- Dikutip dari Eramuslim.com
Ajaran Islam tentang nilai-nilai hidup yang utama menyangkut semua segi kehidupan dan kegiatan manusia. Menurut Islam, tidak ada satupun segi kehidupan yang bersifat duniawi semata-mata. Setiap segi kehidupan manusia, termasuk masalah ekonomi, adalah bersifat spiritual, bila dilaksanakan sesuai dengan tujuan dan nilai-nilai Islam.
Ujian dan nilai-nilai inilah yang menentukan sifat sistem ekonomi Islam. Karena itu, pemahaman yang tepat akan tujuan dan nilai-nilai ini adalah mutlak perlu untuk mendapat gambaran perspektif sistem ekonomi Islam.
Tujuan dan nilai-nilai ekonomi Islam tersebut adalah :
1. Kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma-norma moral Islam.
2. Persaudaraan dan keadilan universal.
3. Distribusi pendapatan yang adil.
4. Kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
Keempat tujuan dan nilai-nilai tersebut di atas belumlah mencakup semua tujuan dan nilai-nilai ekonomi Islam, tetapi telah cukup memberikan kerangka yang memadai untuk mendiskusikan dan menyusun sistem ekonomi Islam dan menjelaskan ciri-ciri ekonomi Islam, yang membedakannya dari kedua sistem ekonomi yang menguasai sebagian besar dunia: kapitalisme dan sosialisme atau marxisme.
1. Kesejahteraan ekonomi dan norma-norma moral Islam
Berbicara tentang kesejahteraan ekonomi dan norma-norma yang berkaitan dengannya, Qur’an mengatakan:
“Wahai manusia! Nikmatilah apa yang halal dan baik dimuka bumi ini, tapi janganlah kamu ikuti langkah-langkah syetan” (QS. 2:168).
“Makan dan minumlah dari rizki yang telah diberikan Allah dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi” (QS. 2:60).
“Wahai orang-orang beriman! Janganlah kalian haramkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan Allah bagimu; tapi janganlah kalian semua melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Dan makanlah dari rizki yang halal dan baik yang telah diberikan Allah kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu semua beriman” (QS. 5:87-88).
Ayat-ayat tesebut di atas, dan banyak lagi ayat-ayat lain yang serupa, menyampaikan pokok-pokok ajaran Al-Qur’an dalam masalah ekonomi. Islam menyerukan para pemeluknya untuk menikmati anugerah Allah dan melarang memberi batas kuantitatif terhadap pertumbuhan material masyarakat Islam. Bahkan Islam menyamakan usaha untuk mencapai kesejahteraan material dengan amal shalih.
“Dan bila shalat telah usai, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah anugerah Allah.....” (QS. 62:10).
“Bila Allah memberi kesempatan untuk mencari rizki kepada salah seorang di antaramu, maka hendaklah ia memanfaatkannya sampai habis atau sampai ia tidak menyukainya” (HR. Ibnu Majah, dalam Sunan-nya, 2:727).
“Seorang Muslim yang menanam pohon atau menanami sebidang tanah sedemikian rupa hingga burung, manusia, atau binatang makan dari padanya, maka tindakannya itu termasuk sedekah” (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya 3:128; dan Muslim, dalam Shahih-nya, 3:1189).
“Barangsiapa yang mencari harta duniawi dengan cara yang halal untuk menghindarkan diri dari meminta-minta (mengharap uluran tangan orang lain), dan untuk berbuat baik kepada tetangganya, maka ia akan menemui Allah dengan wajah bersinar seperti bulan purnama” (HR. Baihaqi, dalam Misykat, 1:658).
Islam bahkan mengajarkan lebih jauh lagi. Islam menyerukan para pemeluknya untuk menguasai dunia dan mengeksplorasi alam, karena menurut Qur’an semua sumber daya di langit maupun di bumi diciptakan untuk kepentingan manusia.
“Sesungguhnya Allah telah menundukkan bagimu segala yang ada di langit dan segala yang ada di bumi dan memberikan karunianya kepadamu, baik yang nyata maupun yang tersembunyi” (QS. 31:20). Lihat juga: 14:32-33; 16:12-14; 22:65; dan 45:12.
Jelaslah, kita bisa menyimpulkan bahwa pencapaian kesejahteraan ekonomi harus menjadi salah satu dari tujuan-tujuan ekonomis masyarakat Islam, karena hal itu merupakan manifestasi dari usaha yang terus menerus, melalui riset dan pengembangan teknologi, untuk memanfaatkan sumber-sumber daya yang disediakan Allah untuk kepentingan dan peningkatan kualitas hidup manusia, dan dengan demikian menunjang usaha untuk mencapai tujuan diciptakannya manusia.
Islam melarang pemeluknya untuk mengemis atau mengharap uluran tangan dan belas kasihan orang lain, tetapi menyuruh mereka untuk berusaha sendiri mencari nafkah, betapapun sulitnya.
“Jangan meminta suatu apapun dari orang lain” (HR. Abu Dawud, dalam Sunan-nya, 1:382).
“Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah” (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 2:133).
