visi

Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan (QS An Nahl [16]:97).



Thursday, September 30, 2010

Mata Hati yang Tajam

REPUBLIKA.CO.ID,
Syekh Atha' as-Silmi dikenal sebagai guru mengaji yang tulus. Selain itu, ia juga dikenal sebagai seorang yang pandai menenun pakaian. Sekali dalam seminggu, ia membawa hasil tenunannya ke pasar untuk dijual. Syekh Atha' as-Silmi sangat yakin bahwa tenunannya sangat apik dan tak ada cacat.

Di tengah hiruk-pikuk keramaian pasar, kalimat tasbih dan tahmid mengiringi hembusan-hembusan napasnya. Tiba-tiba, ada seseorang yang mendekat dan melihat-lihat pakaian tenunannya. Orang tersebut adalah seorang penjahit. Kemudian, orang itu berkata, "Baju ini cukup bagus. Namun sayang, ada cacatnya, ini, ini, dan ini."

Dengan tanpa kata, Syekh Atha' menyahut pakaiannya dari tangan orang itu. Kemudian, dia duduk dan menangis terisak-isak. Orang itu bingung melihat Syekh Atha' menangis. Namun, penyesalan tampak di wajahnya atas apa yang diucapkan. Dia meminta maaf bila ucapan tadi melukai hati. Dan, dia mau membeli tenunan itu berapa pun harganya.

Kemudian, Syekh Atha' berkata, "Sebab yang menyebabkan aku menangis bukan seperti yang kamu kira. Aku telah bersungguh-sungguh menenun baju ini. Tenunan baju ini tidak seperti baju-baju lain yang telah aku buat. Aku membuatnya lebih halus, lalu kemudian aku tambahkan keindahan di dalamnya. Setelah itu, aku periksa dengan amat teliti untuk memastikan tidak ada cacat di dalamnya.

Tapi, ketika hasil tenunanku ini diperiksa oleh manusia, terlihat ada cacat di bagian yang mana aku tidak menyadarinya. Lalu, bagaimana nanti dengan amal-amal perbuatan kita tatkala diperiksa oleh Allah, Zat yang Maha Tahu di Hari Kiamat nanti? Berapa banyak cacat dan dosa yang akan tampak dari amal ibadah kita, dan itu yang tidak kita sadari!"

Kisah di atas menggambarkan bahwa orang yang bertakwa, sangat sensitif dalam keimanan. Apa yang terjadi di hadapannya langsung mengetuk hatinya untuk ingat terhadap kebesaran dan kekuasaan Allah. Mereka sangat takut akan segala kekurangan ibadah kepada Allah. Mereka sangat sedih bila amal ibadah yang dikerjakannya selama ini terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan. Hal itu, dapat menyebabkan berkurangnya pahala atau bahkan tertolaknya amalan yang dikerjakan. Jika itu terjadi, niscaya sia-sialah amal ibadahnya.

Imam Ibnu Jauzi menuturkan, "Ketakwaan dan keimanan akan mempertajam mata hati pelakunya. Apa pun peristiwa yang terjadi di sekitar, ia akan dapat mengambil hikmah dan pelajaran darinya. Panasnya musim kemarau mengingatkan pada api neraka, gelapnya malam mengingatkan gelap gulitanya alam kubur, hawa sejuk dan indahnya musim semi mengilhami untuk mencari rezeki yang halal."

Ketajaman mata hati hanya dapat diasah dengan taqarrub, mujahadah, dan bertawakal kepada Allah. Maka, tidak heran jika ada beberapa alim ulama yang mampu menguak rahasia di balik peristiwa karena mereka memiliki mata hati yang tajam.

Red: Budi Raharjo

Rep: Oleh Muhtadi Kadi



KEUTAMAAN ISTIGHFAR

Ya Robb ... Yang Maha Halus dan Teliti ... Berikanlah kami kemampuan untuk terus menerus memperbaiki ibadah kami kepadaMu ... Terimalah betapa sedikitpun amalan kami ... dan maafkanlah kekurangannya ...




KEUTAMAAN ISTIGHFAR

REPUBLIKA.CO.ID,Muhammad Shalih Al-Khuzaim dalam bukunya Shifat Shalat Qiyamullail, menjelaskan bahwa istighfar merupakan penutup amal saleh, penutup shalat, haji, puasa, dan juga penutup majelis. Istighfar berfungsi untuk menutupi kekurangan-kekurangan yang diperbuat selama melaksanakan ibadah tersebut. Selain itu, istighfar juga sebagai penyebab utama mendapatkan ampunan Allah SWT.

Karena itu, setiap Muslim hendaknya memperbanyak istighfar dalam berbagai kesempatan. Minimal mengucapkan: Astaghfirullah, Rabbighfirli, Allahummaghfirli, dan yang lainnya. Melalui istighfar tersebut seseorang akan memperoleh banyak keutamaan.

Pertama, dihapus kejelekannya dan diangkat derajatnya. "Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan dan menganiaya dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS An-Nisa' [4]: 110).

Kedua, dilapangkan rezeki, anak, harta, dan penyebab turunnya hujan. "Maka Aku katakan kepada mereka: 'Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai. Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah?" (QS Nuh [71]: 10-13).

Ketiga, ditambah kekuatannya. "Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertobatlah kepada-Nya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat deras atasmu, dan Dia akan menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu, dan janganlah kamu berpaling dengan berbuat dosa'." (QS Hud [11]: 52).

Keempat, dilenyapkan dosanya. Setiap dosa meninggalkan noda hitam pada hati. Noda hitam bisa lenyap dengan melakukan istighfar. "Sesungguhnya bila seorang Mukmin melakukan satu dosa, pada hatinya timbul satu noda hitam. Bila dia bertobat, berhenti dari maksiat, dan beristighfar, niscaya mengilap hatinya." (HR Ahmad).

Kelima, dimudahkan segala urusannya. "Barangsiapa membiasakan diri untuk beristighfar, Allah akan memberikan jalan keluar baginya dari setiap kesulitan, akan memberikan kebahagiaan dari setiap kesusahan, dan akan memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka." (HR Abu Daud dan Ibnu Majah).

Untuk itu, ketahuilah, dalam sebuah atsar disebutkan bahwa, "Sesungguhnya Iblis pernah berkata: 'Aku membinasakan manusia dengan dosa, dan mereka membinasakanku dengan La Ilaha Illallah dan istighfar'." Wallahu a'lam.

Red: Budi Raharjo

Rep: Oleh Imam Nur Suharno MPdI



Wednesday, September 29, 2010

Lebaran Cara Rasul

Sabtu, 11/09/2010 13:08 WIB

Fajar 1 Syawal menyingsing, menandai berakhirnya bulan penuh kemuliaan. Senyum kemenangan terukir di wajah-wajah perindu Ramadhan, sambil berharap kembali meniti Ramadhan di tahun depan.

Satu persatu kaki-kaki melangkah menuju tanah lapang, menyeru nama Allah lewat takbir, hingga langit pun bersaksi, di hari itu segenap mata tak kuasa membendung airmata keharuan saat berlebaran. Sementara itu, langkah sepasang kaki terhenti oleh sesegukan gadis kecil di tepi jalan.

"Gerangan apakah yang membuat engkau menangis anakku?" lembut menyapa suara itu menahan beberapa detik segukan sang gadis.

Tak menoleh gadis kecil itu ke arah suara yang menyapanya, matanya masih menerawang tak menentu seperti mencari sesosok yang amat ia rindui kehadirannya di hari bahagia itu. Ternyata, ia menangis lantaran tak memiliki baju yang bagus untuk merayakan hari kemenangan.

"Ayahku mati syahid dalam sebuah peperangan bersama Rasulullah," tutur gadis kecil itu menjawab tanya lelaki di hadapannya tentang Ayahnya.

