Sinopsis
Memberi, menerima dan saling membalas hadiah adalah hal yang dianjurkan di dalam Islam. Malangnya, dalam konteks keindonesiaan yang saat ini dirundung wabah korupsi akut, hadiah sering disalahgunakan sebagai salah satu sarana atau modus korupsi, menjadi semacam budaya upeti, entah dalam bentuk bingkisan kepada pejabat (yang akan "ditagih budi" kemudian) atau the so called "uang terima kasih".
Bagaimana Islam memandang ini? Kami akan coba menyajikan pembahasan dengan dalil dan referensi yang jelas, mulai dari hukum hadiah itu sendiri, hingga adanya larangan tegas di dalam Islam bagi pejabat untuk menerima hadiah.
Singkatnya, secara umum Islam mengharamkan pegawai negeri dan pejabat negara untuk menerima hadiah.
Definisi Hadiah
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan hadiah sebagai pemberian (kenang-kenangan, penghargaan, penghormatan) atau ganjaran (karena memenangkan perlombaan).
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan hibah adalah semua jenis pembebasan. Di antaranya adalah: hibah utang, yaitu membebaskan debitur dari kewajibannya membayar utang; sedekah, yaitu pemberian yang semata-mata mengharapkan pahala di akhirat kelak; hadiah, yaitu pemberian untuk memuliakan sang penerima.
Kesimpulannya, hadiah adalah pemberian sesuatu kepada manusia dengan tujuan untuk penghormatan atau pemuliaan kepada penerima.
Islam Menganjurkan Memberi Hadiah
Islam sangat menganjurkan untuk memberi hadiah, sebagai bentuk penghormatan dan sarana mempererat silaturrahim. Di dalam sebuah hadits shahih, nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ لَا تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ
Dari Abu Hurairah dia berkata: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai para wanita muslimah, janganlah seorang tetangga meremehkan tetangganya walaupun hanya ujung kaki kambing." (HR Bukhari, Muslim, Ahmad)
Di dalam riwayat dari imam At Tirmidzi, hadits di atas diawali dengan kalimat:
تَهَادَوْا فَإِنَّ الْهَدِيَّةَ تُذْهِبُ وَحَرَ الصَّدْرِ
Hendaklah kalian saling memberi hadiah, karena hadiah dapat menghilangkan sifat benci dalam dada. (HR Tirmidzi, beliau berkata hadits ini gharib.) [3]
Terdapat kata ujung kuku (فِرْسِنَ) pada hadits Bukhari-Muslim di atas. Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa maknanya adalah tulang yang sangat sedikit dagingnya. Perintah nabi di sini tidak dipahami secara harfiah (memberikan kuku kambing), namun perintah ini merupakan gambaran untuk memberi hadiah meskipun sangat sedikit. Hendaknya seseorang tidak merasa segan memberi hadiah kepada tetangganya hanya karena nilainya yang kecil.
Terdapat anjuran untuk memberi hadiah meskipun sedikit, sebab memberi hadiah yang banyak tidak dapat dilakukan dengan mudah setiap saat. Kemudian bila yang sedikit dilakukan berkesinambungan, niscaya akan menjadi banyak.
Islam Menganjurkan Menerima Hadiah
Selain menganjurkan untuk memberi hadiah, nabi shallallahu 'alaihi wasallam juga menganjurkan umatnya untuk menerima hadiah walau sedikit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَوْ دُعِيتُ إِلَى ذِرَاعٍ أَوْ كُرَاعٍ لَأَجَبْتُ وَلَوْ أُهْدِيَ إِلَيَّ ذِرَاعٌ أَوْ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ
Dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sekiranya aku diundang untuk jamuan (makan) paha atau kaki kambing, niscaya aku penuhi. Sekiranya aku diberi hadiah paha atau kaki kambing, niscaya aku terima". (HR Bukhari, Muslim, Ahmad)
Terdapat kata kuraa' (كُرَاعٍ) pada hadits di atas. Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah bagian bawah lutut hewan (betis kambing), tempat yang terdapat hanya sedikit daging. Sementara itu, di dalam hadits tersebut bagian paha juga disebutkan sebagai tempat yang sangat berdaging.
Terlihat bagi kami, secara harfiah hadits di atas menjelaskan bahwa nabi akan menerima hadiah, baik itu paha kambing (sebagai gambaran hadiah yang banyak), maupun betis kambing (sebagai gambaran hadiah yang sedikit).
Imam Ibnu Hajar menjelaskan dari dua hadits di atas, nabi mengisyaratkan dengan menyebut ujung kuku dan betis kambing sebagai anjuran untuk menerima hadiah meskipun kecil nilainya, agar dorongan orang untuk memberi hadiah juga tidak terhalang hanya karena nilainya. Untuk itu nabi memberi motivasi untuk menerima hadiah seperti itu, karena dapat menyatukan hati. [6]
Islam Menganjurkan Membalas Hadiah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْبَلُ الْهَدِيَّةَ وَيُثِيبُ عَلَيْهَا
Dari 'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menerima pemberian hadiah dan membalasnya". (HR Bukhari, Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad)
Islam Menganjurkan Memberi Hadiah Kepada Tetangga Terdekat
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي جَارَيْنِ فَإِلَى أَيِّهِمَا أُهْدِي ؟ قَالَ إِلَى أَقْرَبِهِمَا مِنْكِ بَابًا
Dari 'Aisyah radliallahu 'anha: Aku bertanya: "Wahai Rasulullah, aku punya dua tetangga, siapa yang paling berhak untuk aku beri hadiah?" Beliau bersabda: "Kepada yang lebih dekat pintunya darimu". (HR Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan apabila orang yang akan diberi hadiah memiliki kesamaan dalam semua sifat, pada kondisi ini diutamakan orang lebih dekat posisinya dengan pemberi hadiah. [7]
Banyak lagi dalil-dalil yang menjelaskan keutamaan hadiah. Intinya, Islam menganjurkan untuk saling memberi dan menerima hadiah, tanpa melihat besar atau nilainya. Karena ini bisa menjalin silaturrahim, mendekatkan hati dan menghilangkan perasaan kebencian.
