Fiqih Dakwah
5/2/2010
19 Shafar 1431 H
Hits: 2.726
Oleh: Mochamad Bugi
--------------------------------------------------------------------------------
dakwatuna.com - Dalam pandangan Islam, manusia itu pada dasarnya adalah makhluk suci, dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.
Pandangan tersebut merupakan pandangan yang sangat positif dan optimistik tentang manusia. Allah swt. dalam Al-Quran menyebut manusia sebagai makhluk yang paling baik atau paling sempurna. “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia itu dalam bentuk yang sebaik-baiknya.” [Q.S. At-Tin (95): 4]
Islam juga mengakui bahwa manusia adalah makhluk yang diberi kemuliaan. “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”
Salah satu contoh aplikasi pandangan positif dan optimistik Islam tentang manusia adalah penyebutan hati (qalbu) dengan istilah nurani (nuuraaniyyun). Kata ini berasal dari kata ‘nuur’ yang artinya cahaya. Jadi, nurani berarti memiliki sifat cahaya. Dengan demikian ketika kita menyebut ‘hati nurani’ sesungguhnya terkandung maksud bahwa hati kita itu memiliki kemampuan untuk ‘mencahayai’ atau ‘menerangi’ jalan hidup kita. Karena itulah Rasulullah saw. ketika ditanya seseorang tentang cara membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan buruk, beliau menjawab, “Sal dhamiraka, tanyalah kepada hatimu!”
Atas jawaban Rasulullah tersebut –bahwa hati kita memiliki kemampuan untuk menerangi jalan hidup kita—kaum sufi sering menyebut hati sebagai “ad-diin” (agama). Maksudnya, agama yang ditanam di dalam diri manusia (ad-diin al-majbuulah) dan sangat klop dengan agama yang diturunkan dari langit (al-diin al-munazzalah), yaitu Al-Islam.
Meski begitu, Islam juga memberi catatan tentang kelemahan manusia. “… dan manusia dijadikan bersifat lemah.” [Q.S. An-Nisa’ (4): 28]. Kelemahan manusia di sini adalah kelemahan jiwa. Manusia mudah tergoda untuk berbuat dosa dan mengotori kesucian jiwanya. Kelamahan inilah yang membuat manusia keluar dari kesejatiannya sebagai makhluk yang suci dan mulia.
Dalam kondisi jiwa yang kotor penuh dosa, derajat manusia bisa menjadi lebih rendah dari binatang sekalipun. “… mereka memiliki hati, tetapi tidak dipergunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka memiliki mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengarkan (ayat-ayat Allah). Mereka seperti hewan ternak, bahkan lebih sesat lagi….” [Q.S. Al-A’raf (7): 179].
Terhadap orang-orang yang “terpeleset” dari kesejatiannya, Allah swt. memberi kesempatan dan banyak sekali fasilitas untuk membersihkan diri dari segala kotoran jiwa yang melekat. Mulai dari istighfar –ucapan “astaghfirullah al-azhim, aku mohon ampun kepada Allah Yang Mahatinggi– yang bisa digunakan kapanpun dan bersifat manasuka; fasilitas lima kesempatan dalam sehari melalui shalat wajib; hingga fasilitas pekanan dengan shalat Jum’at. Bagi yang menunaikan shalat Jum’at sesuai tuntunan Rasulullah saw., Allah swt. memberi ampunan dosa dari shalat Jum’at ke shalat Jum’at berikutnya.
Dan yang paling spektakular adalah fasilitas tahunan: Ramadhan! Kata Rasulullah saw., “Man shaama ramadhaana iimaanan wahtisaaban ghufira lahu maa taqaddama min dzambiihi wa maa ta-akhkhara, siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan iman dan perhitungan, diampuni segala dosanya di masa lalu dan di masa yang akan datang.” (H.R. Ahmad dalam musnadnya, Vol. II, hlm 385. No. 8989. Tambahan “wa maa ta-akhkhara” oleh sejumlah pakar hadits dinilai lemah riwayatnya, tapi kalimat selain itu disepakati berderajat shahih).
Begitulah Ramadhan. Sesuai dengan arti namanya “pembakar”, Ramadhan membakar semua dosa-dosa seseorang muslim sehingga ia kembali ke jatidirinya sebagai insan yang suci seperti ketika dilahirkan (fitrah).
Segala fasilitas ampunan yang Allah swt. berikan kepada manusia yang berdosa untuk kembali kepada fitrahnya adalah alasan bagi seorang dai untuk tidak ada alasan untuk tidak berdakwah kepada orang yang pembangkangannya kepada Allah swt. sekelas Fir’aun sekalipun. “Pergilah kamu berdua (Musa dan Harun) kepada Fir’aun karena dia benar-benar telah melampaui batas; maka bicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lembah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut.” [Q.S. Thaha (20): 42-43].
Begitulah Allah swt. Kata Rasulullah saw., “Allah mengembangkan tanganNya pada waktu malam untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan keburukan di waktu siang, dan mengembangkan tanganNya di waktu siang untuk memberi tobat kepada orang yang melakukan dosa di waktu malam. Hal itu terus berlangsung hingga matahari terbit dari barat (kiamat).” (H.R. Bukhari)
“Allah lebih senang mendapati hambaNya yang bertobat melebihi dari kegembiraan seseorang dari kalian yang kembali menemukan hewan kendaraannya yang penuh bekal makanan setelah ia kehilangannya di padang pasir,” tambah Rasulullah saw. (H.R. Bukhari).
Jadi, tidak ada dalam kamus seorang dai kalimat “sudah tinggalin saja, dia sih sudah gak bisa dibenerin lagi!” Sebab, seorang dai selalu memakai kacamata positif dalam memandang manusia. Siapa pun dia selama sebutannya masih manusia dan belum masuk kubur, adalah makhluk suci, dilahirkan dalam keadaan suci, dan bisa kembali lagi pada kesuciannya.
No comments:
Post a Comment