Seketika, lelaki itu mendekap gadis kecil itu. "Maukah engkau, seandainya Aisyah menjadi ibumu, Muhammad Ayahmu, Fatimah bibimu, Ali sebagai pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi saudaramu?"

Gadis kecil itu terperangah. Kemudian sadarlah ia bahwa lelaki yang sejak tadi berdiri di hadapannya tak lain Muhammad Rasulullah SAW, Nabi anak yatim yang senantiasa memuliakan anak yatim. Siapakah yang tak ingin berayahkan lelaki paling mulia, dan beribu seorang Ummul Mukminin?

Begitulah lelaki agung itu membuat seorang gadis kecil yang bersedih di hari raya kembali tersenyum.

Barangkali, itu senyum terindah yang pernah tercipta dari seorang anak yatim, yang diukir oleh Nabi anak yatim. Rasulullah membawa serta gadis itu ke rumahnya untuk diberikan pakaian bagus, terbasuhlah sudah airmata. Lelaki agung itu, shalawat dan salam baginya.

Rasulullah tak hanya berbaju bagus saat berlebaran,tetapi juga mengajak seorang anak yatim ikut berbaju bagus, sehingga nampak tak berbeda dengan Hasan dan Husain, kedua cucunya. Lelaki agung itu, tahu bagaimana menjadikan hari raya juga istimewa bagi anak-anak yatim. (sa/berbagaisumber)





Keutamaan Bulan Syawwal

Ramadhan telah berlalu. Sekarang kita tengah berada di bulan Syawwal, bulan kesepuluh dalam penanggalan hijriyah. Seperti bulan-bulan yang lainnya, bulan Syawwal juga memiliki beberapa keistimewaan dan keutamaan. Apa saja?

Syawwal: Bulan Kembali ke Fitrah

Syawwal adalah bulan kembalinya umat Islam kepada fitrahnya, diampuni semua dosanya, setelah melakukan ibadah Ramadhan sebulan penuh. Datangnya bulan Syawwal menandakan bahwa umat Islam yang melakukan shaum sebulan penuh di bulan Ramadhan, merupakan lambang kemenangan umat Islam hasil dari "peperangan" menentang musuh dalam jiwa yang terbesar, yaitu hawa nafsu.

Keutamaan Berpuasa di Bulan Syawal

Amaliah yang dianjurkan oleh Rasulullah Saw pada bulan Syawwal adalah puasa sunah selama enam hari, sebagai kelanjutan puasa Ramadhan. “Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan lalu diiringinya dengan puasa enam hari bulan Syawwal, berarti ia telah berpuasa setahun penuh,” (H.R Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa’i dan Ibnu Majah).

“Allah telah melipatgandakan setiap kebaikan dengan sepuluh kali lipat. Puasa bulan Ramadhan setara dengan berpuasa sebanyak sepuluh bulan. Dan puasa enam hari bulan Syawwal yang menggenapkannya satu tahun” (HR An-Nasa’i dan Ibnu Majah dan dicantumkan dalam Shahih At-Targhib).

Syawwal: Bulan Nikah

Syawwal adalah bulan yang baik untuk menikah. Rasulullah Saw menunjukkan sendiri bahwa bulan Syawwal baik untuk menikah. Siti Aisyah menegaskan: “Rasulullah SAW menikahi saya pada bulan Syawwal, berkumpul (membina rumah tangga) dengan saya pada bulan Syawal, maka siapakah dari isteri beliau yang lebih beruntung daripada saya?” Selain dengan Siti Aisyah, Rasul juga menikahi Ummu Salamah juga pada bulan Syawwal. Menurut Imam An-Nawawi, hadits tersebut berisi anjuran menikah pada bulan Syawwal. (sa/amriawan/berbagaisumber)



Arti Nama-Nama Bulan Hijriyah

Senin, 27/09/2010 11:06 WIB

Kalender Islam menggunakan peredaran bulan sebagai acuannya, berbeda dengan kalender biasa (kalender Masehi) yang menggunakan peredaran matahari.

Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah.

Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 - 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata'ala: ”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS : At Taubah(9):36).

Sebelumnya, orang arab pra-kerasulan Rasulullah Muhammad SAW telah menggunakan bulan-bulan dalam kalender hijriyah ini. Hanya saja mereka tidak menetapkan ini tahun berapa, tetapi tahun apa. Misalnya saja kita mengetahui bahwa kelahiran Rasulullah SAW adalah di tahun gajah.

Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Utsman bin Affan r.a., Ali bin Abi Thalib r.a., Abdurrahman bin Auf r.a., Sa’ad bin Abi Waqqas r.a., Zubair bin Awwam r.a., dan Thalhan bin Ubaidillah r.a. Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw. Ada juga yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Dan yang diterima adalah usul dari Ali bin Abi Thalib r.a. yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah).

Maka semuanya setuju dengan usulan Ali r.a. dan ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw.

Sedangkan nama-nama bulan dalam kalender hijriyah ini diambil dari nama-nama bulan yang telah ada dan berlaku di masa itu di bangsa Arab.

Orang Arab memberi nama bulan-bulan mereka dengan melihat keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Misalnya bulan Ramadhan, dinamai demikian karena pada bulan Ramadhan waktu itu udara sangat panas seperti membakar kulit rasanya. Berikut adalah arti nama-nama bulan dalam Islam:

MUHARRAM, artinya: yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam.

SHAFAR, artinya: kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga dan berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.

RABI'ULAWAL, artinya: berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninqgalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Pada bulan ini banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad saw lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.

RABIU'ULAKHIR, artinya: masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.

JUMADILAWAL nama bulan kelima. Berasal dari kata jumadi (kering) dan awal (pertama). Penamaan Jumadil Awal, karena bulan ini merupakan awal musim kemarau, di mana mulai terjadi kekeringan.

JUMADILAKHIR, artinya: musim kemarau yang penghabisan.

RAJAB, artinya: mulia. Penamaan Rajab, karena bangsa Arab tempo dulu sangat memuliakan bulan ini, antara lain dengan melarang berperang.

SYA'BAN, artinya: berkelompok. Penamaan Sya’ban karena orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).

RAMADHAN, artinya: sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam Al-Quran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Hal itu dikarenakan peristiwa-peristiwa peting seperti: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya, karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan ini ditetapkan sebagai waktu ibadah puasa wajib, pada bulan ini kaurn muslimin dapat rnenaklukan kaum musyrik dalarn perang Badar Kubra dan pada bulan ini juga Nabi Muhammad saw berhasil mengambil alih kota Mekah dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrik.

SYAWWAL, artinya: kebahagiaan. Maksudnya kembalinya manusia ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang mernbahagiakan.

DZULQAIDAH, berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Penamaan Dzulqaidah, karena bulan itu merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatmnya dengan duduk-duduk di rumah.

DZULHIJJAH artinya: yang menunaikan haji. Penamaan Dzulhijjah, sebab pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji.



Sumber-Sumber Dosa Manusia

Senin, 20/09/2010 13:59 WIB

oleh Mashadi

Manusia modern dikelilingi dengan dosa. Hakikatnya manusia modern sama dengan manusia di zaman jahiliyah. Mereka melakukan dosa dan maksiat dengan sengaja dan sadar. Mereka tidak takut dengan perbuatan mereka lakukan itu. Berbuat dosa seperti menjadi pilihan hidup mereka.

Mereka berbuat dosa, karena itu menjadi kenikmatan hidup mereka. Berzina, minum minuman keras, memakan makanan haram, dan perbuatan keji lainnya, semuanya mereka nikmati. Karena kemaksiatan sesuai dengan nafsu mereka.

Sesungguhnya dosa dan maksiat itu bertingkat-tingkat, dan kerusakan dan hukumannya berbeda pula. Namun, akar dan asal-usul dosa itu ada dua hal, pertama, meninggalkan perintah Allah, dan kedua melanggar larangan Allah. Maka, hakikatnya orang-orang mukmin yang muttaqin, ialah mereka yang dengan ikhlas melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Inilah bentuk ketundukan, kepatuhan, dan berserah diri secara total kepada Allah Azza Wa Jalla.