Islam Melarang Menerima Hadiah Dalam Kondisi Tertentu
Namun ada pula beberapa kondisi tertentu, di mana Islam melarang atau mengharamkan menerima hadiah. Apakah ini berarti Islam tidak konsisten di dalam hukum-hukumnya? Sama sekali tidak. Di dalam terminologi ushul fiqih, ini dikenal dengan istilah kaidah khas (khusus) dan amm (umum).
Secara umum dianjurkan untuk memberi dan menerima hadiah, tapi ada kondisi-kondisi khusus di mana itu dilarang. Di dalam teori ilmu hukum ini disebut lex specialis derogat legi generali. Hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum, misalnya dalam perkara korupsi, UU KPK (hukum khusus) mengenyampingkan KUHAP (hukum umum) dalam hal hukum acara tindak pidana korupsi [8]. Dalam konteks hadiah dalam Islam, salah satu contohnya akan kami bahas secara singkat berikut ini.
Menolak Hadiah Binatang Buruan Dalam Keadaan Ihram
عَنْ الصَّعْبِ بْنِ جَثَّامَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ أَنَّهُ أَهْدَى لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِمَارًا وَحْشِيًّا وَهُوَ بِالْأَبْوَاءِ أَوْ بِوَدَّانَ فَرَدَّ عَلَيْهِ فَلَمَّا رَأَى مَا فِي وَجْهِهِ قَالَ أَمَا إِنَّا لَمْ نَرُدَّهُ عَلَيْكَ إِلَّا أَنَّا حُرُمٌ
Dari As Sha'bi bin Jatstsamah radliallahu 'anhu bahwa dia menghadiahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seekor keledai liar di Abwa atau di Waddan namun Beliau menolaknya. Ketika Beliau melihat raut mukanya, Beliau berkata: "Kami tidak bermaksud menolak keledai tersebut, tapi kami menolaknya karena kami sedang ihram". (HR Bukhari, Muslim)
Imam Ibnu Hajar berkata, nabi menjelaskan sebab beliau tidak menerima hadiah karena sedang ihram. Orang ihram tidak dapat memakan binatang buruan yang sengaja diburu untuk diberikan kepadanya. [9]
Adapun menerima hadiah selain binatang buruan ketika ihram, maka tidaklah mengapa.
Islam Melarang Pegawai Pemerintah/Negara Menerima Hadiah
Inilah bahasan inti yang ingin kami sampaikan dalam tulisan ini. Dengan didahului penjelasan dan dalil-dalil tentang keutamaan memberikan hadiah, agar tidak muncul kesimpulan yang salah atau perdebatan bahwa hadiah itu dilarang.
KBBI mendefinisikan pejabat sebagai pegawai pemerintah yg memegang jabatan penting (unsur pimpinan).
Dalam tulisan ini, pejabat yang kami maksudkan, secara umum meliputi orang-orang yang bekerja bagi negara, diangkat oleh negara dan dibiayai oleh negara. Termasuklah presiden dan wakil, anggota kabinet lembaga non departemen, kepala daerah, para anggota parlemen, pegawai negeri sipil, anggota TNI dan Polri, BUMN, dan pejabat/pegawai lembaga-lembaga negara non pemerintah lainnya (BPK, KPK, MA, MK, dst).
Bahasan ini kami sampaikan, karena saat ini sudah terlalu lazim pejabat publik atau pegawai negeri menerima hadiah ketika mereka menjabat, yang biasanya diberikan oleh berbagai pihak dengan berbagai kepentingan pula, entah mungkin dalam bentuk uang terima kasih, atau parcel lebaran, atau mungkin hadiah dalam bentuk ibadah, seperti paket umrah. Seakan-akan itu hal yang lumrah dan memang hak mereka.
Padahal nabi sudah melarang mereka untuk menerima hadiah dengan amat tegas, larangan yang diriwayatkan dengan dalil-dalil yang shahih. Tegasnya Islam mengharamkan pejabat dan pegawai negara untuk menerima hadiah. Inilah salah satu prinsip good governance yang sudah digariskan oleh Islam sejak 14 abad yang lalu, yang sayangnya entah sengaja atau tidak, terlupakan oleh sebagian umatnya, terutama oleh yang sedang diberi amanah jabatan. Kami akan coba menguraikan dalil-dalil dari Al Quran, hadits dan para salaf.
Dalil Pertama, Al Quranul Karim
Allah Ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. (Al Maa'idah: 1)
Di dalam tafsir Al Azhar, Buya Hamka rahimahullah menjelaskan bahwa Allah memerintahkan orang yang beriman untuk menyempurnakan 'uqud. 'Uqud adalah bentuk jamak dari 'aqad. Buya Hamka menjelaskan arti yang terdekat dengan bahasa kita adalah ikat, seperti mengikat janji, mengikat sumpah.
Buya mengutip dari tafsir Ruhul Ma'ani karya Al Alusi rahimahullah, bahwa 'uqud itu dapat disimpulkan kepada tiga pokok terbesar, yaitu:
1. 'aqad antara hamba dan Allah;
2. 'aqad antara hamba dan dirinya sendiri;
3. 'aqad antara sesama manusia.
