visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, June 24, 2010

Al 'Afuw, Yang Maha Memaafkan

Makna al-Afuw secara bahasa


Ibnu Faris menjelaskan bahwa asal kata nama ini menunjukkan dua makna, salah satunya adalah meninggalkan sesuatu[1].
bnul Atsir berkata, “Nama Allah “al-’Afuw” adalah fa’uul dari kata al-’afwu (memaafkan) yang berarti memaafkan perbuatan dosa dan tidak menghukumnya, asal maknanya: menghapus dan menghilangkan[2].

Al-Fairuz Abadi berkata, “Al-’Afwu adalah pemaafan dan pengampunan Allah Ta’ala atas (dosa-dosa) makhluk-Nya, serta tidak memberikan siksaan kepada orang yang pantas (mendapatkannya)[3].

Penjabaran makna nama Allah al-’Afuw

Al-’Afuw adalah zat yang maha menghapuskan dosa-dosa dan memaafkan perbuatan-perbuatan maksiat[4].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,

{إنَّ اللهَ لَعَفُوٌّ غَفُوْرٌ}

“Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS al-Hajj:60).

Beliau berkata, “Artinya: Dia maha memaafkan orang-orang yang berbuat dosa, dengan tidak menyegerakan siksaan bagi mereka, serta mengampuni dosa-dosa mereka. Maka Allah menghapuskan dosa dan bekas-bekasnya dari diri mereka. Inilah sifat Allah Ta’ala yang tetap dan terus ada pada zat-Nya (yang maha mulia), dan inilah perlakuan-Nya kepada hamba-hamba-Nya di setiap waktu, (yaitu) dengan pemaafan dan pengampunan…”[5].

Makna inilah yang dimaksud dalam doa yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk dibaca pada malam lailatul qadr:

اللهم إنك عَفُوٌّ تُحِبُّ العَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pema’af, Engkau suka memaafkan (hamba-Mu), maka maafkanlah aku”[6].[7]

Dalam beberapa ayat al-Qur’an Allah menggandengkan nama ini dengan nama-Nya yang lain yaitu “al-Ghafur” (maha pengampun), seperti dalam ayat di atas, demikian pula dalam surat an-Nisa’:43 dan an-Nisa’:99.

{وَكَانَ الله ُعَفُوًّا غَفُوْرًا}

“Dan adalah Allah Maha Pema’af lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:99).

Kedua nama Allah yang maha indah ini memang memiliki makna yang hampir sama, meskipun nama Allah ‘al-Afuw memiliki makna yang lebih mendalam. Karena “pengampunan” mengisyaratkan arti as-sitru (menutupi), sedangkan “pemaafan” mengisyaratkan arti al-mahwu (menghapuskan) yang artinya lebih mendalam (dalam penghapusan dosa). Meskipun demikian, kedua nama Allah ini jika disebutkan sendiri-sendiri maknanya mencakup keseluruhan arti tersebut[8].

Sifat “memaafkan” dan “mengampuni” ini adalah termasuk sifat-sifat yang tetap dan terus-menerus ada pada dzat Allah (yang Maha Mulia). Dan senantiasa pengaruh (baik) sifat-sifat ini meliputi semua makhluk-Nya di siang dan malam hari. Karena sifat “memaafkan” dan “mengampuni” (yang dimiliki)-Nya meliputi semua makhluk, dosa dan perbuatan maksiat.

Padahal, mestinya perbuatan dosa dan maksiat yang dilakukan manusia menjadikan mereka ditimpa berbagai macam siksaan, akan tetapi pemaafan dan pengampunan-Nya menghalangi turunya siksaan tersebut. Allah Ta’ala berfirman:

{ولو يؤاخذ الله الناسَ بما كسبوا ما ترك على ظهرها من دابة ولكن يؤخرهم إلى أجل مسمى، فإذا جاء أجلهم فإن الله كان بعباده بصيرا}
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan perbuatan (dosa) mereka, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun, akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu yang tertentu; maka apabila datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya” (QS Faathir:45).

Inilah kesempurnaan pemaafan-Nya, yang kalau bukan karena itu niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melatapun[9].

Senada dengan ayat di atas, dalam sebuah hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak ada satupun yang lebih bersabar menghadapi gangguan (celaan) yang didengarnya melebihi Allah Ta’ala. Sungguh orang-orang (kafir) telah menyekutukan-Nya dan mengatakan (bahwa) Dia mempunyai anak, (tapi bersamaan dengan itu) Dia tetap menangguhkan siksaan dan memberi rezki bagi mereka”[10].