Kemudian, dosa ini dibagi dalam empat kategori, yang masing-masing mempunyai pengaruh dalam kehidupan seseorang. Diantaranya :

Dosa mulkiyah, adalah perbuatan atau sifat makhluk yang mengadopsi sifat-sifat Allah. Seperti merasa suci, kultus, kesombongan, kesemena-menaan, merasa tinggi, kezaliman, menjajah, dan memperbudak manusia. Perbuatan ini masuk dalam katagori syirik (menyekutukan) Allah.

Karena, yang sering menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan syirik, merasa suci, berlaku sombong dengan kekuasaan dan harta yang dimilikinya. Para penguasa, pemimpin gerakan, jamaah, partai, bisa berlaku sombong, disebabkan kekuasaan yang dimilikinya. Bisa mengatur, menentukan, memerintah, dan bahkan bertindak sewenang-wenang, dan tidak ada lagi yang berani mengingatkannya.

Dirinya bisa berlaku sebagai orang suci, yang kemudian dikultuskan pengikutnya, atau menciptakan tata-cara yang membuat para pengikutnya melakukan kultus, dan pemimpin itu seolah-olah berubah menjadi seorang tuhan, yang kemudian dapat menentukan nasib seseorang. Seseorang menjadi bergantung hidupnya kepada mereka yang memiliki kuasa. Entah itu para penguasa, pemimpin gerakan, jamaah, partai dan organisasi, jika tidak ada lagi yang dapat mengingatkan bisa berubah menjadi ‘tuhan’.

Barangsiapa yang menjadi pelaku jenis dosa ini, mak ia telah merampas ketuhanan dan kerajaan (kedaulatan) Allah dan menjadi tandingan bagi-Nya. Ini adalah dosa yang paling besar disisi Allah dan amal perbuatan yang baik tidak gunanya.

Betapa banyak manusia yang sekarang telah berlaku dan berubah dirinya menjadi tuhan, karena hanya sedikit memiliki kekuasaan, kekayaan, dan kesempatan (waktu), dan kemudian mereka mengubah sifat-sifat dasar mereka, dan mereka berubah menjadi ‘tuhan-tuhan’ yang sejatinya tidak layak.

Dosa syaithoniyah adalah dosa di mana palakunya menyerupai perilaku dan sifat setan, seperti melampui batas, penipuan, dengki, memakan harta yang haram, makar, memerintahkan perbuatan maksiat kepada Allah, menghiasi kemaksiatan dengan kebaikan, melarang melakukan ketaatan kepada Allah, melakukan bid’ah, serta mendakwahkan bid’ah dan kesesatan. Ini dosa yang akan menjerumuskan para pelakuknya ke dalam neraka jahanam.

Betapa banyak manusia yang berwujud manusia, tetapi perbuatan mereka seperti setan, dan menjadi hamba setan. Perbuatannya selalu durhaka dan melawan kepada Allah. Tidak mau bertahkim (berhukunm) dengan hukum Allah, dan hanya mengikuti hwa nafsunya, yang akhirnya menjerumuskan diri mereka ke dalam kesesatan yang nyata. Tetapi, mereka masih berani mengatakan yang mereka kerjakan adalah kebajikan. Inilah orang-orang yang sudah menjadi pengikut setan.

Dosa bahimiyah adalah binatang, yang menampakkan pelakunya berbuat kejam dan biadab, seperti menumpahkan darah, melakukan peperangan, menindas kaum yang lemah, dan menghancurkan kehidupan mereka. Dengan tanpa merasa menyesal atas perbuatan mereka.

Manusia berubah menjadi binatang buas, hanya mengikuti syahwat perut dan seksual. Dari sini lahir perzinahan, pencurian, memakan harta yang haram, memakan harta anak yatim, bakhil, pelit, penakut, keluh-kesah, yang menyebabkan manusisa sudah tidak lagi memiliki landasan hidup yang benar.

Manusia telah terjatuh ke dalam bentuk baru, sebagai binatang. Karena menjadi bahimiyah, dan menjauhkan dari perintah dan larangan dari Allah Ta’ala. Wallahu’alam .



Peradaban Dunia Tanpa Petunjuk Allah

 


Jumat, 24/09/2010 10:08 WIB

oleh Ihsan Tandjung


فَتَلَقَّى آدَمُ مِنْ رَبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ قُلْنَا اهْبِطُوا مِنْهَا جَمِيعًا فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ

Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang. Kami berfirman: "Turunlah kamu semua dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati". Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah 37-39)



Di dalam ayat di atas Allah swt memberikan suatu prinsip hidup yang sangat fundamental. "Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati".



Allah swt menegaskan bahwa barangsiapa hidup di dunia berlandaskan petunjuk dan arahan yang Allah berikan, niscaya mereka tidak akan khawatir dan bersedih hati. Artinya, mereka akan hidup dalam kebaikan dan kebahagiaan. Dan bila Allah swt menyatakan demikian, tidak mungkin tidak pasti menjadi kenyataan. Dan kenyataan tersebut tidak hanya bersifat sementara, melainkan selamanya alias abadi. Tidak saja kebaikan dan kebahagiaan di dunia fana tetapi juga meliputi alam akhirat yang kekal abadi.



Siapapun yang berakal sehat dan berhati nurani pasti akan menyambutnya dengan baik. Dan mengingat bahwa jaminan tersebut memiliki syarat, maka iapun akan berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi syaratnya. Walaupun syarat itu berat, namun karena jaminannya begitu menggiurkan dan berasal dari fihak yang dia yakini kredibilitasnya, tentu dia siap menghadapinya.



Apakah syaratnya? Allah swt berfirman:



فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ



”...maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku,”



Allah mensyaratkan manusia untuk mengikuti petunjukNya bila datang kepada mereka. Bagaimana petunjuk itu datang kepada manusia? Yaitu, melalui para kurir resmi yang diutusnya bernama para Nabiyullah dan Rasulullah ’alahimus-salam. Dan dalam sejarah dunia Allah telah mengutus banyak sekali rangkaian Nabi dan RasulNya ’alahimus-salam. Dan kita yang hidup dewasa ini bahkan hidup di masa Allah telah mengirim Nabi dan RasulNya yang terakhir alias Nabi Akhir Zaman yakni Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam. Beliau adalah penutup para Nabi dan petunjuk yang diterima dari Allah swt dan disampaikannya kepada ummat manusia merupakan petunjuk terakhir yang Allah wahyukan, yakni Kitabullah Al-Qur’anul Karim. Maka sangatlah pantas bila Allah swt menjamin bahwa petunjukNya yang terakhir ini merupakan petunjuk yang otentitas-nya (keasliannya) tidak akan mengalami kontaminasi. Al-Qur’an bakal terpelihara hingga hari Kiamat.



إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ



“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS Al-Hijr 9)



Berbeda dengan berbagai Nabi dan RasulNya yang diutus sebelum Nabi terakhir, maka mereka menerima petunjuk yang belum final dan tidak dijamin otentitasnya terpelihara. Sehingga petunjuk Allah swt yang mereka terima hanya berlaku bagi kaum yang mereka hidup bersamanya dan di masa mereka hadir di dunia hingga datangnya Nabi dan Rasulullah berikutnya. Sebab kedatangan para Nabi dan Rasulullah sebelumnya bakal disempurnakan lebih lanjut dengan kedatangan Nabi dan Rasulullah berikutnya. Hingga tiba giliran Allah swt mengutus Penutup Para Nabi dan RasulNya. Oleh karenanya, Al-Quranul Karim Allah wahyukan kepada Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam berfungsi sebagai the Final Divine Guidance for the Whole of Mankind (Petunjuk Ilahi yang Final bagi segenap ummat manusia). Menjelang berakhirnya dunia yang fana ini Allah menyempurnakan petunjukNya kepada ummat manusia dengan diwahyukannya Kitabullah yang sempurna, final dan komprehensif (lengkap). Dan diutusnya seorang Nabiyullah yang tidak memimpin kaumnya saja (bangsa Arab), melainkan menjadi Teladan bagi segenap ummat manusia bahkan Rahmat bagi semesta alam.



لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ



“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.” (QS Al-Ahzab 21)



وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ



”Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad shallallahu ’alaihi wa sallam), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya 107)



Petunjuk Allah swt untuk ummat manusia telah datang lima belas abad yang lalu. Diterima dari Allah swt dan disebarkan kepada ummat manusia oleh Nabi dan RasulNya yang terakhir. Tidak bakal ada lagi Nabi maupun Rasul yang Allah bakal utus ke muka bumi ini membawa ajaran baru sesudah diwahyukanNya Al-Qur’anul Karim. Itulah sebabnya Allah swt dengan terang dan jelas berfirman bahwa petunjukNya ini bukan hanya ekslusif bagi manusia yang mengaku dirinya muslim, atau kaum yang mengaku dirinya ummat Islam. Tidak..! Samasekali tidak..!!



شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ



“Bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia.” (QS Al-Baqarah 185)



Inilah ayat yang selalu terdengar oleh kaum muslimin, khususnya di bulan Ramadhan. Jelas dan terang Allah swt menyatakan bahwa Kitabullah Al-Quranul Karim merupakan hudal lin-naas (petunjuk bagi manusia). Allah swt tidak menyatakan bahwa petunjuk tersebut merupakan petunjuk bagi kalangan manusia tertentu, misalnya hanya bagi orang beriman atau ummat Islam atau kaum muttaqin semata. Tidak..! Allah swt berfirman bahwa Kitab Al-Qur’an adalah petunjuk bagi segenap ummat manusia.



Memang, ada ayat yang mengkhususkan hubungan Al-Qur’an dengan kalangan manusia tertentu, yaitu sebagai berikut:



ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ



“Kitab (Al Qur'an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”(QS Al-Baqarah 2)



Ayat ini tidak menafikan ayat sebelumnya. Ayat ini menegaskan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi manusia siapapun dan bagaimanapun keadaan manusia itu. Adapun bagi kaum muttaqin alias mereka yang bertakwa maka Al-Qur’an diperlakukan oleh mereka bukan saja sebagai petunjuk Ilahi, melainkan diikuti tanpa keraguan sedikitpun..! Terserah, bila manusia lain menafikan, menolak atau mengingkari Al-Qur’an, namun faktanya ia tetap merupakan petunjuk dari Allah swt bagi segenap manusia yang akan menghilangkan kekhawatiran dan kesedihan hati manusia bila mereka mau mengikuti dan menjadikannya sebagai petunjuk jalan bagi kehidupannya.



Demikian pula sebaliknya, Allah swt mengancam siapa saja yang menolak petunjukNya.



وَالَّذِينَ كَفَرُوا وَكَذَّبُوا بِآيَاتِنَا أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ



Adapun orang-orang yang kafir dan mendustakan ayat-ayat Kami, mereka itu penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (QS Al-Baqarah 39)



Menolak petunjuk Allah swt bisa berupa pengingkaran untuk mengakui bahwa Kitabullah Al-Qur’an merupakan petunjuk otentik dari Allah swt. Orang-orang seperti ini jelas-jelas merupakan kaum yang mendapat label orang-orang yang kafir. Mereka adalah manusia yang setelah diutusnya Nabi Akhir Zaman tidak mau mengimaninya sebagai Nabiyullah, tidak mau mengakui bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk dan Kitabullah terakhir dan tidak bersedia menerima Islam sebagai agama atau dien atau jalan hidup yang benar.



Selain itu, menolak petunjuk Allah swt juga bisa berarti mendustakannya. Tidak mau mengikutinya padahal mengakuinya sebagai petunjuk dan Kitabullah. Mereka bisa jadi dari kalangan di luar Islam tetapi mungkin juga termasuk orang-orang yang mengaku dirinya termasuk kaum muslimin. Bagi mereka yang bukan muslim kita dapat memaklumi kenapa mereka mendustakan petunjuk dan Kitabullah ini. Maklumlah, mereka memang bukan termasuk orang beriman. Inilah orang-orang non-mulsim dari kalangan manusia modern yang berfaham pluralisme. Mereka memandang semua kitab suci agama manapun merupakan kitab suci yang patut dihormati dan diakui sebagai petunjuk dari tuhan. Tetapi jelas mereka tidak bakal bersedia mengikutinya sebagai petunjuk jalan bagi kehidupannya.



Tetapi yang sangat sulit difahami dan banyak menimbulkan masalah ialah mereka yang di satu sisi mengaku muslim namun di sisi lain tidak menjadikan Kitabullah sebagai petunjuk jalan bagi kehidupannya. Mereka mengaku beriman kepada Al-Qur’an sebagai petunjuk dan Kitabullah terakhir. Tetapi mereka tidak kunjung menjadikannya petunjuk jalan bagi segenap urusan kehidupannya di dunia. Mereka cenderung memperlakukannya laksana menu makanan sebuah restoran. Mana yang mereka sukai mereka ambil dan mana yang mereka tidak berselera kepadanya, mereka tinggalkan. Padahal Allah swt di dalam petunjukNya berfirman:



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ



“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah 208)



Di dalam ayat di atas Allah swt hanya memberikan dua pilihan. Masuk ke dalam agama Allah secara totalitas, atau hiduplah menuruti langkah-langkah syetan...!! Allah swt menyuruh manusia untuk mengikuti segenap petunjukNya, tanpa pilah-pilih atau -jika tidak- berarti mengikuti musuh Allah swt, yakni syetan..!!



Pengertian mengikuti segenap petunjuk Allah ialah mengelola keseluruhan urusan hidup ini semata-mata berdasarkan bimbingan wahyu. Apapun lini kehidupan yang sedang digeluti, maka jalankanlah sesuai prosedur petunjuk Allah swt. Baik dalam urusan aqidah (keyakinan), syariah (jalan hidup) maupun ibadah (tata-cara penghambaan diri kepada Allah swt).



Di zaman penuh fitnah dewasa ini banyak kaum muslimin yang memandang urusan mengikuti petunjuk Allah swt hanyalah sebatas urusan ibadah semata. Mereka sangat sibuk mempelajari ajaran Islam untuk mengamalkan tata-cara sholat, shaum, bayar zakat, pergi haji dan umroh. Untuk berbagai urusan ini mereka sangat serius berusaha mengikuti petunjuk Allah swt. Namun seringkali mereka mengabaikan urusan aqidah. Mereka tidak bersungguh-sungguh mempelajari dan mengamalkan kalimat Tauhid. Bahkan masih banyak kaum muslimin yang tidak sadar bahwa jernih-tidaknya tauhid seseorang berpengaruh kepada diterima-tidaknya berbagai amal-ibadahnya. Padahal di dalam Kitabullah Al-Qur’an sering sekali kita jumpai betapa tidak terpisahkannya urusan amal-sholeh seseorang dengan urusan iman.



مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ



Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS An-Nahl 97)



Artinya, amal seseorang hanya diperhitungkan Allah swt bila dilandasi iman atau aqidah yang benar. Bila tidak, maka amalnya menjadi sia-sia belaka..!



قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا أُولَئِكَ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ وَلِقَائِهِ فَحَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فَلا نُقِيمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا



Katakanlah: "Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?" Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya. Mereka itu orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Rabb mereka dan (kafir terhadap) perjumpaan dengan Dia. Maka hapuslah amalan-amalan mereka, dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari kiamat. (QS Al-Kahfi 103-105)



Betapa masih banyaknya manusia yang mengaku muslim namun tidak peduli dengan urusan aqidah. Mereka kemudian terjatuh ke dalam lembah kemusyrikan, takhayul, khurafat, bid’ah dan aneka bentuk ketergantungan kepada selain Allah swt. Mereka sibuk melakukan berbagai bentuk ibadah, namun tidak pernah merenungi apakah imannya telah benar, kokoh dan murni. Mereka sibuk membenahi diri menjadi orang berakhlak mulia, bermoral dan santun, tetapi mereka tidak sadar bahwa cacatnya pemahaman Tauhid menyebabkan tidak bernilainya di mata Allah swt segenap kebaikan dan kesantunannya tersebut.



وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّى إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا



“Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apa pun.” (QS An-Nur 39)



Di zaman penuh fitnah dewasa ini banyak kaum muslimin yang memandang urusan mengikuti petunjuk Allah swt hanyalah sebatas urusan ibadah semata. Mereka tidak menjadikan urusan syariah sebagai perhatian dalam hidupnya. Padahal urusan ini menyangkut mayoritas waktu dalam kehidupannya. Sebab urusan syariah atau jalan hidup meliputi begitu banyak dimensi kehidupan. Dan petunjuk Allah swt mencakup bagaimana sepatutnya manusia mengelola berbagai urusan kehidupannya. Apakah itu menyangkut urusan pribadi, keluarga, masyarakat maupun negara bahkan penataan urusan pada skala global-dunia. Banyak muslim modern menyangka bahwa karena dewasa ini yang disebut sebagai masyarakat dan negara maju adalah barat, maka mereka mengelola berbagai urusan ini dengan cara mengekor kepada mereka. Akhirnya muncullah berbagai bentuk penataan kehidupan, baik dalam sekali pribadi, keluarga maupun masyarakat dan negara yang mengikuti petunjuk barat bukan petunjuk Allah swt.



Akhirnya kita menyaksikan bagaimana tata kehidupan dalam aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, hukum, olahraga, kesenian, teknologi dan sains, militer dan pertahanan keamanan dikelola mengekor dan copy-paste sepenuhnya kepada perdaban dunia barat. Yang mana inti dari peradaban barat ialah mendustakan ayat-ayat Allah dan merasa sombong dan bangga diri akan kehebatan manusia yang tidak perlu bergantung kepada Allah swt dan petunjukNya. Inilah peradaban dunia yang tidak mengikuti petunjuk Allah swt..! Padahal masyarakat barat merupakan masyarakat kaum Yahudi dan Nasrani yang mana Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam telah peringatkan kita agar jangan mengekor kepada mereka...!



قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَاتَّبَعْتُمُوهُمْ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ آلْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ



Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti tradisi/kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak-pun kalian pasti akan mengikuti mereka." Kami bertanya; "Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?" Beliau menjawab: "Siapa lagi kalau bukan mereka." (MUSLIM - 4822)



Bukan rahasia lagi bahwa masyarakat barat merupakan kaum Yahudi dan Nasrani. Mereka mewujudkan sebuah Judeo-Christian Civilization (peradaban Yahudi-Nasrani). Sungguh ironis menyaksikan bagaimana satu setengah miliar lebih kaum muslimin sedunia bisa menjadi korban sebuah peradaban yang terputus dari petunjuk Allah. Bagaimana mungkin suatu ummat yang memiliki Kitabullah Al-Qur’an yang Allah jamin kebenaran dan keasliannya dapat diarahkan oleh ummat-ummat yang Kitab Sucinya –yakni Taurat dan Injil- telah mengalami kontaminasi dan manipulasi di sana-sini? Bagaimana mungkin suatu ummat yang Allah telah peringatkan akan bahaya kebanyakan kaum Yahudi dan Nasrani, namun masih saja bersangka-baik kepada mereka? Menjadikan mereka sebagai konsultan dan tempat bertanya dalam berbagai perkara kehidupan?



وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلا النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ



”Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS Al-Baqarah 120)



Sungguh, kondisi dunia dewasa ini sedang diselimuti badai fitnah, sehingga kita menyaksikan begitu banyaknya kaum muslimin yang tidak bersikap kritis terhadap realitas dunia yang berjalan di luar koridor petunjuk Allah swt. Padahal hakikat berada di atas shirathal mustaqiim (jalan yang lurus) ialah tatkala segenap urusan dalam hidup berjalan mengikuti petunjuk Allah swt, baik dalam perkara aqidah, syariah maupun ibadah. Inilah maksud ungkapan Allah swt di bawah ini:



قُلْ إِنَّ صَلاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ لا شَرِيكَ لَهُ وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ



Katakanlah: Sesungguhnya sholatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama muslim (menyerahkan diri kepada Allah)". (QS Al-An’aam 162)



Petunjuk Allah swt yang terakhir bagi ummat manusia telah datang sejak lima belas abad yang lalu. Tidakkah sepantasnya kita yang mengaku kaum muslimin, mukminin dan muttaqiin berdiri di barisan terdepan membimbing segenap manusia lainnya untuk turut hidup bersama di bawah naungan petunjuk Allah swt tersebut? Meninggalkan peradaban palsu (baca: peradaban kafir) dunia modern ini untuk menggantikannya dengan peradaban mengikuti Petunjuk Allah swt?



Bagaimana hal itu akan terjadi, bila kita begitu mudah terprovokasi dan menjadi marah menyaksikan kaum kafir barat membakar fisik Kitabullah Al-Qur’an sedangkan kita tidak sedikitpun merasa terganggu padahal sudah hampir seabad ummat Islam di berbagai negeri muslim mengelola kehidupannya mengikuti petunjuk kaum kafir barat tersebut dan mengabaikan bahkan mendustakan Petunjuk Allah swt..?! Masihkah kita harus heran dan tercengang serta bertanya mengapa kekhawatiran dan kesedihan hati masih saja mewarnai kehidupan banyak manusia modern dewasa ini, bukan saja mereka yang jelas-jelas kafir, tetapi banyak di antaranya adalah saudara-saudara kita kaum muslimin..?? Laa haula wa laa quwwata illa billah..




Wednesday, September 22, 2010

Waspada Setiap Perbuatan Ada Balasannya

oleh Aa Gym

Pernahkah kita tertimpa sesuatu yang dirasa tidak enak, misalkan terkena bola golf mengenai kepala. Jangan dulu menyalahkan orang lain yang tidak sengaja melakukannya itu, melainkan periksa, ingat-ingat, apa yang telah kita lakukan terhadap orang lain. Bisa jadi kita pernah melempar sesuatu, ternyata mengenai orang lain tanpa kita sengaja, misalnya. Demikianlah, suatu perbuatan akan nada balasannya. Bahkan Allah menerangkan dalam QS Ali Imran : 140 tatkala orang-orang beriman dalam Perang Uhud mendapat luka, bahwa itu merupakan pergiliran dari Allah atas luka yang telah menimpa kaum kafir.

Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itupun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa. Setiap makhluk yang ada di alam semesta ini, tidak ada satu pun yang luput dari pengawasan Allah. Dan tidak ada satu pun perbuatan manusia yang tidak diberikan perhitungannya oleh Allah Yang Maha Menyaksikan. Setiap kebaikan dan keburukan pasti dibalas dengan adil, meskipun hanya sebesar zarrah. Baik itu di dunia maupun di akhirat kelak.

"Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai." (QS. Al Israa: 7)

Diriwayatkan dari Abu Hurairah RA dari Nabi SAW, beliau bersabda: “Barangsiapa pernah menganiaya saudaranya, baik yang berhubungan dengan kehormatannya ataupun sesuatu yang lain (harta benda), maka hendaknya ia segera minta dihalalkan (minta ma'af), sebelum tiba masa di mana dinar dan dirham sudah tiada berguna lagi (sebelum datangnya kematian). (Jika hal itu tidak dilakukan). Apabila baginya (memiliki simpanan) amal shalih maka amalnya itu akan diambil (sebagai pengganti) sesuai kadar kedzalimannya. Dan jika dia tidak memiliki (amal) kebaikan, maka kejelekan (dosa-dosa) orang yang teraniaya akan dilimpahkan dan dibebankan kepadanya”. (HR Bukhari)

Memang, kita sering melihat banyak orang yang hidup berkecukupan yang secara nyata-nyatanya mereka adalah tergolong orang-orang yang sering berbuat dosa. Lantas bagaimana halnya dengan adanya keyakinan bahwa balasan dari perbuatan baik adalah kebaikan?

Orang-orang yang sering terlihat berbuat berdosa, namun terlihat nyaman dengan berbagai kepemilikian duniawinya, walau demikian bagaimana dengan kondisi hati mereka? Apakah ada ketenangan di hati mereka? Pasti tidak ada. Karena, hanya dengan berdzikir kepada Allah hati menjadi tentram. Buat apa memiliki kekayaan duniawi kalau hati gelisah, makan tidak tenang, tidur tidak nyenyak.

“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. Ar Ra’du : 28)

Balasan terbaik bukanlah dengan apa yang ia miliki dari kekayaan duniawi, tetapi semakin dekat kepada Allah, hati yang semakin mantap, yakin dan istiqomah dalam beribadah kepada Allah. Di saat kita memiliki niatan yang baik, kita lantas dituntun oleh Allah, bersabar dalam berusaha, sehingga saat bertemu dengan rizki semua dilakukan dengan penuh keberkahan. Ditambah dengan dikeluarkannya sedikit dari rizki yang kita miliki untuk berjuang di jalan Allah, maka semakin nikmat karunia yang telah Allah berikan ini.

Jangan pernah merasa tidak adanya pertanggungjawaban atas perbuatan kita di dunia ini, karena semua hal yang kita lakukan diawasi dan diperhitungkan oleh Allah untuk diberi balasan bahkan di dunia ini juga, kecuali perbuatan dosa yang segera dimohonkan ampunan-Nya. Semua hal akan dipertanggungjawabkan, karena pada hari perhitungan kelak, anggota tubuh ini akan bersaksi.

"Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan." (QS. Yaasiin: 65)

Oleh karena itu, berhati hatilah dalam menjaga pikiran dan sikap kita. Terus bersihkan hati, agar kita semakin mudah dalam merasakan kehadiran dan pengawasan Allah.

Seseorang yang tauhidnya bagus, dapat dipastikan bahwa akhlaknya juga terjaga. Karena, dia yakin bahwa Allah Maha Melihat, sehingga dia akan sibuk dengan Allah tanpa perlu berakting dan berpura-pura.

"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Qur'an dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan Kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)." (QS. Yunus: 61)

Kita tidak tahu sesuatu yang terjadi di masa depan. Saat ujian di sekolah, misalnya, sebagai murid tidak akan pernah tahu materi yang nantinya akan keluar. Sedangkan Allah Maha Tahu apa pun yang akan terjadi di kemudian hari dengan detail. Jadi...bergantung saja pada Allah, berdoa dengan sungguh-sungguh, ikhtiar dengan benar dan baik, dan lakukanlah hal-hal yang Allah sukai, dan berharaplah semua akan dimudahkan.



Makna Silaturahim

Kamis, 09/09/2010 11:05 WIB | email | print | share
oleh Aa Gym

Rasulullah SAW mengatakan dalam H.R Bukhari dan Muslim bahwa “barang siapa yang ingin rizkinya diluaskan dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menghubungkan tali silaturahim.”
Istilah silaturahim di tengah-tengah masyarakat kita sering diartikan sebagai kegiatan kunjung-mengunjungi, saling bertegur sapa, saling menolong, dan saling berbuat kebaikan. Namun, sesungguhnya bukan itu makna silaturahim sesungguhnya. Silaturahim bukan hanya ditandai dengan saling berbalasan salam tangan atau memohon maaf belaka. Bila mencermati dari asal katanya, yakni shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang, maka silaturahim diartikan sebagai menghubungkan kasih sayang antar sesama. Silaturahim juga bermakna menghubungkan mereka yang sebelumnya terputus hubungan atau interaksi, dan memberi kepada orang yang tidak memberi kepada kita. Contohnya adalah ketika ada salah satu pihak yang lebih dulu menyapa saudaranya, sementara sebelumnya interaksi di antara keduanya sedang tidak harmonis, maka dialah yang mendapat pahala lebih besar. Dan juga silaturahim ditandai dengan hubungan dengan hati, yakni keluasan hati. Sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah Saw, bahwa beliau bersabda, "Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahmi itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR Bukhari).
Demikian, silaturahmi pun memiliki fadhilah yang mustajab untuk mendatangkan kebaikan; bahkan keburukan, bila memutuskannya. Sebagaimana disabdakan oleh Rasul saw: "Tahukah kalian tentang sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan ataupun keburukan? 'Sesuatu yang paling cepat mendatangkan kebaikan,' sabda Rasulullah SAW, 'adalah balasan (pahala) orang yang berbuat kebaikan dan menghubungkan tali silaturahmi, sedangkan yang paling cepat mendatangkan keburukan ialah balasan (siksaaan) bagi orang yang berbuat jahat dan yang memutuskan tali persaudaraan" (HR Ibnu Majah).
Rasulullah Saw juga pernah bersabda bahwa “tidak akan masuk surga orang yang memutuskan tali silaturahim.” Sudah ada balasan dari Allah bagi orang yang bersilaturahim yaitu surga, dan sebaliknya bagi orang yang memutuskan tali silaturahim yaitu neraka. Begitu besarnya balasan Allah sehingga begitu besar juga cobaan yang akan dihadapi. Dalam cobaan tersebut, hendaknya tidak mendahulukan hawa nafsu dan dendam, sehingga akan hilang balasan surga dari Allah.
Rasulullah SAW memberikan tips kepada kita agar terjalin saling mencintai dengan sesama muslim, yakni:

1.Tebarkan salam
2.Menghubungkan tali silaturahim
3.Memberi makan kepada yang membutuhkan.
Betapa pentingnya silaturahim dalam hubungan sesame, Rasulullah saw berpesan “sayangilah apa yang ada di muka bumi, niscaya Allah dan semesta alam akan menyayangimu” (H.R Tirmidzi), yang dapat diartikan bahwa hak saling berkasih sayang dan silaturahim tidak terbatas pada kerabat, tetapi sesama makhluk ciptaan Allah SWT.
Oleh karena itu, menjadi sangat penting bagi kita untuk menyadari bahwa silaturahmi tidak hanya tampilan lahiriah belaka, namun harus melibatkan pula aspek hati. Dengan kombinasi amalan lahiriah dan amalan hatinya, kita akan mempunyai kekuatan untuk bisa berbuat silaturahmi lebih baik. Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang kuat. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahmi kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya, maka inilah yang disebut silaturahmi. Apalagi bila kita bersilaturahmi kepada orang yang membenci kita atau seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya. Inilah silaturahmi yang sebenarnya.
Dalam sebuah hadis diungkapkan, "Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar pahalanya daripada shalat dan shaum?" tanya Rasul pada para sahabat. "Tentu saja," jawab mereka. Beliau kemudian menjelaskan, "Engkau damaikan yang bertengkar, menyambungkan persaudaraan yang terputus, mempertemukan kembali saudara-saudara yang terpisah, menjembatani berbagai kelompok dalam Islam, dan mengukuhkan tali persaudaraan di antara mereka adalah amal saleh yang besar pahalanya. Barangsiapa yang ingin dipanjangkan umurnya dan diluaskan rezekinya, hendaklah ia menyambungkan tali silaturahmi" (HR Bukhari Muslim).
Silaturahmi adalah kunci terbukanya rahmat dan pertolongan Allah SWT. Dengan terhubungnya silaturahim, maka ukhuwah Islamiyah akan terjalin dengan baik. Semoga kita bisa meraih surga Nya dengan membina silaturahim antar sesama.

