Manajemen Stres Membangun Karakter Tangguh
16/12/2009 | 28 Zulhijjah 1430 H | Hits: 4.419
Oleh: Dr. Setiawan Budi Utomodakwatuna.com – Pemilu, pilpres dan pilkada dapat membawa berkah maupun sebaliknya dapat menyebabkan pilu, baik bagi rakyat maupun kontestan kandidat legislatif, calon kepala daerah maupun calon presiden dan pasangannya. Stres adalah gejala umum yang menghantui para calon legislatif (caleg) dan mantan calon kepala daerah dan calon wapres maupun cawapres yang gagal terpilih. Stres pada tingkatan tertentu dapat mengakibatkan kegilaan dan ketidakwarasan. Hal inilah yang mendorong sejumlah rumah sakit jiwa di pusat dan daerah mempersiapkan ruangan baru untuk menampung korban ambisi jabatan dan pertaruhan politik dengan ketidaksiapan mental menghadapi kekalahan sebagaimana diprediksi banyak pengamat. Mungkin reaksi ataupun antisipasi beberapa rumah sakit jiwa dan para pengamat tersebut terlihat pesimistis, skeptis dan terkesan sinis, namun melihat beberapa pengalaman korban mental kekalahan di beberapa pilkada, bahkan terenggutnya nyawa karena serangan jantung dan bunuh diri akibat kalah pemilu patut mendapatkan perhatian serius dari para kandidat untuk dapat mempersiapkan mental yang kuat dalam menghadapi risiko kekalahan dan gagal terpilih dengan manajemen stres yang baik. Tekanan dan kelapangan jiwa adalah tidak lepas dari manajemen diri dengan kehendak ilahi.
Allah Swt. berfirman: “Bukankah Kami (Allah) telah melapangkan untukmu dadamu? dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu, yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya kesulitan itu disertai kemudahan, Sesungguhnya kesulitan itu disertai kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada Rabbmu lah hendaknya kamu berharap”. (QS. Al-Insyirah:1-8).
Sebagai hamba Allah yang secara fitrah memiliki kelebihan dan kekurangan, manusia membutuhkan sejumlah hal baru, kegembiraan dan rangsangan tertentu dalam hidup. Seseorang dapat mengalami berbagai ketidakpastian, kecemasan dan tekanan yang memotivasinya untuk melakukan sesuatu, menjadi berhasil dalam mencapai sejumlah keinginan dan cita-cita. Kemampuan seseorang untuk memusatkan perhatian dan memotivasi diri dapat membantu meningkatkan pencapaian tertentu dan pengembangan diri. Gejala ini disebut eustress yang berarti stres baik yang berdampak positif (awalan eus dalam bahasa Yunani berarti baik) di mana kita mampu mengatasi tuntutan, tantangan dan kondisi tekanan yang kita hadapi sebagaimana dimaksud ayat di atas bahwa kesulitan itu disertai kemudahan.
Namun bila tuntutan-tuntutan tersebut sampai kepada titik di mana seseorang merasakan kegagalan atau kehilangan kemampuan untuk mengatasinya, maka situasi tersebut kemudian dikenal sebagai dystress yang berarti stres buruk yang berdampak negatif (awalan dy berarti buruk). Dalam kondisi demikian seseorang cenderung merasa kewalahan dan kehidupan terasa di luar kendali karena kecemasan berlebihan, rasa takut, kepanikan, kebingungan dan kecenderungan putus asa menghantui dirinya yang justru berakibat kebuntuan, ketumpulan, kemandulan dan kontra produktif. Bukankah Allah mengarahkan hambanya dalam hal ini dengan firman-Nya “dan hanya kepada Rabbmu lah hendaknya kamu berharap” Dialah Yang Maha Kuasa atas segalanya, selalu mengajarkan optimisme kepada manusia untuk tegar, bangkit bergairah penuh harapan akan pertolongan-Nya dan melarang stres yang mengantarkan kepada keputusasaan. (QS. Yusuf: 87, Al-Isra’: 83)
Stres menurut Vincent Cornelli, seorang psikolog ternama merupakan suatu gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan dan dipengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu dalam lingkungan tersebut. Dan secara spesifik stres merupakan gejala psikologis yang menurut Richard Lazarus, psikolog yang banyak melakukan penelitian tentang stres sebagai sebuah hubungan khusus antara seseorang dengan lingkungannya yang dianggap melampaui kemampuan dan membahayakan kebahagiaan dan kepuasannya. Atau singkatnya merupakan gejala yang timbul akibat kesenjangan (gap) antara realita dan idealita, antara keinginan dan kenyataan, antara tantangan dan kemampuan, antara peluang dan potensi.
