visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Sunday, June 21, 2015

Berhentilah Melecehkan Tuhan Yg Maha Esa



Ditulis oleh Dr Adian Husaini

Indonesia – diakui – saat ini merupakan negara muslim terbesar. Tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai angka sekitar 244 juta jiwa. (http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_proyeksi&task=show&Itemid=941). Konon, kekayaan alamnya juga melimpah ruah. Meskipun sudah dieksploitasi dengan berbagai cara, kandungan ikan, hutan, minyak, gas, batubara, dan sebagainya, masih saja belum habis-habis. 
Hanya saja, ironisnya, di tengah melimpahnya kekayaan minyak, rakyat Indonesia justru sering dipaksa mengantri untuk membeli Bahan Bakar Minyak (BBM). Indonesiadikenal sebagai salah satu negara penghasil gas terbesar di dunia. Uniknya, harga gas elpiji di Indonesia (saat artikel ini ditulis) lebih mahal dari harga elpiji di Malaysia, yang konon bahan mentahnya diimpor dari Indonesia. Lihat juga harga daging, ikan, dan sebagainya. 

Tahun 1984, saat memasuki bangku kuliah di satu PTN, saya tidak ditarik uang masuk apa pun. Uang SPP-nya hanya Rp 48 ribu per semester.  Kini, meskipun anggaran Pendidikan sudah dinaikkan, berbagai PTN masih meminta bayaran uang masuk Perguruan Tinggi kepada mahasiswa baru. Ada yang nilainya puluhan juta. Jika kita melawat ke Timur Tengah dan berbagai negara lain, sebagai bangsa Muslim terbesar, kita “miris” menyaksikan kondisi TKW kita. Banyak diantara mereka berstatus sebagai istri dan ibu yang harus meninggalkan suami dan anak-anak mereka, selama bertahun-tahun, demi menyambung hidup.  
Ada apa dengan negara kita? Apakah bangsa kita tidak mendapatkan rahmat dari Tuhan?  Padahal, sejak awal, bangsa ini sudah menerima konsep dasar Ketuhanan. Bahkan, dalam Pembukaan Konsitusi (UUD 1945), ditegaskan, bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah”atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Juga, disebutkan, bahwa “Negara berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.”   Di dalam setiap Undang-undang yang disahkan oleh DPR bersama Presiden, diawali dengan penegasan: “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”. 
Jika posisi Tuhan Yang Maha Esa begitu penting, lalu di manakah Tuhan itu diletakkan oleh bangsa Indonesia, oleh para pemimpin kita, para tokoh, dan juga para cendekiawan kita. Dalam CAP-381 lalu, sudah kita paparkan, bahwa bagi kaum Muslim, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai-nilai ketauhidan. Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, yaitu nama Tuhan orang Muslim, yang secara resmi disebut dalam Pembukaan UUD 1945. 
Itulah yang diputuskan oleh para ulama yang berkumpul dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 21 Desember 1983. Ketika itu Munas menetapkan “Deklarasi Tentang Hubungan Pancasila dengan Islam”  yang pada poin kedua menegaskan: “Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila-sila  yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.” 
Jadi, begitu pentingnya kedudukan Tuhan Yang Maha Esa dalam Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Coba kita renungkan dengan hati yang dingin,  untaian kata-kata pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945: "Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia." 
Renungkan sekali lagi, dan mohon sekali lagi! 
Bahwa, Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu harus berdasar kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa!” Jika mengikuti keputusan Munas Ulama NU tahun 1983, itu artinya, Negara Indonesia ini berdasarkan kepada Tauhid.  Bagi muslim, siapa pun orangnya, dan apa pun jabatannya, sepatutnya menyadari hal itu. Negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha Esa, bermakna, pemerintahan negara itu harus tunduk kepada prinsip-prinsip dan ajaran Tauhid. Maksudnya, yang harus mentaati ajaran Tuhan Yang Maha Esa, bukan hanya individu dan komunitas Muslim, sebagaimana disebut dalam “tujuh kata” Piagam Jakarta yang sudah tergantikan dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi, Negara Indonesia itu sendiri, yang harus mendasarkan diri pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa. 
Sebagai manusia, tentu suatu saat pernah berbuat salah; mungkin tergoda rayuan setan, sehingga terjebak dalam kesalahan. Tapi, orang beriman senantiasa mudah menyadari kesalahan dan bersegera dalam taubat. Jika salah, mengaku salah. Bukan malah menantang Tuhan seperti yang pernah dilakukan oleh Iblis. Lebih tak patut lagi, jika berani mempermainkan Tuhan Yang Maha Esa. Ketika berkampanye berpura-pura dekat dengan Tuhan, setelah menjadi pejabat negara, Tuhan dicampakkan; ajaran-ajaran-Nya disingkirkan, digantikan dengan ajaran-ajaran setan.
Bukan kebetulan, bahwa Negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa.  Ketuhanan Yang Maha Esa sepatutnya bukan hanya dijadikan penghias dinding-dinding kantor dan sekolah atau sekedar lantunan ritual kosong yang disajikan setiap upacara bendera. Bung Hatta, seorang yang dianggap paling bertanggung jawab dalam penghapusan “tujuh kata” dan perumusan sila pertama ini, mencatat:
“ Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama masing-masing – seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula – melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan, kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh fondamennya. Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan, pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat, perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa…. Dengan bimbingan dasar-dasar yang tinggi dan murni akan dilaksanakan tugas yang tidak dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan, karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar… Sebab, apa artinya pengakuan akan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila kita tidak bersedia berbuat dalam praktik hidup menurut sifat-sifat yang dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti kasih sayang serta adil?” (Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, hlm. 30-31). 