Saturday, September 11, 2010

Panduan Ringkas Silaturahim, Halal Bi Halal, Dan Ziarah

7/9/2010 | 28 Ramadhan 1431 H | Hits: 925
Oleh: Iman Santoso, Lc
Kirim Print
Ilustrasi - Silaturahim Idul Fitri (fitb.itb.ac.id)
Silaturahim
dakwatuna.com – Silaturahim adalah upaya seorang muslim untuk menyambung tali kerabat dengan cara memberikan kebaikan kepada kerabat dan menolak keburukannya dengan segala potensi yang dimilikinya seperti, berkunjung ke rumahnya, menolong kesulitannya, membantu dengan harta dan tenaga, mendoakan, menolak keburukan padanya dll. Hal ini dilakukan dengan syarat bahwa saudaranya seorang muslim yang istiqamah. Adapun jika saudaranya seorang kafir atau fasik maka silaturahim yang dilakukan dengan cara memberi nasihat agar kembali kepada kebenaran dan mendoakannya agar mendapat hidayah.
Adapun ziarah terdiri dari dua macam, ziarah kepada kaum muslimin yang masih hidup dan ziarah kubur orang Islam. Kedua ziarah tersebut dianjurkan dalam Islam. Namun ziarah yang terkait saat ‘Idul Fithri adalah ziarah kepada kaum muslimin yang masih hidup baik memiliki hubungan kerabat atau tidak. Sedangkan ziarah kubur pada saat ‘Idul Fithri kurang relevan dan kurang sesuai dengan waktu. Karena hari raya adalah saat kaum muslimin bergembira dan bersenang-senang sedangkan ziarah kubur tujuannya mengingat kematian.
Silaturahim dan ziarah merupakan akhlaq Islam yang mulia. Rasulullah SAW senantiasa melakukannya dan memberi contoh yang terbaik pada umatnya. Bahkan silaturahim dan ziarah memiliki hubungan yang erat dengan keimanan. Rasulullah SAW bersabda:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya memuliakan tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya menyambung tali kerabat. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya berkata baik atau diam. (HR Bukhari dan Muslim)
” Barangsiapa yang ingin dimudahkan rezkinya dan dipanjangkan umurnya maka hendaknya menyambung tali kerabat. (HR. Muttafaqun ‘alaihi)

” Barangsiapa yang menengok orang sakit atau menziarahi saudaranya karena Allah Ta’ala, maka datanglah penyeru yang menyerukan; engkau baik, dan langkahmu juga baik dan engkau akan masuk surga sebagai tempat tinggal. (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Dari Abi Hurairah RA, dari Nabi SAW bersabda: Hak muslim atas muslim ada lima; membalas salam, menengok yang sakit, mengantar jenazah, menyambut undangan, membalas yang bersin”. Dalam riwayat Muslim:” Hak muslim atas muslim ada enam:” Jika engkau menjumpainya maka ucapkan salam, jika mengundang maka sambutlah, jika minta nasihat maka nasihatilah, jika bersin dan mengucap hamdalah maka jawablah, jika sakit maka tengoklah dan jika meninggal maka antarkan jenazahnya”
Halal Bi Halal
Dalam tradisi umat Islam di Indonesia ada istilah yang disebut halal bi halal, dan biasanya dilakukan terkait dengan hari raya Iedul Fithri. Menjelang ‘Idul Fithri umat Islam banyak yang pulang ke kampung halaman untuk bertemu sanak saudara dan teman-temannya. Di sana mereka melakukan halal bi halal. Halal bi Halal juga biasa dilakukan dalam suatu acara pertemuan yang menghadirkan keluarga besar, tetangga, sahabat dan handai tolan. Tradisi lain yang berkembang di masyarakat adalah reuni antar almamater sekolah, kampus dll. Tradisi ini dapat masuk pada bentuk silaturahim dan ziarah yang dianjurkan Islam jika sesuai dengan adab-adab silaturahim dan ziarah.
Adab-Adab Silaturahim Dan Ziarah
1. Memperhatikan hari dan jam yang baik untuk silaturahim dan ziarah.
2. Dianjurkan membawa hadiah atau sesuatu yang bermanfaat baik berupa materi maupun non materi.
3. Jika dimungkinkan, memberi tahu terlebih dahulu.
4. Ziarah sangat dianjurkan bagi saudara dan temannya yang sakit atau terkena musibah.
5. Orang yang lebih muda sebaiknya mendatangi yang lebih tua, begitu juga seorang muslim mendatangi yang lebih alim dan bertaqwa.
6. Dianjurkan saling memberi nasihat dan wasiat kebaikan, jika dilakukan dalam suatu acara resmi maka sebaiknya mengundang dai atau muballigh untuk memberi ceramah agama.
7. Tidak boleh mengatakan dan melakukan sesuatu yang tidak disukai dan harus menjauhkan diri dari ghibah dan dusta.
8. Memakai pakaian yang rapi, bersih dan baik. Bagi laki-laki dianjurkan memakai wangi-wangian.
9. Menjauhi pemborosan dalam makan, minum dan lainnya.
10. Menjauhi kemaksiatan, seperti; lalai dalam mengerjakan shalat, bercampur baur antara lelaki dan perempuan dan berjabat tangan antara lelaki dan perempuan yang bukan mahramnya, menyuguhkan lagu-lagu dan musik yang kotor dan tidak islami, tidak menutup aurat dll.
11. Dianjurkan berjabat tangan (lelaki dengan lelaki dan perempuan dengan perempuan), mengucapkan salam pada saat pertemuan dan perpisahan dan saling mendoakan.


Keutamaan Puasa Enam Hari di Bulan Syawal

9/9/2010 | 00 Syawal 1431 H | Hits: 1.655
Oleh: Tim dakwatuna.com
Kirim Print
Ilustrasi (artfulplayground.com)
dakwatuna.com – Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu ‘anhu meriwayatkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْر
“Barangsiapa berpuasa penuh di bulan Ramadhan lalu menyambungnya dengan (puasa) enam hari di bulan Syawal, maka (pahalanya) seperti ia berpuasa selama satu tahun.” (HR. Muslim).
Filosofi pahala puasa 6 hari di bulan Syawal setelah puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan sama dengan puasa setahun, karena setiap hasanah (kebaikan) diganjar sepuluh kali lipatnya.
Membiasakan puasa setelah Ramadhan memiliki banyak manfaat, di antaranya:
1. Puasa enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan, merupakan pelengkap dan penyempurna pahala dari puasa setahun penuh.
2. Puasa Syawal dan Sya’ban bagaikan shalat sunnah rawatib, berfungsi sebagai penyempurna dari kekurangan, karena pada hari Kiamat nanti perbuatan-perbuatan fardhu akan disempurnakan (dilengkapi) dengan perbuatan-perbuatan sunnah. Sebagaimana keterangan yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di berbagai riwayat. Mayoritas puasa fardhu yang dilakukan kaum muslimin memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan, maka hal itu membutuhkan sesuatu yang menutupi dan menyempurnakannya.
3. Membiasakan puasa setelah Ramadhan menandakan diterimanya puasa Ramadhan, karena apabila Allah Taala menerima amal seorang hamba, pasti Dia menolongnya dalam meningkatkan perbuatan baik setelahnya. Sebagian orang bijak mengatakan: “Pahala amal kebaikan adalah kebaikan yang ada sesudahnya.” Oleh karena itu barangsiapa mengerjakan kebaikan kemudian melanjutkannya dengan kebaikan lain, maka hal itu merupakan tanda atas terkabulnya amal pertama. Demikian pula sebaliknya, jika seseorang melakukan suatu kebaikan lalu diikuti dengan yang buruk maka hal itu merupakan tanda tertolaknya amal yang pertama.
4. Puasa Ramadhan – sebagaimana disebutkan di muka – dapat mendatangkan maghfirah atas dosa-dosa masa lain. Orang yang berpuasa Ramadhan akan mendapatkan pahalanya pada hari Raya ‘ldul Fitri yang merupakan hari pembagian hadiah, maka membiasakan puasa setelah ‘Idul Fitri merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat ini. Dan sungguh tak ada nikmat yang lebih agung dari pengampunan dosa-dosa.
5. Dan di antara manfaat puasa enam hari bulan Syawal adalah amal-amal yang dikerjakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya pada bulan Ramadhan tidak terputus dengan berlalunya bulan mulia ini, selama ia masih hidup.
Sebaiknya orang yang memiliki utang puasa Ramadhan memulai membayarnya di bulan Syawal, karena hal itu mempercepat proses pembebasan dirinya dari tanggungan utangnya. Kemudian dilanjutkan dengan enam hari puasa Syawal, dengan demikian ia telah melakukan puasa Ramadhan dan mengikutinya dengan enam hari di bulan Syawal.
Dan perlu diingat pula bahwa shalat-shalat dan puasa sunnah serta sedekah yang dipergunakan seorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah Taala pada bulan Ramadhan adalah disyariatkan sepanjang tahun, karena hal itu mengandung berbagai macam manfaat, di antaranya: ia sebagai pelengkap dari kekurangan yang terdapat pada fardhu, merupakan salah satu faktor yang mendatangkan mahabbah (kecintaan) Allah kepada hamba-Nya, sebab terkabulnya doa, demikian pula sebagai sebab dihapusnya dosa dan dilipatgandakannya pahala kebaikan dan ditinggikannya kedudukan.
Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan, shalawat dan salam semoga tercurahkan selalu ke haribaan Nabi, segenap keluarga dan sahabatnya.

