Etika Debat dlm Islam
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia
menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu dan untuk
itulah Allah menciptakan mereka.” (Hud: 118-119).
Demikian apa yang
difirmankan Allah dalam al-Qur’an. Maka perbedaan jelas merupakan sebuah
Sunnatullah. Akan tetapi di dalam ayat lain Allah mencela apabila
dikarenakan perbedaan-perbedaan tersebut, timbul perselisihan di antara
umat dan menghancurkan persatuan dan kesatuan umat Islam.
“Janganlah kalian termasuk orang-orang
yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama
mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa
bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” (Ar-Rum: 31-32)
Lantas bagaimana jika terjadi perselisihan? Langkah apakah yang semestinya dilakukan?
“Jika kalian berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” [An-Nisa’ : 59]
Di sinilah Islam mengatur dan memberikan
petunjuk pada umatnya, yakni apabila kita berselisih maka segera
kembalikan kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul-Nya (Sunnah).
Imam as-Suyuthi berkata:
“Kemudian al-Baihaqi mengeluarkan suatu
riwayat dengan sanadnya dari Maimun bin Marhan tentang firman Allah
(diatas). Maksud “mengembalikan kepada Allah” dalam ayat ini adalah mengembalikan kepada kitab-Nya yaitu Al-Qur’an, sedangkan mengembalikan kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika beliau telah wafat “adalah kembali kepada Sunnah beliau” [Miftahul Jannah fii-Ihtijaj bi As-Sunnah (edisi Indonesia); hal. 36-46]
Kata “sesuatu” di ayat
ini bentuk nakirah dalam konteks syarth (syarat), sehingga meliputi
seluruh perselisihan kontradiktif baik dalam ushul (urusan pokok)
ataupun furu’ (urusan cabang). Tafsir ini sebagaimana diungkapkan oleh
Al-‘Allamah Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithy dalam Adhwa’ul Bayan (1/ 333).
Hafizh Ibnu Katsir berkata, “Ini adalah
perintah dari Allah Azza wa Jalla, bahwa segala perkara yang
diperselisihkan oleh manusia, yang berkaitan dengan ushul dan furu’ agama wajib dikembalikan kepada al-Qur`an dan sunnah. Sebagaimana firman Allah, “Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih maka putusannya terserah kepada Allah.” (Asy-Syura: 10).
Maka apa yang ditetapkan oleh kitabullah dan sunnah rasulNya dan diakui keabsahannya oleh keduanya maka itulah kebenaran dan tidak ada sesudah kebenaran melainkan kesesatan.
Surat an-Nisa’: 59 tersebut menunjukkan
bahwa siapa yang tidak berhakim dalam persoalan yang diperselisihkan
kepada al-Qur`an dan sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya dalam hal itu maka dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk taat kepadaNya dan taat kepada
RasulNya. Allah mengulangi kata kerja (yakni: ta’atilah!) sebagai
pemberitahuan bahwa mentaati RasulNya wajib secara mutlak, dengan tanpa
meninjau (mengukur) apa yang beliau perintahkan dengan al-Qur’an.
Bahkan jika Beliau memerintahkan, maka wajib ditaati secara mutlak,
baik yang beliau perintahkan itu terdapat dalam Al Qur’an ataupun
tidak. Karena sesungguhnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam diberi
al-Qur’an dan yang semisalnya”. [I’lamul Muwaqqi’in (1 atau 2/46), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H]
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga berkata:
“Kemudian Allah memerintahkan orang-orang beriman agar mengembalikan permasalahan yang mereka perselisihkan kepada
Allah dan RasulNya, jika mereka benar-benar orang-orang yang beriman.
Dan Allah memberitahu mereka, bahwa hal itu lebih utama bagi mereka di
dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya.
Ini mengandung beberapa perkara.
Pertama : Orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum-hukum.
Perselisihan pada sebagian hukum tidak
mengakibatkan mereka keluar dari keimanan (tidak kufur), jika mereka
mengembalikan masalah yang mereka perselisihkan kepada Allah dan RasulNya, sebagaimana yang Allah syaratkan. Dan
tidak disanksikan lagi, bahwa satu ketetapan hukum yang diterikat
dengan satu syarat, maka ketetapan itu akan hilang jika syaratnya tidak
ada.
Kedua : Firman Allah “Kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu”, maksudnya mencakup seluruh
masalah yang diperselisihkan oleh orang-orang yang beriman, berupa
masalah agama, baik kecil atau yang besar, yang terang dan yang samar.
