visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, December 22, 2011

Sejumlah Hujjah Larangan Ikut Perayaan Natal dan Tahun Baru

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, mari kita senantiasa bertaqwa kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, menjalani perintah-perintah Allah sekuat kemampuan kita, dan menjauhi larangan-laranganNya. Dalam kesempatan yang mulia ini akan kami kemukakan Sejumlah Hujjah Larangan Ikut Perayaan Natal dan Tahun Baru. Semoga masalah ini dapat difahami dan bermanfaat bagi kita semua.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115]

"Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisaa’ [4] : 115)

Imam As-Sa’di dalam tafsirnya menjelaskan,

{ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ }

Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, (yang dimaksud) jalan orang Mukmin yaitu jalan kaum Mukmin dalam aqidah (keyakinan) dan amal-amalnya.

Dari penjelasan itu, setiap jalan yang tidak sesuai dengan aqidah dan amaliyah Mukiminin maka bukan jalan orang Mukmin, maka wajib dihindari. Karena kalau diikuti maka Allah telah mengancamnya dengan ungkapan: Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.

Termasuk bukan jalan orang Mukmin yang jelas-jelas nyata adalah perayaan natal dan tahun baru, yang disebut Misa Kristus atau Christmas atau natalan.

Perayaan kelahiran Yesus disebut Christmas atau Misa Kristus.

“Mass” atau misa berarti “misi”, jadi (menurut keyakinan Nasrani, red) mereka diutus untuk mewartakan kabar sukacita tentang kedatangan Sang Juru selamat. (http://luxveritatis7.wordpress.com)

Itu jelas bukan jalan orang-orang Mukmin. Oleh karena itu, Ummat Islam dilarang mengikutinya, mengucapi selamat kepada mereka dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan-kegiatan perayaan mereka.

Berikut ini sejumlah hujjah dilarangnya bagi Ummat Islam, kami kutip dari fatwa Syaikh Abdullah al-Faqih, mengenai Hukum Perayaan Natal dan Tahun Baru Masehi–bagi Ummat Islam.

Syaikh Abdullah Al-Faqih menjelaskan sebagai berikut: “…Tidak boleh bagi seorang Muslim bergabung dengan Ahli Kitab (Yuhudi atau Nasrani) dalam perayaan hari besar Christmas (misa Kristus, natal, kelahiran Yesus) ataupun 'tahun baru Miladiyah', dan tidak boleh mengucapi selamat kepada mereka, karena hari raya itu termasuk jenis amal mereka yang itu adalah agama mereka yang khusus bagi mereka, atau syiar agama mereka yang batil. Sungguh kita telah dilarang menyepakati mereka dalam hari-hari besar mereka, yang hal itu telah ditunjukkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’ dan i’tibar (ungkapan yang dapat diambil sebagai pelajaran):

1. Adapun dari Al-Qur’an; maka firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِيْنَ لاَ يَشْهَدُوْنَ الزُّوْرَ وَإِذَا مَرُّوْا بِاللَّغْوِ مَرُّوْا كِرَاماً

"Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya." (QS. Al-Furqan [25] : 72)

Mujahid berkata dalam menafsiri ayat itu: "Sesungguhnya ia adalah hari-hari besar orang-orang musyrik," demikian pula dikatakan seperti itu oleh Ar-Rabi’ bin Anas, Al-Qadhi Abu Ya’la, dan Ad-Dhohhak.

Ibnu Sirin berkata: "Az-Zuur (palsu) adalah Sya’anin, yaitu hari besar bagi Nasrani yang mereka adakan pada hari Ahad yang dulunya untuk hari raya paskah dan mereka berpesta di dalamnya dengan membawa perlengkapan, dan mereka menyangka bahwa itu adalah peringatan untuk masuknya Isa Al-Masih ke Baitul Maqdis," seperti dijelaskan dalam kitab Iqtidho’us shirothil mustaqiem 1/ 537 dan al-Mu’jam Al-Wasith 1/ 488. Arah penunjukan dalil itu adalah bahwa apabila Allah telah memuji perbuatan meninggalkan persaksian (terhadap hari-hari besar mereka) yang itu hanya sekadar hadir dengan melihat atau mendengar (saja harus ditinggalkan), maka bagaimana pula dengan menyetujui apa yang lebih dari itu berupa perbuatan yang justru perbuatan zuur (palsu, perayaan hari besar mereka), tidak sekadar menyaksikannya.

2. Adapun dari As-Sunnah:maka di antaranya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata;

عَنْ أَنَسٍ قَالَ قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ « مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ ». قَالُواكُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَافِى الْجَاهِلِيَّةِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ ».رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, dan mereka mempunyai dua hari, mereka bermain-main pada kedua hari itu, maka Rasulullah bertanya, "Ini dua hari apa?"Mereka menjawab, "Kami dulu bermain pada kedua hari ini di masa jahiliyah."Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Sesungguhnya Allah sungguh telah mengganti yang lebih baik dari keduanya itu untuk kamu yaitu hari raya adha (qurban) dan hari raya fithri (berbuka)." (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan An-Nasaai atas syarat Muslim).

Arah penunjukan dalil itu bahwa dua hari raya jahiliyah tidak diakui oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau tidak membiarkan mereka bermain pada dua hari raya itu berdasar kebiasaan, tetapi bahkan beliau berkata, "Sesungguhnya Allah sungguh telah mengganti yang lebih baik dari keduanya itu" penggantian dari sesuatu itu menuntut untuk meninggalkan apa yang telah diganti, karena tidak boleh berkumpul antara pengganti dan yang diganti. Dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:خَيْرًا مِنْهُمَا yang lebih baik dari keduanya itu menuntut penggantian apa yang pernah ada di masa jahiliyah dengan yang disyari’atkan kepada kita (yaitu dua hari raya, Idul Adha dan Idul Fithri).

3. Adapun dari Ijma’: Termasuk yang diketahui dari sejarah bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani senantiasa ada di kota-kota orang Muslimin, mereka mengadakan hari-hari besar mereka yang mereka miliki, namun demikian tidak ada di masa salaf di antara Muslimin yang mengikuti mereka dalam hal itu sedikitpun. Demikian pula apa yang dilakukan Umar dalam syarat-syaratnya beserta ahli dzimmah yang disepakati para sahabat dan seluruh fuqoha’ (ahli fiqih) sesudah mereka: bahwa ahli dzimmah yaitu Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) tidak menampakkan hari-hari besar mereka di negeri Islam, ini dulu kesepakatan mereka sesungguhnya hanyalah untuk melarang mereka menampakkan hari-hari besar mereka, maka bagaimana membolehkan bagi Muslimin mengerjakannya? Bukankah perbuatan seorang Muslim untuk hari raya mereka itu lebih keras larangannya daripada penampakan orang kafir (sendiri) terhadap hari besarnya?

Umar radhiyallahu 'anhu sungguh telah berkata: "Jauhilah oleh kamu sakalian dari bicara dengan bahasa orang-orang asing, dan jangan masuk ke orang-orang musyrik di hari-hari raya mereka di gereja-gereja mereka, karena sesungguhnya kemurkaan sedang berturun-turun atas mereka." (Diriwayatkan Abu Al-Syaikh Al-Ashbahani dan Al-Baihaqi dengan sanad shahih). Diriwayatkan juga oleh al-Baihaqi dari Umar juga, katanya: "Jauhilah oleh kamu sakalian musuh-musuh Allah pada hari-hari raya mereka."

Imam Ibnu Taimiyyah berkata, "Umar ini telah melarang untuk mempelajari bahasa mereka, dan melarang sekadar masuk gereja mereka di hari raya mereka, maka bagaimana dengan (mengerjakan) perbuatan sebagian perbuatan-perbuatan mereka? Atau (bagaimana pula) mengerjakan apa yang termasuk tuntutan agama mereka? Bukankah menyepakati perbuatan mereka itu lebih besar daripada menyepakati bahasanya? Bukankah (mengikuti) perbuatan sebagian perbuatan-perbuatan di hari raya mereka itu lebih besar (larangannya) daripada sekadar masuk ke kalangan mereka di hari raya mereka?"

"Dan ketika kemurkaan (Allah) turun atas mereka pada hari raya mereka disebabkan perbuatan mereka, maka orang yang bergabung dengan mereka dalam perbuatan atau sebagiannya, bukankah sungguh telah menyambut siksa yang demikian? Kemudian ucapan Umar: dan jauhilah oleh kamu sekalian musuh-musuh Allah di hari raya mereka; bukankah itu suatu larangan untuk menjumpai mereka dan berkumpul dengan mereka pada hari raya mereka. Maka bagaimana tentang (mengikuti) perbuatan hari raya mereka…" (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhous Shirothil Mustaqiem 1/ 515)

4. Adapun dari pengambilan pelajaran (i’tibar) maka dikatakan: Hari-hari raya adalah termasuk rangkaian syari’at, manhaj (jalan, system pemahaman) dan tatacara peribadahan (manasik) yang telah Allah firmankan di dalamnya:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجاً [المائدة:48].