Ayat ini menunjukkan bahwa segala macam 'aqad atau janji atau kontrak dan sejenisnya diakui oleh Islam dan wajib dipenuhi. Kalau dimungkiri maka si pelanggarnya telah melepaskan diri dari ciri-ciri orang yang beriman, kecuali janji yang mengharamkan yang halal atau mengharamkan yang halal, demikian Buya Hamka. Buya menyitir satu hadits, sbb:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُونَ عَلَى شُرُوطِهِمْ إِلَّا شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Perdamaian (persesuaian) diperbolehkan di antara kaum muslimin kecuali yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Dan kaum muslimin boleh menentukan syarat kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. (HR Tirmidzi, Abu Daud, Ahmad, Ibnu Majah. Imam Tirmidzi berkata hadits hasan shahih) [11]
Imam Ibnu Katsir rahimahullah juga menjelaskan dari Ibnu Abbas dan Mujahid radliallahu 'anhuma, bahwa yang dimaksud 'uqud adalah perjanjian-perjanjian. [12]
'Uqud atau 'aqad apa yang kami maksud dalam konteks tulisan ini?
Setiap pejabat yang akan diangkat untuk memangku suatu jabatan, wajib mengangkat sumpah jabatan, yang lazimnya dilakukan dengan kitab suci (Quran) di atas kepalanya. Kami petikkan satu bait dari dua contoh sumpah jabatan, sbb:
• Sumpah Jabatan Pejabat Sipil dan Militer: Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dan dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira, bahwa ia mempunyai hal yang bersangkutan atau mungkin bersangkutan dengan jabatan atau pekerjaan saya. [13]
• Sumpah Jabatan Pejabat Hukum: Bahwa saya tidak akan menerima hadiah atau suatu pemberian berupa apa saja dari siapapun juga, yang saya tahu atau patut dapat mengira bahwa ia mempunyai atau akan mempunyai perkara atau hal yang mungkin bersangkutan dengan jabatan yang saya jalankan ini. [14]
Di sini jelas ada 'aqad antara sang pejabat dengan negara, 'aqad untuk tidak menerima hadiah atau pemberian dari siapapun juga. Wajiblah bagi sang pejabat untuk memenuhi aqad ini, kecuali sang pejabat adalah manusia tidak beriman.
Mungkin ada pertanyaan, bukankah pada aqad di atas ada "syarat" bahwa pada hadiah itu patut diduga si pemberi memiliki kepentingan. Lalu bagaimana kalau sang pejabat yakin bahwa tidak ada kepentingan atas hadiah itu? Misalnya "terima kasih yang ikhlas", berarti boleh?
Ini adalah salah satu trik berkelit yang pernah kami dengar dari rekan yang menjadi pejabat. Untuk menjawab trik ini, tinggal ditanyakan saja secara jujur, kalau dia bukan pejabat, apakah ada orang yang akan memberi hadiah? Kalau dia cuma pengangguran duduk di rumah orang tuanya, apakah tiba-tiba ada orang memberi hadiah parcel lebaran atau paket umrah? Kalau nanti dia sudah tidak menjabat, apakah parcel itu akan terus diberikan kepadanya ataukah diberikan kepada pejabat penggantinya?
Kalau jawaban dari pertanyaan di atas adalah tidak, jelaslah bahwa orang-orang memberikan hadiah karena si pejabat duduk di jabatan itu, maka sudah lebih dari cukup untuk menduga bahwa ada kepentingan dari si pemberi, entah kepentingan saat itu juga atau sebagai cara untuk menumpuk budi yang suatu saat akan ditagih kepada sang pejabat.
UU No 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Korupsi, pasal 11 dan 12, penuh dengan ancaman denda dan pidana kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah. Undang-undang sebagai perangkat peraturan negara tentu saja wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ
Dari Abdullah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Mendengar dan taat kepada seorang (pemimpin) muslim berlaku dalam hal yang disukai atau tidak disukai, selama pemimpin itu tidak menyuruh melakukan kemaksiatan. Jika dia menyuruh melakukan kemaksiatan maka tidak boleh didengar dan ditaati." (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Nasa'i, Ahmad)
Tapi memang sulit bagi yang sudah terbiasa atau menganggap wajar menerima hadiah atau budaya upeti seperti itu, mau berapapun ancamannya mungkin akan ada yang berkelit lagi. Pernah kami dengar ada yang berkata, "Bukankah kita hanya terikat pada syarat-syarat yang tidak mengharamkan yang halal? Bukankah menerima hadiah juga dihalalkan/dianjurkan oleh nabi?"
Dalil Kedua, Hadits Shahih
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتَبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصْرَ عَيْنِي وَسَمْعَ أُذُنِي
Dari Abu Humaid As Sa'idi mengatakan, Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam pernah mempekerjakan seorang laki-laki untuk mengelola zakat bani Sulaim yang sering dipanggil dengan nama Ibnu Al Latabiyah, tatkala dia datang, dia menghitungnya dan berkata: "Ini adalah hartamu (zakat yang terkumpul) dan ini hadiah (yang diberikan kepada ku)."
Spontan Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam berujar: "Kenapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu sampai hadiahmu datang kepadamu jika kamu jujur."