Ketiga : Manusia telah sepakat bahwa mengembalikan kepada
Allah maksudnya mengembalikan kepada kitabNya. (Dan) mengembalikan
kepada RasulNya adalah mengembalikan kepada diri Beliau di saat
hidupnya dan kepada Sunnahnya setelah wafatnya.
Keempat : Allah menjadikan “mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allah dan RasulNya” termasuk tuntutan dan konsekwensi iman. Sehingga jika itu tidak ada, imanpun hilang. [Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in (2/47-48), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H]
Allah berfirman: “Maka demi Råbbmu,
mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu
berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisaa: 65)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Allah Subhanahu wa Ta’ala bersumpah
dengan diriNya yang mulia, yang suci, bahwa seseorang tidak beriman
sehingga menjadikan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai
hakim di dalam segala perkara. Apa yang Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam putuskan adalah haq, wajib dipatuhi secara lahir dan batin.
Oleh karena itu Allah berfirman, “kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Yaitu jika mereka telah menjadikanmu
sebagai hakim, mereka mentaatimu di dalam batin mereka, kemudian tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka tunduk kepadanya lahir batin, dan menerimanya dengan sepenuhnya, tanpa menolak dan membantah”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat An Nisa’: 65.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam bersabda: “Aku tinggalkan pada kalian dua perkara, yang kalian
tidak akan sesat di belakang keduanya, (yaitu) kitabullah dan Sunnahku.” HR. Malik dan Al-Hakim dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albany dalam Al-Misykah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa alihi wa
sallam bersabda, “Sungguh barangsiapa yang hidup di antara kalian akan
melihat perselisihan yang banyak. (Maka) berpeganglah dengan sunahku dan
sunnah Khulafa-ur Rasyidin yang
mendapat petunjuk. Gigitlah ia dengan gigi geraham. Hindarilah kalian
hal-hal yang baru, sesungguhnya setiap hal yang baru adalah bid’ah dan
setiap bid’ah ada sesat.” HR. Ahmad (IV/126-127), Abu Dawud (no. 4607)
dan at-Tirmidzi (no. 2676), ad-Darimy (I/44), al-Baghawy dalam kitabnya
Syarhus Sunnah (I/205), al-Hakim (I/95), dishahihkan dan disepakati oleh Imam adz-Dzahabi, dan Syaikh al-Albany menshahihkan juga hadits ini.
Ibnu Rajab berkata:
Dalam hadits tersebut juga terdapat perintah ketika terjadi perselisihan agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin sepeninggal beliau. As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para al-khulafaur-rasyidin. Itulah sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi salaf dulu tidak menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari
Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail bin ‘Iya dalam Jami’ul-Ulum wal-Hikam, hal. 341-342; Daarul-Hadits, 1424 H.
Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman
menjelaskan bahwa Sunnah Rasul sangat ditaati oleh para Khulafa'
al-Rasyidun. Empat Khalifah pertama dalam Islam sangat menjaga Sunnah
beliau, karenanya umat Islam pun wajib mengikuti para khalifah tersebut
atau apa yang diistilahkan sebagai Sunnah para sahabat.
Pada hakikatnya,
semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya dari
kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabi-Nya
shahabat-shahabat yang pilihan.
Seorang sahabat bernama Abdullah bin Mas’ud pernah menegaskan tentang hal ini:
“Sesungguhnya Allah melihat hati
hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih
Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya, (dan) Allah memberikan kepadanya
risalah. Kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya
setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati
yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai
pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang
dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu baik, maka itu
baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek” [HR. Ahmad no. 3600 dan dinyatakan shahih oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir. Lihat Majma’uz-Zawaid no. 832 dimana Al-Haitsami berkata : Rijal (perawi)-nya adalah tsiqat atau terpercaya].
Allah Azza wa Jalla berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan RasulNya dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. [Al Hujurat : 1]
Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :
“Yaitu janganlah engkau berkata sebelum
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata. Janganlah engkau
memerintah sebelum Nabi Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
perintahkan. Janganlah engkau berfatwa sebelum dia berfatwa. Janganlah
engkau memutuskan perkara sebelum dia yang memutuskan perkara padanya dan melangsungkan keputusannya”. [I’lamul Muwaqqi’in (2/49), Penerbit Darul Hadits, Kairo, Th. 1422 H]
Setelah mengetahui dalil-dalil yang
dipaparkan diatas, maka hendaknya kita benar-benar tunduk dan patuh
pada seluruh apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya.
