Ditulis oleh Dr Adian Husaini
Indonesia – diakui – saat ini merupakan negara muslim terbesar. Tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai angka sekitar 244 juta jiwa. (http://www.datastatistik-indonesia.com/proyeksi/index.php?option=com_proyeksi&task=show&Itemid=941). Konon, kekayaan alamnya juga melimpah ruah. Meskipun sudah dieksploitasi dengan berbagai cara, kandungan ikan, hutan, minyak, gas, batubara, dan sebagainya, masih saja belum habis-habis.
Hanya
saja, ironisnya, di tengah melimpahnya kekayaan minyak, rakyat
Indonesia justru sering dipaksa mengantri untuk membeli Bahan Bakar
Minyak (BBM). Indonesiadikenal sebagai salah satu negara penghasil gas
terbesar di dunia. Uniknya, harga gas elpiji di Indonesia (saat artikel
ini ditulis) lebih mahal dari harga elpiji di Malaysia, yang konon bahan
mentahnya diimpor dari Indonesia. Lihat juga harga daging, ikan, dan
sebagainya.
Tahun
1984, saat memasuki bangku kuliah di satu PTN, saya tidak ditarik uang
masuk apa pun. Uang SPP-nya hanya Rp 48 ribu per semester. Kini,
meskipun anggaran Pendidikan sudah dinaikkan, berbagai PTN masih meminta
bayaran uang masuk Perguruan Tinggi kepada mahasiswa baru. Ada yang
nilainya puluhan juta. Jika kita melawat ke Timur Tengah dan berbagai
negara lain, sebagai bangsa Muslim terbesar, kita “miris” menyaksikan
kondisi TKW kita. Banyak diantara mereka berstatus sebagai istri dan ibu
yang harus meninggalkan suami dan anak-anak mereka, selama
bertahun-tahun, demi menyambung hidup.
Ada
apa dengan negara kita? Apakah bangsa kita tidak mendapatkan rahmat
dari Tuhan? Padahal, sejak awal, bangsa ini sudah menerima konsep dasar
Ketuhanan. Bahkan, dalam Pembukaan Konsitusi (UUD 1945), ditegaskan,
bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia adalah”atas berkat rahmat Allah Yang
Maha Kuasa”. Juga, disebutkan, bahwa “Negara berdasar kepada Ketuhanan
Yang Maha Esa.” Di dalam setiap Undang-undang yang disahkan oleh DPR
bersama Presiden, diawali dengan penegasan: “Dengan Rahmat Tuhan Yang
Maha Esa”.
Jika
posisi Tuhan Yang Maha Esa begitu penting, lalu di manakah Tuhan itu
diletakkan oleh bangsa Indonesia, oleh para pemimpin kita, para tokoh,
dan juga para cendekiawan kita. Dalam CAP-381 lalu, sudah kita paparkan,
bahwa bagi kaum Muslim, Ketuhanan Yang Maha Esa adalah nilai-nilai
ketauhidan. Tuhan Yang Maha Esa adalah Allah SWT, yaitu nama Tuhan orang
Muslim, yang secara resmi disebut dalam Pembukaan UUD 1945.
Itulah
yang diputuskan oleh para ulama yang berkumpul dalam Musyawarah
Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Situbondo, Jawa Timur, 21
Desember 1983. Ketika itu Munas menetapkan “Deklarasi Tentang Hubungan
Pancasila dengan Islam” yang pada poin kedua menegaskan: “Sila
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia
menurut pasal 29 ayat (1) Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai
sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan
dalam Islam.”
Jadi,
begitu pentingnya kedudukan Tuhan Yang Maha Esa dalam Konstitusi Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Coba kita renungkan dengan hati yang
dingin, untaian kata-kata pada alinea keempat Pembukaan UUD 1945: "Kemudian
daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan
kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia
yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha
Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Renungkan sekali lagi, dan mohon sekali lagi!
Bahwa,
Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu harus berdasar
kepada “Ketuhanan Yang Maha Esa!” Jika mengikuti keputusan Munas Ulama
NU tahun 1983, itu artinya, Negara Indonesia ini berdasarkan kepada
Tauhid. Bagi muslim, siapa pun orangnya, dan apa pun jabatannya,
sepatutnya menyadari hal itu. Negara berdasar atas ketuhanan Yang Maha
Esa, bermakna, pemerintahan negara itu harus tunduk kepada
prinsip-prinsip dan ajaran Tauhid. Maksudnya, yang harus mentaati ajaran
Tuhan Yang Maha Esa, bukan hanya individu dan komunitas Muslim,
sebagaimana disebut dalam “tujuh kata” Piagam Jakarta yang sudah
tergantikan dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, tetapi, Negara
Indonesia itu sendiri, yang harus mendasarkan diri pada ajaran Tuhan
Yang Maha Esa.