Pembagian sifat al-’afw (memaafkan) dari Allah Ta’ala

Sifat al-afw (memaafkan) ini ada dua macam:

1. Yang pertama: pemaafan-Nya yang (bersifat) umum bagi semua orang yang berbuat maksiat, dari kalangan orang-orang kafir maupun yang selain mereka. (Yaitu) dengan tidak menimpakan siksaan yang telah ada sebab-sebabnya, yang seharusnya menjadikan mereka terhalangi dari kenikmatan (duniawi yang mereka rasakan), padahal mereka menentang-Nya dengan mencela-Nya (menisbatkan sifat-sifat yang tidak layak bagi-Nya), menyekutukan-Nya dan melakukan berbagai macam penyimpangan lainnya. (Bersamaan dengan itu) Allah (tetap) memaafkan (menangguhkan siksaa-Nya), memberi rezki dan menganugerahkan berbagai macam nikmat (duniawi) lahir dan batin kepada mereka.

2. Yang kedua: Pemaafan dan pengampunan-Nya yang (bersifat) khusus bagi orang-orang yang bertaubat, yang meminta ampun, yang berdoa dan menghambakan diri (kepada-Nya), demikian pula bagi orang-orang yang mengharapkan (rahmat-Nya) dengan musibah-musibah yang menimpa mereka. Maka semua orang yang bertaubat kepada-Nya dengan tobat yang nashuh[11], maka Allah akan mengampuni dosa apapun yang dilakukannya, (baik itu) kekafiran, kefasikan maupun maksiat (lainnya). Semua dosa tersebut termasuk dalam (keumuman) firman Allah Ta’ala,

{قل يا عبادي الذين أسرفوا على أنفسهم لا تقنطوا من رحمة الله إن الله يغفر الذنوب جميعًا إنه هو الغفور الرحيم}

“Katakanlah: Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah, sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (az-Zumar:53) [12].

Pengaruh positif dan manfaat mengimani nama Allah al-Afuw

Memahami nama Allah yang maha agung ini merupakan pintu utama untuk mencapai kedudukan yang tinggi (di sisi-Nya), khususnya jika (setelah memahaminya dengan baik) kita berusaha untuk merealisasikan kandungan dan konsekwensi yang terkandung dalam nama ini. Yaitu melakukan istighfar (meminta ampun kepada Allah) secara kontinyu, meminta pemaafan, selalu bertobat, mengharapkan pengampunan dan tidak berputus asa (dari rahmat-Nya), karena Allah Ta’ala Maha Pema’af lagi Maha Pengampun, sangat mudah bagi-Nya untuk mengampuni dosa (hamba-hamba-Nya) bagaimanapun besarnya dosa dan maksiat tersebut. Maka seorang hamba senantiasa berada dalam kebaikan yang agung selama dia selalu meminta pemaafan dan mengharapkan pengampunan dari Allah[13].

Cobalah renungkan makna yang agung ini dalam hadits qudsi berikut ini:

“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Seorang hamba melakukan perbuatan dosa, kemudian dia berdoa: “Ya Allah ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa”. (Maka Allah mengampuni dosanya), kemudian hamba itu berbuat dosa lagi lalu berdoa, “Ya Tuhanku ampunilah dosaku”. Maka Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku telah berbuat dosa, sedang dia meyakini bahwa dia mempunyai Tuhan yang (maha) mengampuni dan membalas perbuatan dosa, berbuatlah sesukamu (wahai hamba-Ku), maka sungguh Aku telah mengampunimu”[14]. Yaitu, “Selama kamu terus bertaubat, memohon dan kembali (kepada-Ku)” [15].

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala,


{إن الله كان عفواً غفوراً}

“Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun” (QS an-Nisaa’:43).

Beliau berkata: “Artinya: Allah memiliki banyak pemaafan dan pengampunan bagi hamba-hamba-Nya yang beriman, dengan memudahkan dan meringankan syariat-Nya bagi mereka, sehingga mudah bagi mereka untuk menunaikannya dan tidak menyusahkan.

Termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah Rahmat-Nya bagi umat (Islam) ini dengan Dia mensyariatkan bersuci dengan tanah (debu) sebagai pengganti air ketika tidak mampu menggunakan air.