Hakikatnya stres merupakan gejala harian yang wajar dan setiap orang pasti mengalaminya dan bukan sesuatu yang harus disembunyikan, tetapi ia tak ubahnya seperti tantangan lainnya yang harus dihadapi dalam hidup. Oleh karena itu stres bukan untuk ditakuti melainkan justru kita harus berani mengatasinya dengan pengelolaan dan pengendalian stres dengan sikap dan mental positif yaitu dihadapi dengan kepala tegak (saya tidak takut menghadapinya), percaya diri (saya bisa mengatasinya); optimisme solusi (apa yang harus saya lakukan terhadapnya); pengendalian (saya akan mengendalikannya), penerimaan (stres memang bagian hidup yang alamiah), perencanaan (bagaimana saya akan mengatasinya), dan dengan bantuan pihak lain jika memang diperlukan.
Menurut sebuah penelitian dari data faktual menunjukkan hampir mayoritas orang tidak tahu bagaimana menangani stres padahal bila dikelola dengan baik dapat menjadi motivator dan energi hidup, namun stres yang berlebihan juga berpotensi melemahkan yang mana pada tahap tertentu dapat menurunkan efektivitas kekebalan tubuh dan kerentanan terhadap penyakit ringan seperti flu dan infeksi di samping dapat menjadi penyebab tekanan darah tinggi, sakit kepala, diare, gangguan pada pencernaan dan pembuangan serta kelainan dan penyakit lainnya yang sering disebut sebagai gejala Phsycomatis. Kita sendiri sepenuhnya bertanggung jawab terhadap bagaimana stres mempengaruhi diri sebagaimana dimaklumi bahwa jika aspek-aspek kehidupan tidak ditangani dengan manajemen yang baik, maka akan mudah mengalami gejala-gejala stres.
Dalam manajemen stres gejala-gejala stres sangat penting pada tahap pertama untuk dapat disadari dan dilakukan identifikasi sedini mungkin sebelum terlambat yaitu dapat kita lakukan dalam daftar periksa dengan memakai peringkat mulai dari tidak pernah sama sekali; kadang-kadang; cukup sering; sangat sering; terus menerus secara konstan. Pemeriksaan tersebut menurut para psikolog biasanya mencakup aspek:
1. Perilaku/tindakan (menurunnya kegairahan/bete, pemakaian obat penenang, atau minuman penambah vitalitas yang berlebihan, meningkatnya konsumsi kopi, kekerasan atau tindakan agresif pada keluarga atau lainnya, gangguan pada kebiasaan makan, gangguan tidur (insomnia), problem seksual, kecenderungan menyendiri, membolos, tidak waspada)
2. Proses Sikap/Pikiran (pemikiran irasional dan kesimpulan bodoh, lamban dalam pengambilan keputusan ataupun kesimpulan, kecenderungan lupa dan penurunan daya ingat (amnesia), kesulitan berkonsentrasi, kehilangan perspektif, berfikir vatalis, negatif, apatis, cuek dan serba skeptis, menyalahkan diri, pikiran selalu was-was dan perasaan kacau, bingung, dan putus asa.)
3. Emosi/perasaan (cepat marah dan murung, cemas/takut/panik, emosional dan sentimentil berlebihan, tertawa gelisah, merasa tak berdaya, selalu mengkritik diri sendiri dan orang lain secara berlebihan, pasif, depresi/sedih berkepanjangan atau sangat mendalam dan merasa diabaikan)
4. Fisik/fisiologis (sakit kepala dan sakit lainnya pada kepala, leher, dada, punggung dan lain-lain, jantung berdebar, diare/konstipasi/gangguan buang air besar, gatal-gatal, nyeri pada rahang dan gigi gemertak, kerongkongan kering, pusing kepala, sering buang air kecil dan perubahan pola makan, badan berkeringat tidak wajar)
Setelah itu sangat penting itu ditelusuri dan dideteksi faktor-faktor penyebab stres untuk dapat mengendalikan stres dan mempertahankannya hanya pada tingkat yang dapat merangsang dan memotivasi, bukan merugikan. Faktor-faktor penyebab stres dapat kita temukan pada sumber-sumber stres yang meliputi pekerjaan, anak-anak, keluarga, kesehatan, keuangan, kesenangan dan kemasyarakatan. Lebih kongkretnya, bidang-bidang kehidupan yang menjadi sumber utama penyebab stres potensial dapat kita deteksi sebagai berikut:
1. Kerja/belajar/tugas-tugas rumah tangga (cenderung tidak punya waktu, terlalu banyak ataupun sedikit yang harus dilakukan, terlalu banyak tugas dan terlalu sedikit pengendalian, tidak mendapatkan ucapan terima kasih atau dihargai, tidak menyukai atasan, bawahan ataupun rekan kerja, tidak punya cukup keterampilan untuk menyelesaikan pekerjaan, kurang tantangan atau kebanyakan, tidak ada tujuan dari apa yang dilakukan, menyangsikan apakah sesuatu yang dijalani merupakan keinginan, terpaku pada pola perfeksionis yang berlebihan dan kaku).
