Perilaku jujur adalah perilaku yang teramat mulia. Namun di zaman
sekarang ini, perilaku ini amat sulit kita temukan. Lihat saja bagaimana
kita jumpai di kantoran, di pasaran, di berbagai lingkungan kerja,
perilaku jujur ini hampir saja usang. Lihatlah di negeri ini pengurusan
birokrasi yang seringkali dipersulit dengan kedustaan sana-sini, yang
ujung-ujungnya bisa mudah jika ada uang pelicin. Lihat pula
bagaimana di pasaran, para pedagang banyak bersumpah untuk melariskan
barang dagangannya dengan promosi yang penuh kebohongan. Pentingnya
berlaku jujur, itulah yang akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana
ini.
Jujur berarti berkata yang benar yang bersesuaian antara lisan dan
apa yang ada dalam hati. Jujur juga secara bahasa dapat berarti
perkataan yang sesuai dengan realita dan hakikat sebenarnya. Kebalikan
jujur itulah yang disebut dusta.
Perintah untuk Berlaku Jujur
Dalam beberapa ayat, Allah Ta’ala telah memerintahkan untuk berlaku jujur. Di antaranya pada firman Allah Ta’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.” (QS. At Taubah: 119).
Dalam ayat lainnya, Allah Ta’ala berfirman,
فَلَوْ صَدَقُوا اللَّهَ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ
“Tetapi jikalau mereka berlaku jujur pada Allah, niscaya yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (QS. Muhammad: 21)
Dalam hadits dari sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu juga dijelaskan keutamaan sikap jujur dan bahaya sikap dusta. Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِى إِلَى الْبِرِّ
وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِى إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا
وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِى إِلَى الْفُجُورِ
وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِى إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ
يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Hendaklah kalian senantiasa berlaku jujur, karena sesungguhnya
kejujuran akan megantarkan pada kebaikan dan sesungguhnya kebaikan akan
mengantarkan pada surga. Jika seseorang senantiasa berlaku jujur dan
berusaha untuk jujur, maka dia akan dicatat di sisi Allah sebagai orang
yang jujur. Hati-hatilah kalian dari berbuat dusta, karena sesungguhnya
dusta akan mengantarkan kepada kejahatan dan kejahatan akan mengantarkan
pada neraka. Jika seseorang sukanya berdusta dan berupaya untuk
berdusta, maka ia akan dicatat di sisi Allah sebagai pendusta.“[1]
Begitu pula dalam hadits dari Al Hasan bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لاَ يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ
“Tinggalkanlah yang meragukanmu pada apa yang tidak meragukanmu.
Sesungguhnya kejujuran lebih menenangkan jiwa, sedangkan dusta (menipu)
akan menggelisahkan jiwa.“[2] Jujur adalah suatu kebaikan
sedangkan dusta (menipu) adalah suatu kejelekan.
Yang namanya kebaikan
pasti selalu mendatangkan ketenangan, sebaliknya kejelekan selalu
membawa kegelisahan dalam jiwa.
Perintah Jujur bagi Para Pelaku Bisnis
Terkhusus lagi, terdapat perintah khusus untuk jujur bagi para
pelaku bisnis karena memang kebiasaan mereka adalah melakukan penipuan
dan menempuh segala cara demi melariskan barang dagangan.
Dari Rifa’ah, ia mengatakan bahwa ia pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tanah lapang dan melihat manusia sedang melakukan transaksi jual beli. Beliau lalu menyeru, “Wahai para pedagang!” Orang-orang pun memperhatikan seruan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil menengadahkan leher dan pandangan mereka pada beliau. Lantas Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ التُّجَّارَ يُبْعَثُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فُجَّارًا إِلاَّ مَنِ اتَّقَى اللَّهَ وَبَرَّ وَصَدَقَ
“Sesungguhnya para pedagang akan dibangkitkan pada hari kiamat
nanti sebagai orang-orang fajir (jahat) kecuali pedagang yang bertakwa
pada Allah, berbuat baik dan berlaku jujur.“[3]
Begitu sering kita melihat para pedagang berkata, “Barang ini
dijamin paling murah. Jika tidak percaya, silakan bandingkan dengan yang
lainnya.” Padahal sebenarnya, di toko lain masih lebih murah
dagangannya dari pedagang tersebut. Cobalah lihat ketidakjujuran
kebanyakan pedagang saat ini. Tidak mau berterus terang apa adanya.
Keberkahan dari Sikap Jujur
Jika kita merenungkan, perilaku jujur sebenarnya mudah menuai
berbagai keberkahan. Yang dimaksud keberkahan adalah tetap dan
bertambahnya kebaikan. Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى
يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى
بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
“Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak
pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku
jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan
dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan
saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka
pada transaksi itu.“[4]
Di antara keberkahan sikap jujur ini akan memudahkan kita
mendapatkan berbagai jalan keluar dan kelapangan. Coba perhatikan
baik-baik perkataan Ibnu Katsir rahimahullah ketika menjelaskan surat At Taubah ayat 119. Beliau mengatakan, “Berlaku
jujurlah dan terus berpeganglah dengan sikap jujur.