Wednesday, September 1, 2010

Dekat Bersama Allah



Minggu, 29/08/2010 12:44 WIB | email | print | share
oleh Aa Gym
Mendekat kepada Allah jauh lebih mudah daripada mendekat kepada manusia, karena upaya kita mendekati orang lain, harus dengan orang yang sudah mengetahui tentang diri kita. Namun mendekat kepada Allah SWT, Dia sudah mengetahui kita segalanya.
Mendekat dengan orang butuh waktu untuk menjelaskan mengenai niat atau maksudnya. Sedangkan mendekat kepada Allah SWT, Dia sudah jelas melihat keadaan diri kita seutuhnya.
Mendekat kepada orang justru lebih sulit, karena mereka memiliki sifat su'udzon untuk melindungi diri. Namun bagi Allah SWT, diri kita yang selama berkhianat saja, masih senantiasa dicukupi. Orang yang susah dekat dengan Allah SWT, pasti ia tidak sungguh-sungguh ingin mendekat. Tidak ada yang bisa mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, kecuali Allah SWT sendiri yang akan memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai cara.
Mau mendekat dengan seseorang, sedangkan ia memiliki keperluan, maka kita tidak bisa mendekat jika keperluannya terganggu. Sedangkan bagi Allah SWT, Dia tidak membutuhkan sesuatu pun dari diri kita.
Dekatnya kita dengan seseorang, seringkali karena ada keinginan tertentu, sehingga menjadikan pendekatannya itu tidak murni. Bagi Allah SWT, Dia amat menyukai jika diminta dengan memelas, menghiba kepada-Nya.
"Barangsiapa yang sungguh-sungguh mendekat kepada Allah, maka Allah akan membimbingnya."
Orang yang sudah akhil baligh dan ingin dekat dengan Allah, bersiaplah digerinda. Untuk mengikis dosa-dosa yang sudah demikian lama melekat. Namun ia tidak akan terasa berat jika siap meninggalkan dosa-dosanya. Ia akan menikmati tatkala ujian itu datang, karena ia meyakini bahwa Allah, dengan ujian itu, hanya sekadar menyentuhkan ujian, bukan menimpakan. Tanda-tanda dia bertaubat, ia ingin benar-benar dekat dengan Allah, maka akan dijalankannya ibadah dengan sebenar-benarnya, hanya karena Allah. Beda dengan mereka yang tidak sungguh-sungguh kembali kepada Allah, ibadahnya banyak dilakukan untuk kepentingan dirinya.
Maka orang yang dekat dengan Allah, pada dirinya akan terpancar:
  1. Berperilaku sebagai hamba Allah.
  2. Merasa dirinya seorang yang faqir, tidak mempunyai apapun, Allah-lah yang memiliki segalanya.
  3. Dirinya pun merasa bodoh, Allahlah yang mengkaruniai ilmu dan kemampuan.
  4. Merasa hina berlumur dosa, sehingga dia tidak berkeinginan untuk ujub dan takabur.
Tugas kita adalah sungguh-sungguh mendekat kepada Allah, jaminannya jelas, bahwa Allah yang akan membimbingnya. Orang susah dekat dengan Allah SWT bukan berarti Allah tidak mau dekat, melainkan di dalam hatinya jelas tidak sungguh-sungguh mendekat kepada Allah.
Ada juga orang yang mendekat kepada Allah untuk barang komoditas. Ingin dianggap dirinya sebagai orang ahli mujahadah. Dekat dengan Allah adalah urusan yang sangat pribadi, urusan di dalam hati. Tidak ada urusan dekat dengan Allah dengan urusan untuk diketahui oleh orang lain. Kita khawatir banyak menyebut nama Allah SWT sebenarnya bukan dekat dengan Allah, melainkan kalimat itu digunakan untuk kepentingan diri kita, seperti ingin dihargai.
Ilmu pun bisa menjadi hijab. Hijab ilmu, merasa berilmu, ilmunya tidak membuat dirinya tersungkur tunduk tawadhu kepada Allah, malah dirinya merasa terangkat, merasa lebih berkedudukan. Dekat dengan Allah justru ketika menjadi merasa tidak berilmu. Posisi hamba yang baik itu meyakini bahwa dirinya tidak memiliki apa pun, kecuali sekadar titipan Allah. Merasa bahwa dirinya bodoh tidak tahu apa-apa, kecuali sepercik ilmu yang Allah SWT titipkan. Menyadari ketersesatan dirinya, kecuali Allah SWT yang menyelamatkannya dengan memberi petunjuk. Lemah tidak berdaya, kecuali Allah yang menguatkannya. Mestinyanya dengan bertambahnya ilmu, diri kita merasa bodoh di hadapan Allah. Tidak memiliki keyakinan terhadap janji dan jaminan Allah, karena terhijabnya hati oleh merasa memiliki ilmu.
Posisi yang disukai Allah terhadap diri kita adalah benar-benar menjadi seorang budak/hamba, bukannya kita menjadi tandingan Allah SWT.
Orang yang susah dekat dengan Allah pasti pada dirinya memiliki masalah pribadi dengan Allah SWT, terkait dengan masalah kejujuran dan kemurnian. Atau hanya di mulut saja.
Sesungguhnya telah Kami ciptakan manusia, dan Kami mengetahui apa yang dibisikan oleh hatinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat nadinya. (QS. Qaaf: 16)
Mendekat kepada Allah lebih mudah, karena Allah SWT lebih dekat dengan kita, tapi kita terhijab oleh hati yang kotor. Maka bersihkanlah hati. Kemakrifatan hati itu sudah ada, tapi masih tertutup. Maka bukalah mata hati kita dengan taubat. Sesungguhnya kehadiran Allah sangat jelas oleh mata hati. Lumuran dosalah yang membuat tidak terasa kehadiran Allah di hati, sehingga membuat kita menjadi sering curiga kepada Allah SWT. Jika mata hati tersingkap, semua akan terasa ringan dalam melakukan amal shaleh.