Jama’ah Jum’at rahimakumullah, mari kita bersyukur kepada AllahSubhanahu wa Ta’ala yang telah memberikan berbagai keni’matan, terutama ni’mat Iman dan Islam. Karena Allah akan menambahi ni’mat itu bagi orang-orang yang bersyukur.
Shalawat dan salam semoga Allah tetapkan atas Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, para keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman.
Di samping itu, marilah kita meningkatkan taqwa kita kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan jangan sampai mati kecuali dalam keadaan muslim.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, sebagai orang Muslim, kita mesti konsekuen dengan Islam, tidak menawar-nawar, dan tidak memilih-milih mana yang sesuai hawa nafsu baru kita pilih. Sedang yang dianggap tak sesuai hawa nafsu lalu diabaikan bahkan ditolak. Itu bukan pribadi orang mu’min. karena Allah Ta’ala telah memperingatkan:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا [الأحزاب/36]
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs Al-Ahzab/ 33: 36).
Imam Ibnu Katsir menjelaskan dalam Kitab Tafsirnya, ayat ini umum mengenai seluruh perkara, dan yang demikian itu bahwasanya apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan hukum mengenai sesuatu maka tidak ada seorang pun berhak menyelisihinya, dan tidak ada pilihan (lain lagi) bagi seseorang di sini. Tidak ada pendapat dan tidak ada perkataan (sebagai pilihan lain). Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
: { فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا } [النساء:65]
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya. (QS An-Nisaa’: 65).
Dalam hadits:
: "والذي نفسي بيده، : لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُونَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ ". (الحكيم ، وأبو نصر السجزى فى الإبانة وقال - حسن غريب - والخطيب عن ابن عمرو) حديث حسن صحيح
Demi Dzat yang jiwaku ada di Tangan-Nya, tidak beriman seseorang dari kamu sekalian sehingga menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa dengannya (yakni Islam ini). (HR Al-Hakim, hasan shahih menurut An-Nawawi dalam Hadits Arba’in)
Oleh karena itu Allah mengeraskan ancaman terhadap yang menyelisihi hal itu, dengan berfirman:
{ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا }
Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (Qs Al-Ahzab/ 33: 36).
Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
{ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ } [النور:63].
“..maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS An-Nur: 63).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Ketika kita menjadi orang Islam, sebenarnya kita telah menetapkan pilihan, Islam sebagai agama yang kita peluk, kita imani dengan yakin. Hingga seharusnya kalau ada pertanyaan: Pilih Islam atau lainnya, maka jawab kita adalah pilih Islam. Tetapi benarkah kita memang pilih Islam secara konsekuen?
Coba mari kita tanya pada diri kita: Dalam hal prinsip hidup, apakah kita pilih Islam? Bila jawabnya ya, maka perlu kita bertanya pada diri: Bagaimana menjalani hidup ini. Apakah dalam mencari makan sudah sesuai dengan Islam, yakni mencari yang halal dengan cara yang halal, lalu dipergunakan dalam hal yang halal pula?
Dalam memimpin keluarga apakah pilih Islam, yakni memberi makan, memberi pakaian, dan segala aturan sesuai dengan Islam? Bila jawabnya ya, maka di jalan-jalan tidak ada lagi Muslimah yang pakai celana pendek, pakaian ketat memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh dan sebagainya. Kenyataannya, justru yang berpakaian secara Islami jumlahnya sedikit, dan yang melanggar Islam justru banyak. Padahal sama-sama mengeluarkan biaya untuk beli pakaian, namun ketika yang dipilih adalah bukan yang Islam, maka biaya yang dikeluarkan itu hanya untuk menuju neraka. Karena dalam hal pakaian wanita, ada ancaman yang sangat dahsyat:
bersabda:Nabi
صِنْفَانِ مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَمْ أَرَهُمَا بَعْدُ : رِجَالٌ مَعَهُمْ سِيَاطٌ كَأَذْنَابِ الْبَقَرِ يَضْرِبُوْنَ بِهَا النَّاسَ – يَعْنِيْ ظُلْمًا وَعُدْوَانًا – وَ نِسَاءٌ كَاسِيَاتٌ عَارِيَاتٌ مَائِلاَتٌ مُمِيْلاَتٌ ...