Kemudian beliau berpidato di hadapan kami, memuja dan memuji Allah terus bersabda: "Amma ba'd. Sesungguhnya saya mempekerjakan salah seorang diantara kalian untuk mengumpulkan zakat yang telah Allah kuasakan kepadaku, lantas ia datang dan mengatakan: 'ini hartamu dan ini hadiah yang diberikan kepadaku', kenapa dia tidak duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya sampai hadiahnya datang kepadanya? Demi Allah, tidaklah salah seorang diantara kalian mengambil sesuatu yang bukan haknya, selain ia menjumpai Allah pada hari kiamat dengan memikul hak itu, aku tahu salah seorang diantara kalian menjumpai Allah dengan memikul unta yang mendengus, atau sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik."
Kemudian beliau mengangkat tangannya hingga terlihat putih ketiaknya seraya mengatakan: "Ya Allah, bukankah aku telah menyampaikan apa yang kulihat dengan mataku dan kudengar dengan dua telingaku?" (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud)
Kitab-kitab hadits Imam Bukhari dan Imam Muslim disepakati oleh para ulama sepanjang 12 abad ini sebagai kitab tershahih kedua dan ketiga setelah Al Quranul Karim. Sementara hadits di atas disepakati keshahihannya oleh ke dua imam hadits tersebut (istilahnya muttafaqun 'alaihi). Kami akan ulas sedikit penempatan hadits-hadits ini di dalam dua kitab hadits shahih tersebut.
Di dalam koleksi shahihnya, Imam Bukhari menempatkan hadits ini atau yang senada dengan ini, di beberapa tempat di antaranya pada Kitabuz Zakah, Kitabul Hibah, Kitabul Hiyal dan kitabul Ahkam. Di dalam Kitabul Ahkam (hukum), hadits ini beliau tempatkan dalam dua bab, masing-masing dengan judul:
• هَدَايَا الْعُمَّالِ atau Hadiah Pegawai Pemerintahan. Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa judul ini merupakan redaksi hadits lain yang diriwayatkan secara marfu' dari Imam Ahmad, yaitu: هَدَايَا الْعُمَّال غُلُولٌ atau Hadiah-Hadiah Untuk Pegawai Pemerintah Adalah Pengkhianatan. [15]
• مُحَاسَبَةِ الْإِمَامِ عُمَّالَهُ atau Pemeriksaan (audit) Pemimpin Kepada Pembantunya
Di dalam Kitabul Hiyal (Tipu Daya), Imam Bukhari menempatkannya dalam bab:
• اِحْتِيَال العُمَّالُ ليُهْدَى لَهُ atau Tipu Daya Petugas Zakat Agar Mendapatkan Hadiah.
Sementara Imam Muslim menempatkan delapan hadits senada dengan ini, dengan sedikit perbedaan redaksi dari jalur periwayatan yang berbeda. Hadits-hadits itu ditempatkan dalam bab yang berjudul:
• تَحْرِيمِ هَدَايَا الْعُمَّالِ atau Haram Hukumnya Menerima Hadiah Bagi Pegawai.
Tampak jelas bagi kami bahwa hadits ini adalah pengecualian (lex specialis atau dalil khas) dari hadits-hadits nabi yang secara umum (dalil 'amm atau lex generalis) menganjurkan untuk memberi atau menerima hadiah.
Jelas tampak ada larangan dari nabi, dan kaidah ushul fiqih menyatakan
اَلنَّهْيُ لِلتَّحُرِيْمِ,
atau larangan adalah pengharaman. Tapi daripada kita mencoba menafsirkan sendiri hukum dari hadits itu, lebih baik kita baca saja tafsiran para ulama umat ini, yang jauh lebih faqih dan faham daripada kita.
Dari pemberian judulnya saja, sudah bisa kita lihat bagaimana para ulama menafsirkan hukum dari hadits ini. Kami akan tampilkan syarah atau penjelasan dari hadits itu dari Imam Ibnu Hajar (Fathul Baari) dan Imam Nawawi (Syarah Shahih Muslim), yang notabene adalah syarah hadits yang authoritative dalam dunia keilmuan Islam.
Imam Ibnu Hajar menjelaskan bahwa nabi mencela perbuatan Ibnu Al Latabiyah yang menerima hadiah itu, karena kedudukannya sebagai seorang pegawai pemerintah. Kemudian kalimat "mengapa dia tidak duduk saja di rumah bapak ibunya", memberi faidah bahwa sekiranya dia menerima hadiah dalam kondisi seperti itu (bukan pegawai pemerintah, tapi cuma duduk-duduk di rumah orang tuanya), maka hukumnya tidak apa-apa (untuk menerima hadiah) karena tidak ada faktor yang menimbulkan kecurigaan. Selain itu tidak disukai menerima hadiah dari orang yang meminta pertolongan. [16]
Kepemilikannya terhadap apa yang dihadiahkan kepadanya itu sebenarnya karena dia adalah petugas pengambil zakat (petugas pemerintah), lalu dia menganggap bahwa apa yang dihadiahkan kepadanya itu menjadi haknya, bukan para pemilik hak di mana dia bekerja padanya (pemerintah). Maka nabi menjelaskan, bahwa hak-hak yang dia bekerja untuk itu adalah sebab dihadiahkannya hadiah itu kepadanya, dan seandainya dia diam di rumahnya, tentu tidak ada sedikit pun dari itu yang dihadiahkan kepadanya. Karena itu dia tidak layak menghalalkannya hanya karena barang itu sampai kepadanya sebagai hadiah. [17]
Kami ingin menegaskan, bahwa kedudukan Ibnu Al Latabiyah ini adalah pegawai pemerintah atau pejabat negara secara umum, seperti yang disebut di dalam judul-judul redaksi hadits atau penjelasan Imam Ibnu Hajar dan Imam Nawawi, bukan sekedar seperti petugas amil zakat fitri sukarela tingkat RT/RW atau PNS di Baznas saja.
