membandingkan saudaranya tersebut dengan seorang kafir yang memiliki interaksi sosial yang baik dengan sesamanya.

Perkataan itu cukup fatal karena seorang muslim yang bertauhid kepada Allah, betapa pun buruk akhlaknya, betapapun besar dosa yang diperbuat, tetaplah lebih baik daripada seorang kafir, yang berbuat syirik kepada Allah ta’ala. Hal ini mengingat dosa syirik menduduki peringkat teratas dalam daftar dosa.

Seorang yang memiliki interaksi sosial yang baik terhadap sesama, namun dia tidak menyembah Allah atau tidak menauhidkannya dalam segala bentuk peribadatan yang dilakukannya, maka dia masih dikategorikan sebagai seorang yang berahlak buruk.

Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan dia tidak merealisasikan pondasi keluhuran akhlak, yaitu berakhlak yang baik kepada sang Khalik yang telah mencurahkan berbagai nikmat kepada dirinya dan seluruh makhluk. Dan bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah dengan menauhidkan-Nya dalam segala peribadatan, karena tauhid merupakan hak Allah kepada setiap hamba-Nya sebagaimana dinyatakan dalam hadits Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu.[4]

Hal ini pun dipertegas dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anhu. Beliau bertanya kepada rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, [Wahai rasulullah! Ibnu Jud'an, dahulu di zaman jahiliyah, adalah seorang yang senantiasa menyambung tali silaturahim dan memberi makan orang miskin, apakah itu semua bermanfaat baginya kelak di akhirat? Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab,

لاَ يَنْفَعُهُ إِنَّهُ لَمْ يَقُلْ يَوْمًا رَبِّ اغْفِرْ لِى خَطِيئَتِى يَوْمَ الدِّينِ

"Hal itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak pernah sedikit pun mengucapkan, "Wahai Rabb-ku, ampunilah dosa-dosaku di hari kiamat kelak."][5]

Ibnu Jud’an adalah seorang yang memiliki akhlak yang baik kepada sesama manusia, meskipun demikian, keluhuran akhlaknya kepada manusia tidak mampu menyelamatkannya dikarenakan dia tidak menegakkan pondasi akhlak, yaitu akhlak yang baik kepada Allah dengan beriman dan bertauhid kepada-Nya.

• Telah disebutkan di atas bahwa bentuk akhlak yang baik kepada Allah adalah dengan menauhidkan-Nya. Berdasarkan hal ini kita bisa menyatakan bahwa seorang yang mempersekutukan Allah dalam peribadatannya (berbuat syirik) adalah seorang yang berakhlak buruk, meski dia dikenal sebagai pribadi yang baik kepada sesama.

Demikian pula, kita bisa menyatakan dengan lebih jelas lagi bahwa seorang yang dikenal akan kebaikannya kepada sesama manusia, jika dia berbuat syirik seperti memakai jimat[6], mendatangi dukun[7], menyembelih untuk selain Allah[8], mendatangi kuburan para wali untuk meminta kepada mereka[9], maka dia adalah seorang yang berakhlak buruk.

Maka, dari penjelasan di atas, kita bisa memahami perkataan Syaikhul Islam Ibnu Tamiyah rahimahullah berikut,

الذنوب مع صحة التوحيد خير من فساد التوحيد مع عدم هذه الذنوب

["Berbagai dosa (yang terdapat pada diri seorang), namun masih dibarengi dengan tauhid yang benar itu masih lebih baik daripada tauhid yang rusak meskipun tidak dibarengi dengan berbagai dosa."][10]

Jangan dipahami bahwa beliau mengenyampingkan atau menganggap ringan perbuatan dosa dengan perkataan tersebut. Namun, beliau menerangkan bahwa perbaikan tauhid dengan menjauhi kesyirikan merupakan proritas pertama yang harus diperhatikan oleh kita sebelum menjauhi berbagai bentuk dosa lain yang tingkatannya berada di bawah dosa syirik.