Dua golongan orang yang merupakan calon pengisi neraka yang belum saya lihat mereka itu : Laki-laki yang memiliki cemeti/ cambuk bagaikan ekor sapi yang dengannya mereka memukuli orang, dan wanita-wanita yang kasiyat ‘ariyat (berpakaian tetapi telanjang) mailat mumilat (menyimpang dari kebenaran dan mengajak orang lain untuk menyimpang) (HR Muslim dan lainnya).
Sabdanya,” kasiyat ‘ariyat,” telah ditafsirkan:
1. Bahwa mereka itu berpakaian dengan pakaian pendek yang tidak menutupi aurat yang harus ditutup,
2. dan ditafsirkan bahwa mereka mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi kulitnya dari pandangan di baliknya,
3. dan ditafsirkan juga bahwa mereka mengenakan pakaian ketat yang memang menutupi kulit dari pandangan namun tetap menampakan lekuk dan bentuk kemolekan tubuh wanita.
Oleh sebab itu tidak boleh bagi wanita mengenakan pakaian-pakaian ketat/sempit ini kecuali hanya di hadapan suaminya saja, karena di antara suami :isteri tidak ada aurat, berdasarkan firman-Nya
وَالَّذِيْنَ هُمْ لِفُرُوْجِهِمْ حَافِظُوْنَ إِلاَّ عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُوْمِيْنَ المؤمنون 5-6
Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (Al Mu’minun 5-6).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, selain kita tidak boleh memilih-milih apa yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, perlu pula mendudukkan Islam pada proporsinya, yaitu tinggi dan tidak diungguli. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
{ الْإِسْلَامُ يَعْلُو وَلَا يُعْلَى } .أَخْرَجَهُ الدَّارَقُطْنِيُّ )
Islam itu tinggi dan tidak diungguli. (HR Ad-Daraquthni, berderajat hasan menurut Ibnu Hajar dalam Fathul Bari). Tingginya Islam itu pun mengandung pengertian akan tingginya Muslim dibanding orang bukan Islam. Sehingga Ibnu ‘Abbas menegaskan, wanita yang jadi isteri Yahudi atau Nasrani, kemudian wanita itu masuk Islam maka haram bagi suaminya, karena telah diceraikan oleh Islam, karena Islam itu tinggi, tidak diungguli. فتح الباري لابن حجر - (ج 15 / ص 121)
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, seseorang, walaupun mengaku dirinya Muslim, namun belum tentu mau mendudukkan Islam secara proporsional, hingga Islam yang tinggi itu dianggap saja sama dengan lainnya, bahkan dianggap lebih rendah dari lainnya. Celakanya lagi, bahkan Islam itu dianggap lebih rendah dari pendapat orang atau pendapat kumpulan orang, bahkan lebih celaka lagi, Islam ini tidak boleh masuk ke ruang hukum, misalnya, karena mereka mengklaim di tempat mereka tinggal adalah wilayah hukum namun bukan hukum Islam, maka Islam tidak boleh dipakai dalam hukum. Itu berarti memandang Islam lebih rendah dibanding hukum bikinan mereka, dan sekaligus menolak Islam.
Ketika mereka mengaku Muslim namun sikapnya seperti itu, maka dalam perlakuan terhadap Islam dan Muslimin akan terjadi aneka tingkah yang merusak Islam dan Muslimin. Baik itu merusak jiwa, harta, kehormatan, wanita Muslimah maupun merusak Islam itu sendiri.