Madinah di kala itu adalah sebuah negara berdaulat, lengkap dengan ciri-ciri sebuah negara modern saat ini, yaitu: ada pemimpin yaitu nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ada konstitusi (Piagam Madinah), ada penegakan kedaulatan (seperti pertempuran Badar, Uhud dan Khandaq), ada penegakan hukum (pelaksanaan hudud), ada wilayah dan ada rakyat. Sehingga penunjukan petugas oleh nabi adalah seperti pelantikan pegawai atau pejabat oleh kepala negara (atau aparat yang mewakilinya) di masa kita saat ini.
Imam Ibnu Hajar menjelaskan dari sebuah hadits lain, ketika berdiri untuk berkhutbah itu, nabi shallallahu 'alaihi wasallam naik mimbar dalam keadaan marah. [18] Jelas di sini beliau memperlihatkan ketidaksenangannya secara terbuka terhadap praktek menerima hadiah ini.
Kemudian nabi menjelaskan bahwa orang itu tidak akan datang pada hari kiamat dengan membawa sesuatu yang dipersiapkan untuk dirinya [19], karena dia mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Tampak jelas bagi kami bahwa nabi menyebut perilaku pegawai pemerintah atau pejabat publik yang menerima hadiah itu adalah "mengambil sesuatu yang bukan haknya".
Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat keterangan, hadiah untuk pegawai itu haram dan merupakan sebuah pengkhianatan, karena pegawai itu mengkhianati wilayah dan amanahnya. Oleh karena itu disebutkan hukuman hadiah yang diambilnya itu akan dibawanya nanti pada hari kiamat. Nabi telah menerangkan sebab pengharamannya, yaitu karena status kekuasaan yang dimiliki oleh pegawai itu. Berbeda dengan hadiah bagi selain pegawai yang justru dianjurkan. Hukum barang yang diterima oleh pegawai itu, barang itu dikembalikan kepada pemberinya, jika sulit untuk dikembalikan maka dikembalikan ke baitul mal (kas negara). [20]
Di sini juga diperlihatkan sebuah praktek good governance yang dicontohkan nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Kami kutipkan dan bahas beberapa poin yang relevan dari kedua imam pensyarah kitab shahih, antara lain:
• Pemimpin dianjurkan berkhutbah untuk urusan-urusan penting. [21] Khutbah adalah sarana komunikasi publik di masa itu, saat ini mungkin dalam bentuk press release atau pidato di televisi.
• Ketika seorang pegawai melaporkan tugas, maka pemimpin mengevaluasi atau mengauditnya [21] [22], agar diketahui apa yang sedang di tangannya dan apa yang dia keluarkan. Dalam konteks negara kita saat ini, untuk mencegah laporan asal bapak senang dan menegakkan transparansi pendapatan (dan belanja) negara.
• Larangan bagi pegawai pemerintah untuk menerima hadiah tanpa izin imam [23] (imam dalam konteks negara Madinah saat itu adalah nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagai head of state). Dalam kondisi kita saat ini, larangan menerima hadiah tanpa seizin negara. Karena Indonesia adalah negara hukum, "izin" ini tentu berupa perangkat aturan hukum yang berlaku (UUD, UU, Perpres, dst). Misalnya jika sudah disahkan oleh KPK dalam mekanisme gratifikasi bahwa hadiah itu bisa diberikan untuk sang penerima.
• Jika petugas diberi hadiah, maka dia harus mengembalikannya [24]. Jika terlanjur menerima (tanpa izin nabi) atau sulit untuk dikembalikan maka dimasukkan ke dalam baitul mal (kas negara) [25] [26]. Dalam konteks kita sekarang, jika pejabat menerima hadiah maka harus melaporkannya kepada KPK. Setelah diputuskan oleh KPK bahwa ini sebuah gratifikasi, maka diputuskan sebagai milik negara.
• Menutup semua jalan yang dijadikan sarana oleh orang untuk mengambil harta dengan menekan orang yang diambil hartanya [27]. Banyak kasus pejabat di Indonesia memperkaya diri saat ini dengan dalih macam-macam, di antaranya "hadiah yang ikhlas" atau "tolong menolong". Di dalam Islam, hal seperti ini dicegah sejak awal sebagai tindakan preventif terhadap korupsi.
• Menerima hadiah dari mereka yang biasa memberi hadiah sebelum seseorang memangku jabatan tertentu diperbolehkan. Imam Ibnu Hajar memberi catatan, bahwa hadiahnya tidak melebihi kebiasaan. [28] Misalnya, jauh sebelum Pak Fulan diangkat menjadi walikota, seseorang sudah biasa menghadiahi sekotak telur ayam buat Pak Fulan menjelang lebaran, lalu setelah menjadi walikota maka tidak apa-apa jika kebiasaan itu masih diteruskan, dengan catatan: tetap sekotak telur ayam.
• Barangsiapa melihat seseorang berpendapat yang menimbulkan mudharat kepada orang yang mengikuti pendapat itu (dalam hal ini pendapat Ibnu Al Ibnu Al Latabiyah yang menerima hadiah), maka dia sebaiknya memasyhurkan di antara manusia dan menjelaskan kesalahannnya untuk mengingatkan mereka agar tidak terperdaya dengannya. Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan, boleh mencela orang yang keliru [29] (dalam urusan publik, bukan urusan privat). Inilah sebuah bentuk transparansi publik yang diajarkan dalam Islam. Ini bantahan jelas bagi sekelompok orang yang ta'ashub dengan pemimpinnya, ketika kebijakan atau pernyataan publik pemimpinnya dikritik secara terbuka lalu mereka membalas dengan dalil-dalil ghibah. Padahal mengghibahi seseorang dengan alasan yang dibenarkan syar'i adalah diperbolehkan. Ini sebuah bab dengan pembahasan tersendiri, insya Allah jika ada kesempatan akan kami bahas.