Dan termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah dengan Dia membukakan pintu taubat dan kembali kepada-Nya bagi orang-orang yang berbuat dosa, bahkan dia menyeru mereka untuk bertaubat dan menjanjikan pengampunan bagi dosa-dosa mereka.

Juga termasuk (bentuk) pemaafan dan pengampunan-Nya adalah bahwa seandainya seorang mukmin datang menghadap-Nya (di akhirat nanti) dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada hamba-Nya itu pengampunan yang sepenuh bumi (pula)[16]. [17]

Termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa menghapuskan perbuatan buruk dan dosa. Allah Ta’ala berfirman,

{إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ}

“Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan buruk” (QS Huud:114).

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Ikutkanlah perbuatan buruk dengan perbuatan baik, maka niscaya perbuatan baik itu akan menghapuskan (dosa) perbuatan buruk tersebut[18].

Demikian juga termasuk (bentuk) pemaafan-Nya adalah bahwa semua musibah yang menimpa seorang hamba pada diri, anak maupun hartanya, (itu semua) akan menghapuskan dosa-dosanya, khususnya jika hamba itu mengharapkan pahala (dari) musibah tersebut dan menunaikan sikap bersabar dan ridha (dengan takdir Allah Ta’ala terhadap dirinya).

Dan termasuk (bentuk) pemaafan-Nya yang agung adalah bahwa hamba-Nya selalu menentang (perintah)-Nya dengan (melakukan) berbagai macam maksiat dan dosa besar, tapi Dia selalu berlaku lembut dan memberikan maaf-Nya kepadanya, kemudian dia melapangkan dada hamba-Nya itu untuk bertobat (kepada-Nya), lalu Dia menerima taubatnya. Bahkan Allah Ta’ala bergembira dengan taubat hamba-Nya padahal Dia Maha Kaya lagi Maha Terpuji, tidak akan memberi manfaat bagi-Nya ketaatan orang-orang yang taat, sebagaimana tidak akan merugikan-Nya kemaksiatan orang-orang yang berbuat maksiat [19].

Penutup

Sesungguhnya pintu-pintu pemaafan dan pengampunan-Nya senantiasa terbuka (lebar), dan Dia senantiasa dan selalu bersifat maha pemaaf dan pengampun. Sungguh Dia telah menjanjikan pengampunan dan pemaafan bagi orang-orang yang mengusahakan sebab-sebabnya, sebagaimana dalam firman-Nya,

{وإني لغفار لمن تاب وآمن وعمل صالحاً ثم اهتدى}
“Dan sesungguhnya Aku benar-benar Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal shaleh kemudian tetap di jalan yang benar” (QS Thaaha:82) [20].


Demikianlah, semoga Allah Ta’ala menganugerahkan kepada kita pemaafan-Nya dan memuliakan kita dengan pengampunan-Nya, sesungguhnya Dia Maha Pema’af lagi Maha Pengampun.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 17 Ramadhan 1430 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

--------------------------------------------------------------------------------

[1] Mu’jamu maqaayiisil lughah (4/45).
[2] An-Nihayah fi gariibil hadits wal atsar (3/524).
[3] Al-Qamus al-muhith (hal. 1693).
[4] Kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 142).
[5] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 388).
[6] HR at-Tirmidzi (no. 3513) dan Ibnu Majah (no. 3850), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.
[7] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/239).
[8] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 142).
[9] Ibid (hal. 143).
[10] HSR al-Bukhari (no. 5748) dan Muslim (2804) dari Abu Musa al-Asy’ari .
[11] Artinya: taubat yang murni (untuk mengharapkan) wajah Allah (semata-mata), yang mencakup dan meliputi (semua dosa), yang tidak disertai keragu-raguan dan sikap bersikeras pada perbuatan dosa tersebut.
[12] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 143).
[13] Ibid (hal. 145).
[14] HSR al-Bukhari (no. 7068) dan Muslim (no. 2758).
[15] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 145).
[16] Sebagaimana yang disebutkan dalam HSR Muslim (no. 2687), at-Tirmidzi (no. 3540) dll.
[17] Taisiirul Kariimir Rahmaan (hal. 103).
[18] HR at-Tirmidzi (no. 1987) dan Ahmad (5/153), dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[19] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 144).
[20] Ibid (hal. 145).

No comments:

Post a Comment