Dalam hal mengaku Muslim namun sejatinya merusak Islam dan Muslimin karena tidak memandang Islam itu tinggi, maka pelaksanaannya itu dari lingkup kecil seperti keluarga, sampai yang cakupan luas seperti wilayah atau Negara, bahkan tingkat dunia. Lebih buruk lagi bila pelaksanaan merusak Islam dan Muslimin dengan aneka bentuk corak dan ragamnya itu berupa persekongkolan, antar keluarga, antar suku, antar bangsa, antar golongan, bahkan antar yang mengaku Muslim dengan yang kafir serta munafiq. Itu semua karena memandang rendah terhadap Islam.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Sikap seseorang yang mengaku Muslim namun menyelisihi dua hal tersebut di atas yakni bersikap memilih-milih dan merendahkan Islam itu akan lebih parah lagi keburukannya bila menyelisihi ayat berikut ini.
ا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ [البقرة/208]
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu. (QS Al-Baqarah: 208).
Imam As-Sa’di dalam tafsirnya, Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiri Kalaamil Mannaan, menjelaskan:
masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, maksudnya dalam seluruh syari’at-syari’at agama (Islam), mereka tidak meninggalkan sesuatu pun darinya. Dan agar mereka tidak seperti orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya; apabila hawa nafsunya itu sejalan dengan perkara yang disyari’atkan maka (syari’at itu) dia kerjakan, namun bila bertentangan dengannya maka dia tinggalkan. Bahkan wajib hawa nafsunya tunduk pada agama. Dan ia melakukan segala kebaikan dengan segala kemampuannya, dan apa yang tidak mampu dia lakukan maka dia berusaha dan berniat melakukannya dan menjangkaunya dengan niatnya tersebut.
Dan ketika seseorang masuk ke dalam Islam dengan keseluruhan, maka tidak mungkin dan tidak dapat dibayangkan terjadi, kecuali dengan yang bertentangan dengan jalan-jalan syetan. Allah berfirman.
وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ
Dan janganlah kamu menuruti langkah-langkah syetan, maksudnya dalam perbuatan dengan melakukan kemaksiatan kepada Allah,
إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Sesungguhnya syetan itu musuh yang nyata bagimu, musuh yang nyata tidaklah akan mengajak kecuali kepada kejahatan dan kekejian serta segala yang mengandung bahaya bagi kalian. (Tafsir As-Sa’di juz 1 halaman 94).
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Bila seseorang mengaku Muslim namun tidak masuk ke dalam Islam secara keseluruhan, apalagi tidak mendudukkan Islam pada kedudukan yang tinggi, dan masih pula pilih-pilih aturan Islam yang sesuai dengan hawa nafsunya, maka walaupun berkuasa dan atas nama Islam maka akan menjadikan Islam dan orang Muslim sebagai sasaran kejahatannya.
Kejahatan yang paling tinggi adalah kemusyrikan yakni menyekutukan Allah Ta’ala dengan lainnya. Islam menyuruh agar menyembah hanya kepada Allah Ta’ala saja, namun mereka ada yang menyembah dan minta perlindungan kepada syetan Gunung Merapi, dengan menyajikan sesaji, menyembah isi kubur dengan memohon-mohon agar hajatnya dikabulkan dan sebagainya. Bahkan ketika yang ditugaskan untuk melabuhkan sesaji di Gunung Merapi telah mati karena kena letusan gunung, kemudian diangkat lagi penggantinya. Na’udzubillahi min dzalik, kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, ketika kita ingat zaman penjajahan Belanda, kita dengar para pejabat pribumi pun dengan teganya menguras harta-harta Ummat Islam tanpa haq untuk upeti kepada Belanda. Padahal harta Ummat Islam itu haram diambil kecuali dengan haq, baik di zaman penjajahan maupun merdeka. Lebih dari itu, walaupun mengaku Muslim dan berkuasa atas nama Islam, namun ketika memilih ajaran selain Islam, dan lebih tunduk kepada yang bukan Islam, maka nyawa para ulama pun dikorbankan demi kekuasaan. Sejarah mencatatnya:
Di zaman Amangkurat I, pengganti Sultan Agung di Kerajaan Mataram Islam, di Jogjakarta, Amangkurat I mengadakan perjanjian dengan Belanda, lalu para ulama tidak setuju, maka dikumpulkanlah para ulama itu di alun-alun (lapangan) sejumlah 5.000-an ulama, lalu dibantai.