"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu , kami berikan aturan dan jalan yang terang." (QS. Al-Maaidah [5] : 48)

Maksudnya: umat Nabi Muhammad SAW dan umat-umat yang sebelumnya.

Ibnu Taimiyyah berkata: "Maka tidak ada bedanya antara bergabung dengan mereka dalam hari raya mereka dan antara bergabung dengan mereka dalam seluruh manhaj (jalan, system pemahaman), karena menyetujui seluruh hari raya itu adalah menyetujui kekafiran, dan menyetujui sebagian cabangnya itu adalah menyetujui sebagian cabang kekafiran. Bahkan hari-hari raya itu termasuk paling khas dari apa yang menandai syari’at, dan termasuk yang paling tampak di antara syiar-syiar, maka menyetujuinya adalah menyetujui syari’at kekafiran yang paling khusus dan syiar kekafiran yang paling nyata. Dan tidak diragukan lagi bahwa menyetujui hal ini sungguh telah sampai pada kekafiran dalam keseluruhan dengan syarat-syatanya." (Ibnu Taimiyyah, Iqtidhous Shirothil Mustaqiem 1/ 528)

Dia berkata juga; "kemudian sesungguhnya hari raya mereka itu dari agama yang dilaknat baik agamanya itu sendiri maupun pemeluknya. Maka menyetujuinya adalah menyetujui penyebab murka dan siksa Allah yang mereka itu dikhususkan dengannya."

Termasuk segi pelajaran juga: "bahwasanya apabila diperbolehkan perbuatan yang sedikit dari yang demikian (yakni mengikuti hari raya mereka) maka mengakibatkan kepada perbuatan yang banyak, kemudian apabila telah popular maka orang-orang awam memasukinya dan mereka lupa asalnya (itu dari orang kafir) sehingga menjadi kebiasaan manusia bahkan hari besar bagi mereka, sehingga menirukan hari raya Allah, bahkan kadang lebih lagi sehingga hampir berlangsung matinya Islam dan hidupnya kekafiran…"

Inilah yang dimudahkan Allah menyebutkannya dari dalil-dalil. Dan siapa yang ingin mendapatkan tambahan lagi maka hendaknya mengkaji kitab Iqtidhoush shirotil mustaqiem mukholafati ash-habil jahiem oleh Ibnu Taimiyyah dan kitab Ahkamu ahlidz dzimmah oleh Ibnul Qayyim, dan kitab al-wala’ wal bara’ fil Islam oleh Muhammad Sa’id Al-Qahthani.

Berlandaskan atas hal yang telah lalu itu maka kami katakan; Tidak boleh bagi seorang Muslim untuk bergabung dengan ahli kitab dalam hari-hari besar mereka, karena dalil-dalil yang lalu dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan I’tibar. Sebagaimana tidak boleh mengucapi selamat kepada mereka dengan hari-hari raya mereka karena ia termasuk karakteristik (ciri khas) agama mereka atau jalan-jalan mereka yang batil.

Imam Ibnul Qayyim berkata: "Adapun ucapan selamat dengan syiar-syiar kekafiran yang khusus dengannya maka haram dengan kesepakatan, seperti kalau mengucapi selamat kepada mereka dengan hari-hari raya mereka dan puasa mereka, dengan mengatakan; hari raya yang diberkahi atasmu, atau selamat dengan hari raya ini dan semacamnya, maka ini apabila selamat pengucapnya dari kekafiran, maka perbuatannya itu sendiri termasuk yang diharamkan, dan itu pada posisi ucapan selamat kepada sujudnya pada salib, bahkan hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah, dan lebih sangat dimurkai daripada ucapan selamat kepada yang minum khamr, membunuh jiwa, dan berbuat dosa pada farji yang haram (berzina) dan semacamnya."

Banyak di antara orang yang tidak menghargai agama di sisinya yang jatuh dalam hal yang demikian, dan dia tidak tahu buruknya apa yang dia perbuat, maka barangsiapa mengucapi selamat kepada seseorang pada kemasiatannya atau bid’ahnya atau kekafirannya maka sungguh dia menyambut murka Allah dan marahNya… dan seterusnya. Lihatlah kitab Ahkamu Ahlidz Dzimmah 1/ 161 fasal mengenai ucapan selamat kepada ahlidz dzimmah oleh Ibnul Qayyim.

Apabila seorang berkata: "Orang ahli Kitab mengucapi selamat kepada kami pada hari-hari raya kami maka bagaimana kami tidak mengucapi kepada mereka pada hari-hari raya mereka sebagai pergaulan setara dan membalas penghormatan dan menampakkan toleransi Islam… dan seterusnya?"

Jawabannya: Hendaknya dikatakan: "Kalau toh mereka mengucapi selamat kepada kita pada hari-hari raya kita, maka tidak boleh kita mengucapi selamat pada hari-hari raya mereka, karena adanya perbedaan. Hari-hari raya kita itu adalah haq (benar) dari agama kita yang benar. Berbeda dengan hari-hari raya mereka yang batil itu yang dari agama mereka yang batil, maka walaupun mereka mengucapi selamat kepada kita atas kebenaran maka kita tidak mengucapi mereka atas kebatilan."

Kemudian sesungguhnya hari-hari besar mereka itu tidak terlepas dari maksiat dan kemunkaran, dan yang terbesar dari yang demikian itu adalah pengagungan mereka terhadap salib dan kemusyrikan mereka terhadap Allah Ta’ala. Apakah ada kemusyrikan yang lebih besar dibanding tuduhan mereka terhadap Isa 'alaihis salam bahwa ia adalah Tuhan atau anak Tuhan? Maha Tinggi Allah dari apa yang mereka katakan;

سُبْحَانَهُ وَتَعَالىَ عَمَّا يَقُوْلُوْنَ عُلُوًّا كَبِيْراً

"Maha Suci dan Maha Tinggi Dia dari apa yang mereka katakan dengan ketinggian yang sebesar-besarnya." (QS. Al-Israa’ [17] : 43)

Tambahan lagi apa yang terjadi dalam perayaan-perayaan mereka pada hari-hari besar mereka berupa pemerkosaan terhadap kehormatan, perbuatan keji, minum untuk mabuk-mabukan, hura-hura, dan perbuatan tanpa malu, yaitu apa yang mengakibatkan marahnya Allah dan murka-Nya. Maka apakah pantas bagi Muslim yang mengesakan Allah rabbil ‘alamiin untuk bergabung atau mengucapi selamat kepada mereka berkaitan dengan ini!

Ingatlah, maka bertaqwalah kepada Allah wahai mereka yang menganggap enteng dalam perkara-perkara seperti ini, dan hendaklah mereka kembali kepada agama mereka. Kami memohon kepada Allah agar Dia memperbaiki keadaan kami dan keadaan seluruh Muslimin.

Wallahu a’lam.

Demikian penjelasana Mufti Markaz fatwa dengan bimbingan Dr Abdullah Al-Faqih. (fatawa Ash-Shabakah al-Islamiyyah juz 46 halaman 104, nomor 26883, 10 Dzulqa’dah 1425H/ islamweb)

Jama’ah jum’ah rahimakumullah, setelah kita tahu hujah-hujjahnya, maka tidak ada alasan lagi untuk mengikuti jalan mereka. Apabila masih nekat, berarti tidak menggubris ancaman Allah Ta’ala seperti tersebut di atas, yaitu:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا [النساء/115]

"Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS An-Nisaa’ [4] : 115)

Semoga kita diberi kefahaman oleh Allah Ta’ala atas agama Islam yang diridhoiNya ini, dan dianugerahi kemampuan untuk mengamalkan sebaik-baiknya dengan ikhlas lillahi Ta’ala, tanpa mengikuti jalan-jalan selain jalan kaum Mukminin. Aamiin ya rabbal ‘alamiin.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْوَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ.

Pentingnya Ummat Islam Memperhatikan Fatwa-Fatwa Ulama tentang Natal


Dalam kesempatan yang mulia ini akan kami kemukakan tentang Pentingnya Ummat Islam Memperhatikan Fatwa-Fatwa Ulama tentang Natal.

Untuk menjaga keimanan dan taqwa, perlu kita menjalankan Islam ini dengan ilmu. Dan apabila kita tidak mengerti maka sudah ada petunjuknya, agar bertanya kepada ahli ilmu.

فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ [النحل/43]

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (QS An-Nahl [16] : 43)

Yakni: orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang Nabi dan kitab-kitab.

Dalam hal adanya gejala ikut-ikutan upacara agama lain, ataupun mengucapkan selamat atas hari raya agama lain, ada fatwa-fatwa yang penting untuk diperhatikan Ummat Islam.

