29/8/2008 | 26 Sya'ban 1429 H | Hits: 4.471
Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MAdakwatuna.com - “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 183)
Merupakan satu rahmat Allah swt. bahwa Ayatus Shiyam, yaitu ayat-ayat yang berbicara tentang puasa dalam berbagai pembahasannya dapat dengan mudah ditemukan karena berada pada satu surah secara berurutan di dalam surah Al-Baqarah dari ayat 183 hingga ayat 187. Dan ayat di atas merupakan ayat pertama yang menjadi landasan qath’i –pasti- atas kewajiban puasa bagi seluruh umat Islam.
Dari kelima ayat yang berada dalam susunan ayatus shiyam, ternyata terdapat satu ayat yang berbeda dari segi pembahasannya. Ayat ini justru berbicara tentang kedekatan Allah dengan hamba-hamba-Nya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (Al-Baqarah: 186). Meskipun demikian, masih tetap dapat ditemukan korelasi ayat ini dengan keempat ayatus shiyam.
Bulan Ramadhan yang dikenal juga dengan syahrul ibadah dan syahrud du’a merupakan bulan yang sangat tepat dan memang diperuntukkan oleh Allah swt. kepada seluruh hamba-Nya untuk menjalin dan memperkuat komunikasi dan hubungan yang baik dengan-Nya. Betapa pernyataan kedekatan Allah swt. dengan hamba-hamba-Nya pada susunan ayatus shiyam harus dijadikan sebagai kekuatan motivasi untuk memperbaiki hubungan dengan-Nya yang selama ini terasa sangat jauh dan kurang harmonis. Inilah salah satu rahasia kenapa ayat 186 ini mengapit ayatus shiyam sebagai bagian dari makna ta’abbudi –nilai peribadatan- yang bisa digali daripadanya.
Secara aplikatif dalam menjalankan seluruh paket Ramadhan; dari berpuasa, sholat tarawih dan qiyamul lail, tilawah Al-Qur’an, sampai dengan puncaknya i’tikaf tentu sangat membutuhkan pertolongan Allah swt., maka Allah swt. membuka pintu lebar-lebar bagi hamba-hamba-Nya untuk memohon pertolongan kepada-Nya agar senantiasa berada dalam jalan kebenaran “La’allahum Yarsyudun”. Apalagi dalam konteks makna ta’abbudi seperti yang disebutkan oleh Syekh Musthafa Masyhur dalam bukunya Fiqh Da’wahbahwa salah satu prinsip yang sangat mendasar dan harus senantiasa dijaga adalah memberi perhatian terhadap masalah tarbiyah –pendidikan- dan aspek ibadah ritual. Kedua hal ini ibarat ruh yang ada pada tubuh manusia, baik dalam skala individu maupun dalam skala kelompok atau jama’ah. Pengabaian akan interaksi dan makna ta’abbudi dalam bulan Ramadhan bisa menjauhkan seseorang dari target yang telah ditetapkan Allah “La’allakum Tattaqun”.
Makna lain yang bisa digali dari ayatus shiyam seperti yang dituturkan oleh Dr Yusuf Al-Qaradawi dalam bukunya “Al-Ibadah fil Islam” adalah makna “Al-Imsak” yaitu menahan dan mengendalikan diri dengan segenap pengertian yang terkandung di dalamnya. Dan inilah inti dan hakikat dari ibadah puasa yang menghantarkan seseorang kepada derajat muttaqin. Karena diantara sifat yang menonjol dari seorang muttaqin ada pada pengendalian dirinya. Allah swt. menegaskan, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. (yaitu) Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”. (Ali Imran: 133-134). Hanya orang yang mampu menahan dirinya dari keinginan kepada harta yang berlebih yang siap memberikan infaknya dalam keadaan lapang dan sempit. Demikian juga, hanya orang yang mampu mengendalikan emosinya yang bisa bersabar dan memaafkan orang lain. Bahkan dalam keadaan ia mampu melampiaskan amarahnya. Wajar jika Allah menganugerahkan balasan yang cukup tinggi kepada siapa yang mampu mengendalikan dirinya seperti yang disabdakan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi, “Barangsiapa yang mampu menahan amarahnya, padahal ia mampu melampiaskannya, maka ia akan dipanggil oleh Allah di depan para mahklukNya yang mulia dan ia diberi kesempatan untuk memilih diantara bidadari yang ia inginkan”.