Pembahasan tentang dalil kedua (hadits nabawiyah) ini kami tutup dengan sebuah hadits shahih yang secara tegas mengatur jabatan dan gaji pejabat.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Dari Abdullah bin Buraidah, dari ayahnya, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa yang kami beri jabatan untuk mengurusi suatu pekerjaan kemudian kami berikan kepadanya suatu pemberian (gaji), maka apa yang ia ambil setelah itu (selain gaji) adalah suatu bentuk pengkhianatan." (HR Muslim, Abu Daud. Teks dari Imam Abu Daud)
Dalil Ketiga, Salafush Shalih
Salafush shalih adalah istilah yang dinisbatkan kepada generasi terdahulu umat Islam, yang merupakan generasi terbaik yaitu para sahabat, tabi'in dan tabi'uttabi'in. Nabi menjamin "keterbaikan" mereka dalam sebuah hadits shahih.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ سَأَلَ رَجُلٌ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النَّاسِ خَيْرٌ قَالَ الْقَرْنُ الَّذِي أَنَا فِيهِ ثُمَّ الثَّانِي ثُمَّ الثَّالِثُ
Dari 'Aisyah dia berkata, seseorang bertanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Siapakah sebaik-baik manusia?". Beliau menjawab, "Yaitu masa yang aku hidup di dalamnya, kemudian generasi kedua, dan generasi ketiga." (HR Muslim)
Amirul Mukminin Umar bin Khaththab radliallahu 'anhu menanyai seorang pegawai baitul mal yang pulang membawa banyak hadiah, "Dari mana kau dapatkan barang-barang ini?" Pegawai tersebut mengatakan bahwa itu adalah hadiah. Mendengar itu, Umar lantas membacakan sabda nabi yang kami kutip sebelumnya (tentang Ibnu Al Latabiyah) dan menetapkan hadiah itu untuk kas negara.
Terukir pula nama seorang Umar lain, yaitu Umar bin Abdul Aziz (lahir 63 H) dari kalangan tabi'in, cicit dari Amirul Mukminin Umar bin Khattab, dibesarkan di bawah bimbingan sahabat Ibnu Umar radliallahu 'anhum, masyhur dengan keadilan, kejujuran, kezuhudan terhadap dunia dan kecakapan sebagai pemimpin, sehingga sering disebut sebagai khalifah kelima. Di masa akhir jabatannya yang hanya 2 tahun 5 bulan, sangat sulit mencari penerima zakat karena kehidupan rakyat yang sejahtera. Inilah sosok pemimpin yang adil sehingga mensejahterakan rakyatnya, bukan pemimpin yang memikirkan kesejahteraan diri dan kelompoknya lalu lupa keadilan untuk rakyatnya.
Bagaimana sikap beliau terhadap hadiah untuk pemimpin? Dari sebuah atsar yang shahih disebutkan:
اِشْتَهَى عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ التُّفَاحَ فَلَمْ يَجِدْ فِي بَيْتِهِ شَيْئًا يَشْتَرِ بِهِ، فَرَكِبْنَا مَعَهُ، فَتَلَقَّاهُ غِلْمَانُ الدِّيرِ بِأَطْبَاقِ تُفَّاحٍ، فَتَنَاوَلَ وَاحِدَةً فَشَمَّهَا ثُمَّ رَدَّ اْلأَطْبَاقَ، فَقُلْتُ لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ، لَا حَاجَةَ لِي فِيْهِ، فَقُلْتُ، أَلَمْ يَكُنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَ أَبُوْ بَكْرٍ وَ عُمَرُ يَقْبَلُوْنَ الْهَدِيَّةَ؟ فَقَالَ، إِنَّهَا لأُولَئِكَ هَدِيَّةٌ وَ هِيَ لِلْعُمَّالِ بَعْدَهُمْ رِشْوَةٌ
Umar bin Abdul Aziz ingin memakan apel, namun dia tidak mendapati di rumahnya sesuatu yang bisa digunakan untuk membelinya. Kami pun menunggang kuda bersamanya. Kemudian dia disambut oleh pemuda-pemuda biara dengan piring-piring yang berisi apel. Umar bin Abdul Aziz mengambil sebuah apel dan menciumnya, lalu mengembalikannya ke piring. Aku pun bertanya kepadanya mengenai hal itu. Maka dia berkata, "Aku tidak membutuhkannya". Aku bertanya, "Bukankah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, Abu Bakar dan Umar menerima hadiah?". Dia menjawab, "Sesungguhnya ia bagi mereka adalah hadiah dan bagi pejabat sesudahnya adalah suap".
Imam Ibnu Hajar menjelaskan, Umar bin Abdul Aziz radliallahu 'anhu menyamakan hadiah untuk pejabat sebagai suap. Orang yang menerima suap disebut murtasyi, orang yang menyuap disebut rasyi, orang yang menjadi perantaranya disebut ra'isy. Sementara telah disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi tentang laknat bagi orang yang menyuap, mengambil suap dan yang menjadi perantara suap.