Inti Fatwa MUI tentang Haramnya Ummat Islam ikut Natalan

Bahwa ummat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain berdasarkan:

1. Al-Qur‘an surat Al-Kafirun [109] ayat 1-6:

قُلْ يَاأَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)

Katakanlah hai orang-orang kafir, 'aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah pula menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku'.”

2. Al-Qur‘an surat Al-Baqarah [2] ayat 42:

وَلَا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (42)

Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui.”

(FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA point B)

Bahwa barangsiapa berkeyakinan bahwa Tuhan itu lebih daripada satu, Tuhan itu mempunyai anak Isa Al-Masih itu anaknya, bahwa orang itu kafir dan musyrik, berdasarkan atas:

1. Al-Qur‘an surat Al-Maidah [5] ayat 72 :

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ وَقَالَ الْمَسِيحُ يَابَنِي إِسْرَائِيلَ اعْبُدُوا اللَّهَ رَبِّي وَرَبَّكُمْ إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَالِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72)

Sesungguhnya telah kafir orang-orang yang berkata, 'Sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam'. Padahal Al Masih sendiri berkata, 'Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu'. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah Neraka, tidak adalah bagi orang zhalim itu seorang penolong pun.”

2. Al-Qur‘an surat Al-Maidah [5] ayat 73:

لَقَدْ كَفَرَ الَّذِينَ قَالُوا إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلَاثَةٍ وَمَا مِنْ إِلَهٍ إِلَّا إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنْ لَمْ يَنْتَهُوا عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ (73)

“Sesungguhnya kafir orang-orang yang mengatakan, 'Bahwa Allah itu adalah salah satu dari yang tiga (Tuhan itu ada tiga)', padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain Tuhan yang Esa. Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu pasti orang-orang kafir itu akan disentuh siksaan yang pedih.”

3. Al-Qur‘an surat At-Taubah [9] ayat 30:

وَقَالَتِ الْيَهُودُ عُزَيْرٌ ابْنُ اللَّهِ وَقَالَتِ النَّصَارَى الْمَسِيحُ ابْنُ اللَّهِ ذَلِكَ قَوْلُهُمْ بِأَفْوَاهِهِمْ يُضَاهِئُونَ قَوْلَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ قَبْلُ قَاتَلَهُمُ اللَّهُ أَنَّى يُؤْفَكُونَ (30)

Orang-orang Yahudi berkata Uzair itu anak Allah, dan orang-orang Nasrani berkata Al-Masih itu anak Allah. Demikianlah itulah ucapan dengan mulut mereka, mereka meniru ucapan/perkataan orang-orang kafir yang terdahulu, dilaknati Allah-lah mereka bagaimana mereka sampai berpaling.”

(FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA TENTANG PERAYAAN NATAL BERSAMA point D).

Islam mengajarkan Bahwa Allah SWT itu hanya satu, berdasarkan atas Al Qur‘an surat Al Ikhlas:

قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ (1) اللَّهُ الصَّمَدُ (2) لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُولَدْ (3) وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (4)

Katakanlah, 'Dia Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Dan tidak ada seorang pun/sesuatu pun yang setara dengan Dia'.”

G. Islam mengajarkan kepada ummatnya untuk menjauhkan diri dari hal-hal yang syubhat dan dari larangan Allah SWT serta untuk mendahulukan menolak kerusakan daripada menarik kemaslahatan, berdasarkan atas:

1. Hadits Nabi SAW dari Nu‘man bin Basyir:

{ إنَّ الْحَلَالَ بَيِّنٌ ، وَالْحَرَامَ بَيِّنٌ ، وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ ، لَا يَعْلَمُهُنَّ كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ ، فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ : كَالرَّاعِي يَرْعَى حَوْلَ الْحِمَى يُوشِكُ أَنْ يَقَعَ فِيهِ ، أَلَا وَإِنَّ لِكُلِّ مَلِكٍ حِمًى ، أَلَا وَإِنَّ حِمَى اللَّهِ مَحَارِمُهُ ، }.

Sesungguhnya apa apa yang halal itu telah jelas dan apa apa yang haram itu pun telah jelas, akan tetapi diantara keduanya itu banyak yang syubhat (seperti halal, seperti haram) kebanyakan orang tidak mengetahui yang syubhat itu. Barang siapa memelihara diri dari yang syubhat itu, maka bersihlah agamanya dan kehormatannya, tetapi barang siapa jatuh pada yang syubhat maka berarti ia telah jatuh kepada yang haram, semacam orang yang mengembalakan binatang makan di daerah larangan itu. Ketahuilah bahwa setiap raja mempunyai larangan dan ketahuilah bahwa larangan Allah ialah apa-apa yang diharamkan-Nya (oleh karena itu hanya haram jangan didekati).”

2. Kaidah Ushul Fiqih

دَرْءَُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ .

“Menolak kerusakan-kerusakan itu didahulukan daripada menarik kemaslahatan-kemaslahatan (jika tidak demikian sangat mungkin mafasidnya yang diperoleh, sedangkan masholihnya tidak dihasilkan).” (point F dan G).

(MUI) MEMUTUSKAN

Memfatwakan

1. Perayaan Natal di Indonesia meskipun tujuannya merayakan dan menghormati Nabi Isa AS, akan tetapi Natal itu tidak dapat dipisahkan dari soal-soal yang diterangkan diatas.

2. Mengikuti upacara Natal bersama bagi ummat Islam hukumnya haram.

3. Agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. (Jakarta, 1 Jumadil Awal 1401 H, 7 Maret 1981, Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Ketua K. H. M SYUKRI GHOZALI Sekretaris Drs. H. MAS‘UDI).

(Sumber: Himpunan Fatwa Mejelis Ulama Indonesia 1417H/ 1997, halaman 187-193)

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, fatwa MUI itu memfokuskan haramnya mengikuti upacara natal. Dan agar ummat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal.

Di situ dihukumi haram ketika mengikuti upacara natal, dan terhadap kegiatan-kegiatannya (di luar upacara natal) dikhawarirkan terjerumus kepada yang syubhat dan haram, maka dianjurkan agar tidak mengikuti kegiatan-kegiatan natal.

Fatwa itu merupakan salah satu bentuk kasih sayang ulama terhadap Ummat Islam, agar tetap tegak lurus dalam aqidah keyakinan yang benar, dan terhindar dari kebatilan, yang dalam hal ini dapat merusak keimanan. Oleh karena itu ada pula fatwa dari ulama yang lebih jelas lagi, bagaimana hukumnya mengenai adanya gejala orang-orang Muslim mengucapkan selamat natal. Seperti apa kedudukan ucapan itu dalam Islam, dan bagaimana sikap yang benar. Inilah fatwanya.

Fatwa Syeikh ‘Utsaimin

Mengucapkan “Happy Christmas” (Selamat Natal) atau perayaan keagamaan mereka lainnya kepada orang-orang Kafir adalah haram hukumnya menurut kesepakatan para ulama (ijma’).

Hal ini sebagaimana dinukil dari Ibn al-Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya “Ahkâm Ahl adz-Dzimmah”, beliau berkata, ”Adapun mengucapkan selamat berkenaan dengan syi’ar-syi’ar kekufuran yang khusus bagi mereka adalah haram menurut kesepakatan para ulama, seperti mengucapkan selamat terhadap Hari-Hari besar mereka dan puasa mereka, sembari mengucapkan, ’Semoga Hari raya anda diberkahi’ atau anda yang diberikan ucapan selamat berkenaan dengan perayaan hari besarnya itu dan semisalnya. Perbuatan ini, kalaupun orang yang mengucapkannya dapat lolos dari kekufuran, maka dia tidak akan lolos dari melakukan hal-hal yang diharamkan. Ucapan semacam ini setara dengan ucapannya terhadap perbuatan sujud terhadap Salib bahkan lebih besar dari itu dosanya di sisi Allah. Dan itu lebih amat dimurkai dibanding memberikan selamat atas minum-minum khamar, membunuh jiwa, melakukan perzinaan dan sebagainya. Banyak sekali orang yang tidak sedikitpun tersisa kadar keimanannya, yang terjatuh ke dalam hal itu sementara dia tidak sadar betapa buruk perbuatannya tersebut.Jadi, barangsiapa yang mengucapkan selamat kepada seorang hamba karena melakukan suatu maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka berarti dia telah menghadapi kemurkaan Allah dan Kemarahan-Nya.”