Prof. Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya, Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971): 
“Sejak kita kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, pada 5 Juli 1959, maka isi arti dari sila yang pertama itu mendapat tambahan. Perlu ditegaskan, bukan kata-katanya ditambah atau diubah, kata-katanya tetap, akan tetapi isi artinya mendapat tambahan, dan lengkapnya dengan tambahannya itu ialah “kesesuaian dengan hekekat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.” (hlm. 69. NB. Tulisan telah disesuaikan dengan EYD).

Prof. Notonagoro juga menegaskan: 
“Sila ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal ke-Tuhanan atau keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau anti keagamaan dan bagi paksaan agama.” (hlm. 73).

Prof. Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’ (Prof. Hazairin,Demokrasi Pancasila, hlm. 31).

Tahun 1951, Prof. Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul “Urat Tunggang Pancasila”, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang memperjuangkan ketuhanan Yang  Maha Esa, akan mencapai derajat yang setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3) merdeka jiwa. 
“Kepercayaan inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan pula seketika dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari ni’mat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah permulaan hilan kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya.” (Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah, 1985, hlm. 28-29). 

Memang, tentu tidak sesuai dengan akal sehat kita sebagai manusia, bahwa sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dimaknai sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Lalu, pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan Tuhan. Apalagi, sampai berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi, mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan tujuan untuk menyesatkan manusia. Sikap mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa – tetapi menolak untuk diatur oleh-Nya -- seperti itu pernah dilakukan oleh makhluk durjana bernama Iblis yang telah dilaknat oleh Tuhan Yang Maha Esa, karena membangkang atas perintah-Nya.  