Sebagai
manusia, tentu suatu saat pernah berbuat salah; mungkin tergoda rayuan
setan, sehingga terjebak dalam kesalahan. Tapi, orang beriman senantiasa
mudah menyadari kesalahan dan bersegera dalam taubat. Jika salah,
mengaku salah. Bukan malah menantang Tuhan seperti yang pernah dilakukan
oleh Iblis. Lebih tak patut lagi, jika berani mempermainkan Tuhan Yang
Maha Esa. Ketika berkampanye berpura-pura dekat dengan Tuhan, setelah
menjadi pejabat negara, Tuhan dicampakkan; ajaran-ajaran-Nya
disingkirkan, digantikan dengan ajaran-ajaran setan.
Bukan
kebetulan, bahwa Negara Indonesia berdasarkan kepada Ketuhanan Yang
Maha Esa. Ketuhanan Yang Maha Esa sepatutnya bukan hanya dijadikan
penghias dinding-dinding kantor dan sekolah atau sekedar lantunan ritual
kosong yang disajikan setiap upacara bendera. Bung Hatta, seorang yang
dianggap paling bertanggung jawab dalam penghapusan “tujuh kata” dan
perumusan sila pertama ini, mencatat:
“
Ketuhanan Yang Maha Esa tidak lagi hanya dasar hormat-menghormati agama
masing-masing – seperti yang dikemukakan oleh Bung Karno bermula –
melainkan jadi dasar yang memimpin ke jalan kebenaran, keadilan,
kebaikan, kejujuran dan persaudaraan. Negara dengan itu memperkokoh
fondamennya. Dengan dasar-dasar ini sebagai pimpinan dan pegangan,
pemerintahan negara pada hakekatnya tidak boleh menyimpang dari jalan
yang lurus untuk mencapai kebahagiaan rakyat dan keselamatan masyarakat,
perdamaian dunia serta persaudaraan bangsa-bangsa…. Dengan bimbingan
dasar-dasar yang tinggi dan murni akan dilaksanakan tugas yang tidak
dapat dikatakan ringan! Manakala kesasar sewaktu-waktu dalam perjalanan,
karena kealpaan atau digoda hawa nafsu, ada terasa senantiasa desakan
gaib yang membimbing kembali ke jalan yang benar… Sebab, apa artinya
pengakuan akan berpegang kepada dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, apabila
kita tidak bersedia berbuat dalam praktik hidup menurut sifat-sifat yang
dipujikan kepada Tuhan Yang Maha Esa, seperti kasih sayang serta adil?”
(Lihat, Mohammad Hatta, Pengertian Pancasila, Jakarta: CV Haji Masagung, 1989, hlm. 30-31).
Prof. Notonagoro, pakar hukum dan filsafat Pancasila dari UGM, menulis dalam bukunya, Pancasila, Secara Ilmiah Populer (Jakarta, Pancuran Tujuh, 1971):
“Sejak kita kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, pada 5 Juli 1959, maka isi arti dari
sila yang pertama itu mendapat tambahan. Perlu ditegaskan, bukan
kata-katanya ditambah atau diubah, kata-katanya tetap, akan tetapi isi
artinya mendapat tambahan, dan lengkapnya dengan tambahannya itu ialah
“kesesuaian dengan hekekat Tuhan Yang Maha Esa dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya menurut dasar
kemanusiaan yang adil dan beradab.” (hlm. 69. NB. Tulisan telah
disesuaikan dengan EYD).
Prof. Notonagoro juga menegaskan:
“Sila
ke-Tuhanan Yang Maha Esa mengandung isi arti mutlak, bahwa dalam Negara
Republik Indonesia tidak ada tempat bagi pertentangan dalam hal
ke-Tuhanan atau keagamaan bagi sikap dan perbuatan anti ke-Tuhanan atau
anti keagamaan dan bagi paksaan agama.” (hlm. 73).
Prof.
Hazairin, Guru Besar Ilmu Hukum UI, berpendapat, “Bahwa yang dimaksud
dengan Tuhan Yang Maha Esa itu ialah Allah, dengan konsekuensi (akibat
mutlak) bahwa ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ berarti pengakuan ‘Kekuasaan
Allah’ atau ‘Kedaulatan Allah’ (Prof. Hazairin,Demokrasi Pancasila, hlm.
31).
Tahun
1951, Prof. Hamka, menulis dalam sebuah risalah kecil berjudul “Urat
Tunggang Pancasila”, bahwa suatu bangsa, menurut kaum yang
memperjuangkan ketuhanan Yang Maha Esa, akan mencapai derajat yang
setinggi-tingginya, selama mereka masih memegang tiga perkara pokok dari
Kemerdekaan, yaitu (1) Merdeka iradah, (2) merdeka pikiran, dan (3)
merdeka jiwa.