Mengenai kenapa Ibn al-Qayyim sampai menyatakan bahwa mengucapkan selamat kepada orang-orang Kafir berkenaan dengan perayaan hari-hari besar keagamaan mereka haram dan posisinya demikian, karena hal itu mengandung persetujuan terhadap syi’ar-syi’ar kekufuran yang mereka lakukan dan meridhai hal itu dilakukan mereka—sekalipun dirinya sendiri tidak rela terhadap kekufuran itu, akan tetapi adalah HARAM bagi seorang Muslim meridhai syi’ar-syi’ar kekufuran atau mengucapkan selamat kepada orang lain berkenaan dengannya, karena Allah Ta’ala tidak meridhai hal itu,sebagaimana dalam firman-Nya,

إِنْ تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنْكُمْ وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ وَإِنْ تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ

Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu.” (QS. Az-Zumar [39] : 7)

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku- cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu.” (QS. Al- Ma‘idah [5] : 3)

Jadi, mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengan hal itu adalah haram, baik mereka itu rekan-rekan satu pekerjaan dengan seseorang (Muslim) ataupun tidak.

Bila mereka mengucapkan selamat berkenaan dengan hari-hari besar mereka kepada kita, maka kita tidak boleh menjawabnya karena hari-hari besar itu bukanlah hari-hari besar kita. Juga karena ia adalah hari besar yang tidak diridhai Allah Ta’ala; baik disebabkan perbuatan mengada-ada ataupun disyari’atkan di dalam agama mereka, akan tetapi hal itu semua telah dihapus oleh Dienul Islam yang dengannya Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam diutus Allah kepada seluruh makhluk. Allah Ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (85)

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS. Ali ‘Imran [3] : 85)

Karena itu, hukum bagi seorang Muslim yang memenuhi undangan mereka berkenaan dengan hal itu adalah HARAM, karena lebih besar dosanya ketimbang mengucapkan selamat kepada mereka berkenaan dengannya. Memenuhi undangan tersebut mengandung makna ikut berpartisipasi bersama mereka di dalamnya. Demikian pula, haram hukumnya bagi kaum Muslimin menyerupai orang-orang Kafir, seperti mengadakan pesta-pesta berkenaan dengan hari besar mereka tersebut, saling berbagi hadiah, membagi-bagikan manisan, hidangan makanan, meliburkan pekerjaan dan semisalnya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Abu Daud)

Syaikhul Islam, Ibn Taimiyah berkata di dalam kitabnya Iqtidhâ‘ ash-Shirâth al-Mustaqîm, Mukhâlafah Ashhâb al-Jahîm. “Menyerupai mereka di dalam sebagian hari-hari besar mereka mengandung konsekuensi timbulnya rasa senang di hati mereka atas kebatilan yang mereka lakukan, dan barangkali hal itu membuat mereka antusias untuk mencari-cari kesempatan (dalam kesempitan) dan menghinakan kaum lemah (iman).”

Dan barangsiapa yang melakukan sesuatu dari hal itu, maka dia telah berdosa, baik melakukannya karena basa-basi, ingin mendapatkan simpati, rasa malu atau sebab- sebab lainnya, karena ia termasuk bentuk peremehan terhadap Dienullah dan merupakan sebab hati orang-orang kafir menjadi kuat dan bangga terhadap agama mereka.

Kepada Allah kita memohon agar memuliakan kaum Muslimin dengan diennya, menganugerahkan kemantapan hati dan memberikan pertolongan kepada Muslimin terhadap musuh-musuh mereka, sesungguhnya Dia Maha Kuat lagi Maha Perkasa.

(Sumber: Majmû’ Fatâwa Fadhîlah asy-Syaikh Muhammad bin Shâlih al-’Utsaimîn, Jilid III, h. 44-46, no. 403)

Gejala Ibadah Baru, Doa Bersama Antar Agama

Jama’ah Jum’ah rahimakumullah, ada yang perlu dicermati, pada momen-momen lain, orang kadang menyamakan antara yang haq dan yang batil. Sehingga dalil yang tegas dan jelas itu perlu kita pegangi. Sebagaimana kita dapat menyimak adanya gejala menyamakan yang haq dengan yang batil, lalu dipraktekkan dalam rangka ibadah baru, misalnya do’a bersama antar agama. Dalihnya, karena Nabi pernah mengajak orang Nasrani untuk mubahalah. Sedang mubahalah itu sama-sama berdoa, katanya. Jadi boleh dong kita mengadakan doa bersama antar agama.

Kita katakan, cara menyimpulkan hukum seperti itu, jelas cara yang tidak benar. Karena menyamakan mubahalah dengan do’a begitu saja, itu tidak teopat. karena mubahalah itu bukan sekadar do’a.

Mari kita runtut masalahnya. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam disuruh Allah Ta’ala untuk mubahalah dengan pihak Nasrani dari Najran, lalu di masa sekarang ini ada tokoh yang dengan lancangnya menjadikan mubahalah itu sebagai landasan bolehnya doa bersama antar agama. Padahal mubahalah itu adalah dua belah pihak saling berdoa agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak yang berdusta. Itu ada di dalam Al-Qur’an:

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ (٦١)

"Siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkan kamu), maka Katakanlah (kepadanya), 'Marilah kita memanggil anak-anak Kami dan anak-anak kamu, isteri-isteri Kami dan isteri-isteri kamu, diri Kami dan diri kamu; kemudian Marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya la'nat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta '." (QS. Ali ‘Imran [3] : 61)

Mubahalah ialah masing-masing pihak diantara orang-orang yang berbeda Pendapat mendoa kepada Allah dengan bersungguh-sungguh, agar Allah menjatuhkan la'nat kepada pihak yang berdusta. Nabi mengajak utusan Nasrani Najran ber-mubahalah tetapi mereka tidak berani dan ini menjadi bukti kebenaran Nabi Muhammad s.a.w. (catatan kaki dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya, Depag RI).

Orang sekarang yang berani menjadikan ayat tentang mubahalah sebagai landasan untuk bolehnya doa bersama antar agama, itu tidak dapat membedakan mana yang diridhoi Allah dan mana yang tidak. Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam jelas diridhai Allah Ta’ala. Sedang utusan Nasrani Najran jelas tidak. Karena mereka mengusung kekafiran.

Dengan menjadikan mubahalah sebagai landasan untuk bolehnya doa bersama antara agama, berarti menganggap bahwa Allah ridho’ terhadap kekufuran sebagaimana ridho’ kepada Islam. Ini sangat bertentangan dengan firman Alah:

وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ

"…dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya…" (QS. Az-Zumar [39] : 7)

وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

"…dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu." (QS. Al- Ma‘idah [5] : 3)

Ketika Allah sudah jelas tidak ridho kekafiran, maka otomatis tidak boleh ibadah (dalam hal ini doa) dicampur atau digabung dengan kekafiran sama sekali. Dan kalau digabung, berarti memberi peluang untuk masuknya aneka kekafiran sekaligus mempraktekkan untuk memakai dan memfungsikan kekafiran. Sedangkan Allah telah memerintahkan:

فَادْعُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ [غافر/14]

"Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadat kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya)." (QS. Al-Mu’min/Ghafir [40] : 14)

Ketika kita mengaku berdo’a (ibadat) murni ikhlas untuk Allah Ta’ala, tetapi orang kafir menyukai do’a yang kita lakukan itu bahkan suka rela mereka bergabung, atau bersama-sama, maka perlu dipertanyakan: apakah kemurnian iman Islam kita yang sudah tergadaikan kepada orang kafir, atau memang orang kafir sudah berubah jadi murni ke Islam.

Apabila masih teguh dalam kekafiran mereka, dan mereka rela berdoa bersama kita atas kekafiran mereka, berarti justru keimanan kita yang dipertanyakan. Karena tidak ada kekafiran yang suka kepada murninya keimanan. Dan sebaliknya tidak ada keridho’an Allah Ta’ala kepada kekafiran sebagaimana tersebut di atas. Hingga Allah Ta’ala memberikan ancaman:

وَإِنْ كَادُوا لَيَفْتِنُونَكَ عَنِ الَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ لِتَفْتَرِيَ عَلَيْنَا غَيْرَهُ وَإِذًا لَاتَّخَذُوكَ خَلِيلًا (73) وَلَوْلَا أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلًا (74) إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا (75) [الإسراء/73-75]

"Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia.Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong sedikit kepada mereka,kalau terjadi demikian, benar-benarlah Kami akan rasakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapat seorang penolongpun terhadap Kami."(QS, Al-Israa’ [17] : 73-75)

Imam Al-Qurthubi menjelaskan dalam tafsirnya:

{ وَإِذاً لاَّتَّخَذُوكَ خَلِيلاً } أي : لو اتبعت أهواءهم لاتخذوك خليلاً لهم- فتح القدير – (ج 4 / ص 337)

"Dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Artinya kalau kamu telah mengikuti hawa nafsu mereka tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia."