*****
Di bulan Oktober 2014 ini kita akan mengalami pergantian pemerintahan. Rezim Pak SBY akan digantikan dengan rezim baru, khususnya di jajaran Eksekutif dan Yudikatif. Presiden dan wakil Presiden baru telah terpilih. Saat artikel ini ditulis, beredar luas ratusan nama calon menteri. Seperti ritual lima tahunan, biasanya, setiap pergantian kekuasaan, ada harapan baru di tengah masyarakat. Meskipun terasa berat, kita masih boleh berharap, bahwa para pemimpin bangsa mau menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar dalam perumusan konsep dan program Pembangunan Nasional, agar tercapai tujuan negara yang merdeka, berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD 1945. 
Padahal, setiap Muslim, senantiasa mengikrarkan dua kalimah syahadat, yang maknanya terang benderang: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!” Maknanya jelas, seorang Muslim hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah. Ia menolak tuhan-tuhan lain. Ia hanya menyembah dan taat kepada Allah, bukan taat kepada Tuyul atau Genderuwo!  Ia pun mengakui, berikrar, bersaksi, bahwa Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat manusia, yaitu Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat bagi seluruh alam. 
Betulkah ciri utama manusia Indonesia – seperti dikatakan budayawan Mokhtar Lubis – adalah munafik? Yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Wallahu a’lam. Yang jelas, al-Quran begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang munafik. Diantaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku beriman; dan jika bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari golongan munafik juga. Mereka hanya melakukan pelecehan dan penghinaan kepada orang-orang beriman. (QS 2:14). 
Sikap dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman, tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta, mengaku-aku iman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin. Kadang mereka tak segan bersumpah-sumpah  agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak jarang penampilan lahiriah kaum munafik  itu sangat memukau; ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman, mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS 63:1-5). 
Ada lagi golongan manusia yang al-Quran begitu banyak menjelaskan tentang sifat dan perilaku jahat mereka. Itulah golongan Yahudi. Golongan atau kaum Yahudi dikenal sangat materialis dan berlebihan dalam mencintai kehidupan dunia (QS 2:96); mereka pun sangat rasis, memandang bangsa Yahudi sebagai bangsa pilihan Tuhan karena berdarah Yahudi, sedangkan yang bukan Yahudi dianggap sebagai manusia kelas rendah (QS 62:6). Surat al-Baqarah banyak menceritakan bagaimana kebiadaban dan pengkhianatan Yahudi kepada Nabi Musa, yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman Firaun. 
Di era modern ini, kejahatan kaum Yahudi juga banyak diungkapkan oleh ilmuwan modern, seperti Paul Findley dan Dr. David Duke. Nama yang terakhir ini adalah sejarawan AS yang saat ini melakukan kampanye secara massif dan serius untuk membuka kejahatan-kejahatan kaum Yahudi dalam sejarah dan di era kini. (lihat, situs http://davidduke.com/). 
Ciri lain kaum Yahudi yang disebut dalam al-Quran, adalah bahwa mereka suka merusak ajaran agama, dengan cara mengubah-ubah ayat-ayat Allah atau mengaku-aku tulisan mereka sendiri sebagai wahyu Allah. (QS 2:75, 79). Mereka pun enggan mengikuti semua ajaran Allah yang dibawa melalui utusan-Nya; mereka hanya mau mengimani sebagian dan menolak sebagian ajaran Tuhan yang lain. (QS 2:85). Maka, sebagai Muslim, kita selalu berdoa setiap melaksanakan shalat, semoga kita tidak mengikuti perilaku dan jalan hidup kaum yang dimurkai Allah ini (al-maghdlub). 
Jika kita yang orang Indonesia sudah menyatakan diri beragama Islam, mengaku sebagai Muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosialnya, maka tidak relevan lagi, kita berdiskusi, apakah Indonesia ini negara agama atau negara sekuler. Wacana bahwa Indonesia adalah “bukan negara agama dan bukan negara sekuler” – tetapi juga bukan negara yang bukan-bukan – tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki pandangan alam (weltanchaung/worldview) Islam. Sebab, di mana pun, dan kapan pun, seorang Muslim akan menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw). 
Seorang muslim, apakah ia presiden atau penjual ayam goreng, tidak mungkin (MUSTAHIL) akan mengatakan, baik secara terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, bahwa:  “Memang Tuhanku Allah, tetapi aku bebas untuk hidup di dunia ini dengan cara dan kemauanku sendiri; aku tidak mau diatur-atur oleh Tuhan dan Nabi-Nya; ajaran Nabi Muhammad sudah kuno dan hanya berlaku untuk bangsa Arab; aku orang Indonesia, bukan orang Arab; aku lebih hormat dan lebih taat kepada al-Mukarram Darmogandhul, Karl Marx, Adam Smith, Thomas Jefferson, John Locke, Charles Darwin, dan lain-lain.” 
Nabi Muhammad saw tidak bisa dan tidak boleh memaksa orang lain untuk menerima hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri masing-masing. Apalagi, kita semua, umat sang Nabi. Kita hanya menyampaikan imbauan kebenaran; mohon kepada diri kita dan para pemimpin kita, “Tuan-tuan, apakah belum saatnya bangsa kita berhenti melecehkan Tuhan Yang Maha Esa?” 
Semoga kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik dan kaum yang dimurkai Allah (al-maghdlub), yang sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha Esa, dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan negaranya. Semoga kita selamat; juga keluarga, sahabat, dan para pemimpin kita. Amin.(Kualalumpur, 12 September 2014). 

No comments:

Post a Comment