“Kepercayaan
inilah yang menyebabkan tidak ada ketakutan. Tidak takut miskin, dan
tidak sombong lantaran kaya. Tahan seketika dapat sengsara, dan tahan
pula seketika dapat ni’mat. Dan tidak pula canggung seketika jatuh dari
ni’mat. Karena yang dikerjakan dalam hidup ini adalah bakti dan ibadah
belaka. Dan kalau pokok ini yang runtuh (kemerdekaan jiwa), inilah
permulaan hilan kemerdekaan. Walaupun serdadu asing tidak ada di
dalamnya lagi. Bahkan, pemerintahannya itulah yang akan asing baginya.”
(Hamka, Urat Tunggang Pancasila, Jakarta: Media Dakwah, 1985, hlm.
28-29).
Memang,
tentu tidak sesuai dengan akal sehat kita sebagai manusia, bahwa sila
Ketuhanan Yang Maha Esa, dimaknai sekedar mengakui keberadaan Tuhan Yang
Maha Esa. Lalu, pada saat yang sama, manusia hidup tanpa mempedulikan
Tuhan. Apalagi, sampai berani melawan Tuhan. Lebih parah lagi,
mengubah-ubah ajaran Tuhan, dengan tujuan untuk menyesatkan manusia.
Sikap mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa – tetapi
menolak untuk diatur oleh-Nya -- seperti itu pernah dilakukan oleh
makhluk durjana bernama Iblis yang telah dilaknat oleh Tuhan Yang Maha
Esa, karena membangkang atas perintah-Nya.
*****
Di
bulan Oktober 2014 ini kita akan mengalami pergantian pemerintahan.
Rezim Pak SBY akan digantikan dengan rezim baru, khususnya di jajaran
Eksekutif dan Yudikatif. Presiden dan wakil Presiden baru telah
terpilih. Saat artikel ini ditulis, beredar luas ratusan nama calon
menteri. Seperti ritual lima tahunan, biasanya, setiap pergantian
kekuasaan, ada harapan baru di tengah masyarakat. Meskipun terasa berat,
kita masih boleh berharap, bahwa para pemimpin bangsa mau menjadikan
“Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar dalam perumusan konsep dan
program Pembangunan Nasional, agar tercapai tujuan negara yang merdeka,
berdaulat, adil, dan makmur, sebagaimana disebutkan dalam Pembukaan UUD
1945.
Padahal, setiap Muslim, senantiasa mengikrarkan dua kalimah syahadat, yang maknanya terang benderang: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah!” Maknanya
jelas, seorang Muslim hanya mengakui Tuhan yang Esa, yaitu Allah. Ia
menolak tuhan-tuhan lain. Ia hanya menyembah dan taat kepada Allah,
bukan taat kepada Tuyul atau Genderuwo! Ia pun mengakui, berikrar,
bersaksi, bahwa Allah sudah mengirimkan utusan-Nya kepada seluruh umat
manusia, yaitu Muhammad saw, yang ajaran-ajarannya pasti menjadi rahmat
bagi seluruh alam.
Betulkah
ciri utama manusia Indonesia – seperti dikatakan budayawan Mokhtar
Lubis – adalah munafik? Yakni, lain yang dikata, lain pula yang dibuat? Wallahu a’lam. Yang
jelas, al-Quran begitu banyak menjelaskan ciri-ciri orang-orang
munafik. Diantaranya, jika bertemu orang mukmin, mereka mengaku-aku
beriman; dan jika bertemu sesama munafik, mereka pun mengaku bagian dari
golongan munafik juga. Mereka hanya melakukan pelecehan dan penghinaan
kepada orang-orang beriman. (QS 2:14).
Sikap
dan perilaku jahat kaum munafik – yang secara lahir mengaku beriman,
tetapi batinnya mencintai kekufuran – bahkan diabadikan dalam satu surat
khusus, yaitu Surat al-Munafiqun (63). Mereka dikenal sebagai pendusta,
mengaku-aku iman padahal selalu memusuhi kaum Muslimin. Kadang mereka
tak segan bersumpah-sumpah agar bisa dipercaya. Padahal, mereka selalu
berusaha menghalagi manusia untuk mendekat kepada Allah. Juga, tak
jarang penampilan lahiriah kaum munafik itu sangat memukau;
ucapan-ucapan mereka pun banyak didengar orang. Jika diajak beriman,
mereka bersikap angkuh, membuang muka, enggan menerima kebenaran. (QS
63:1-5).