2. Keluarga (Merasa tidak punya keluarga dekat, merasa terbuang atau tersisihkan dari keluarga, merasa keluarga menyita banyak waktu, terlalu banyak tanggungan keluarga, jarang memiliki suasana kebersamaan keluarga, anggota keluarga sakit, lokasi tinggal tidak ideal, kekerasan mewarnai keluarga, keuangan keluarga memprihatinkan, kekhawatiran terhadap keluarga)
3. Masyarakat/teman/komunitas (tidak cukup banyak teman, kurang bergaul dan sosialisasi, tidak memiliki teman dekat yang dapat dipercaya dan tempat curhat)
4. Karakter personal/kepribadian (tipe selalu gelisah, tertekan, khawatir dan merasa tidak aman/terancam, tidak melatih dan mengelola diri secara teratur, merasa tidak memiliki fisik dan kondisi kejiwaan yang baik, sulit tertawa dan kurang rasa humor, tidak menyukai diri sendiri, kurang keseimbangan diri, cenderung agak sinis, pesimis, dan menginginkan yang terburuk, sulit termotivasi dan sebagainya)
Mengkaji sumber potensial stres dan berbagai gejalanya dapat menyadarkan kita pentingnya pengendalian stres yang pada gilirannya akan memunculkan pertanyaan apakah stres memang dapat dikendalikan? Persoalan yang sesungguhnya adalah apakah kita mau atau tidak menjadi pengendali stres yang efektif dengan memiliki peran kepemilikan dan pengendalian terhadap stres dan membuang jauh-jauh mental kalah dan cenderung pasif memilih peran korban stres. Padahal banyak hal yang dapat kita lakukan untuk penyembuhan diri, pengembangan diri dan pertolongan diri serta make up diri dari dalam yang lebih menjanjikan kebahagiaan dan mengantarkan kita kepada kesehatan rohani serta menjadi insan berkarakter shalih dengan terapi mental secara ketat, pelatihan diri secara keras dan penumbuhan motivasi mandiri.
Nabi SAW sebagai figur teladan dan sosok manusia berjiwa besar saja dalam rangka pengendalian stres sampai berjuang keras melalui doa sekaligus evaluasi harian setiap pagi dan sore yang berlindung kepada Allah dan selalu mawas dari delapan pangkal penyakit mental yang sumber stres yakni; obsesi/pikiran yang mengganggu (hamm) dan kesedihan (huzn), ketidakberdayaan (‘ajz) dan kemalasan/ kurang motivasi (kasal), kekikiran (bukhl) dan ketakutan (jubn), problem keuangan (ghalabat dain) dan tekanan orang lain (qohrir rijal).
Manajemen stres dengan metode pengembangan karakter efektif dapat dilakukan melalui pengendalian stres secara efektif dari ajaran Nabi tersebut yang dapat dipetik di antaranya berupa pembebasan diri dari pikiran yang mengganggu (hamm) dengan merubah pola berfikir irasional dengan berfikir rasional dan mengefisienkan sikap mental yang boros atau menguras emosi dan energi. Agar dapat efisien, kita harus berusaha melatih agar sikap dan mental kita bersifat Fleksibel yaitu tidak hanya menggunakan satu sudut pandang saja dalam melihat berbagai kejadian dan peristiwa, Adaptif (terbuka secara selektif), Rasional (gabungan argumentatif antara realisme dan idealisme), Positif (itikad, niat dan tekad kuat dan baik disertai keyakinan) dan berorientasi Solusi (tidak suka meratap dan mengeluh tetapi mencari jalan keluar yang terbaik). Sikap mental yang efisien ini dikenalkan ahli psikologi dalam manajemen kepribadian dengan sikap FARPS.