Makna yang disebut oleh Umar bin Abdul Aziz terdapat pula dalam hadits marfu' yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Imam Ath Thabrani,
هَدَايَا الْعُمَّال غُلُولٌ
Hadiah-Hadiah Untuk Pegawai Pemerintah Adalah Pengkhianatan. (Imam Ibnu Hajar menyatakan sanadnya dhaif). [30]
Perkataan Beberapa Ulama
Imam Asy Syafi'i rahimahullah ketika membahas tentang hadits Ibnu Al Latabiyah itu mengatakan "diharamkan bagi petugas untuk menyegerakan mengambil hak terhadap orang-orang yang ditangani urusannya." [31]
Di dalam Al Ahkam As Sulthaniyah (Hukum Pemerintahan), Imam Al Mawardi rahimahullah menjelaskan bahwa siapa pun yang diangkat sebagai hakim tidak diperbolehkan menerima hadiah dari salah satu pihak yang berperkara atau dari seseorang warga di daerah kerjanya, kendati orang tersebut tidak mempunyai lawan dalam satu perkara, karena bisa jadi ia bertindak tidak adil dalam jabatannya. [32]
Imam Al Mawardi mengutip hadits:
هَدَايَا اْلأُمَرَاءِ غُلُولٌ
Hadiah-hadiah para gubernur adalah hasil curian (HR Baihaqi, sanadnya lemah) [33]
Jika hakim menerima hadiah dan gajinya dipercepat kepadanya dalam bentuk hadiah tersebut, ia berhak memilikinya. Jika gajinya tidak dipercepat kepadanya dengan hadiah tersebut, maka baitul mal (kas negara) lebih berhak terhadap hadiah tersebut jika ia tidak bisa mengembalikan hadiah tersebut kepada pemberinya, karena kas negara lebih berhak terhadap hadiah itu daripada sang hakim. [34]
Syaikh Ibnu al Utsaimin rahimahullah ditanya tentang sebagian siswa yang memberikan hadiah kepada guru-guru perempuannya bertepatan dengan adanya suatu moment tertentu, sebagian dari guru-guru itu ada yang masih mengajar mereka, sebagian lainnya tidak sedang mengajar mereka akan tetapi ada kemungkinan kelak guru-guru tersebut akan mengajarkan mereka di tahun-tahun berikutnya dan sebagian lagi adalah guru-guru yang tidak mungkin akan mengajarkan mereka seperti guru-guru yang sudah keluar. Maka apakah hukumnya?
Syaikh menjawab bahwa untuk keadaan yag ketiga (gurunya sudah keluar) maka tidaklah mengapa. Adapun untuk keadaan yang lainnya—pertama dan kedua—maka tidaklah dibolehkan walaupun hanya sekedar hadiah melahirkan atau yang lainnya karena hadiah semacam itu dapat menjadikan hati guru tersebut condong kepadanya. [35]
Mudah-mudahan cukup jelas bagi kita apa hukumnya menerima hadiah bagi para pejabat negara. Dalil diriwayatkan secara shahih dari nabi, dan diuraikan oleh ulama yang diakui dunia.
Jauh sebelum konsep good governance dimatangkan dan digadangkan belakangan ini, Islam sudah mengaturnya secara jelas. Inilah salah satu contoh kecil dari syari'ah Islam, seperangkat aturan hidup (way of life) yang amat lengkap untuk keselamatan dunia dan akhirat. Inilah nikmat Allah untuk kita. Tapi mengapa kita berpaling dari syari'ah? Nikmat Allah mana lagi yang mau kita dustakan?
Beberapa Kejadian Kontemporer
Yang amat memprihatinkan adalah, di sebuah negara di mana ada 200 juta lebih muslim hidup, budaya memberi upeti kepada pejabat ini justru amat subur, tidak usah kita hitung mafia anggaran atau proyek.
Sudah tidak aneh ada orang yang baru menjabat lalu kaya raya mendadak. Malahan terkadang, niat untuk masuk ke pemerintahan atau parlemen, salah satunya adalah karena banyaknya hadiah yang akan diterimanya nanti. Rasa malu karena kaya mendadak setelah menjabat sudah tidak ada. Benarlah apa yang dikatakan oleh nabi shallallahu 'alaihi wasallam:
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ الْأُولَى إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
"Sesungguhnya yang diperoleh manusia dari ucapan kenabian yang pertama adalah jika kamu tidak mempunyai rasa malu, maka berbuatlah sesukamu." (HR Bukhari)
Carilah pejabat eselon satu atau dua di Indonesia yang hanya punya sepeda motor atau satu mobil sebagai kendaraan pribadinya. Akan sulit. Tentu kita tidak langsung menuduh mereka korupsi dan mereka pun akan menolak bahkan bisa menuntut balik kalau dikatakan korupsi. Tapi mudahnya, tinggal dihitung saja berapa penghasilan resmi mereka per bulan, lalu berapa total kekayaan yang ada.
Salahkah mereka kaya? Tidak salah juga, bisa jadi memang warisan orang tua. Yang jadi masalah adalah, kalau cara menjadi kaya itu dengan memanfaatkan jabatan, tidak usah kita sebut praktek kotor seperti mark up anggaran misalnya, kebiasaan menerima hadiah atau gratifikasi saja sudah sangat merusak. Setelah diberi hadiah, akan timbul hutang budi kepada pemberi, akan hilang sikap adil, dst. Secara alamiah saja, manusia sudah sulit untuk adil, ditambah pula ada kecenderungan kepada pihak tertentu yang selama ini sudah menanam budi dalam bentuk hadiah-hadiah untuk para pejabat itu. Itulah sebabnya Islam melarang ini secara tegas.