Bersungguh-sungguhlah kalian menjadi orang yang jujur. Jauhilah perilaku
dusta yang dapat mengantarkan pada kebinasaan. Moga-moga kalian
mendapati kelapangan dan jalan keluar atas perilaku jujur tersebut.“[5]
Akibat Berperilaku Dusta
Dusta adalah dosa dan ‘aib yang amat buruk. Di samping berbagai dalil dari Al Qur’an dan dan berbagai hadits, umat Islam bersepakat bahwa berdusta itu haram. Di antara dalil tegas yang menunjukkan haramnya dusta adalah hadits berikut ini,
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلاَثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا ائْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu ada tiga, dusta dalam perkataan, menyelisihi janji jika membuat janji dan khinat terhadap amanah.“[6]
Dari berbagai hadits terlihat jelas bahwa sikap jujur dapat membawa
pada keselamatan, sedangkan sikap dusta membawa pada jurang kehancuran.
Di antara kehancuran yang diperoleh adalah ketika di akhirat kelak. Kita
dapat menyaksikan pada hadits berikut,
ثَلَاثَةٌ لَا يُكَلِّمُهُمُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَا يَنْظُرُ
إِلَيْهِمْ وَلَا يُزَكِّيْهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ : الْمَنَّانُ,
الْمُسْبِلُ إِزَارَهُ وَالْمُنْفِقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلَفِ الْكَاذِبِ
“Tiga (golongan) yang Allah tidak berbicara kepada mereka pada
hari Kiamat, tidak melihat kepada mereka, tidak mensucikan mereka dan
mereka akan mendapatkan siksaan yang pedih, yaitu: orang yang sering
mengungkit pemberiannya kepada orang, orang yang menurunkan celananya
melebihi mata kaki dan orang yang menjual barangnya dengan sumpah
dusta.”[7]
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu mencela orang
yang tidak transparan dengan menyembunyikan ‘aib barang dagangan ketika
berdagang. Coba perhatikan kisah dalam hadits dari Abu Hurairah, ia
berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ
طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلاً فَقَالَ «
مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ ». قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا
رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « أَفَلاَ جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَىْ
يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّى »
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati
setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian
tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya,
“Apa ini wahai pemilik makanan?” Sang pemiliknya menjawab, “Makanan
tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Mengapa
kamu tidak meletakkannya di bagian makanan agar manusia dapat
melihatnya? Ketahuilah, barangsiapa menipu maka dia bukan dari golongan
kami.“[8]
Jika dikatakan bukan termasuk golongan kami, berarti dosa menipu bukanlah dosa yang biasa-biasa saja.
Jujur Sama Sekali Tidak Membuat Rugi
Inilah pentingnya berlaku jujur dalam segala hal, terkhusus lagi
dalam hal muamalah atau berbisnis. Dalam berbisnis hal ini begitu urgent.
Karena begitu banyak orang yang loyal pada suatu penjual karena
sikapnya yang jujur. Namun sikap jujur ini seakan-akan mulai punah.
Padahal sudah sering kita dengar perilaku jujur dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat, dan ulama salafush sholeh
lainnya. Mereka semua begitu semangat dalam memelihara akhlak yang
mulia ini. Walaupun ujung-ujungnya, bisa jadi mereka merugi karena
begitu terus terang dan terlalu jujur.
Bandingkan dengan perangai jelek sebagian pelaku bisnis saat ini.
Coba saja lihat secara sederhana pada penjual dan pembeli yang melakukan
transaksi. “Mas, HP yang saya jual ini masih awet lima tahun lagi,”
ucapan seseorang ketika menawarkan HP pada saudaranya. Padahal yang
sebenarnya, HP tersebut sudah jatuh sampai sepuluh kali dan seringkali
diservis.
Pahamilah wahai saudaraku! Jika pelaku bisnis mau berlaku jujur ketika berbisnis, mau menerangkan ‘aib
barang yang dijual, tidak sengaja menyembunyikannya, sungguh keberkahan
akan selalu hadir. Walaupun mungkin keuntungan secara material tidak
diperoleh karena saking jujurnya, namun keuntungan secara non material
itu akan diperoleh. Karena jujur, sungguh akan membuahkan pahala begitu
besar. Yakinlah bahwa keuntungan tidak semata-mata berupa uang atau
material. Pahala besar di sisi Allah, itu pun suatu keuntungan. Bahkan
pahala di sisi-Nya, inilah keuntungan yang luar biasa. Sungguh, nikmat
dunia dibanding dengan nikmat akhirat berupa pahala di sisi Allah amat
jauh sekali. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَوْضِعُ سَوْطٍ فِى الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Satu bagian kecil nikmat di surga lebih baik dari dunia dan seisinya.“[9]
Ya Allah, mudahkanlah hamba-Mu untuk selalu memiliki akhlak yang
mulia ini, selalu berlaku jujur dalam segala hal. Hanya Allah yang beri
taufik.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
[1] HR. Muslim no. 2607.
[2] HR. Tirmidzi no. 2518 dan Ahmad 1/200. At Tirmidzi mengatakan
bahwa hadits ini hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits
ini shahih.
[3] HR. Tirmidzi no. 1210 dan Ibnu Majah no. 2146. Syaikh Al Albani
dalam Shahih At Targhib 1785 mengatakan bahwa hadits tersebut shahih
lighoirihi (shahih dilihat dari jalur lainnya).
[4] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532
[5] Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Muassasah Al Qurthubah, 7/313
[6] HR Bukhari no. 2682 dan Muslim no. 59, dari Abu Hurairah.
[7] HR. Muslim no. 106, dari Abu Dzar.
[8] HR. Muslim no. 102.
No comments:
Post a Comment