Sebagian kita memiliki sifat demikian. Berkata dan mengajak orang lain dalam kebaikan, namun diri sendiri enggan untuk melakukan. Melarang dari suatu kemungkaran, namun diri sendiri masih menerjangnya. Muslim yang baik adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam menjauhi kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi lainnya.
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ (2) كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ (3)
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan” (QS. Ash Shaff: 2-3).
Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di rahimahullah menjelaskan,
Kenapa kalian berkata kebaikan dan mengajak untuk berbuat baik, bahkan kalian terpuji dengan kebaikan tersebut, namun kalian sendiri tidak melakoni. Kalian melarang dari kejelekan dan menyucikan diri dari kejelekan tersebut, namun sebenarnya kalian sendiri menerjang dan senyatanya memiliki sifat yang jelek.
Apakah pantas orang beriman memiliki sifat yang tercela seperti ini?
Ataukah ia rela mendapatkan kemurkaan yang besar di sisi Allah dengan ia mengatakan apa yang ia sendiri tidak melakukannya?
Sudah sepatutnya bagi orang yang mengajak pada kebaikan, maka hendaklah dia yang menjadi pelopor pertama dalam melaksanakan kebaikan. Jika ia melarang suatu kemungkaran, hendaklah ia yang lebih menjauhi kemungkaran tersebut.
Allah Ta’ala berfirman (mengenai orang Yahudi),
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ أَفَلا تَعْقِلُونَ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah: 44).
Syu’aib berkata kepada kaumnya,
وَمَا أُرِيدُ أَنْ أُخَالِفَكُمْ إِلَى مَا أَنْهَاكُمْ عَنْهُ
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan menerjang) apa yang aku larang” (QS. Hud: 88). Demikian keterangan dari Syaikh As Sa’di dalam kitab tafsirnya, Taisir Al Karimir Rahman, hal. 858.
Ibnu Juraij berkata mengenai ayat,
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan”, yaitu ahlul kitab dan orang munafik dahulu memerintahkan orang pada kebaikan, menyuruh puasa dan shalat, mereka mengajak orang lain untuk beramal, namun Allah mencela mereka (karena mereka mengajak orang lain, namun diri sendiri enggan melakoni, pen). Oleh karenanya, siapa saja yang mengajak orang lain dalam kebaikan, hendaklah ia yang terdepan dalam kebaikan tersebut (artinya: ia hendaklah yang melakukannya terlebih dahulu).” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 381).
Adh Dhohak berkata, dari Ibnu ‘Abbas di mana beliau berkata menjelaskan surat Al Baqarah ayat 44. Beliau berkata,
أتأمرون الناس بالدخول في دين محمد صلى الله عليه وسلم وغير ذلك مما أمرتم (3) به من إقام الصلاة، وتنسون أنفسكم.
“Engkau memerintahkan manusia untuk masuk dalam agama Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mengajak pada kebaikan lainnya seperti mengerjakan shalat, lantas engkau melupakan diri kalian sendiri?” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 1: 382).
Namun Syaikh As Sa’di rahimahullah menerangkan mengenai surat Al Baqarah ayat 44 di atas, “Ayat tersebut tidaklah menerangkan bahwa seseorang yang tidak dapat melaksanakan kebajikan, maka ia tidak boleh beramar ma’ruf atau ia tidak boleh melarang kemungkaran yang masih ia terjang. Karena jika ia tidak beramal dan tidak mengajak orang lain, maka ia tercela karena meninggalkan dua kewajiban. Ketahuilah bahwa manusia memiliki dua kewajiban, yaitu (1) mengajak orang lain pada kebaikan atau melarang dari kemungkaran, dan (2) memerintahkan diri sendiri untuk melakukan kebaikan dan meninggalkan kemungkaran. Jika tidak bisa melakukan salah satunya, maka tidak boleh meninggalkan yang lainnya. Dikatakan sempurna jika sudah melaksanakan dua kewajiban tersebut (yaitu beramal dan berdakwah). Dan jika meninggalkan dua-duanya, maka itu menunjukkan cacat yang sempurna. Sedangkan jika mampu melaksanakan satu kewajiban, maka ia tidak berada di martabat yang utama, masih di bawahnya” (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 51).
Tentang masalah ini pula pernah diterangkan oleh Syaikh ‘Ubaid Al Jabiri hafizhohullah. Intinya beliau menerangkan bahwa jika yang ditinggalkan adalah kewajiban namun ia mengajak orang lain, maka ia tercela. Namun jika yang ditinggalkan adalah amalan sunnah, maka ia tidaklah tercela. Karena meninggalkan yang sunnah tentu saja tidak berakibat dosa (Dauroh Kitab Ushulus Sunah Imam Ahmad dan Kitabul Fitan Shahih Al Bukhari, 1-5 Jumadal Ula 1433 H).
Intinya, sebaik-baik kita adalah yang menjadi pelopor dalam kebaikan dan yang terdepan dalam meninggalkan kemungkaran sebelum mengajak atau mendakwahi yang lain. Ya Allah, mudahkanlah kami dalam hal ini.
Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
@ KSU, Riyadh, KSA, 8 Jumadal Ula 1433 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
No comments:
Post a Comment