Kalau ada yang jujur dan hidup sederhana, malah dianggap aneh. Pernah kami mempunyai tetangga pensiunan perwira menengah sebuah kesatuan elit TNI, orang yang kami ketahui sangat menjunjung tinggi integritas, ketika pensiun beliau hanya punya satu motor tua, bukan moge tetapi yang biasanya dipakai pengojek. Sang menantu bercerita kepada kami, dulu sebelum menikah, ketika tahu calon mertuanya perwira satuan elit, dia memperkirakan mobilnya paling tidak ada dua.
Kita ambil dua contoh yang masih segar. Dalam sesi wawancara terbuka 'Seleksi Calon Hakim Agung RI' di Gedung Komisi Yudisial bulan Juli 2011 yang lalu, seorang hakim mengaku kerap menerima hadiah. Ia berkata, "Saya sering terima tanda mata, berupa Ayam, Singkong, tapi saya tahu itu bukan semata-mata untuk suap. Melainkan ucapan terimakasih yang iklas," [36]
Apakah kalau dia bukan hakim, dan duduk-duduk saja di rumah engkongnya, maka akan ada orang mengirim ayam dan singkong ke rumahnya?
Hadiah ini kadang dilabeli dengan "ucapan terima kasih", kadang dilabeli dengan "balas jasa". Seorang anggota DPR RI dengan tenang mengatakan "Saya sering disebut sebagai pengumpul duit partai, tapi saya bukan calo." [37]
Apakah kalau dia bukan anggota parlemen, dan duduk-duduk saja di rumah orang tuanya, lalu kepala daerah mau mendekati dan menghadiahi dia?
Hadiah ini terkadang berupa sesuatu yang kelihatannya ahsan (baik). Seperti naik haji atau umrah. Pernah seorang rekan kami menceritakan bahwa temannya yang anggota parlemen dihadiahi oleh mitra kerjanya, pergi umrah ke tanah suci. Bagaimana ini? Bukankah menerima hadiah bagi pejabat negara hukumnya haram? Bagaimana kalau hadiahnya umrah?
Berarti ini umrah dengan dana haram. Sahkah umrahnya? Bisa saja sah, meskipun ada perbedaan pendapat ulama tentang hal ini. Diterima Allah kah? Tidak. Ini bukan perkataan kami, tapi perkataan nabi Shallallahu 'alaihi wasallam sendiri. Hal ini sudah kami bahas pada tulisan kami "Amal Shalih Dengan Uang Syubhat atau Haram?" [38]
Ada pula yang berkata, "Bagaimana jika hadiah itu diterima saja, daripada ditolak dan jatuh ke tangan orang kafir? Bukankah lebih baik jatuh ke tangan kita dan kita salurkan sebagai amal shalih? Kita tidak ingin menggunakan uang itu, tapi hanya menyalurkannya kepada masyarakat."
Kami sungguh prihatin terhadap alasan seperti ini. Kalau nabi sudah melarang, maka itu harus dijauhi, full stop. Nabi sudah mengharamkan, maka hukumnya tetap haram sampai hari kiamat. Ini hal yang amat mendasar di dalam Islam. Kalau alasan-alasan atas nama amal shalih itu dibenarkan, mengapa tidak sekalian membuat peternakan babi, pabrik bir atau kasino, di mana kita tidak akan menggunakan keuntungannya, tapi daripada uangnya diambil orang kafir, lebih baik ke tangan kita, bisa jadi amal. Na'udzubillah min dzalik.
Syaikh Yusuf Al Qaradhawi menyitir hadits nabi
وَتَسْتَحِلُّوْا مَحَارِمَ اللهِ بِأَدْنَى الْحِيَلِ
Dan janganlah kamu menghalalkan larangan-larangan Allah dengan siasat murahan (HR Tirmidzi dari Abu Abdullah bin Bathah)
Syaikh Qaradhawi menjelaskan, termasuk perbuatan siasat yang berdosa adalah menamakan sesuatu yang haram dengan nama lain. [39]
Penutup
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menjadi nasehat untuk kami, keluarga kami, saudara-saudari kami yang bekerja di pemerintahan dan para pembaca umumnya.
Buat saudara-saudari kami yang berkiprah di pemerintahan dan penyelenggara negara, jangan anggap remeh masalah hadiah ini. Betul ini sudah lazim, betul orang sekeliling kita cuek menerima hadiah dari rekanan, tapi nabi kita sudah melarang tegas. Jangan pula mencoba untuk mencari-cari siasat pembenaran ketika nabi sudah menegaskan larangannya. Sungguh tragis, ketika kita menolak makanan haram seperti daging babi dan minuman keras, tapi di sisi lain kita menerima hadiah karena jabatan. Sesuatu yang mungkin kita sambut gembira, tapi ternyata membinasakan di hari akhirat kelak. Na'udzubillah min dzalik.
Buat saudara-saudari kami yang berkiprah di pemerintahan dan penyelenggara negara, tetaplah menjaga malu. Malu adalah bagian dari iman. Tetaplah menjaga integritas dan berjuang walaupun di sekeliling kita sudah mabuk harta semua. Kalaupun tinggal kita sendiri, maka berjuanglah sendiri. Sahabat Abu Dzar Al Ghifari radliallahu 'anhu mati dalam kesendirian di tengah padang gurun karena mempertahankan prinsip dan warisan sang nabi. Kebenaran tidak ditentukan dari mayoritas, tapi dari compliance dengan Al Quran dan as sunnah.
Wallahu Ta'ala A'lam.