Ada
lagi golongan manusia yang al-Quran begitu banyak menjelaskan tentang
sifat dan perilaku jahat mereka. Itulah golongan Yahudi. Golongan atau
kaum Yahudi dikenal sangat materialis dan berlebihan dalam mencintai
kehidupan dunia (QS 2:96); mereka pun sangat rasis, memandang bangsa
Yahudi sebagai bangsa pilihan Tuhan karena berdarah Yahudi, sedangkan
yang bukan Yahudi dianggap sebagai manusia kelas rendah (QS 62:6). Surat
al-Baqarah banyak menceritakan bagaimana kebiadaban dan pengkhianatan
Yahudi kepada Nabi Musa, yang telah menyelamatkan mereka dari kekejaman
Firaun.
Di
era modern ini, kejahatan kaum Yahudi juga banyak diungkapkan oleh
ilmuwan modern, seperti Paul Findley dan Dr. David Duke. Nama yang
terakhir ini adalah sejarawan AS yang saat ini melakukan kampanye secara
massif dan serius untuk membuka kejahatan-kejahatan kaum Yahudi dalam
sejarah dan di era kini. (lihat, situs http://davidduke.com/).
Ciri
lain kaum Yahudi yang disebut dalam al-Quran, adalah bahwa mereka suka
merusak ajaran agama, dengan cara mengubah-ubah ayat-ayat Allah atau
mengaku-aku tulisan mereka sendiri sebagai wahyu Allah. (QS 2:75, 79).
Mereka pun enggan mengikuti semua ajaran Allah yang dibawa melalui
utusan-Nya; mereka hanya mau mengimani sebagian dan menolak sebagian
ajaran Tuhan yang lain. (QS 2:85). Maka, sebagai Muslim, kita selalu
berdoa setiap melaksanakan shalat, semoga kita tidak mengikuti perilaku
dan jalan hidup kaum yang dimurkai Allah ini (al-maghdlub).
Jika
kita yang orang Indonesia sudah menyatakan diri beragama Islam, mengaku
sebagai Muslim, apa pun posisi dan kedudukan sosialnya, maka tidak
relevan lagi, kita berdiskusi, apakah Indonesia ini negara agama atau
negara sekuler. Wacana bahwa Indonesia adalah “bukan negara agama dan
bukan negara sekuler” – tetapi juga bukan negara yang bukan-bukan –
tidak berlaku bagi seorang Muslim yang memiliki pandangan alam (weltanchaung/worldview)
Islam. Sebab, di mana pun, dan kapan pun, seorang Muslim akan
menempatkan dirinya sebagai hamba Allah, yang cinta dan ridha untuk
selalu berusaha mentaati ajaran-ajaran Allah yang disampaikan kepada
kita melalui utusan-Nya yang terakhir (yaitu Nabi Muhammad saw).
Seorang
muslim, apakah ia presiden atau penjual ayam goreng, tidak mungkin
(MUSTAHIL) akan mengatakan, baik secara terang-terangan atau
sembunyi-sembunyi, bahwa: “Memang Tuhanku Allah, tetapi aku bebas
untuk hidup di dunia ini dengan cara dan kemauanku sendiri; aku tidak
mau diatur-atur oleh Tuhan dan Nabi-Nya; ajaran Nabi Muhammad sudah kuno
dan hanya berlaku untuk bangsa Arab; aku orang Indonesia, bukan orang
Arab; aku lebih hormat dan lebih taat kepada al-Mukarram Darmogandhul,
Karl Marx, Adam Smith, Thomas Jefferson, John Locke, Charles Darwin, dan
lain-lain.”
Nabi
Muhammad saw tidak bisa dan tidak boleh memaksa orang lain untuk
menerima hidayah Allah. Iman dan kufur menjadi tanggung jawab diri
masing-masing. Apalagi, kita semua, umat sang Nabi. Kita hanya
menyampaikan imbauan kebenaran; mohon kepada diri kita dan para pemimpin
kita, “Tuan-tuan, apakah belum saatnya bangsa kita berhenti melecehkan
Tuhan Yang Maha Esa?”
Semoga kita selamat dari sifat-sifat buruk kaum munafik dan kaum yang dimurkai Allah (al-maghdlub),
yang sadar atau tidak telah berani melecehkan Tuhan Yang Maha Esa,
dengan hanya mengaku-aku berketuhanan Yang Maha Esa, tetapi dirinya
membenci, melecehkan dan terus berusaha menyingkirkan ajaran-ajaran
Tuhan Yang Maha Esa dari kehidupan pribadi, keluarga, bangsa dan
negaranya. Semoga kita selamat; juga keluarga, sahabat, dan para
pemimpin kita. Amin.(Kualalumpur, 12 September 2014).
No comments:
Post a Comment