وقال ابن عباس: كان رسول الله صلى الله عليه وسلم معصوما، ولكن هذا تعريف للامة لئلا يركن أحد منهم إلى المشركين في شئ من أحكام الله تعالى وشرائعه. تفسير القرطبي – (ج 10 / ص 300)

Ibnu Abbas berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah ma’shum (terjaga dari dosa), tetapi ini adalah pemberitahuan kepada ummat agar tidak seorang pun di antara mereka (Muslimin) yang condong kepada orang-orang musyrikin dalam hal apapun dari hukum-hukum Allah Ta’ala dan syari’at-Nya. (Tafsir Al-Qurthubi juz 10 halaman 300).

Dalam ayat itu dijelaskan, kalau kamu telah mengikuti hawa nafsu mereka tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia. Dalam kenyataan, orang-orang yang mengaku Muslim tetapi mengadakan doa bersama dengan orang-orang kafir (bukan Islam) tampaknya memang jadi sahabat setia. Berarti yang terjadi adalah perbuatan yang telah mengikuti hawa nafsu mereka (orang-orang kafir).

Yang namanya mengikuti hawa nafsu diri sendiri saja sudah tercela, apalagi ini mengikuti hawa nafsu orang kafir, betapa tercelanya!

Semoga Allah Ta’ala memberikan kefahaman kepada kita dan kaum Muslimin pada umumnya bahwa yang haq itu tampak haq, sehingga kita mampu mengikutinya. Dan semoga Allah memahamkan bahwa yang batil itu tampak batil sehingga kita mampu menghindarinya. Dan semoga Ummat Islam terhindar dari bahaya orang-orang yang mencampur adukkan kekafiran dan keimanan, sehingga iman yang ada di dada Ummat Islam senantiasa terhindar dari kekafiran. Amien ya Rabbal ‘alamien.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرّحِيْمِ.

Kiat Agar Terlindung dari Sihir


Sihir adalah sebuah kata yang kerap akrab di telinga kita. Siapa yang tidak tahu tentang sihir, bahkan sekarang sihir telah menjadi suatu hiburan, wallahul musta’an. Padahal jika kita mau menela’ah lebih dalam apa itu sihir, pasti akan kita dapati bahaya yang sangat besar, terutama bahaya terhadap aqidah seorang muslim.

Apa Itu Sihir?

Sihir secara bahasa digunakan untuk segala sesuatu hal yang sebabnya samar, lembut dan tidak jelas. Adapun secara istilah, dikarenakan sihir memiliki berbagai macam bentuk dan caranya berbeda-beda, maka tidak ada definisi yang lengkap mencakup makna sihir. Di dalam kitab Adhwa-ul Bayan (4: 444) dijelaskan, “Ketahuilah, sesungguhnya sihir itu secara istilah tidak mungkin di definisikan dengan satu definisi yang lengkap mencakup semua jenis sihir dan mencegah yang bukan termasuk bagian sihir untuk masuk ke dalam bagian dari definisi tersebut, dikarenakan jenisnya yang banyak dan berbeda-beda yang masuk ke dalam istilah sihir. Tidak akan terwujud titik kesamaan di antara jenis sihir yang bisa mencakup semua macam jenis dan mencegah hal-hal yang termasuk sihir untuk masuk ke dalam definisi sihir. Dan ‘ulama berbeda pendapat dalam menjelaskan istilah tersebut, dengan perbedaan yang sangat mencolok.”

Bahaya Sihir

Sesuatu yang dimiliki oleh setiap muslim di dunia ini lebih mahal dibanding apa pun adalah agamanya. Orang yang berakal pasti menjaga agamanya dan tidak akan pernah ridha dengan perbuatan yang dapat merusak atau melemahkan atau mengotori aqidahnya. Melakukan sihir dan pergi untuk meminta tukang sihir untuk melakukan sihir dapat membahayakan aqidah, bahkan meminta tukang sihir untuk melakukan sihir menjadi salah satu penyebab batalnya Islam seseorang.

Maka tukang sihir dan orang yang pergi ke tukang sihir untuk minta disihirkan, keduanya dihukumi sama. Dan sihir merupakan suatu keharaman dalam semua ajaran Rasul. Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan tidak akan menang tukang sihir itu, dari mana pun ia datang.” (QS. Thaha: 69) Barangsiapa yang telah melakukan sihir, maka ia telah terjerumus dalam kesyirikan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Dan barangsiapa yang melakukan sihir, maka ia telah Syirik.” (Diriwatkan An-Nasa-i). Disebutkan dalam Fathul Majid (231), “Ini adalah dalil tegas bahwa tukang sihir adalah Musyrik.”

Kiat Agar Terlindung dari Sihir

Di bawah ini ada beberapa hal yang dapat melindungi dan menjaga kita dari pengaruh sihir

1. Menjaga Shalat Shubuh

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang mendirikan shalat shubuh, maka ia berada di dalam jaminan perlindungan Allah” (HR. Muslim). Barangsiapa yang menjaga shalat shubuhnya, maka ia akan mendapat perlindungan dari Allah atas gangguan setan-setan yang ingin melakukan sihir

2. Membaca Surah Al-Baqarah di Dalam Rumah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Bacalah Surah Al-Baqarah! Karena sesungguhnya mengambilnya (membacanya) adalah barakah dan meninggalkannya adalah penyesalan (kerugian), dan sihir tidak akan mampu menghadapinya” (HR. Muslim)

3. Menjaga Bacaan Mu’awwidzatain (Surah Al-Falaq dan An-Nas) pada Waktu Shubuh dan Petang

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membacanya tiga kali pada waktu shubuh dan pada waktu petang, maka tidak ada yang bisa membahayakannya sesuatu apa pun.” (HR. Abu Dawud)

4. Membaca Ayat Kursi

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Apabila engkau mendatangi tempat tidur (di malam hari), bacalah Ayat Kursi, niscaya Allah akan senantiasa menjagamu dan setan tidak akan mendekatimu hingga waktu pagi” (HR. Al-Bukhari)

5. Membaca Dua Ayat Terakhir dari Surah Al-Baqarah

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membaca dua ayat terakhir dari surah Al-Baqarah di malam hari, maka keduanya telah mencukupinya.” (Muttafaqun ‘alaih)

6. Memakan Tujuh Buah Kurma ‘Ajwah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang memakan tujuh buah kurma ‘Ajwah di pagi hari, maka tidak ada yang bisa membahayakannya pada hari itu, baik racun dan sihir.” (Muttafaqun ‘alaih)

Sungguh begitu besar bahaya sihir bagi seorang muslim. Sihir tidak hanya membahayakan jiwa seseorang, namun dapat merusak aqidah seseorang. Sehingga bisa menjadi salah satu sebab batalnya keislaman seorang muslim. Semoga Allah senantiasa menjaga kita semua dari pengaruh buruk sihir dan para tukang sihir



Catatan: Banyak mengambil faedah dari kitab Ba’i-u Diinihi karya Syaikh ‘Abdul Muhsin bin Muhammad Al-Qosam



Wednesday, December 21, 2011

Doa Ketika Akan Berkumpul dgn Istri


Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِىَ أَهْلَهُ قَالَ: “بِاسْمِ اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا“، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِى ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

Jika salah seorang dari kalian (suami) ketika ingin mengumpuli istrinya, dia membaca doa: [Bismillah Allahumma jannibnaasy syaithoona wa jannibisy syaithoona maa rozaqtanaa], “Dengan (menyebut) nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari (gangguan) setan dan jauhkanlah setan dari rezki[1] yang Engkau anugerahkan kepada kami”, kemudian jika Allah menakdirkan (lahirnya) anak dari hubungan intim tersebut, maka setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”[2].

Hadits yang agung ini menunjukkan besarnya keutamaan membaca zikir/doa ini sebelum berhubungan suami istri, karena disamping mendapat pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, ini merupakan sebab selamatnya seorang bayi dari bahaya dan keburukan setan[3].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

Iblis dan bala tentaranya selalu berusaha menanamkan benih-benih keburukan kepada manusia sejak baru dilahirkan ke dunia ini dan sebelum mengenal nafsu, indahnya dunia dan godaan-godaan duniawi lainnya, apalagi setelah dia mengenal semua godaan tersebut[4]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tangisan seorang bayi ketika (baru) dilahirkan adalah tusukan (godaan untuk menyesatkan) dari setan”[5].

• Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku semuanya dalam keadaan hanif (suci dan cenderung kepada kebenaran), kemudian setan mendatangi mereka dan memalingkan mereka dari agama mereka (Islam)”[6].

• Agungnya petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mensyariatkan zikir dan doa untuk kebaikan agama manusia dan perlindungan dari keburukan tipu daya setan.

• Arti sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “…setan tidak akan bisa mencelakakan anak tersebut selamanya”: setan tidak akan bisa menyesatkan dan mencelakakan anak tersebut dalam diri dan agamanya, tapi bukan berarti ini menunjukkan bahwa anak tersebut terlindungi dan terjaga dari perbuatan dosa[7].