Allah berfirman: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak (pula) bagi perempuan yang mu’min, apabila Allah dan RasulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka.” [Al Ahzab : 36].
Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i
Råhimahullåh berkata: “Kaum muslimin telah bersepakat bahwa barangsiapa
yang telah mendapatkan kejelasan baginya tentang Sunnah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk
meninggalkan sunnah itu karena pendapat seseorang”
al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr menafsirkan surat al-Ahzab ayat 36 di atas:
“Ayat
ini bersifat umum dalam seluruh perkara. Yaitu sesungguhnya Allåh dan
RåsulNya menetapkan sesuatu, maka tidak boleh bagi seseorang
melanggarnya, serta tidak boleh bagi seseorang memiliki pilihan lain,
baik pemikiran maupun pendapat yang bersebrangan dengan apa yang telah
ditetapkan Allah dan RasulNya.”
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Ayat
ini umum dalam segala perkara. Yaitu, jika Allah dan RasulNya telah
menetapkan sesuatu, maka tidak ada hak bagi siapapun menyelisihinya,
dan tidak ada pilihan (yang lain) bagi siapapun, tidak juga ada
pendapat dan perkataan”. [Tafsir Ibnu Katsir, surat Al Ahzaab : 36].
Ibnul Qayyim mengatakan: “Ayat
ini menunjukkan bahwa jika telah ada ketetapan dari Allah dan
Rasul-Nya dalam setiap masalah baik dalam permasalahan hukum atau pun
berita (seperti permasalahan aqidah), maka seseorang tidak boleh
memberikan pilihan selain pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya tadi lalu dia berpendapat dengannya. Sikap berpaling kepada ketetapan selain Allah dan
Rasul-Nya sama sekali bukanlah sikap seorang mukmin. Dari sini
menunjukkan bahwa sikap semacam ini termasuk menafikan (meniadakan)
keimanan.” [Zadul Muhajir-Ar Risalah At Tabukiyah, hal. 25]
Maka hendaknya kita, dalam menyikapi segala perselishan mengembalikan perkara kepada Kitabullah dan as-Sunnah
menurut pemahaman para shahabat ridwanullah ‘alayhim jamii’an; dengan
mengesampingkan hawa nafsu kita dan seluruh pendapat yang menyelisihi
apa yang telah ditetapkan Allah dan RasulNya.
Jangan sampai kita termasuk
orang-orang yang diancam Allah dengan firmanNya: “Dan barangsiapa
menentang Rasul setelah jelas baginya kebenaran, dan mengikuti selain
jalannya orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa bergelimang dalam
kesesatan dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam; dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisa’: 115)
Imam Ibnu Abi Jamrah Al Andalusi berkata:
“Para ulama telah menjelaskan tentang
makna firman Allah (di atas): ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan
orang-orang mukmin disini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam dan generasi pertama
dari umat ini, karena mereka merupakan orang-orang yang menyambut
syariat ini dengan jiwa yang bersih. Mereka telah menanyakan segala apa
yang tidak dipahami (darinya) dengan sebaik-baik pertanyaan, dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pun telah menjawabnya dengan
jawaban terbaik. Beliau terangkan dengan keterangan yang sempurna. Dan
mereka pun mendengarkan (jawaban dan keterangan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam tersebut), memahaminya, mengamalkannya dengan
sebaik-baiknya, menghafalkannya, dan
menyampaikannya dengan penuh kejujuran. Mereka benar-benar mempunyai
keutamaan yang agung atas kita. Yang mana melalui merekalah hubungan
kita bisa tersambungkan dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam,
juga dengan Allah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.” [al-Marqat fii Nahjissalaf Sabilun Najah hal. 36-37]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Dan sungguh keduanya (menentang Rasul
dan mengikuti selain jalannya orang-orang mukmin) adalah saling
terkait, maka siapa saja yang menentang Rasul sesudah jelas baginya
kebenaran, pasti ia telah mengikuti selain jalan orang-orang mukmin. Dan siapa saja yang mengikuti selain jalan orang-orang mukmin maka ia telah menentang Rasul sesudah jelas baginya kebenaran.” [Majmu’ Fatawa, 7/38].
Demikianlah adab berselisih dalam Islam,
sepatutnya sebagai pemeluk agama Islam yang mulia ini, kita mematuhi
apa yang telah dituntunkan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Allahu A’lam
No comments:
Post a Comment