• Imbas lain dari penyempitan makna akhlak sebagaimana dikemukakan di atas adalah anggapan bahwa akhlak yang baik kepada manusia itu lebih penting daripada tauhid. Akibatnya, rata-rata materi dakwah para da’i adalah berkutat pada upaya menyeru manusia untuk berbuat baik pada sesamanya dan menomorduakan dakwah tauhid, kalau tidak mau dikatakan bahwa mereka memang tidak pernah menyampaikan materi tauhid kepada mad’u.

Hal ini tidak lain disebabkan karena mereka belum mengetahui definisi akhlak yang disebutkan oleh para ulama seperti yang dikemukakan oleh Imam Ibnu Rajab dan Ibnul Qayyim rahimahumallah di atas. Sehingga, tatkala mereka membaca hadits-hadits nabi seperti, “ Kebajikan itu keluhuran akhlaq “; “Tidak ada amalan yang lebih berat apabila diletakkan di atas mizan daripada akhlak yang baik.”; “Apa karunia terbaik yang diberikan kepada hamba?, nabi menjawab. “Akhlak yang baik.”, mereka berkeyakinan bahwa hadits-hadits tersebut menunjukkan bahwa berakhlak baik kepada sesama lebih tinggi derajatnya daripada menauhidkan Allah ta’ala secara mutlak.

• Di akhir artikel ini, kami kembali mengingatkan bahwa akhlak yang baik kepada Allah, itulah yang harus menjadi fokus perhatian dalam pembenahan diri kita, dan yang menjadi fokus utama adalah bagaimana kita berusaha membenahi tauhid kita kepada Allah. Jika kita memiliki interaksi yang baik dengan-Nya, dengan menauhidkan-Nya, mengerjakan segala perintah dan menjauhi larangan-Nya, niscaya Allah ta’ala akan memudahkan kita untuk berinteraksi yang baik (baca: berakhlak yang baik) dengan sesama. Itulah makna yang kami pahami dari sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من التمس رضى الله بسخط الناس رضي الله عنه وأرضى الناس عنه ومن التمس رضا الناس بسخط الله سخط الله عليه وأسخط عليه الناس

["Barangsiapa mencari ridha Allah meski dengan mengundang kemurkaan manusia, niscaya Allah akan ridha kepadanya dan akan membuat manusia juga ridha kepadanya. Dan barangsiapa yang mencari ridha manusia dengan mengundang kemurkaan Allah, niscaya Allah akan murka kepadanya dan akan membuat manusia turut murka kepadanya."][11]

Waffaqaniyallahu wa iyyakum.

Diadaptasi dari al Mau’izhatul Hasanah fil Akhlaqil Hasanah karya Syaikh Abdul Malik Ramadhani

Buaran Indah, Tangerang, Banten 29 Jumadits Tsani 1431 H.

Penulis: Muhammad Nur Ichwan Muslim

Artikel www.muslim.or.id

________________________________________

[1] HR. Muslim: 2553.

[2] Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hlm. 252-253. Asy Syamilah.

[3] Tahdzibus Sunan sebagaimana tertera dalam catatan kaki ‘Aunul Ma’bud 13/91.

[4] HR. Bukhari: 5912; Muslim: 30.

[5] HR. Muslim: 214.

[6] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang memakai jimat, sungguh dia telah berbuat syirik.” (HR. Ahmad: 17458).

[7] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mendatangi dukun lalu membenarkan perkataannya, atau mengauli istrinya yang sedang haidh, menyetubuhi dubur istrinya, maka sesungguhnya dia telah berlepas diri dari ajaran yang diturunkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Abu Dawud: 3408; Tirmidzi: 135; dan selain mereka).

[8] Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah melaknat orang yang menyembelih (baca: memberikan sesajen) untuk selain Allah.” (HR. Muslim: 1978).

[9] Allah ta’ala berfirman mengenai ucapan orang-orang musyrik, yang artinya, “Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: “Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada Kami di sisi Allah.” (Yunus: 18).

[10] Al Istiqamah 1/466; Asy Syamilah.

[11] HR. Ibnu Hibban: 276.

No comments:

Post a Comment