Termasuk keburukan yang terjadi akibat tidak menyebut nama Allah ‘Azza wa Jalla sebelum berhubungan intim adalah ikutsertanya setan dalam hubungan intim tersebut, sebagaimana yang diterangkan oleh imam Ibnu hajar, asy-Syaukani dan as-Sa’di[8], na’uudzu billahi min dzaalik.

• Imam Ibnu Hajar dan al-Munawi menjelaskan bahwa zikir/doa ini diucapkan ketika hendak berhubungan suami-istri dan bukan ketika sudah dimulai hubungan intim[9].

Anjuran membaca zikir/doa ini juga berlaku bagi pasangan suami-istri yang diperkirakan secara medis tidak punya keturunan, karena permohonan dalam doa/zikir ini bersifat umum dan tidak terbatas pada keturunan/anak saja[10].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين



Kota Kendari, 14 Dzulqo’dah 1432 H


Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, Lc., M.A.



Ziarah KUBUR


Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, Dzat yang telah menciptakan hidup dan mati untuk menguji manusia siapa yang terbaik amalannya. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga kepada keluarganya, shahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka denga baik.

Ketahuilah hamba-hamba Allah, sadar atau tidak sadar, kita semua saat ini sama-sama sedang menuju garis akhir kehidupan kita di dunia, meskipun jaraknya berbeda-beda setiap orang. Ada yang cepat, ada yang lama. Tetapi, perlahan tapi pasti, setiap orang menuju garis akhir kehidupannya di dunia, itulah kematian. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ

“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan” (QS. Ali ‘Imran : 185)

Setelah mati, seorang hamba hanya tinggal memetik apa yang selama ini ia tanam di dunia, tidak ada kesempatan kedua untuk menambah amal. jika kebaikan yang ia tanam, itulah yang akan ia panen. Jika keburukan yang ia tanam, maka dialah yang akan merasakannya sendiri. Oleh karena itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk banyak-banyak mengingat kematian. Beliau bersabda,

“أكثروا ذكر هازم اللذات” يعني : الموت.

“Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan (yakni kematian) ”[1]

Dan di antara cara untuk mengingat kematian adalah dengan berziarah kubur. Banyak sekali manfaat yang dapat dipetik dari amalan berziarah ke kubur. Inilah yang akan menjadi topik pembahasan kali ini[2] mengingat masih banyaknya kaum muslimin yang salah dalam menyikapi ziarah ini sehingga bukannya manfaat yang mereka raih, akan tetapi ziarah mereka justru mengundang murka Allah ‘Azza wa Jalla. Semoga Allah Ta’ala memberikan kita semua petunjuk.

Hukum ziarah kubur

Ziarah kubur adalah sebuah amalan yang disyari’atkan. Dari Buraidah Ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها

“Dahulu aku melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah” [3]

Bolehkah wanita berziarah kubur?

Para ulama berselisih dalam hal ini. Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan ada 5 pendapat ulama dalam masalah ini :

- Disunnahkan seperti laki-laki

- Makruh

- Mubah

- Haram

- Dosa besar[4]

Ringkasnya, pendapat yang paling kuat –wallahu a’lam- adalah wanita juga diperbolehkan untuk berziarah kubur asal tidak sering-sering. Hal ini berdasarkan beberapa alasan :

Pertama: Keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sudah lewat :

كنت نهيتكم عن زيارة القبور، فزوروها

“Dahulu aku melarang kalian dari ziarah kubur, maka sekarang berziarahlah”[5]

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan antara laki-laki dan wanita.

Kedua: Hadits-hadits yang menunjukkan bolehnya wanita berziarah lebih shahih daripada hadits yang melarang wanita berziarah. Hadits yang melarang wanita berziarah tidak ada yang shahih kecuali hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :

أن رسول الله لعن زوّارات القبور

“Rasulullah melaknat wanita yang sering berziarah kubur”[6]

Ketiga: Lafazh زوّارات dalam hadits di atas menunjukkan makna wanita yang sering berziarah. Al Hafizh Ibnu Hajar menukil perkataan Imam Al Qurthubi : “Laknat dalam hadits ini ditujukan untuk para wanita yang sering berziarah karena itulah sifat yang ditunjukkan lafazh hiperbolik tersebut (yakni زوّارات )”[7]. Oleh karena itu, wanita yang sesekali berziarah tidaklah masuk dalam ancaman hadits ini.

Keempat: Persetujuan (taqrir) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang sedang menangis di sisi kubur kemudian beliau hanya memberikan peringatan kepada wanita tersebut seraya berkata,

اتقى الله و اصبرى

Bertaqwalah engkau kepada Allah dan bersabarlah!”[8]

Dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengingkari perbuatan wanita tersebut. Dan sudah diketahui bahwa taqrir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hujjah.

Kelima: Wanita dan laki-laki sama-sama perlu untuk mengingat kematian, mengingat akhirat, melembutkan hati, dan meneteskan air mata dimana hal-hal tersebut adalah alasan disyari’atkannya ziarah kubur. Kesimpulannya, wanita juga boleh berziarah kubur

Keenam: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan keringanan kepada para wanita untuk berziarah kubur. Dalilnya adalah hadits dari shahabat Abdullah bin Abi Mulaikah :

أن عائشة أقبلت ذات يوم من المقابر، فقلت لها: يا أم المؤمنين من أين أقبلت؟ قالت: من قبر أخي عبد الرحمن بن أبي بكر، فقلت لها: أليس كان رسول الله نهى عن زيارة القبور؟ قالت: نعم: ثم أمر بزيارتها

“Aisyah suatu hari pulang dari pekuburan. Lalu aku bertanya padanya : “Wahai Ummul Mukminin, dari mana engkau?” Ia menjawab : “Dari kubur saudaraku Abdurrahman bin Abi Bakr”. Lalu aku berkata kepadanya : “Bukankah Rasulullah melarang ziarah kubur?” Ia berkata : “Ya, kemudian beliau memerintahkan untuk berziarah” “[9]

Ketujuh: Disebutkan dalam kisah ‘Aisyah yang membuntuti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ke pekuburan Baqi’ dalam sebuah hadits yang panjang, ‘Aisyah bertanya kepada Rasulullah,

كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي: السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا والمستأخرين، وإنا إن شاء الله بكم للاحقون

“Ya Rasulullah, apa yang harus aku ucapkan kepada mereka (penghuni kubur-ed)?” Rasulullah menjawab, “Katakanlah : Assalamu’alaykum wahai penghuni kubur dari kalangan kaum mukminin dan muslimin. Semoga Allah merahmati orang-orang yang mendahului kami dan orang-orang yang dating kemudian. Dan insya Allah kami akan menyusul kalian”[10]

Syaikh Al Albani rahimahullah berkata setelah membawakan hadits ini : “Al Hafizh di dalam At Talkhis (5/248) berdalil dengan hadits ini akan bolehnya berziarah kubur bagi wanita”[11]

Dengan berbagai argumen di atas jelaslah bahwa wanita juga diperbolehkan berziarah kubur asalkan tidak sering-sering. Inilah pendapat sejumlah ulama semisal Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, Al ‘Aini, Al Qurthubi, Asy Syaukani, Ash Shan’ani, dan lainnya rahimahumullah.[12]

Hikmah ziarah kubur

Ziarah kubur adalah amalan yang sangat bermanfaat baik bagi yang berziarah maupun yang diziarahi. Bagi orang yang berziarah, maka ziarah kubur dapat mengingatkan kepada kematian, melembutkan hati, membuat air mata menetes, mengambil pelajaran, dan membuat zuhud terhadap dunia. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا، فَإِنَّهُ يُرِقُّ الْقَلْبَ، وَتُدْمِعُ الْعَيْنَ، وَتُذَكِّرُ الْآخِرَةَ، وَلَا تَقُولُوا هُجْرًا

Dahulu aku melarang kalian untuk berziarah kubur, sekarang berziarahlah karena ziarah dapat melembutkan hati, membuat air mata menetes, dan mengingatkan akhirat. Dan janganlah kalian mengucapkan al hujr[13]”[14]

Dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan hikmah dibalik ziarah kubur. Ketika seseorang melihat kubur tepat di depan matanya, di tengah suasana yang sepi, ia akan merenung dan menyadari bahwa suatu saat ia akan bernasib sama dengan penghuni kubur yang ada di hadapannya. Terbujur kaku tak berdaya. Ia menyadari bahwa ia tidaklah hidup selamanya. Ia menyadari batas waktu untuk mempersiapkan bekal menuju perjalanan yang sangat panjang yang tiada akhirnya adalah hanya sampai ajalnya tiba saja. Maka ia akan mengetahui hakikat kehidupan di dunia ini dengan sesungguhnya dan ia akan ingat akhirat, bagaimana nasibnya nanti di sana? Apakah surga? Atau malah neraka? Nas-alullahas salaamah wal ‘aafiyah.