Secara korelatif juga, ayat yang mendampingi sesudah ayatus shiyamternyata berbicara dalam konteks menahan diri, terutama dari harta orang lain yang bukan miliknya,
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (Al-Baqarah: 188).
Demikian juga dengan ayat yang mendampingi sebelumnya yaitu ayat 181-182 yang berbicara tentang harta pusaka yang dikhawatirkan terjadi penyelewengan padanya.
Makna lain yang cukup fenomenal yang bisa disaksikan sepanjang bulan puasa adalah makna ukhawi, dalam arti kebersamaan dan solidaritas. Dr. Sayyid Nuh dalam bukunya, Al-Fardhiyah wal-Jamaa’iyah fil-Insanmenyatakan:
“Ibadah puasa adalah bentuk ibadah kebersamaan umat Islam, sekaligus persamaan dalam menahan rasa lapar dan dahaga pada waktu tertentu.”.
Dalam skala keluarga, pembiasaan bangun malam yang diteruskan dengan sahur bersama seluruh anggota keluarga di bulan Ramadhan harus menjadi agenda harian dari makna ukhawi yang berkesinambungan. Ditambah dengan momen silaturahim yang banyak berlangsung sepanjang bulan Ramadhan dalam bentuk buka bersama misalnya merupakan nilai yang luhur dari pemaknaan Ramadhan.
Rasulullah saw. sendiri merupakan contoh ideal sepanjang zaman:
“Rasulullah saw adalah orang yang paling pemurah, terlebih lagi di bulan Ramadhan. Bulan dimana beliau selalu ditemui oleh Jibril. Jibril menemuinya setiap malam bulan Ramadhan untuk bertadarrus Al-Qur’an. Sungguh bila Rasulullah bertemu dengan Jibril, beliau lebih pemurah lagi melebihi hembusan angin kencang.” (H.R. Muttafaq Alaih)
Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa beberapa sahabat pernah mengadu kepada Nabi saw.,
“Wahai Rasulullah, kami makan tapi tidak kenyang?” Beliau berkata, “Semoga ini karena kalian makan sendirian”. Mereka berkata, “ya.” Rasulullah bersabda, “Berkumpulah pada makanan kalian (makan bersama) dan sebutlah nama Allah, semoga Dia akan memberi berkah kepada kalian.” (Muttafaq Alaih).
Bahkan belajar suatu ilmu dan mengajarkannya tidak ada berkah padanya kecuali dilakukan dengan bersama. Nabi saw. Bersabda:
“Tidaklah berkumpul suatu kaum di rumah dari rumah-rumah Allah ta’ala dengan membaca Kitabullah dan mempelajarinya satu sama lain antara mereka, kecuali akan diturunkan kepada mereka ketenangan, mereka diselimuti rahmat dan malaikat mengelilingi mereka, serta Allah menyebut mereka di sisi-Nya.” (HR. Abu Daud)
Demikian, Islam memandang kebersamaan umat Islam merupakan suatu tuntutan yang sangat urgen. Karena manusia jika tidak bersama dalam kebenaran, maka mereka akan bersama dalam kebatilan. Begitu pula, jika mereka tidak berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan akhirat, mereka pasti akan bersaing dalam mendapatkan perhiasan dunia. Berulang kali perintah Allah swt. tidak ditujukan secara redaksional kepada individu (perorangan), baik dalam bentuk perintah maupun larangan. Tetapi ditujukan kepada seluruh orang yang beriman, dengan bentuk pengajaran dan petunjuk. Termasuk dalam perintah puasa, “Wahai sekalian orang-orang yang beriman”.
Mudah-mudahan semakin banyak pemaknaan yang kita lakukan terhadapAyatus shiyam, maka akan semakin dapat memperkuat motivasi kita untuk melaksanakan seluruh paket Ramadhan dengan baik dan berkesinambungan sehingga kita termasuk di antara golongan yang mampu meraih predikat takwa yang dijanjikan Allah swt. Amin. Allahu a’lam
No comments:
Post a Comment