Sejarahnya sebagai berikut:
Amangkurat I membantai ribuan ulama
Pembantaian terhadap umat Islam kadang bukan hanya menimpa umat secara umum, namun justru inti umat yang dibantai, yaitu para ulama. Pembantaian yang diarahkan kepada ulama itu di antaranya oleh Amangkurat I, penerus Sultan Agung, raja Mataram Islam di Jawa, tahun 1646.
Peristiwa itu bisa kita simak sebagai berikut:
‘Penyebaran Islam menjadi benar-benar terhambat dan sekaligus merupakan sejarah paling hitam tatkala Amangkurat I mengumpulkan 5000 sampai 6000 orang ulama seluruh Jawa dan membunuhnya seluruhnya secara serentak.’ (Sjamsudduha, Penyebaran dan Perkembangan Islam- Katolik- Protestan di Indonesia, Usaha Nasional, Surabaya, 1987, halaman 119).
Peristiwa besar berupa pembantaian terhadap ribuan ulama itu tidak terjadi kecuali di belakangnya ada penjajah Belanda yang menyetir Amangkurat I. (lihat buku Hartono Ahmad Jaiz, Mengungkap Kebatilan Kyai Liberal Cs, Pustaka Al-kautsar, Jakarta, 2010).
Perkara membunuh orang mu’min, jelas sangat berat. Karena Allah Ta’ala telah berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (93)
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu'min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya. (QS An-Nisaa’/ 4: 93).
Bagaimana pertanggungan jawabnya di hadapan Allah Ta’ala, ketika yang dibunuh itu ribuan ulama?
Jama’ah Jum’ah rahimakumullah. Mari kita sadari, betapa besarnya bahya ketika seseorang telah bergeser dari aturan Islam. Sampai membunuh ribuan ulama pun dilakukan. Oleh karena itu, Islam dari awal telah menasihati, ketika untuk menikah pun agar memilih wanita yang memiliki agama. Artinya, agar memilih wanita Islam yang shalihah, yang beragama Islam dengan baik. Kalau tidak, maka akan celaka.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat sayang kepada Ummatnya telah menasihati sedemikian, tidak lain adalah karena bahaya di balik itu adalah sangat besar, sebagaimana contoh-contoh di atas. Begitu bergeser dari Islam, maka tidak menutup kemungkinan untuk menjadi perusak Islam dan kaum Muslimin. Maka tidak ada pilihan lain kecuali kita mengimani Islam ini dengan konsekuen. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
« قُلْ آمَنْتُ بِاللَّهِ فَاسْتَقِمْ ».
Katakanlah aku beriman kepada Allah, maka istiqomah lah. (HR Muslim).
Semoga Allah menjadikan kita Ummat Islam yang istiqomah dalam mengimani dan menjalani Islam ini, serta terhindar dari sikap memilih-milih, merendahkan Islam, dan masuk Islam secara setengah-setengah. Karena ternyata sebegitu bahayanya terhadap kehidupan di dunia, apalagi kehidupan pelakunya di akherat kelak, bila Islam ini ditawar-tawar semaunya, tidak ditaati tetapi diselisihi atau bahkan hanya dijadikan tunggangan dan semacamnya. Itu semua adalah lakon dalam barisan orang-orang yang melanggar ayat-ayat Allah Ta’ala dan sunnah Rasul-Nya.
No comments:
Post a Comment