Selain itu, ziarah kubur juga bermanfaat bagi mayit yang diziarahi karena orang yang berziarah diperintahkan untuk mengucapkan salam kepada mayit, mendo’akannya, dan memohonkan ampun untuknya. Tetapi, ini khusus untuk orang yang meninggal di atas Islam. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,

أن النبي كان يخرج إلى البقيع، فيدعو لهم، فسألته عائشة عن ذلك؟ فقال: إني أمرت أن أدعو لهم

Nabi pernah keluar ke Baqi’, lalu beliau mendo’akan mereka. Maka ‘Aisyah menanyakan hal tersebut kepada beliau. Lalu beliau menjawab : “Sesungguhnya aku diperintahkan untuk mendo’akan mereka””[15]

Adapun jika mayit adalah musyrik atau kafir, maka tidak boleh mendo’akan dan memintakan ampunan untuknya berdasarkan sabda beliau,

زار النبي قبر أمه. فبكى, وأبكى من حوله، فقال: استأذنت ربي في أن أستغفر لها، فلم يؤذن لي، واستأذنته في أن أزور قبرها فأذن لي، فزوروا القبور فإنها تذكر الموت

“Nabi pernah menziarahi makam ibu beliau. Lalu beliau menangis. Tangisan beliau tersebut membuat menangis orang-orang disekitarnya. Lalu beliau bersabda : “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengizinkannya. Dan aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka Dia mengizinkannya. Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian”[16]

Maka ingatlah hal ini, tujuan utama berziarah adalah untuk mengingat kematian dan akhirat, bukan untuk sekedar plesir, apalagi meminta-minta kepada mayit yang sudah tidak berdaya lagi.

Adab Islami ziarah kubur

Agar berbuah pahala, maka ziarah kubur harus sesuai dengan tuntunan syari’at yang mulia ini. Berikut ini adab-adab Islami ziarah kubur :

Pertama: Hendaknya mengingat tujuan utama berziarah

Ingatlah selalu hikmah disyari’atkannya ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran dan mengingat kematian.

Imam Ash Shan’ani rahimahullah berkata : “Semua hadits di atas menunjukkan akan disyari’atkannya ziarah kubur dan menjelaskan hikmah dari ziarah kubur, yakni untuk mengambil pelajaran seperti di dalam hadits Ibnu Mas’ud (yang artinya) : “Karena di dalam ziarah terdapat pelajaran dan peringatan terhadap akhirat dan membuat zuhud terhadap dunia”. Jika tujuan ini tidak tercapai, maka ziarah tersebut bukanlah ziarah yang diinginkan secara syari’at”[17]

Kedua: Tidak boleh melakukan safar untuk berziarah

Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلَّا إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: المَسْجِدِ الحَرَامِ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَمَسْجِدِ الأَقْصَى

“Janganlah melakukan perjalanan jauh (dalam rangka ibadah, ed) kecuali ke tiga masjid : Masjidil Haram, Masjid Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam (Masjid Nabawi), dan Masjidil Aqsha”[18]

Ketiga: Mengucapkan salam ketika masuk kompleks pekuburan

“Dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu, dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan mereka (para shahabat) jika mereka keluar menuju pekuburan agar mengucapkan :

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ أَهْلَ الدِّيَارِ مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ لَلاَحِقُوْنَ نَسْأَلُ اللهَ لَنَا وَلَكُمُ الْعَافِيَةَ

“Salam keselamatan atas penghuni rumah-rumah (kuburan) dan kaum mu’minin dan muslimin, mudah-mudahan Allah merahmati orang-orang yang terdahulu dari kita dan orang-orang yang belakangan, dan kami Insya Allah akan menyusul kalian, kami memohon kepada Allah keselamatan bagi kami dan bagi kalian”[19]

Keempat: Tidak memakai sandal ketika memasuki pekuburan

Dari shahabat Basyir bin Khashashiyah radhiyallahu ‘anhu : “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berjalan, tiba-tiba beliau melihat seseorang sedang berjalan diantara kuburan dengan memakai sandal. Lalu Rasulullah bersabda,

يَا صَاحِبَ السِّبْتِيَّتَيْنِ، وَيْحَكَ أَلْقِ سِبْتِيَّتَيْكَ» فَنَظَرَ الرَّجُلُ فَلَمَّا عَرَفَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَلَعَهُمَا فَرَمَى بِهِمَا

“Wahai pemakai sandal, celakalah engkau! Lepaskan sandalmu!” Lalu orang tersebut melihat (orang yang meneriakinya). Tatkala ia mengenali (kalau orang itu adalah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia melepas kedua sandalnya dan melemparnya”[20]

Kelima: Tidak duduk di atas kuburan dan menginjaknya

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَأَنْ يَجْلِسَ أَحَدُكُمْ عَلَى جَمْرَةٍ فَتُحْرِقَ ثِيَابَهُ، فَتَخْلُصَ إِلَى جِلْدِهِ، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَجْلِسَ عَلَى قَبْرٍ

“Sungguh jika salah seorang dari kalian duduk di atas bara api sehingga membakar bajunya dan menembus kulitnya, itu lebih baik daripada duduk di atas kubur”[21]

Keenam: Mendo’akan mayit jika dia seorang muslim

Telah lewat haditsnya di footnote no. 14. Adapun jika mayit adalah orang kafir, maka tidak boleh mendo’akannya.

Ketujuh: Boleh mengangkat tangan ketika mendo’akan mayit tetapi tidak boleh menghadap kuburnya ketika mendo’akannya (yang dituntunkan adalah menghadap kiblat)

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau mengutus Barirah untuk membuntuti Nabi yang pergi ke Baqi’ Al Gharqad. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berhenti di dekat Baqi’, lalu mengangkat tangan beliau untuk mendo’akan mereka.[22] Dan ketika berdo’a, hendaknya tidak menghadap kubur karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat menghadap kuburan. Sedangkan do’a adalah intisari sholat.

Kedelapan: Tidak mengucapkan al hujr

Telah lewat keterangan dari Imam An Nawawi rahimahullah bahwa al hujr adalah ucapan yang bathil. Syaikh Al Albani rahimahullah mengatakan : “Tidaklah samar lagi bahwa apa yang orang-orang awam lakukan ketika berziarah semisal berdo’a pada mayit, beristighotsah kepadanya, dan meminta sesuatu kepada Allah dengan perantaranya, adalah termasuk al hujr yang paling berat dan ucapan bathil yang paling besar. Maka wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada mereka tentang hukum Allah dalam hal itu. Dan memahamkan mereka tentang ziarah yang disyari’atkan dan tujuan syar’i dari ziarah tersebut”[23]

Kesembilan: Diperbolehkan menangis tetapi tidak boleh meratapi mayit

Menangis yang wajar diperbolehkan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis ketika menziarahi kubur ibu beliau sehingga membuat orang-orang disekitar beliau ikut menangis. Tetapi jika sampai tingkat meratapi mayit, menangis dengan histeris, menampar pipi, merobek kerah, maka hal ini diharamkan.

Rambu-rambu untuk para peziarah

Ada beberapa hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan ziarah kubur ini agar ziarah kubur yang dilakukan menjadi amalan shalih, bukan menyebabkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala :

• Hikmah disyari’atkannya ziarah kubur adalah untuk mengambil pelajaran dan mengingat akhirat, bukan untuk tabarruk kepada mayit meskipun dia dahulu orang sholeh. Syaikh Shalih Al Fauzan hafizhahullah mengatakan : “(Hendaknya) tujuan ziarahnya adalah untuk mengambil pelajaran, nasihat, dan mendo’akan mayit. Jika tujuannya adalah untuk tabarruk dengan kubur, atau melakukan ritual penyembelihan di sana, dan meminta mayit untuk memenuhi kebutuhannya dan mengeluarkannya dari kesulitan, maka ini ziarah yang bid’ah lagi syirik”[24]

• Tidak boleh mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk berziarah karena hal itu tidak ada dalilnya. Kapan saja ziarah itu dibutuhkan, maka berziarahlah. Ingatlah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

• Diantara hal yang tidak ada tuntunannya juga adalah kebiasaan menabur bunga di atas kuburan. Penta’liq Matan Abi Syuja’ –kitab fikih madzhab syafi’i- berkata : “Diantara bid’ah yang diharamkan adalah menaburkan/meletakkan bunga-bunga di atas jenazah atau kubur karena hanya buang-buang harta”[25]

Selesailah pembahasan tentang ziarah kubur ini. Semoga Allah ‘Azza wa Jalla agar menjadikan amal ini sebagai amalan yang memberatkan timbangan kebaikan di hari perhitungan kelak dan memberikan manfaat kepada kaum muslimin dengannya. Aamiin. Wallahu Ta’ala a’lam. Walhamdu lillahi Rabbil ‘aalamin.