Beberapa cara berfikir yang menyimpang harus diluruskan untuk mengendalikan stres di antaranya;
- Filter (melihat dunia dengan kacamata kuda yang gelap dan satu sudut yang cenderung membesar-besarkan hal yang negatif dari sebuah situasi dan mengabaikan sisi positif ataupun hikmahnya),
- Generalasi yang tidak proporsional dengan cepat menyimpulkan pukul rata secara umum tanpa merinci,
- Fatalis yang melihat peristiwa dengan nuansa kiamat dan malapetaka,
- Emosional, merasa selalu benar, menyalahkan pihak lain dan diri sendiri tanpa bertanggung jawab, selalu mengukur dengan kacamata seharusnya dan semestinya seperti “kamu harus memahami saya, mengerti posisi saya”, “semestinya ia bersikap baik terhadap saya”,
- Sindrom Martir (pengorbanan) dengan harapan segala pengorbanan mendapatkan balasan, namun ketika tidak mendapatkan akan merasa kecewa dan menderita. Oleh karena itu Allah melarang kita untuk mengharapkan sesuatu timbal balik yang bersifat duniawi dari jasa, pengorbanan dan kebaikan kita dalam bentuk apapun agar tidak stres (QS.Al-Mudatsir:6)
Ada sepuluh keyakinan rasional yang dapat kita rumuskan dengan mengacu kepada nilai-nilai Islam untuk mengatasi 10 keyakinan irasional yang ditemukan oleh Dr. Albert Ellis, psikolog kondang Amerika yang terkenal dengan terapi emotif rasionalnya yaitu;
1. Saya harus dicintai dan disukai oleh orang-orang yang penting dalam hidup saya. Jika tidak demikian, saya mungkin akan merasa kecewa, tetapi saya dapat mengatasinya. Saya akan melakukan yang terbaik untuk mengembangkan dan mempertahankan tali cinta kasih, persahabatan serta hubungan baik.
2. Orang-orang yang ingin serba sempurna (perfeksionis) biasanya mempunyai kadar stres yang sangat tinggi, dan ini sama sekali tidak perlu. Sebab kita hanya perlu berusaha berbuat yang sebaik-baiknya semampu kita dan Allah akan menilai usaha kita secara sungguh-sungguh dan ikhlas.
3. Menghukum dan menyalahkan diri sendiri tidak akan cukup menyelesaikan masalah, melainkan harus memulai bertindak yang lebih konstruktif dan perbaikan yang berarti.
4. Berbuat yang terbaik bagi hidup dengan kesiapan mental untuk menerima kegagalan yang merupakan sunnatullah dan merupakan konsekuensi iman kepada takdir dengan penuh tawakal
5. Problem dapat muncul dari peristiwa di luar kontrol dan tak terelakkan, tetapi reaksi dan interpretasi terhadap peristiwa tersebut yang harus dikendalikan secara benar, positif dan konstruktif.
6. Kekhawatiran memang diperlukan namun tidak boleh membawa kepada kondisi yang merenggut banyak pikiran dan emosi sehingga menekan jiwa
7. Tekanan dalam hidup tidak dapat dihindarkan melainkan yang harus dicari adalah jalan keluar (solusi) dari situasi sulit dan menekan.
8. Percaya diri dan bergantung pada diri sendiri memang harus dibangun tetapi harus dibarengi dengan keyakinan pada kekuatan ilahi dan kesiapan mental untuk membutuhkan bantuan orang lain.
9. Ada beberapa problem yang sejak lama memang telah ada namun sikap yang harus dibangun adalah tidak boleh pasrah menyerah, melainkan tetap berfikir ke depan untuk memperbaiki dan mengatasinya.
10. Sikap emosional, sentimentil, afektif dan empatif terhadap orang lain tidak boleh menenggelamkan kita dalam kesedihan berlebihan yang menambah mudarat melainkan harus dibalikkan menjadi sebuah motivasi untuk memberikan manfaat dan bantuan kepada orang yang kita beri simpati.
Beberapa panduan ruhiyah dapat menjadi obat dan terapi yang cukup efektif untuk pengendalian stres di antaranya; perbanyakan shalat sunnah dengan khusyu’, menghayati dan mengambil wisdom asmaul husna (nama-nama mulia Allah), merawat kondisi bersuci, tadabbur al-Qur’an, kisah-kisah teladan dan success stories yang pernah terjadi setelah mengalami kegagalan, relaksasi jiwa dan kontemplasi dengan dzikir bebas dan tafakkur yang dapat dilakukan pula dengan pengolahan pernafasan, rekreasi, olahraga, manajemen istirahat yang baik, canda dan humor yang sehat, membaca buku dan ngobrol yang bermanfaat. Semuanya ini pernah dilakukan bahkan dianjurkan oleh Rasulullah saw.
Seorang yang berkepribadian shalih bukan yang tidak punya masalah dan tidak menghadapi atau lari dari stres dan masalah, melainkan orang yang justru mampu menghadapi masalah tanpa bermasalah baru dan mengatasi stres dengan baik, sebab segala peristiwa hidup merupakan ujian iman untuk menempa karakter manusia yang harus dihadapi sebagai bahan peningkatan kualitas diri dan bukan untuk dihindari. (QS. Al-Mulk: 2, Al-Ma’arij: 19)
Wallahu A’lam wa Billahit taufiq wal Hidayah. []
No comments:
Post a Comment