“Tidak ada penghasilan yang lebih baik yang diperoleh seseorang daripada hasil kerjanya sendiri” (HR. Ibnu Majah, dalam Sunan-nya, 2:723).
Dari dalil tersebut kita bisa menyimpulkan bahwa salah satu tujuan-tujuan ekonomis masyarakat Islam haruslah berupa menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomis yang sedemikian rupa hingga mereka yang ingin bekerja dan yang mencari pekerjaan dapat memperoleh pekerjaan yang menguntungkan sesuai dengan kemampuan mereka.
Bila hal ini tidak tercapai, maka masyarakat Islam tidak bisa dikatakan berhasil dalam tujuannya, bahkan dalam tujuan spiritualnya pun. Karena orang-orang yang tidak punya mata pencaharian akan hidup sengsara tak terkira, kecuali bila mereka bergantung pada sedekah atau menjadi pengemis, atau melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan moral. Padahal, hal-hal tersebut, terutama dua hal yang disebut terakhir, adalah bertentangan sekali dengan jiwa Islam.
Penekanan Islam terhadap kesejahteraan ekonomi bersumber dari pesan yang dibawanya sendiri. Islam datang dengan fungsi sebagai “rahmat” bagi seluruh umat manusia, dengan tujuan membuat hidup lebih berkecukupan dan berharga, bukannya lebih miskin dan penuh kesusahan. Berkata Al-Qur’an:
“Tiadalah Kami mengutusmu melainkan sebagai rahmat bagi seluruh manusia” (QS. 21:107).
“Wahai manusia! Sungguh telah datang kepadamu suatu peringatan dari Rabb-mu, dan penyembuh bagi (penyakit) yang ada dalam hatimu, dan bagi orang-orang yang beriman, suatu bimbingan dan rahmat” (QS. 10:57).
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, bukannya kesukaran” (QS. 2:185).
“Allah berkehendak untuk meringankan bebanmu, karena manusia diciptakan dalam keadaan lemah” (QS. 4:28).
“Allah tidak berkehendak memikulkan beban ke atas pundakmu, tapi Dia berkehendak untuk mensucikan kamu dan melengkapkan anugerah-Nya kepadamu agar kamu semua bersyukur” (QS. 5:6).
Berdasarkan ayat-ayat Al-Qur’an ini, para ahli hukum Islam seluruhnya setuju bahwa melayani kebutuhan orang banyak dan meringankan kesulitan-kesulitan mereka adalah tujuan utama syari’ah.
Imam Ghazali menyatakan bahwa maqashidusy-syari’ah (tujuan syari’ah) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kuncinya terletak pada penjagaan iman, hidup, akal, anak keturunan, dan harta benda mereka; dan bahwa karena itu apa pun yang memantapkan kelima hal ini berarti telah melayani kepentingan masyarakat dan dinilai baik sekali.
Ibnul Qayyim menekankan bahwa dasar syari’ah adalah kebijaksanaan dan kesejahteraan masyarakat di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan ini terletak pada keadilan yang penuh, belas kasih, kemakmuran dan kebijaksanaan. Apa pun yang menyimpang dari keadilan dan mencerminkan penindasan, kekejaman, kesengsaraan, sama sekali tak ada hubungannya dengan syari’ah.
Seorang Muslim mungkin saja berlaku berlebihan untuk mengejar tingkat ekonomi yang lebih makmur dan sejahterta dengan menempatkan kesejahteraan material itu sendiri sebagai tujuan sedang nilai-nilai spiritual diabaikannya.
Dengan kata lain, ia mencari kekayaan dengan cara-cara yang tidak jujur, mengeksploitir orang lain, memperlakukan orang lain dengan zhalim dan tidak adil, dan tidak berusaha meningkatkan kesejahteraan orang lain dengan apa yang dimiliki atau disimpannya. Dengan demikian, karena Islam juga berusaha untuk “mensucikan” hidup, maka Qur’an dengan jelas memperingatkan kaum Muslimin akan bahaya ini:
“Apabila shalat telah usai, maka bertebaranlah kamu semua di muka bumi mencari karunia Tuhan-mu, serta ingatlah kepada Allah banyak-banyak agar kamu semua berjaya” (QS. 62:10).
Pada umumnya para Ulama menafsirkan kalimat “mengingat Allah banyak-banyak”, sebagai menjalani kehidupan dengan penuh tanggung jawab moral sesuai dengan norma-norma Islam, bukan mencurahkan sebagian besar waktu hanya untuk berdo’a atau menghitung-hitung butir tasbih, mencari rizki hanya dengan cara-cara yang dibenarkan dan meninggalkan cara-cara yang tidak dibenarkan, dan memandang harta sebagai sesuatu yang akan diperhitungkan Allah kelak. Nabi saw mengingatkan:
“Takutlah pada Allah dan bersikap sederhanalah dalam mencari kekayaan; ambillah hanya yang dihalalkan dan tinggalkanlah yang diharamkan Allah” (HR. Ibnu Majah, dalah Sunan-nya, 2:725).