Penulis: Yananto
Artikel www.muslim.or.id



YAUMUL HISAB


Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari kiamat.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَجْمَعُ اللهُ الأَوَّلِيْنَ وَالآخِرِيْنَ لِمِيْقَاتِ يَوْمٍ مَعْلُوْمٍ قِيَامًا أَرْبَعِيْنَ سَنَةً شَاخِصَةً أَبْصَارُهُمْ يَنْتَظِرُوْنَ فَصْلَ الْقَضَاءِ

“Allah mengumpulkan semua manusia dari yang pertama sampai yang terakhir, pada waktu hari tertentu dalam keadaan berdiri selama empat puluh tahun. Pandangan-pandangan mereka menatap (ke langit), menanti pengadilan Allah.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ad-Dunya dan ath-Thabrani. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Targhib wat-Tarhib, no.3591).

Syafaat Al-Kubra

Kaum muslimin rahimakumullah, peristiwa di Padang Mahsyar sangatlah dahsyat. Di hari itu, Allah Ta’ala mengumpulkan seluruh makhluk-Nya, yang pertama sampai terakhir di satu tanah luas yang datar. Matahari didekatkan dengan jarak satu mil sehingga manusia benar-benar mengalami kesusahan dan kesedihan.

Ketika kesusahan yang mereka rasakan semakin memuncak, akhirnya mereka mencari orang yang dapat memberikan syafa’at, agar Allah Ta’ala segera mempercepat keputusan-Nya. Mereka pun akhirnya berusaha mendatangi Nabi Adam, kemudian Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa bin Maryam untuk meminta syafa’at darinya, namun mereka semua menolaknya. Pada akhirnya mereka datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, untuk meminta syafaat dari beliau. Dengan izin Allah Ta’ala, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan syafaat kepada umat manusia, agar mereka diberi keputusan. (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4712 dan Muslim, no. 194 dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Yaumul Hisab

Yaumul hisab atau hari perhitungan amal adalah hari dimana Allah memperlihatkan kepada hamba-hamba-Nya tentang amal mereka. Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ إِلَيْنَا إِيَابَهُمْ (25) ثُمَّ إِنَّ عَلَيْنَا حِسَابَهُمْ (26)

“Sungguh, kepada Kami-lah mereka kembali. kemudian sesungguhnya (kewajiban) Kami-lah membuat perhitungan atas mereka.” (QS. Al-Ghasyiyah: 25 – 26).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di dalam sholat dengan mengucapkan:

اَللَّهُمَّ حَاسِبْنِيْ حِسَابًا يَسِيْرَا

Allohumma haasibni hisaaban yasiiro (Ya Allah, hisablah diriku dengan hisab yang mudah.”

Kemudian ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya tentang apa itu hisab yang mudah? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah memperlihatkan kitab (hamba)-Nya kemudian Allah memaafkannya begitu saja. Barangsiapa yang dipersulit hisabnya, niscaya ia akan binasa.” (Diriwayatkan oleh Ahmad, VI/48, 185, al-Hakim, I/255, dan Ibnu Abi ‘Ashim dalam Kitaabus Sunnah, no. 885. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi).

Apakah Binatang Juga Dihisab?

Sesungguhnya makhluk yang pertama kali diadili oleh Allah Ta’ala adalah binatang, bukan manusia ataupun jin. Allah Ta’ala berfirman:

وَإِذَا الْوُحُوْشُ حُشِرَتْ (5)

Dan apabila binatang-binatang liar dikumpulkan.” (QS. At-Takwir: 5), yakni dikumpulkan di hari Kiamat untuk diadili.

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي اْلأَرْضِ وَلاَ طَائِرٍ يَطِيْرُ بِجَنَاحَيْهِ إِلاَّ أُمَمٌ أَمْثَالُكُمْ مَا فَرَّطْنَا فِي الْكِتَابِ مِنْ شَيْءٍ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ يُحْشَرُوْنَ (38)

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) sepertimu. Tiadalah Kami lupakan sesuatu apapun di dalam Al-Kitab kemudian kepada Rabb-lah mereka dihimpunkan.” (QS. Al-An’aam: 38)

Syaikh Muhammad bin Sholih al-‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Pada hari Kiamat kelak, seluruh binatang akan dikumpulkan, sedangkan manusia menyaksikannya. Kemudian binatang-binatang itu diadili, sehingga binatang yang tidak bertanduk akan menuntut balas terhadap binatang bertanduk yang telah menanduknya di dunia. Setelah binatang tersebut diqishosh, Allah akan mengubahnya menjadi tanah. Allah melakukannya untuk menegakkan keadilan di antara makhluk-Nya.” (Tafsiir Juz ‘Amma, hal. 70)

Hisabnya hewan ini disaksikan oleh para Malaikat, orang-orang yang beriman dan juga orang-kafir. Setelah binatang diadili, Allah Ta’ala berfirman: “Jadilah tanah!” Maka binatang-binatang itu berubah menjadi tanah. Tatkala melihat hewan itu diubah menjadi tanah, orang-orang kafir itu mengatakan, “Alangkah baiknya jika aku menjadi tanah.” Inilah salah satu makna firman Allah Ta’ala:

وَيَقُوْلُ الْكَافِرُ يَا لَيْتَنِي كُنْتُ تُرَابًا (40)

“Dan orang kafir itu berkata, “Alangkah baiknya sekiranya aku menjadi tanah saja.” (QS. An-Naba: 40).

Hisabnya Seorang Mukmin, Kafir dan Munafiq

Sesungguhnya Allah mengadili hamba-Nya yang mukmin seorang diri pada hari Kiamat, tidak seorang pun yang melihatnya dan tidak seorang pun yang mendengarnya. Allah Ta’ala benar-benar menutupi aibnya sehingga tidak seorang pun yang mengetahuinya. Allah menunjukkan kesalahan-kesalahannya dan berkata kepadanya: “Apakah kamu mengetahui dosa ini? Apakah kamu mengakui dosa ini?” Maka dia menjawab, “Ya wahai Rabb-ku, aku mengetahuinya.” Tiap kali ditunjukkan dosa-dosanya, ia terus mengakuinya sampai-sampai ia merasa pasti binasa. Lalu Allah Ta’ala berfirman kepadanya:

فَإنِّي قَدْ سَتَرْتُهَا عَلَيْكَ فِي الدُّنْيا، وَأَنَا أَغْفِرُهَا لَكَ الْيَوْمَ

“Sesungguhnya Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia, dan sekarang Aku mengampuni dosa-dosamu.” Kemudian diberikan kepadanya catatan amal kebaikannya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, VIII/353 –Fat-h, dan Muslim, no. 2768)

Kaum muslimin rahimakumullah, ini adalah karunia besar yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan kepada seorang mukmin. Allah Ta’ala menutupi aib seorang mukmin dan tidak membongkarnya di depan umum.

Alhamdulillah, Allah Ta’ala telah menutupi dosa-dosa kita yang begitu banyaknya. Oleh karena itu, kita harus banyak bertaubat kepada-Nya dan memohon ampun kepada-Nya dari segala dosa. Mudah-mudahan Allah Ta’ala menghapus dosa-dosa tersebut.

Adapun orang-orang kafir dan munafiq, mereka akan dipanggil di hadapan seluruh makhluk. Para saksi akan menyeru mereka di hadapan seluruh makhluk:

هَؤُلآءِ الَّذِيْنَ كَذَبُوْا عَلَى رَبِّهِمْ أَلاَ لَعْنَةُ اللهِ عَلَى الظَّالِمِيْنَ (18)

“Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Rabb mereka.” Ingatlah, laknat Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang zholim.” (QS. Huud: 18)

Apakah Bangsa Jin Juga Dihisab?

Sesungguhnya jin juga akan dihisab karena mereka juga dibebani syari’at. Mereka akan dihisab dan diberikan balasan atas amal mereka. Oleh karena itu, jin yang kafir juga akan dimasukkan ke dalam Neraka. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اُدْخُلُوْا فِيْ أُمَمٍ قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ مِنَ الْجِنِّ وَالإِنْسِ فِي النَّارِ (38)

Masuklah kamu sekalian ke dalam Neraka bersama umat-umat jin dan manusia yang telah terdahulu sebelum kamu.” (QS. Al-A’raaf: 38)

Demikian pula sebaliknya, bangsa jin yang beriman juga akan masuk ke dalam Surga dan merasakan kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya.

Catatan : Ada perbedaan pendapat di antara para ulama, apakah jin yang sholih juga masuk Surga.

Penulis: dr. Muhaimin Ashuri
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, MA
Artikel www.muslim.or.id