Dalam konteks ini mungkin akan lebih mudah untuk memahami ayat-ayat Qur’an dan Hadits yang menekankan bahwa sifat dunia ini dan segala isinya adalah bersifat sementara. Tetapi, sifat sementara disini bukanlah dalam arti mutlak, melainkan dalam hubungannya dengan nilai-nilai spiritual.
Apabila harta benda dunia bisa diperoleh tanpa mengorbankan cita-cita spiritual, maka meninggalkan usaha mencari harta benda tidak lagi mengandung nilai kesalehan, seperti dikatakan oleh Rasulullah saw: “Tidak ada salahnya harta benda bagi orang-orang yang takut kepada Allah” (HR. Bukhari, dalam Shahih-nya, 1:113).
Tetapi apabila terjadi konflik, maka kita harus merasa puas dengan apa yang kita peroleh dengan jalan yang benar, walaupun hanya sedikit, seperti dinyatakan oleh Al-Qur’an:
“Katakanlah: Yang buruk dan yang baik tidaklah sama, meskipun banyaknya yang buruk memukau pandanganmu; karena itu peliharalah kewajibanmu terhadap Allah, wahai orang-orang yang mengerti, agar kamu semua memperoleh kejayaan” (QS. 5:100).
Seseorang yang lebih memperhatikan nilai-nilai Islam yang abadi daripada kesenangan duniawi tidak akan ragu-ragu berkorban seperti ini karena ia mengerti dan menghayati apa yang dimaksud oleh Nabi dengan sabdanya bahwa: “Cinta kepada dunia adalah sumber segala kejahatan” (HR. Baihaqi, Misykat, 2:659), dan bahwa: “Siapa saja yang mencintai dunia akan mengalami kerugian di akhirat, dan siapa saja yang mencintai akhirat akan mengalami hambatan di dunia; karena itu pilihlah yang abadi daripada yang semu dan sementara” (HR. Ahmad, dalam Musnad-nya, 2:562).
Ucapan-ucapan Nabi ini menjelaskan cara Islam menciptakan keserasian antara materi dan moral, dengan mendesak pemeluk-pemeluknya untuk berusaha mencapai kesejahteraan material, tetapi pada waktu yang sama juga menekankan agar mereka menempatkan usaha material tersebut di atas dasar moral dan dengan demikian memberikan orientasi spiritual kepada usaha material.
“Dan berusahalah untuk mencapai tempat kediaman di akhirat dengan apa yang dianugerahkan Allah kepadamu, tapi jangan kamu lupakan bagian keduniaanmu; dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah berbuat kerusakan di muka bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan” (QS. 28:77).
“Orang yang paling baik adalah yang mementingkan masalah-masalah keduniaan disamping masalah-masalah keakhiratan” (HR. Ibnu Majah, dalam Sunan-nya, 2:725).
“Bukanlah yang terbaik diantaramu yang mengabaikan urusan dunia demi akhiratnya, bukan pula yang mengabaikan akhiratnya demi urusan dunianya. Yang paling baik diantaramu adalah orang yang mengambil bagian dari keduniaan di samping keakhiratan” (HR. Mawardi, dalam Al-Jami’ush-Shaghir, Syuyuti, 2:135).
Penekanan yang sama pada segi hidup material dan spiritual ini adalah ciri yang unik dari sistem ekonomi Islam. Masalah spiritual dan material telah dijalin satu dengan yang lain agar keduanya dapat berfungsi sebagai sumber kekuatan yang saling menunjang dan bersama-sama menunjang kesejahteraan hidup yang sejati. Pengabaian salah satu dari keduanya akan mengakibatkan tak tercapainya kesejahteraan hidup yang sejati.
Kalau hanya kesejahteraan material saja yang diperhatikan dan dibiarkan saja timbul ketidak-serasian moral dan kultural, maka akan timbul ketimpangan-ketimpangan yang semakin meningkat, seperti depresi, stres, frustasi, kejahatan, perselingkuhan, perceraian, penyakit-penyakit kejiwaan dan bunuh diri, yang semuanya itu menunjukkan tidak adanya kebahagiaan batin dalam kehidupan individu.
Sebaliknya kalau hanya kebutuhan spiritual saja yang diperhatikan, maka hidup menjadi tidak praktis dan tidak realistis, dan akan menimbulkan dikotomi serta konflik antara nilai-nilai material dan spiritual, yang bisa mengancam seluruh nilai-nilai yang ada di masyarakat.
Sintesa antara masalah material dan spiritual inilah yang tidak terdapat pada sistem kapitalisme maupun komunisme. Karena pada dasarnya, keduanya adalah sekuler dan tidak mengandung nilai-nilai moral, atau bersikap netral terhadap moral.
Memang, tidak bisa diingkari keberhasilan sistem kapitalisme dalam masalah efisiensi mekanisme produksi dan peningkatan standar hidup material, juga keberhasilan sistem sosialisme dalam usaha mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Tetapi baik sistem kapitalisme maupun sosialisme telah mengabaikan kebutuhan-kebutuhan spiritual dalam diri manusia, yang berdampak munculnya anarkhisme pada segenap sendi-sendi kehidupan masyarakat. (bersambung)
No comments:
Post a Comment